Oleh Gunawan Budi Susanto
Soesilo Toer |
Di pekarangan rumah itulah, di lahan seluas lebih dari
3.000 m2, dia menanam ratusan pohon jati. Dia juga menanam berbagai
pohon buah dan tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai sayur dan
obat-obatan. Di rumah itulah dia membangun perpustakaan. Dan, di
perpustakaan itulah dia menerima dan menjamu para tamu, tua dan muda,
dari berbagai pelosok kota, dari berbagai negara. Dari empat benua
sudah, para tamu berdatangan. Tinggal dari Benua Afrika yang belum.
Para tamu itu datang untuk membaca, belajar menulis, meneliti, atau berkonsultasi tentang naskah mereka. Semua dia terima dengan lapang hati, lapang dada.
“Siapa pun yang datang ke perpustakaan ini bisa meminjam
buku. Gratis. Jika haus, saya suguhi minuman. Saat kami makan, mereka
pun saya ajak makan. Jika ingin mengingap, ada kamar tersedia bagi
mereka. Itulah kamar kakak tertua saya tidur tahun-tahun belakangan
sebelum dia meninggal dunia. Mana ada perpustakaan lain semacam itu?”
ujar dia seraya tersenyum, tanpa bermaksud jumawa.
Perpustakaan Liar
Upaya sepele, sederhana? Boleh jadi. Namun, jika Anda tahu, itu bukan pencapaian sederhana. Sejak mula dia membangun perpustakaan itu sampai kini, masih ada saja pejabat pemerintahan di kabupaten penghasil kayu jati terbaik di dunia yang menyebut perpustalaan yang di kelola sebagai, “Perpustakaan liar!” Karena pandangan sang pejabat itulah, perpustakaan yang dia kelola gagal memperoleh block grant Rp 200 juta dari Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010. “Saat itu saya butuh rekomendasi dari Dinas Pendidikan sebagai salah satu syarat untuk menerima bantuan. Namun rekomendasi tak pernah keluar karena, ya itu tadi, perpustakaan ini dikategorikan perpustakaan liar!” katanya.
Liar karena apa? Tak berizin? Kepada siapa kita mesti
meminta izin mendirikan perpustakaan – bagian dari upaya mencerdaskan
bangsa? Bukankah perpustakaan, dan kemudian penerbitan nonkomersial,
yang dia bangun bersemboyan: masyarakat Indonesia membangun adalah
masyarakat Indonesia membaca menuju masyarakat Indonesia menulis. Jadi,
maaf, terlibat upaya pencerdasan masyarakat lewat pendirian perpustakaan
merupakan tindakan ilegal? Masya Allah!
Namun itulah cap buruk (stigma) yang distempelkan kepada
dia. Stigma “sepele” memang, tetapi itu mempertebal stigma sebelumnya:
eks tahanan politik (tapol) 1965. Stigma itu terus melekat sampai kini.
Meski sudah kenyang menerima perlakuan tak adil yang berdasar prasangka
stigmatik itu, tampaknya sepanjang hayat pula dia mesti terus melawan
siapa pun yang memperlakukannya berdasar prasangka bahwa karena pernah
ditahan setelah pertikaian politik 1965, dia pasti bersalah. Dan orang
bersalah tak berhak berbuat apa pun, meski mungkin perbuatan itu berguna
bagi orang lain.
“Dulu, di Bekasi, sebelum pulang ke Blora, saya diarak dan
disoraki, ‘PKI! PKI!’ . Ya, seperti di sinetron-sinetron itu. Saat itu
ada yang mengatakan, ‘Kamu PKI!” Saya bilang, saya bukan PKI. Tak
percaya? Lalu saya lepas celana panjang saya untuk menunjukkan pada
mereka. ‘Lihat, lihat! Saya tidak pake kolor item!’ Bukankah mereka punya pengertian PKI itu pake kolor item. Saat itu kolor saya merah,” katanya sambil tertawa masam.
Itu terjadi gara-gara dia tak bisa menerima begitu saja
warung kelontongnya digusur. Penggusuran terjadi berkali ulang.
Mula-mula warungnya, kemudian rumah tempat tinggalnya. Dia memang kalah,
tetapi tak pernah menyerah.
Tahun 2004, dia memboyong anak dan istrinya, Benee Santoso
(kini 22 tahun dan telah bekerja di Jakarta) dan Suratiyem (46), pulang
ke Blora dan menempati rumah keluarga besar, warisan dari sang bapak,
Mastoer. Di kota kelahirannya tak berarti dia terbebas dari perlakuan
diskriminatif dan penilaian miring. Namun dia tak peduli. Dia bertekad
menjadikan rumah warisan keluarga itu menjadi ruang publik bagi
pengembangan seni, budaya, dan intelektualitas. Dan, itu seperti peran
rumah itu dulu, tahun 1930-1950, ketika menjadi titik simpul pergerakan
melawan pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang.
Menulis dan Terus Menulis
Kini, di dan dari rumah di pojokan kota itulah dia –
dibantu banyak eksponen muda – melancarkan gerakan: mencerdaskan
masyarakat lewat membaca dan menulis. Ya, di rumah itulah dia acap
menyelenggarakan acara diskusi dan bedah buku. Dia menggelar pula,
antara lain, Festival Kali Lusi (2008), Seribu Wajah Pram dalam Kata dan
Sketsa (2009), Panggil Aku Kartini Saja (peringatan empat tahun
meninggalnya Pramoedya Ananta Toer, 2010). Berbagai acara itu melibatkan
banyak komunitas seni dari berbagai kota. Acara Seribu wajah Pram,
misalnya, didukung oleh 53 komunitas dari berbagai penjuru negeri dan
melibatkan banyak seniman, antara lain mendiang dalang Tristuti
Rachmadi, Djoko Pekik, dan Romo Sindhunata.
Setahun lalu, dia menyelenggarakan lomba menulis bagi
pelajar setingkat SMP dan SMA se-Kabupaten Blora. Peserta membeludak.
Bukan cuma dari kota kecil itu. Tak sedikit pula pelajar dari Kendal,
Jember, Denpasar – untuk menyebut beberapa kota – mengikuti lomba.
Lalu
dia, bersama Hermawan Widodo, menyunting naskah para peserta dan
menerbitkannya menjadi buku. Buku pertama dari rencana tujuh buku dia
beri judul Kumpulan Tulisan Terpilih Karya Anak Semua Bangsa (Pataba Press, Blora: 2011), berisi puisi dan cerpen hasil pilihan lomba menulis tahun 2011.
“Untuk menjadi bangsa yang maju, kita harus membangun
kebiasaan membaca dan menulis. Dan, perpustakaan ini dengan segala
kegiatan pendukungnya menjadi salah komponen pencerdasan bangsa itu,”
tutur dia.
Apakah gerakan itu bakal tergusur pula? Tergusur oleh
kepongahan kekuasaan? Sebagaimana dia sendiri terus-menerus tergusur
dalam laku hidup semenjak muda?
Dia tak peduli. Sampai hari ini, dia tetap melangkah tanpa
henti: untuk mengajak kaum muda gemar membaca dan menulis. Karena
itulah, untuk memperingati hari kematian sang kakak sulung, Pramoedya
Ananta Toer, bulan April nanti, kini dia melalui Perpustakaan Pramoedya
Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) menyelenggarakan lagi lomba
tingkat nasional menulis prosa dan puisi bagi pelajar SMP dan SMA serta
yang sederajat. Dia menyediakan hadiah jutaan rupiah bagi para pemenang
serta bakal membukukan naskah pemenang.
“Pram dari Dalam”
Buku : Pram Dari Dalam |
“Saya merasa berkejaran dengan waktu. Kini saya sudah 76
tahun. Mungkin tak banyak lagi waktu bagi saya. Namun saya tak akan
berhenti menulis. Masih akan ada buku yang saya tulis, termasuk lanjut Pram dari Dalam,” ujar Soesilo Toer.
Ya, itulah nama lelaki tua yang masih pengkuh itu.
Soesilo, kelahiran Blora tahun 1937, adalah lulusan Universitas Patric
Lumumba (S2) dan Institut Plekhanov (S3) – keduanya di Uni Soviet
(sekarang Rusia). Menjadi penulis, dosen, bahkan rektor pernah dia
alami. Kini dia, yang juga pernah berjualan apa saja, terlebih setelah
keluar dari tahanan Orde Baru – tanpa pembuktian kesalahan, berkait
dengan peristiwa politik 1965, bangga menyebut diri berprofesi sebagai
pemulung. Mungkin dialah satu-satunya orang bergelar doktor yang menjadi
pemulung. “Saya memulung apa saja. Saya memulung kata-kata menjadi
tulisan. Saya memulung mur, baut, gunting, pisau, palu, arit, atau apa
saja yang saya temukan di jalan. Saya ingin, nanti, para peringatan
tujuh tahun meninggalnya Pram, memaerkan semua hasil perburuan saya,”
ujar dia, tanpa bermaksud bercanda.
“Namun saya belum menjadi pemulung profesional. Kalau Anda
ingin membantu saya menjadi pemulung profesional, buanglah kalung atau
cincin emas Anda dan biarlah saya menemukannya. Menemukan emas sebagai
hasil memulung, itulah pertanda sebagai pemulung profesional. Pemulung
adalah manusia yang mampu menciptakan nilai tambah absolut dari
ketiadaan modal sama sekali,” kata dia, saat syukuran peringatan hari
lahir Pramoedya (6 Februari 1924) di Blora, Minggu, 10 Februari lalu.
Peringatan hari lahir Pram sekaligus syukuran penerbitan buku Pram dari Dalam
itu dihelat di rumah tua warisan Mastoer, sang bapak. Acara bertajuk
“Mengenang Pram dari Dalam” itu dihadiri para pembaca dan penggemar
karya Pram dari berbagai kota. Ya, berdatangan dari Cepu, Randublatung,
Kradenan, Ngawen – semua kota-kota kecamatan di Kabupaten Blora, serta
dari Rembang, Pati, Kudus, Semarang, Yogya, dan lain-lain. Di antara
kebanyakan kaum muda itu terselip pula beberapa lelaki dan perempuan
sepuh. Mereka adalah eks tahanan di Pulau Buru, yang dekat dengan
Pramoedya saat berada di pulau pengasingan tersebut.
Pada malam itu, mengemuka kesaksian mereka mengenai
perjumpaan dengan Pram atau dengan karya sang novelis. Bambang Soekotjo
dari Pati, misalnya, menceritakan kedekatan yang terjalin dengan Pram
sewaktu di Pulau Buru. Budi Maryono, penulis cum penerbit,
berkisah tentang perjumpaan sembunyi-sembunyi dengan karya-karya Pram
pada masa Orde Baru berjaya serta perjumpaan dengan Pram secara fisik
yang amat membekas dalam kenangan.
Berkisah pula Muhammad Burhanudin, dosen Fakultas Bahasa
dan seni Universitas Negeri Semarang (Unnes), yang datang bersepeda
motor sendirian menembus hujan lebat dari Yogyakarta ke Blora
semata-mata untuk menghadiri perhelatan sederhana itu. Ada pula
suami-istri muda, yang sedang merintis sebuah perpustakaan publik di
Semarang, Afida Mashitoh dan Asep Mufti. Mereka menyatakan amat
terinspirasi oleh karya-karya Pram. Dan, lewat pembacaan atas
karya-karya Pram pula mereka bisa memahami sejarah bangsa ini secara
utuh. Sejarah yang hadir tidak secara sepotong-potong, sejarah yang
hadir dengan “tulang dan daging dan darah”.
Malam makin larut. Dan ketika acara ditutup. Rumah tua itu
tak segera tutup pintu pula. Belasan anak muda dari berbagai kota masih
mengobrol dengan tuan rumah, Soesilo Toer. Sebagian menggeletakkan tubuh
di atas tikar di ruang tengah, tempat semula mereka berdiskusi:
tertidur, kelelahan.
Rumah yang selama bertahun-tahun dianggap angker, malam itu
riuh oleh percakapan: tentang dunia tulis-menulis, tentang perlawanan
terhadap ketidakadilan, tentang harapan hari esok lebih baik di negeri
ini. Dan, Soesilo Toer menjadi bagian tak terpisahkan dari geriap anak
muda untuk terus menjalani hidup sebagaimana semestinya manusia: tidak
memakan sesama.
* Gunawan Budi Susanto, penulis kumpulan cerpen Nyanyian Penggali Kubur dan cerita bersambung Ketika Dendam Terbuncang.
* Gunawan Budi Susanto, penulis kumpulan cerpen Nyanyian Penggali Kubur dan cerita bersambung Ketika Dendam Terbuncang.
** Tulisan ini dimuat di SUARA edisi cetak 22 Februari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar