Kamis, 29 November 2012

Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara [1]

Hari Nugroho & Indrasari Tjandraningsih[2]

Abstract: This article critically discusses the positive assumptions of the concept of labour market flexibility and the roles of state in labour market policy based on current empirical facts.  Labour market flexibility is a liberalist concept that is taken as one of policy strategies for promoting investment, increasing employment opportunities and poverty reduction. In reality, the practice of labour market flexibility poses a number of unfavourable impacts on workers such as degradation of working conditions, raising job insecurity, increasing welfare uncertainty and weakening union power. These negative impacts indicate some internal contradictions within the concept of labour market flexibility. At the same time the declining role of the state to provide protection and social welfare in the middle of forceful liberalisation stream has made the negative consequences worse. By assuming that the labour market flexibility is unavoidable forceful stream, the responsibility of the state in determining more secure labour market policy is crucial. This article proposes ideas on how state and labour should respond such situation.

Kata dan frase kunci: asumsi dan realitas fleksibilitas pasar kerja, dualisme pasar kerja, kontradiksi internal sistem fleksibilitas pasar kerja, ketidakpastian kerja, pelemahan serikat buruh, peran negara

PENDAHULUAN

Dewasa ini sistem pasar kerja di banyak negara mengalami perubahan sebagai akibat perubahan orientasi ekonomi global.  Pasar kerja kini didorong ke arah bentuk yang lebih fleksibel (flexible labour market) bersamaan dengan menguatnya liberalisasi perekonomian dunia.  Pasar kerja yang fleksibel – berikut sistem produksi yang fleksibel (flexible production) – diyakini oleh para pendukungnya dapat lebih merangsang pertumbuhan ekonomi serta memperluas pemerataan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat di tengah iklim kompetisi ekonomi global yang semakin ketat. 

Sejalan dengan perubahan tersebut, peran negara dalam mengatur bekerjanya pasar kerja serta bentuk tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya pun mengalami perubahan.  Peran dan tanggung jawab negara tersebut cenderung menyurut. Hal ini terlihat dari menurunnya alokasi anggaran untuk tanggung jawab negara yang berkaitan dengan kesejahteraan warganya (lihat Lindert, 2004). Demikian pula regulasi negara yang mengatur bekerjanya pasar tersebut berkurang. Sebaliknya, bekerjanya pasar kerja dan penyelenggaran kesejahteraan tersebut lebih banyak diserahkan kepada mekanisme pasar itu sendiri. Dinamikanya diserahkan langsung kepada hubungan antara pemodal dengan para pekerja atau pencari kerja. Melalui praktek hubungan-hubungan kerja di tingkat perusahaan, fleksibilitas pasar kerja diasumsikan dapat menghasilkan efek-efek positif bagi pertumbuhan ekonomi maupun keadilan sosial. Oleh sebab itu fleksibilitas kini menjadi modus utama operasi modal di banyak sektor.

Paradoks Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja

oleh : Martin Manurung

Rasyidi Bakri telah menulis perihal Revisi Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam globalisasi. Tulisan ini akan menyoroti khusus perihal paradoks argumen ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’.

Rekomendasi terbaru dari International Monetary Fund tertanggal 22 Februari 2006 dapat dikatakan sebagai desakan dari lembaga internasional itu agar pemerintah segera melaksanakan revisi UU dimaksud. Rekomendasi tersebut mengatakan;
“Kemajuan [kebijakan ekonomi] melambat dari yang diharapkan pada area-area lain, termasuk memecahkan perselisihan investor dan fleksibilitas pasar kerja… [Dewan Direktur IMF] menegaskan keterdesakan yang penting untuk reformasi struktural dalam rangka mendorong kepercayaan investor… Dalam hal ini, [Dewan Direktur IMF] menyambut ketegasan pemerintah untuk reformasi perpajakan dan pasar tenaga kerja…” (Diterjemahkan secara bebas, huruf miring dari penulis.)

Kerangka Teori

Secara teoretis argumen ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’ dan ‘pasar bebas’ dapat ditilik sejarahnya pada tesis keunggulan komparatif yang diajukan oleh David Ricardo, ekonom liberal neoklasik di Inggris hampir dua abad yang lalu.

Senin, 26 November 2012

Enam Mitos Keuntungan Investasi Asing

Coen Husain Pontoh, mahasiswa ilmu politik di City University of New York (CUNY)

BEBERAPA waktu lalu, Fitch Rating, sebuah lembaga pemeringkat yang berbasis di Hongkong, mengeluarkan daftar peringkat utang luar negeri  jangka panjang Indonesia. Dalam laporannya, Fitch mengatakan bahwa terjadi peningkatan positif utang luar negeri jangka panjang Indonesia, dari BB+ (plus) menjadi BBB- (minus).

Kenaikan peringkat ini, dalam waktu singkat segera direspon oleh menteri koordinator perekonomian Hatta Rajasa, yang sesumbar mengatakan bahwa akan ada banjir investasi asing di Indonesia. ‘Tahun 2012, Indonesia akan semakin mantap dengan kenaikan rating (peringkat utang) ini. Apalagi Indonesia memang sudah memiliki MP3EI (Rencana Induk Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia),’ ujarnya. ‘Apalagi, proyek-proyek yang ada di MP3EI adalah proyek-proyek yang nyata. Mereka sudah melihat bahwa Indonesia terus memangkas hambatan-hambatan untuk berinvestasi. Apalagi nanti akan diperkuat lagi oleh penurunan suku bunga perbankan,’ tambahnya (Kompas, 15/12/2011).

Indonesia Sebagai Negeri Semi-Koloni AS

Reza Gunadha, Jurnalis, tinggal di Lampung

SEMBOYAN ‘Indonesia Belum Merdeka 100 Persen,’ pernah booming ketika Tan Malaka memobilisasi Persatuan Perjuangan. Saat ini, semboyan tersebut kembali terdengar lantang, baik sebagai retorika favorit para aktivis ketika berorasi maupun dekorasi perdebatan intelektual.

Secara tersirat, semboyan tersebut mengartikulasikan bahwa Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945), belum menjadi negara yang mutlak berdaulat dalam dua bidang krusial: ekonomi dan politik. Memakai pengandaian persentase, negara ini bisa dikatakan baru merdeka 50 persen, yakni dalam bidang politik pemerintahan. Namun, 50 persen kadar kemerdekaan sisanya, yakni dalam sektor perekonomian, belum mampu teraih.

Selasa, 20 November 2012

Nyanyian Sunyi Pram

Karya-karyanya adalah sayup suara di rumah-bahasanya sendiri

Oleh : Fahri Salam, Penulis Lepas

”Saya punya minat khusus dengan dia karena [dia] realistis,” kata Sujiyati, merujuk alasan dia mencintai karya-karya Pram, dengan mimik serius dan nada tegas.

Sujiyati mengajar bahasa Indonesia kelas tiga SMU Negeri 3 Yogyakarta di bilangan Kota Baru. Dia berusia paruh baya, kulit hitam coklat, senada dengan setelan jas dan pantolan hitam keabu-abuan yang dia kenakan saat saya menemuinya awal Mei 2006.  Kami duduk di kursi kayu berlapis busa di hall depan.

Sujiyati tampak serius menanggapi nasib kepengarangan Pram. Dalam kurikulum sastra yang dikenalkan kepada siswa sekolah menengah, nama Pram tak sekalipun tercatat, sebagai referensi maupun ujian. Hanya karena minat khusus Sujiyati serta inisiatif sendiri, nama Pram terlontar di ruang kelas. Sujiyati juga minta siswa membaca karya Pram.

Pernah satu kejadian dia bikin soal ujian tentang karya Pram. Kolega mengajar dia terheran. Sujiyati tanya alasan. Kolega dia menjawab dengan menghubungkan “Pram” dan “komunis”.


Sabtu, 17 November 2012

Membaca "Cerita Cinta Enrico" Karya Ayu Utami

Oleh : Asep Mufti
 
Prasetya Riksa atau Enrico atau Rico, seorang bocah yang lahir pada 15 Februari 1958 di Kota Padang, bersamaan dengan kelahiran "saudara kembarnya" Pemberontakan PRRI. Baru berumur 1 hari, Rico menjadi bayi gerilya di hutan tatkala Muhammad Irsad, ayahnya yang seorang militer terlibat dalam pemberontakan PRRI hanya karena kepatuhannya kepada atasan.

Ketika Rico mulai beranjak besar, Ibunya menanggung kesedihan akibat kehilangan Sanda - kakak perempuan Rico, dalam kesedihan itu tiba-tiba datanglah pengkhotbah yang akhirnya menjadikan Ibunya ikut dalam perkumpulan Saksi Yehuwa. Sikap Ibunya mulai berubah, Hari Kiamat yang dipercayainya akan tiba beberapa tahun lagi justeru tidak dipercayai oleh Rico.