Jumat, 27 Desember 2013

Selamat Jalan, Madiba

Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS

MARI memulai obituari ini dengan sebuah cerita yang mungkin terdengar tidak begitu nyambung.  Suatu saat, John Sidel, salah satu pengkaji politik Asia Tenggara terkemuka, bercerita dalam kuliahnya,

Dalam pemilihan walikota London kemarin saya begitu terkejut mendengar bahwa semua kandidat, dari berbagai partai politik yang berbeda aliran, mengidolakan Nelson Mandela, seakan-akan Mandela hanyalah seorang kakek tua yang bijak dan murah senyum. Mereka semua lupa bahwa Mandela adalah seorang komunis.’

Sidel benar. Semenjak Nelson Mandela menang pemilu demokratis pertama di Afrika Selatan dan menjadi presiden di tahun 1994 hingga kepulangannya baru-baru ini, citranya lebih mirip sebagai seorang negosiator daripada pejuang, yang siap berkompromi daripada melawan. Dengan kata lain, citra Mandela menjadi lebih ‘liberal’ dan ‘jinak.’ Citra inilah yang melekat di banyak bayangan orang, terutama di Barat, mengenai Mandela. Namun Madiba, panggilan kehormatan dari sukunya, suku Xhosa, menolak pencitraan itu. Bahkan, berkali-kali ia menegaskan dirinya sebagai bagian dari politik progresif-revolusioner dan gerakan pembebasan nasional di berbagai belahan Dunia Ketiga.

Di tengah-tengah suasana berkabung atas berpulangnya Mandela, penghormatan yang paling pantas atas kepergiannya adalah mengupas sisi revolusioner dari seorang pejuang anti-apartheid paling terkemuka di Afrika Selatan.

Senin, 02 Desember 2013

Hukum Progresif Tidak Anti Kepastian Hukum

(Tanggapan untuk Ariehta Eleison dalam "Mengapa Mencibir Pada Kepastian Hukum")


Semalam aku menyelesaikan membaca tulisan kawanku Ariehta Eleison, tulisan yang dibuat berdasarkan penelitiannya terhadap 2 Putusan Kasasi Mahkamah Agung. Karya tulis yang terdiri dari 10 lembar itu diberi judul “Mengapa Mencibir Pada Kepastian Hukum?”. Arie sengaja membuat tulisan itu untuk didiskusikan dalam acara Konsorsium Hukum Progresif yang baru-baru ini diadakan di Semarang. Namun karena keterbatasan acara Konsorsium, tulisan tersebut tidak  dapat didiskusikan secara layak. Padahal munurutku, Arie membuat tulisan itu dengan baik, dalam artian secara teknis mudah dibaca dan secara substansi kaya akan referensi.

Jika kita terbiasa mendengar bahwa Hukum Progresif yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo, berupaya mengkritik keberadaan Hukum Liberal atau Hukum Modern yang berwujud pada persoalan kepastian hukum, Arie justeru hadir dengan karyanya untuk berupaya membela kepastian hukum, sebaliknya mengkritik Hukum progresif.

Rabu, 03 Juli 2013

Obrolan Gendut dan Kurus 2


"Aku heran, negara tempat dimana sehari-harinya aku menghirup udara yang penuh polusi ini, dimana mayoritas masyarakatnya ber-agama yang konon kehadirannya untuk keselamatan umat, tapi justeru rasa tidak aman-lah yang kurasakan dari hari ke hari. Mungkin tuhan telah tidur selamanya, atau mungkin memang manusia perlu berkreasi lagi menciptakan juru selamat yang baru" igau si Kurus dalam tidurnya.

"Hei, bangun rus, gila kamu ya" teriak si Gendut membangunkan Si Kurus

Si Kurus tersadar, "Ha, aku takut terjaga Ndut, sebaiknya aku tidur lagi" lanjut si Kurus.

Semarang, 22 Juni 2013
(Respon atas pengusiran warga yang dituduh penganut syiah di Jawa Timur)

Obrolan Gendut dan Kurus 1


Si Gendut dan Si Kurus dalam pembicaan pagi hari.
 
"Rus, kamu pasti tahu presiden partai yang tempohari tertangkap." ucap gendut sambil membaca sebuah berita dari internet.

"Ya" jawab kurus singkat.
 
"Ternyata dia beristeri tiga lho"
 
"Ah, biasa itu ndut. Presiden yang barunya saja isterinya dua, satu pribumi satunya lagi londo" jawab kurus yang nampak sok tahu.
 
"Benarkah?" gendut nampak heran.
 
"benar. Presiden yang dulu, sebelum yang ditangkap sekarang, yang jadi menteri itu tuh. itu juga beristeri lebih dari satu. barangkali beristeri lebih dari satu menjadi syarat bagi mereka yang akan menjadi presiden partai itu." Kurus kali ini menjawab dengan nada sedikit bercanda.
 
"hahaha" tawa gendut. "jangan-jangan si tersangka presiden hendak cari uang untnuk menafkahi ketiga isterinya ya?"
 
"barangkali juga untuk menikah lagi, menggenapkan isteri menjadi empat, seperti yang diperbolehkan agamanya, hahaha"

Semarang, 2 Februari 2013
(Respon atas perilaku para petinggi PKS yang suka berpoligami)


Rabu, 26 Juni 2013

Peluru untuk Perawat Alam

Oleh : Afidah

Di Negeri ini, mencintai alam cukup dengan upacara simbolis menanam mangrove oleh Pemimpinnya

Para petani yang mempertahankan alam untuk menanam tumbuhan.
Tumbuhan yang akan menghidupi dirinya dan banyak orang
dianggap tak perlu ada
Sebab jika tanahnya yang mengandung pasir besi diambil
diubah jadi tambang lalu mereka lantang menentang
Maka peluru dan penjara penguasa
Siap beraksi!!!!!!

Media pun sayup-sayup hanya sesekali berkabar
Tentang mereka

--Solidaritas untuk Petani Cianjur yang tertembak karna menolak tambang pasir besi--

Jumat, 14 Juni 2013

Curhat

Adakalanya aku lebih banyak terasing di satu tempat,
namun terbebas di tempat yang lain
Pengorbananku tak setebal mereka
yang menikmati kebebasannya dalam pertarungan,
meski di satu titik iman kami sama

Siapa Kami? Apa yang Kami imani?
Siapapun yang bermimpi bersatunya manusia-manusia kalah
hingga di tengah-tengah perpecahan para penguasa,
terjadilah keadaan itu,
dimana bukan (lagi) manusia yang ditindas, namun keserakahan

Ya, di sinilah diriku..
melakukan sesuatu yang diterima akal sehatku
dan dengan apapun yang kumampu

- Semarang, 14 Juni 2013 -

Rabu, 22 Mei 2013

Panen

Panen lalu, uang hasil penjualan belum juga lunas dibayar tengkulak kecil
Kata tengkulak kecil dia tidak dibayar lunas oleh tengkulak besar
Kata tengkulak besar harga turun drastis
Jadi bayaran ke tengkulak kecil dikurangi berpersen-persen
Petani tak tahu apa saja yang terjadi dengan tengkulak
Petani hanya tahu apa yang ditanamnya menuai jalan berliku untuk menjadi uang

Petani membutuhkan uang
Karena tidak bisa bertukar barang lagi untuk memenuhi segala kebutuhan
Makan, kesehatan, pendidikan anak, tetek bengek

Kali ini musim tanam
Serombongan tikus selalu menyerbu tiap malam
Ratusan ribu untuk obat tikus
Setelah jutaan rupiah untuk pupuk
Dan obat serangga

Petani harap-harap cemas
Apakah tanaman padinya akan tersisa untuknya
Petani menghitung waktu
Menuju musim panen

Saat panen tiba
Tikus-tikus jenis lain kembali menyerbu
Petani-pun kembali menanam lagi
Pada tanah yang tidak pernah menjadi
Kedaulatannya
Untuk kehidupan

--Afidah--

Rabu, 01 Mei 2013

Mereka yang dikuasai..

Mereka yang menciptakan kekayaan,
Mereka pula yang merasakan kemiskinan
Mereka yang menciptakan gedung-gedung mewah,
Mereka pula yang tinggal di gubuk dan rumah kontrakan

"Alam diciptakan untuk kami. Mesin, Kain, Benang, Besi, Tanah semua milik Kami, kalian yang mengerjakannya, Ingat! hanya mengerjakannya, atas perintah kami!" kata Para Penguasa, "Syukurilah apa yang kalian terima!"

"Tidak!" bantah Mereka yang dikuasai, "Tuhan menciptakan alam semesta untuk semua, dan itu takkan cukup untuk memenuhi keserakahan satu saja diantara kalian. Kelak Kami akan membaginya, Kami akan mengerjakan apa yang kami mampu dan mau, serta memperoleh yang kami butuh"

-- Mayday, 1 Mei 2013 --

Senin, 29 April 2013

Rumah Buku 'Di Balik Frekuensi' [Sesi I]


Minggu, 28 april 2013. Waktu menunjukkan pukul setengah satu siang. Sekitar 50 orang buruh sedang berkumpul membahas persiapan aksi Mayday ketika Aku dan Afidah tiba di Kantor Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Aneka Industri Serikat Pekerja Metal Indonesia (PC SPAI SPMI) Kota Semarang di Jalan Sidomulyo Raya No.19 Tlogosari Semarang. Sebagian besar orang berada di dalam, namun nampak juga yang mendengarkan pembahasan rapat dari luar. Di Kantor Serikat Pekerja inilah film ‘Di Balik Frekuensi’ karya Ucu Agustin akan kami putar.

‘Di Balik Frekuensi’ merupakan sebuah film dokumenter yang menggambarkan bagaimana media massa -khususnya televisi- befungsi sebagai alat atau corong bagi kepentingan pemiliknya. Itu digambarkan melalui 2 cerita : Pertama, tentang Luviana seorang wartawan Metro TV yang di PHK oleh perusahaan (Media Group) lantaran hendak memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh. Kedua, tentang Hari Suwandi dan Harto, dua warga korban lumpur lapindo yang melakukan aksi protes dengan berjalan kaki dari Sidoarjo ke Jakarta.

Kamis, 25 April 2013

Hari Kartini di Rumah Buku

Di bulan Oktober
Daun-daun tembakau dipanen
Dipilah diiris
Ditata diharap
Sambil mengenang kepergian para isteri
dan anak perempuan yang belum pulang

Ini Oktoberke-2
Ini Oktober ke-5
Ini Oktober ke-10
Para perempuan bermigrasi
ke Jepang
ke Arab
ke Taiwan
ke Korea
ke Singapur
ke Malaysia

Berharap dapat uang
untuk sepetak tanah
tanam tembakau

Itu pun jika harga pupuk tak terus memuncak
Kalau keuntungan tak terus mengucur ke gudang-gudang pabrik rokok
dan saku-saku para tengkulak

Kamis, 18 April 2013

Dua tahun yang lalu..*

2 Tahun yang lalu..
Kita memulainya dengan penolakan sebuah tradisi menginjak sebutir telur tanpa alas kaki oleh lelaki, yang jika dilakukan, si perempuan diharuskan membasuh kaki si lelaki dari bercak pecahan telur.

2 Tahun yang lalu..
Kita memulainya dengan penolakan tradisi mencium tangan lelaki oleh perempuan.

2 Tahun yang lalu..
Upacara yang disakralkan Kita jalani dengan canda yang seakan  menjadi sebuah sindiran dan itu begitu menyenangkan.

Malam ini, untuk mengenang peristiwa 2 tahun yang lalu itu,
Kukirim pelukan hangat untukmu dari Kota Hujan.

-- Bogor, 16 April 2013 --

* Tulisan untuk Isteriku dalam rangka mengenang hari pernikahan Kami pada 17 April 2011

Jumat, 05 April 2013

Kumpulan Sajak Wiji II

SEORANG BURUH MASUK TOKO

Masuk toko
yang pertama kurasa adalah cahaya
yang terang benderang
tak seperti jalan-jalan sempit
di kampungku yang gelap

sorot mata para penjaga
dan lampu-lampu yang mengitariku
seperti sengaja hendak menunjukkan
dari mana asalku

aku melihat kakiku - jari-jarinya bergerak
aku melihat sandal jepitku
aku menoleh ke kiri ke kanan - bau-bau harum
aku menatap betis-betis dan sepatu
bulu tubuhku berdiri merasakan desir
kipas angin
yang berputar-putar halus lembut
badanku makin mingkup
aku melihat barang-barang yang dipajang
aku menghitung-hitung
aku menghitung upahku
aku menghitung harga tenagaku
yang menggerakkan mesin-mesin di pabrik
aku melihat harga-harga kebutuhan
di etalase
aku melihat bayanganku
makin letih
dan terus diisap

10 september 1991
----------------------

Kumpulan Sajak Wiji I

SAJAK SUARA

Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
Mulut bisa dibungkam
Namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
Dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku?!

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
Di sana bersemayam kemerdekaan
Apabila engkau memaksa diam
Aku siapkan untukmu: pemberontakan!

Sesungguhnya suara itu bukan perampok
Yang ingin merayah hartamu
Ia ingin bicara
Mengapa kau kokang senjata
Dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?!

Sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
Ialah yang mengajari aku bertanya
Dan pada akhirnya tidak bisa tidak
Engkau harus menjawabnya
Apabila engkau tetap bertahan
Aku akan memburumu seperti kutukan!
---------------------------------------

Senin, 25 Februari 2013

Soesilo Toer - Doktor Pemulung

Oleh Gunawan Budi Susanto

Soesilo Toer
DIA terhitung pendek, tak lebih dari 160 cm, dengan wajah bercambang keputihan. Dan, tak lagi muda. Kini, dia berusia 76 tahun. Namun jangan menyangka dia lemah. Macam keladi, tua-tua makin menjadi. Berkali ulang dia, misalnya, bersepeda motor berboncengan dengan sang istri, pergi-pulang dari Blora ke rumah mertua di Yogyakarta. Juga saat menjadi narasumber di Semarang, Kudus, atau Surabaya, dia pun berboncengan motor. Lagi-lagi dengan istri. Fisik oke. Psikis? Diehard, keras kepala! Dia pun keras kemauan, keras bersikap, menghadapi tantangan kehidupan. Pada usia, yang kebanyakan orang lebih memilih duduk manis menikmati masa senja dalam kehidupan, dia justru tak henti-henti bekerja: mencangkul, memulung, menulis, dan memotivasi siapa pun untuk menulis dan terus menulis. Dan, itu dia lakukan di sebuah rumah tua di pojok kota, di Jalan Sumbawa, Jetis, 40 Blora.
 
Di pekarangan rumah itulah, di lahan seluas lebih dari 3.000 m2, dia menanam ratusan pohon jati. Dia juga menanam berbagai pohon buah dan tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai sayur dan obat-obatan. Di rumah itulah dia membangun perpustakaan. Dan, di perpustakaan itulah dia menerima dan menjamu para tamu, tua dan muda, dari berbagai pelosok kota, dari berbagai negara. Dari empat benua sudah, para tamu berdatangan. Tinggal dari Benua Afrika yang belum.

Jumat, 01 Februari 2013

Liputan Berita Sahabat

Dua liputan berita ini merupakan karya sahabatku Ariehta Eleison [KO3] yang baru saja memasuki dunia jurnalistik. Kupublikasikan melalui Blog ini sebagai bentuk penghargaanku kepadanya.

KPK Menolak Permintaan Hartati
POLITIK & HUKUM, 30 Jan 2013

JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi memutuskan mengembalikan sembilan tahanannya dari Rumah Tahanan Cabang KPK di Kompleks Pomdam Jaya, Guntur, Jakarta Selatan, ke Rutan KPK di Kuningan, Jakarta Selatan. Permintaan terdakwa kasus suap Bupati Buol, Hartati Murdaya, kepada KPK untuk tidak dikembalikan ke Rutan KPK tidak dikabulkan.

Senin, 21 Januari 2013

Peristiwa 65: Kita Adalah Korban

Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Kandidat Doktor Asia Research Center Murdoch University

SAAT menelusuri memori traumatik terbesar dalam kehidupan kolektivitas kitaberbangsa, yaitu peristiwa kekerasan massal yang berlangsung pasca 1965, narasi penafsiran kita terhadap peristiwa tersebut seringkali melupakan pertanyaan penting untuk melengkapi historiografi sejarah Indonesia dan  membantu kita menerangi jalan rekonsiliasi antar setiap elemen kebangsaan yang pada masa lalu menjadi aktor sejarah di dalamnya. Pertanyaan penting tersebut adalah apa tujuan politik utama dari kekerasan massal yang mengorbankan 300 ribu-2,5 juta jiwa manusia Indonesia itu?

Memang penelusuran historiografi kekerasan massal pasca 1965 menjadi sesuatu yang masih sumir. Hal ini juga dipengaruhi oleh proses konsolidasi kekuasaan rezim Orde Baru yang membutuhkan pemusatan narasi hegemonik yang menempatkan PKI sebagai pihak yang disalahkan, aktor utama yang merongrong baik kehidupan berbangsa, sendi-sendi dasar Pancasila dan melakukan kejahatan terhadap negara. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru dan narasi hegemonik yang melekat dengannya, muncullah narasi-narasi alternatif dalam pembacaan terhadap peristiwa kekerasan massal pasca 1965.

Rabu, 16 Januari 2013

Liburan Di Tempat Lahir Kartini dan Kota Ukir [30-31 Desember 2012]

Oleh : Afidah

Tidak masuk dalam rencana Liburan

Penulis
Berlibur ke Jepara, sesuatu yang tidak terduga di akhir tahun 2012. Sebelumnya sekitar bulan Mei 2011 aku pernah berlibur kesana bersama rekan-rekan kerjaku saat itu dan karena Jepara letaknya tidak terlalu jauh dari kampung halamanku, maka saat masih kecil seingatku sudah beberapa kali aku mengunjungi Kota Jepara. 

Namun ini adalah kali pertama aku mengunjungi Jepara bersama suamiku untuk berwisata dengan menggunakan transport umum (bus), suamiku sudah pernah datang kesana namun untuk urusan kerja dan saat itu diantar mobil dan sopir kantor, begitupun aku selalu datang ke Jepara dengan kendaraan pribadi. Naik transport umum adalah ideku. Menurutku ide ini adalah hal yang sudah jarang kami lakukan dalam rutinitas sehari-hari, jadi akan memberi sensasi berbeda saat liburan. Selain itu naik bus berdesak-desakan juga berfungsi untuk mengolah rasa. Lebih banyak ketidaknyamanan di dalam bus akan membuat kami tetap dekat dengan realitas masyarakat.