Rabu, 05 Mei 2021

Mama Adalah Kepala Keluarga

 

Aku (36 tahun) dan istriku, Afidah (34 tahun), memilki dua anak perempuan: Madiba Vandana Afias (7 tahun) dan Kayana Ontosoroh Afias (4 tahun). Kami berdomisili di Babelan, wilayah kecamatan perbatasan antara Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi. Aku berasal dari Serang, Banten, sementara Afidah dari Pati, Jawa Tengah. Aku dan Afidah lahir dari keluarga berpendidikan rendah, yang membicarakan seksualitas dengan anak merupakan hal tabu. Ini cerita tentang anak sulungku, Madiba Vandana Afias.

 
"Apa perbedaan perempuan dan laki-laki?" tanyaku pada anak sulungku, Madiba Vandana Afias, saat usianya masih sekitar 5 tahun. Pertanyaan itu sengaja kuajukan untuk mengawali diskusi mengenai perbedaan seks dan gender, kosakata yang tentu belum ia ketahui.

"Kalau perempuan itu rambutnya panjang, laki-laki rambutnya pendek. Laki-laki lebih kuat dari pada perempuan" jawabnya saat itu.

Aku dapat memaklumi jawabannya mengingat rambutku memang pendek dan sering mengangkat barang-barang berat, sementara Afidah berambut panjang. Pengetahuannya tentu dipengaruhi apa yang dia lihat di sekitarnya.

"Laki-laki ada yang rambutnya panjang lho. Perempuan juga ada yang lebih kuat daripada laki-laki" sanggahku atas jawabannya.

"Terus apa perbedaannya, Yah?" Ia balik bertanya padaku.

Sabtu, 21 Desember 2019

Buku "Pasangan Calon Melawan Kolom Kosong"



Buku berjudul “Pasangan Calon Melawan Kolom Kosong, Potret Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pati Tahun 2017” ini mengulas tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, khususnya yang terjadi di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, pada Pilkada Tahun 2017.

Buku terbitan CV. Rafi Sarana Perkasa Semarang yang terdiri dari 10 bab dan 106 halaman ini ditulis oleh Abhan (Ketua Bawaslu RI Periode 2017-2022), Asep Mufti (Tim Asistensi Bawaslu), dan Achwan (Anggota Bawaslu Kabupaten Pati). Pada bab awal, buku ini memaparkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015, yang secara hukum menjadi dasar konstitusional penyelenggaraan pilkada dengan satu pasangan calon.

Di bab-bab berikutnya, dipaparkan mengenai situasi pemilihan di Kabupaten Pati serta dinamika yang menyertainya, seperti munculnya pasangan calon tunggal dan gerakan relawan pendukung kotak kosong. Ada beberapa permasalahan yang muncul di lapangan. Di bab akhir, penulis memaparkan perihal proyeksi penyelenggaraan pilkada dengan pasangan calon tunggal.

Buku ini diberikan pengantar oleh Harjono (Ketua DKPP RI) dan Arief Budiman (Ketua KPU RI Periode 2017-2022), serta disunting oleh M. Roffiudin, Wartawan Tempo yang kini menjadi Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Periode 2017-2022.

Buku dapat diunduh melalui link berikut: https://bit.ly/2sbiIwC    

Menyoal Permenag Tentang Majelis Taklim


Oleh: Asep Mufti[1]


Baru-baru ini Menteri Agama Republik Indonesia, Fachrul Razi, menuai banyak kritik dari publik akibat menerbitkan sebuah kebijakan yang mengatur majelis taklim. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 Tentang Majelis Taklim (Permenag). Ketentuan yang banyak dikritik oleh publik adalah ketentuan Pasal 6 ayat (1) Permenag tersebut yang mengharuskan majelis taklim terdaftar pada Kantor Kementerian Agama.

Majelis taklim sesungguhnya sudah ada dan berkembang secara organik dalam masyarakat muslim di Indonesia. Di lingkungan masyarakat, kita banyak menemukan komunitas yang melakukan pengkajian tentang islam dengan cara membaca Al-quran, ceramah, dan lain-lain.

Sekretaris Jenderal PBNU, Helmy Faishal Zaini, menilai Permenag tersebut mengganggu peran majelis taklim di masyarakat. Helmy mengatakan UU Keormasan sudah mengatur pendirian organisasi bagi majelis taklim yang hendak mendaftarkan sebagai ormas. Jadi menurut Helmy, pemerintah janganlah mempersulit dan merepotkan masyarakat.[2]

Terbitnya Permenag tersebut juga disesalkan oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily. Menurut Ace, keluarnya Permenag itu terlalu berlebihan, karena hal itu tidak perlu diatur oleh pemerintah. Selama ini majelis taklim itu sangat tumbuh subur di masyarakat tanpa harus diatur-diatur oleh pemerintah.[3]

Dalam konteks Hak Asasi Manusia, sesungguhnya setiap orang bebas untuk berkumpul dan berserikat, tidak terkecuali di Indonesia, karena hak atas kebebasan tersebut telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28E ayat (3) menyebutkan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Karena hak itu telah dijamin dan diakui oleh negara, maka menjadi kewajiban negara terutama pemerintah untuk melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhinya.[4]

Apakah Permenag yang mengatur majelis taklim tersebut membatasi dan menghambat pemenuhan hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat? Pertanyaan tersebut menjadi permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini. Namun untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui lebih dulu dengan jelas mengenai apa yang menjadi latar belakang pemerintah, khususnya Menteri Agama menerbitkan Permenag tentang majelis taklim dan bagaimananya pengaturannya.  Selain itu, perlu juga diketahui, bagaimana seharusnya peran negara dalam memenuhi hak kebebasan berkumpul dan berserikat.

Menolak Hukuman Mati Dalam RKUHP


Oleh: Asep Mufti[1]


Menjelang akhir masa jabatan keanggotaan DPR RI periode 2014-2019, elemen masyarakat, terutama mahasiswa bergejolak melakukan unjuk rasa di banyak daerah, bahkan sampai merenggut dua nyawa mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara. Peristiwa dan keadaan yang sangat memprihatinkan.

Peristiwa tersebut disebabkan adanya polemik terhadap beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU), baik yang telah disahkan oleh DPR, yaitu UU KPK, maupun RUU lain yang belum disahkan seperti RUU tentang Hukum Pidana (RKUHP), Penghapusan Kekerasan Seksual, Pertanahan dll. Tulisan ini hanya mencoba untuk melihat permasalahan yang menjadi polemik atas RKUHP, khususnya terkait dengan pengaturan hukuman mati.

Niatan bangsa ini memiliki Hukum Pidana Nasional lagi-lagi harus tertunda, mengingat terhadap rancangan yang ada, masih menuai banyak penolakan masyarakat. Meskipun polemik yang berkembang di media massa maupun di media sosial, bagi masyarakat atau setidaknya bagi penulis, tidak cukup memberikan informasi yang cukup untuk betul-betul memahami persoalan sebenarnya.

Senin, 11 November 2019

Berwisata Ke Kuala Lumpur Empat Hari Tiga Malam


Kuala Lumpur, Malaysia, jadi pilihan yang masuk akal, ketika punya keinginan berwisata ke luar negeri bersama keluarga, tapi anggaran minim. Karena dari informasi yang kudapat, biaya transportasi pesawat udara sangat terjangkau, bahkan lebih murah ketimbang jalan-jalan ke dalam negeri, seperti Batu-Malang, Bali, apalagi Raja Ampat di Papua Barat. Biaya penginapan di Kuala Lumpur juga lebih murah, dibanding di Singapura.

Aku, istriku Afidah, dan kedua Anakku, Diba (5 tahun 10 bulan) dan Kayo (3 tahun 4 bulan), masing-masing sudah memiliki Paspor. Sebelumnya pengalamanku ke luar negeri pernah pergi ke Arab Saudi saat umroh, Melbourne, Singapura, dan Johor Baru Malaysia. Tiga kota terakhir kukunjungi dalam perjalanan dinas pekerjaanku di Bawaslu. Afidah pernah ke Thailand saat dia masih kerja di LRC KJHAM, lembaga swadaya masyarakat di Kota Semarang yang konsen di isu perempuan. Sementara Diba dan Kayo sama sekali belum pernah ke luar negeri.

Catatan perjalanan ini dibuat, selain untuk memperpanjang ingatan, juga agar dapat dibaca sendiri oleh anak-anak ketika mereka beranjak besar. Selain itu, agar dapat bermanfaat sebagai informasi bagi pembaca yang mampir ke blog. Beginilah cerita kami berwisata ke Kuala Lumpur.

Jumat, 08 November 2019

Potret Lembaga Pengawas dan Penegakan Hukum Pemilu[1]


Oleh: Asep Mufti, Tim Asistensi Divisi Penindakan Bawaslu


Kehadiran lembaga pengawas pemilu dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, telah ada sejak pemilu yang diadakan pada tahun 1982 atau pemilu keempat (sebelumnya telah dilaksanakan Pemilu tahun 1955, 1971, dan 1977) yang dilaksanakan sejak Negara Indonesia berdiri. Sejak kehadirannya, lembaga pengawas selalu menuai kontroversi, banyak pihak yang menilai kinerja lembaga pengawas pemilu tidak maksimal.

Terhadap keberadaan lembaga pengawas tersebut, ada pihak yang mengusulkan agar lembaga pengawas ditiadakan dalam pelaksanaan pemilu atau dibubarkan. Di lain pihak, ada yang berpendapat agar lembaga pengawas diperkuat dan diberi tambahan kewenangan agar kinerjanya menjadi lebih baik. Kedua pendapat tersebut selalu muncul ketika pembahasan rancangan undang-undang pemilu. Pada kenyataannya, lembaga pengawas pemilu masih ada hingga saat ini.

Dalam pelaksanaan Pemilu Tahun 2019, secara kelembagaan, pengawas pemilu semakin diperkuat dengan dipermanenkannya lembaga pengawas tingkat kabupaten/kota. Semula hanya berupa panitia yang sifatnya hanya sementara, diperkuat menjadi Badan. Selain itu ada penambahan jumlah anggota di tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Secara fungsi, pengawas pemilu diberi kewenangan baru yaitu menyelesaikan pelanggaran administrasi pemilu melalui pemeriksaan secara terbuka dengan produk berupa putusan, yang mana terdapat kewajiban bagi KPU untuk melaksanakan putusan tersebut.

Mengingat perkembangan pelaksanaan pemilu semakin kompleks, apakah keadaan lembaga pengawas pemilu dirasa cukup efektif sebagai penegak hukum pemilu yang dapat mendorong pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil? Atau justeru masih banyak kelemahan yang perlu dibenahi?

Penegakan Hukum Progresif


Oleh: Asep Mufti[1]


Baru-baru ini banyak orang terusik dengan apa yang dialami oleh Baiq Nuril, seorang perempuan, mantan guru honorer di sekolah di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Baiq Nuril divonis bersalah oleh lembaga peradilan karena dianggap menyebarkan informasi elektonik yang muatannya melanggar kesusilaan, sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kasus bermula pada tahun 2012[2], saat Baiq merekam perbincangan antara dirinya dengan kepala sekolah tempat dia bekerja. Dalam perbincangan itu, Baiq sebagai perempuan merasa dilecehkan oleh kepada sekolah tersebut. Baiq kemudian memberikan rekaman perbincangan itu kepada teman kerjanya, dan tersebarlah rekaman tersebut. Tidak terima lantaran perbincangannya tersebar, kepala sekolah itu kemudian melaporkan Baiq ke pihak kepolisian. Laporan tersebut diproses.

Pengadilan Negeri Mataram sebenarnya sudah menyatakan Baiq tidak bersalah dan membebaskan dirinya dari segala tuduhan, namun terhadap putusan tersebut, Penuntut Umum melakukan upaya hukum. Pengadilan tingkat banding dan kasasi, justeru memberikan vonis bersalah kepada Baiq Nuril. Baiq mengajukan permohonan Peninjauan Kembali dan ditolak, lalu mengajukan amnesti kepada Presiden Joko Widodo.

Di tengah gencarnya upaya gerakan sosial perempuan yang mendorong adanya pengaturan tentang penghapusan kekeresan seksual, kasus Baiq Nuril semakin menegaskan bahwa perempuan masih menjadi pihak yang rentan mengalami kekerasan seksual. Dalam sudut pandang gerakan perempuan, Baiq merupakan korban, namun pada kenyataannya, dalam penegakan hukum Baiq justeru menjadi pesakitan.

Kasus Baiq, hanya satu dari sekian rentetan kasus yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia, dimana “rakyat kecil” rentan menjadi korban ketika berhadapan dengan proses penegakan hukum. Kita tentu masih ingat, sebelumnya ada kasus yang dialami oleh Prita Mulyani yang juga menjadi pesakitan lantaran melakukan kritik terhadap pelayanan sebuah rumah sakit. Ada juga kasus Manisih, di Batang, Jateng, yang menjadi pesakitan lantaran mengambil kapuk sisa-sisa panen di sebuah perkebunan. Mbok Minah di Banyumas, menjadi pesakitan lantaran mengambil 3 buah kakao.

Terhadap kasus-kasus tersebut, tentu saja menjadi keprihatinan dalam masyarakat dan selalu timbul pertanyaan, adakah yang salah dengan penegakan hukum di Indonesia? Bermula dari keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia, Satjipto Rahardjo (1930-2010), menciptakan sebuah gagasan hukum yang kemudian dikenal dengan isitilah Hukum Progresif. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak ­status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.[3] Sekiranya Satjipto masih hidup, tentu kasus Baiq dan kasus-kasus lain yang disebut di atas, tidak luput dari kritikan begawan hukum tersebut.