Oleh : Asep Mufti[2]
“Dengan berat hati kutulis surat
ini untuk kalian.
Belum
sepatutnya pada kalian diajukan suatu berita
Kata-kata Pramoedya Ananta Toer atau Pram di atas, seakan-akan seperti kata
pembuka sebuah surat yang ditulis Pram untuk mengabarkan sebuah berita kepada
para remaja saat ini. Berita tentang para remaja perempuan yang dipaksa menjadi
budak yang melayani hasrat seksual militer maupun
sipil Jepang pada masa Perang
Dunia II.
Para perempuan
malang itu tidak hanya berasal dari Indonesia, tetapi
juga berasal dari Cina, Korea, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina,
Vietnam, Myanmar, Belanda dan negara-negera lain yang berada dalam pendudukan
Jepang. Mereka, para korban, yang dikemudian hari dikenal
dengan sebutan Jugun Ianfu, sebuah
istilah dari bahasa Jepang
dimana ju = ikut, gun = militer, ian = penghibur, sedang fu
= perempuan, yang arti keseluruhannya adalah
perempuan penghibur yang ikut militer[4]. Sebuah istilah yang oleh
Jan Ruff O’ Herne, Perempuan korban asal Belanda, ditolak keras, karena
menurutnya istilah tersebut sangat melecehkan. Dirinya sama sekali tidak
bertindak untuk menghibur para prajurit Jepang, melainkan dipaksa menjadi budak
seks untuk militer Jepang[5].
Bagi mereka yang baru-baru ini menyaksikan film Soekarno
karya Hanung Bramantyo, tentu melihat adegan dimana perempuan-perempuan
diangkut dengan mobil, yang kemudian di tempatkan pada sebuah ruangan di mana
para prajurit Jepang berantrian untuk melakukan hubungan seksual dengan
perempuan-perempuan tersebut. Dalam film tersebut digambarkan bahwa
perempuan-perempuan tersebut adalah Pelacur. Adegan itu memang berupaya
mengangkat peristiwa tentang perempuan-perempuan yang melayani hasrat seksual
prajurit Jepang, namun tidak mengungkap betapa banyaknya perempuan baik-baik
yang menderita karena dipaksa.
Berdasarkan pengaduan kasus yang diterima LBH Yogyakarta
pada periode 26 April – 14 September 1996, tercatat sebanyak 1156 orang korban
perbudakan seksual.[6]
Sementara Forum Ex Heiho Indonesia mencatat sejumlah 22.454 perempuan korban
perbudakan seksual militer dan sipil Jepang. Angka tersebut berasal dari
pengaduan yang datang dari seluruh wilayah Indonesia sejak 15 Agustus 1995
sampai dengan Maret 1996[7].
Sesungguhnya ada banyak lagi korban yang tidak melaporkan kasusnya, baik karena
malu dan masih menganggap aib perbudakan seksual yang menimpanya atau juga
banyak korban yang sudah tutup usia.
Menurut Koichi Kimura terdapat 3 cara perekrutan yang dilakukan
pemerintah militer Jepang terhadap perempuan yang akan dijadikan Jugun Ianfu,
antara lain :
1.
Pemaksaan melalui kekerasan
fisik;
2.
Pemaksaan dengan jalan
menyebarkan perasaan takut dan ancaman disertai teror yang merupakan kekerasan
psikologi;
3.
Pemaksaan dengan cara tipu
daya dengan iming-iming akan diberikan pekerjaan dan janji untuk disekolahkan.[8]
Cara perekrutan ketiga, yaitu dengan iming-iming janji, sudah
mulai terdengar oleh Pram pada tahun 1943 saat ia berumur 18 tahun ketika
bekerja sebagai juruketik di Kantor Berita Domei, Jakarta.
“Seluruh lapisan masyarakat hidup dalam kekurangan,
kelaparan dan kemiskinan.....dalam keadaan serba sulit dan sempit demikian,
terdengarlah suara sayup dari kekuasaan tertinggi di Jawa pada waktu itu Pemerintah
Balaitentara Pendudukan Dai Nippon: Janji memberi kesempatan belajar pada para
pemuda dan pemudi Indonesia ke Tokyo dan Shonanto (Singapura). Aku katakan
“sayup” karena tidak terdengar dengan jelas.[9]”
Pram menyampaikan keterangan Soeryono Hadi, bekas anggota
pimpinan LKBN Antara perwakilan Surabaya yang mengatakan :
“..dalam tahun 1943 kakak saya mengatakan bahwa
Pemerintah Pendudukan Dai Nippon menyerukan kepada setiap orang tua yang
mempunyai anak gadis agar segera mendaftarkan kepada pemerintah akan anak
gadisnya tersebut. Ada pun maksud pendaftaran, menurut keterengan Pemerintah
Dai Nippon pada waktu itu, mereka akan disekolahkan![10]”
Kabar tersebut disampaikan tidak secara resmi oleh
militer Jepang. Sendenbu (Barisan
Propaganda Jepang) meneruskan janji kepada Pangeh Praja. Bupati meneruskan kepada
jajaran di bawahnya sampai ke perangkat penduduk terbawah. Semua disampaikan
dari mulut ke mulut.
Para Pangreh Praja yang telah membantu meneruskan janji
tersebut, menyerahkan anaknya sendiri sebagai contoh dan demi keselamatan
jabatan dan pangkat. Mereka tidak boleh hanya berpropaganda, juga harus menjadi
suri teladan. Hal inilah yang menjelaskan mengapa banyak perempuan korban
berasal dari kalangan priyayi.
Menurut Pram, Janji menyekolahkan ke Tokyo dan Shonanto
oleh Pemerintah Pendudukan Balatentara Dai Nippon, yang tidak pernah diumumkan
secara resmi, terutama tidak pernah tercantum dalam Osamu Serei (Lembaran Negara) adalah suatu kesengajaan untuk menghilangkan
jejak perbuatan agar orang tak mudah menjejak kejahatannya.[11]
Apa yang dikabarkan oleh Pram tersebut, sama seperti yang
disampaikan oleh Koichi Kimura, bahwa di Indonesia para perempuan dikumpulkan
melalui perantara calo. Biasanya para calo berasal dari kelompok sipil. Militer
Jepang menggunakan sistem Tonarigumi (Rukun
Tetangga/Rukun Warga) sebagai media perekrutan perempuan-perempuan muda dari
desa-desa.[12]
Kehidupan
yang mengguncangkan
Perempuan-perempuan malang itu, setelah diambil dari keluarganya,
kemudian diangkut menggunakan kapal laut.
Pram menyampaikan keterangan Sukarno Martodihardjo yang
pernah menjadi jurumudi kapal :
“Kapal kami disiapkan di Kade 1 Tanjung Priok. Ini
terjadi pada bulan tiga tahun 1945. Sebelum kami berangkat pada tengah malam,
datang beberapa truk menurunkan para gadis remaja...ada dari gadis yang turun
dari truk-truk itu naik ke kapal kami... yang lain masuk ke kapal lain.[13]”
Sukarno menaksir umur mereka antara 15-19 tahun. Waktu
telah naik mereka nampak gembira. Ada yang menyanyikan lagu-lagu Jepang,
lagu-lagu sekolahan atau mars militer yang bersemangat. Dan di kapal terdengar
mereka tertawa-tawa. Sukarno berkenalan dengan salahsatu dari mereka, Sumiyati,
putri Asisten Wedana Kecamatan Pesantren, Kediri.
Sumiyati yang bertemu kembali dengan Sukarno pada tahun
1947 di Bangkok, bercerita bahwa setelah turun dari kapal, Sumiyati dan
rombongan dibawa Jepang ke sebuah tempat yang dipagari bambu anyaman tinggi
agar tidak kelihatan dari luar. Beberapa hari mereka dilayani seperti gadis-gadis
asrama biasa, diberi petunjuk kesehatan sedikit. Seminggu kemudian diketahuinya
mereka harus melayani kebutuhan seks para serdadu Jepang yang sedang
beristirahat di garis belakang. Sukarno menceritakan kisah Sumiyati kepada Pram
:
“Airmata Sumiyati mulai bercucuran waktu kisah hidupnya
sampai pada suatu bagian kala asramanya, dengan 50 gadis dari Jawa, didatangi
oleh sejumlah besar serdadu Jepang dan menggilir mereka gelombang demi
gelombang. Setiap gadis mendapat satu bilik. Serdadu Nippon yang berhajad seks
datang ke kamar yang ditentukan pada karcis berisikan nomor bilik. Mereka yang
belum dapat giliran harus menunggu sampai yang di dalam keluar.[14]”
Begitulah kebiadaban militer Jepang. Sementara tempat atau
asrama seperti yang ceritakan oleh Sumiyati adalah salahsatu Ian-jo, yaitu tempat yang memang disediakan
oleh militer Jepang di setiap daerah (Negara) dudukan untuk melayani aktivitas
seksual para prajurtinya.
Kisah lain diceritakan oleh Makhudum Sati, yang pernah
bertemu dengan 17 perempuan korban asal Semarang di Pulau Wednesday saat perjalanannya
dari Australia ke Irian sebagai tahanan. Salah seorang di antara mereka
(perempuan korban) menceritakan kepada Makhudum bahwa lepas 1,5 mil dari
pelabuhan, para perwira Jepang serentak melakukan serbuan terhadap para perawan
itu, memperkosa dan menghancurkan idealisme menjadi pemimpin di kemudian hari.
Mereka berlarian di geladak kapal, mencoba menyelamatkan tubuh dan kehormatan
masing-masing. Tak seoarang pun dapat lepas dari terkaman.[15]
Buku yang menceritakan kisah Ibu Mardiyem |
Dengan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II,
perempuan-perempuan malang yang dijadikannya budak seks itu dilepas begitu
saja. Sehingga menimbulkan penderitaan baru bagi perempuan-perempuan malang
yang masih bertahan hidup. Mereka tidak mendapat perlindungan dari Pemerintah
Indonesia, tidak mendapat perhatian dari keluarganya, terdampar menjadi buangan
yang dilupakan atau ada juga yang berhasil kembali kepada keluarga dengan
merahasiakan kisah kelam itu sampai akhir hayat.
Kisah ini tenggelam bersama derita para korban...
Sampai akhirnya peristiwa itu mulai muncul kembali ke
permukaan pada tahun 1993, ketika 5 orang yang tergabung dalam Neichibenren (Asosiasi Pengacara Jepang) datang ke Indonesia menemui
Menteri Sosial Inten Suwono dan menyatakan akan membantu Jugun Ianfu Indonesia untuk menuntut kompensasi kepada Pemerintah
Jepang. Inten Suwono menanggapi dan mengatakan bahwa Jugun Ianfu Indonesia harus dicari.
Advokasi pun dimulai, beberapa lembaga membuka posko
pengaduan bagi perempuan korban. Satu-persatu, mereka yang selama ini diam
memendam kisah kelam, mulai bermunculan. Saya sendiri pernah bertemu
salah-satunya ketika di Yogyakarta, Ibu Mardiyem (Almarhum), yang oleh Jepang
diberikan nama panggilan Momoye.
Ibu Mardiyem berkata :
“Tuntutan aku dan teman-teman kepada Jepang adalah :
Pemerintah Jepang harus mengaku bersalah dan meminta maaf secara langsung
kepada korban. Memasukkan Kami, korban Jepang, ke dalam pelajaran
sekolah-sekolah di Jepang dan membayar uang..[17]”
Sampai dengan akhir hayatnya, Pemerintah Jepang belum
memenuhi semua tuntutan itu kepada Ibu Mardiyem.
Untuk menutup tulisan ini, Saya kutip kata-kata Pram :
“Nah,
kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian,
bukan
saja agar kalian tahu tentang nasib buruk
yang bisa menimpa para gadis seumur kalian,
juga
agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian
yang mengalami kemalangan itu.[18]”
-Semarang, 4 Januari 2014-
[1] Tulisan ini digunakan sebagai bahan diskusi di ruang "Pojok Pram", Kamis 6 Februari 2014, di Kantor Satjipto Rahardjo Institute,
yang digagas kawan Rian Adhivira Prabowo dkk.
[3] Lihat Pramoedya Ananta Toer, Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, Kepustakaan Populer
Gramedia, Tahun 2011, Hal.3
[4] Lihat Eka
Hindra-Koichi Kimura, Momoye Mereka Memanggilku, Biografi Sejarah Jugun
Ianfu Indonesia, Esensi, Tahun 2007, Hal. 228
[6] Lihat Jaringan
Advokasi Jugun Ianfu Indonesia, Menggugat
Negera Indonesia Atas Pengabaian Hak-Hak Asasi Manusia (Pembiaran) Jugun Ianfu
Sebagai Budak Seks Militer dan Sipil Jepang Tahun 1942-1945, Komnas HAM,
Tahun 2010, Hal.2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar