Iqra Anugrah,
mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS
MARI memulai obituari ini dengan sebuah cerita yang mungkin
terdengar tidak begitu nyambung. Suatu saat, John Sidel, salah
satu pengkaji politik Asia Tenggara terkemuka, bercerita dalam kuliahnya,
‘Dalam
pemilihan walikota London kemarin saya begitu terkejut mendengar bahwa semua
kandidat, dari berbagai partai politik yang berbeda aliran, mengidolakan Nelson
Mandela, seakan-akan Mandela hanyalah seorang kakek tua yang bijak dan murah
senyum. Mereka semua lupa bahwa Mandela adalah seorang komunis.’
Sidel benar. Semenjak Nelson Mandela menang pemilu
demokratis pertama di Afrika Selatan dan menjadi presiden di tahun 1994 hingga
kepulangannya baru-baru ini, citranya lebih mirip sebagai seorang negosiator
daripada pejuang, yang siap berkompromi daripada melawan. Dengan kata lain,
citra Mandela menjadi lebih ‘liberal’ dan ‘jinak.’ Citra inilah yang melekat di
banyak bayangan orang, terutama di Barat, mengenai Mandela. Namun Madiba,
panggilan kehormatan dari sukunya, suku Xhosa, menolak pencitraan itu. Bahkan,
berkali-kali ia menegaskan dirinya sebagai bagian dari politik
progresif-revolusioner dan gerakan pembebasan nasional di berbagai belahan
Dunia Ketiga.
Di tengah-tengah suasana berkabung atas berpulangnya
Mandela, penghormatan yang paling pantas atas kepergiannya adalah mengupas sisi
revolusioner dari seorang pejuang anti-apartheid paling terkemuka di Afrika
Selatan.
Lahirnya seorang revolusioner
Mandela, lahir 18 Juli 1918, adalah seorang keturunan
bangsawan Xhosa. Ia bagian dari segelintir kalangan kulit hitam Afrika Selatan
yang dapat mengenyam pendidikan di sebuah masyarakat yang tersegregasi secara
rasial. Awalnya, ia tidak serta merta ‘tergerak’ untuk meruntuhkan sistem
proto-apartheid tersebut. Generasi pribumi Afrika terdidik di masanya, yang
dikenal dengan sebutan ‘orang-orang Inggris berkulit hitam’ (black
Englishmen), lebih tertarik untuk mempromosikan status quo yang
lebih ‘inklusif.’ Bahkan, Kongres Nasional Afrika (African National
Congress, ANC), partai nasionalis yang nantinya akan dipimpin Mandela,
berangkat dengan pedoman ‘reformis’ tersebut.
Tentu sudah ada bibit-bibit ‘pemberontak’ dalam diri Mandela
muda. Sebagai contoh, alih-alih menyetujui perjodohan yang diusulkan oleh
kepala suku sekaligus ayah angkatnya, ia dan saudara angkatnya memilih kabur
ke Johannesburg. Tetapi, selain dari aksi minggat tersebut, Mandela lebih
mirip dengan kebanyakan anak muda pribumi terdidik di generasinya.
Sebagaimanaia ungkapkan dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom (1994),
ketika ia bercerita mengenai masa mudanya:
‘Aku percaya gelar sarjana bukan hanya paspor untuk kepemimpinan di masyarakat namun juga kesuksesan finansial…Sebagai seorang sarjana, akhirnya aku bisa membantu ibuku meringankan beban keuangannya setelah ayahku meninggal. Aku akan membangun sebuah rumah yang pantas di Qunu, dengan sebuah taman dan berbagai perabotan rumah modern.’ (hlm. 43).
Sesederhana itu cita-cita awal Mandela: menjadi sarjana agar
bisa membantu ibu dan membuat rumah untuknya. Hati siapa yang
tidak terenyuh membaca cerita seperti ini?
Tapi kita tahu, gelombang sejarah menarik Mandela ke arah
kehidupan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Di Johannesburg, sebuah
kota yang kosmopolitan, Mandela menyelesaikan studi sarjananya, menjadi
kolumnis, menjalani gaya hidup dengan nilai-nilai Victorian dan Edwardian
Inggris, dan bekerja sebagai seorang pengacara muda. Awalnya, dia lebih
mengidentifikasi diri sebagai seorang nasionalis ketimbang seorang Kiri.
Bahkan, awalnya ia menentang hal-hal yang berbau Kiri – Marxisme, Sosialisme
dan Komunisme – yang dianggapnya sebagai ‘ideologi asing’ yang kurang cocok
dengan tanah Afrika. Namun, ia selalu kagum dengan dedikasi para kader gerakan
Kiri di Afrika Selatan dengan perjuangan anti-kapitalisme dan anti-apartheid.
Sebagai seorang kulit hitam, Madiba menyadari bahwa ‘Menjadi
seorang Afrika pribumi di Afrika Selatan berarti menjadi politis sedari lahir,
terlepas dari kita menyadarinya atau tidak.’ (hlm. 83). Terpengaruh mentor
politiknya, Walter Sisulu, Mandela kemudian bergabung dengan ANC, dan dengan
segera menjadi salah satu pengurus utamanya. Awalnya, ia enggan menyambut orang-orang
keturunan Asia Selatan dan kulit berwarna lainnya dalam ANC dan gerakan
anti-apartheid, karena ia takut mereka akan mengungguli para pribumi kulit
hitam. Namun Mandela di kemudian hari sadar akan pentingnya sebuah koalisi
‘front bersama’ yang bersifat multirasial dalam melawan apartheid, terutama
dalam aksi-aksi massa yang terbuka. Di saat yang bersamaan, ia juga sadar bahwa
perjuangan pembebasan orang-orang Afrika di tanah airnya berkaitan erat dengan perjuangan
kelas yang lebih universal. Cerita selanjutnya kita tahu: Mandela dan
ANC-nya bersama-sama dengan Kongres Serikat Buruh Afrika Selatan (Congress
of South African Trade Unions, COSATU) dan Partai Komunis Afrika Selatan (South
African Communist Party, SACP) memantapkan diri sebagai kekuatan politik
Kiri terdepan di Afrika Selatan. Mandela sendiri adalah anggota ANC sekaligus
SACP.
Dalam pengakuannya, segera setelah Mandela sadar akan
pentingnya perjuangan kelas multirasial, ia segera
‘…membaca karya-karya Marx dan Engels, Lenin, Mao Tse-Tung, dan lain-lain dan mendalami filsafat materialisme dialektis dan historis…Aku segera tertarik dengan ide masyarakat tanpa kelas, yang dalam pandanganku, mirip dengan kebudayaan tradisional Afrika yang menekankan kehidupan bersama yang komunal. Aku mengamini prinsip dasar Marx…”Dari masing-masing sesuai kemampuannya; untuk masing-masing sesuai kebutuhannya.’’’ (hlm. 105).
Fase perjuangan
Awalnya, ANC dan rekan-rekan koalisinya berjuang dalam
kerangka gerakan non-kekerasan. Wajar saja, Mahatma Gandhi, pejuang
anti-kolonialisme dari India sekaligus salah satu pelopor gerakan non-kekerasan
terkemuka, pernah tinggal lama di Afrika Selatan. Tetapi, semakin lama rejim
apartheid makin represif dan menindas. Tatkala keadaan mulai berubah, maka
taktik dan strategi perjuangan juga harus berubah. Apa yang cocok di tanah
India belum tentu cocok di tanah Afrika Selatan. Mandela sadar betul akan hal
itu. Ia menyadari bahwa,
‘…jika protes damai dibalas dengan kekerasan, maka kegunannya telah berakhir. Bagiku, non-kekerasan bukanlah prinsip moral melainkan sebuah strategi; tidak ada kebaikan moral dalam memakai senjata yang tidak efektif. ‘ (hlm. 137).
Mandela amat mengagumi Gandhi dan keteguhan moralnya. Namun
dia tahu, senjata yang tumpul tidak berguna untuk melawan musuh yang menyerang
dengan membabi-buta. Di tahun 1961, terinspirasi oleh Fidel Castro dan Revolusi
Kuba, Mandela membentuk Umkhonto we Sizwe (MK), sayap bersenjata ANC
yang kira-kira berarti ‘Tombak Bangsa.’ Bagi banyak kalangan di Barat, MK
adalah justifikasi untuk melabeli Mandela dan perjuangan anti-apartheid di
Afrika Selatan sebagai ‘komunis’ dan ‘ekstremis’ – sebuah label yang mematikan
dalam konteks Perang Dingin. ‘Nah, gua bilang juga apa, tuh Mandela dan
pasukannya cuman teroris komunis yang menyerang para sekutu kita, kapitalis
kulit putih di Afrika Selatan!’ Kira-kira begitulah tanggapan para
penguasa di Barat yang terus menjalin kerja sama dengan rejim apartheid,
seperti perdana menteri Margaret Thatcher yang dengan keblingernya mengecap
Mandela sebagai ‘teroris’ dan memuji diktator militer Augusto Pinochet karena
membangun ‘demokrasi’ di Chile.
Berlawanan dengan fitnah Barat, serangan-serangan MK adalah
strategi yang terukur dengan tujuan yang jelas. Mandela, meskipun tidak
memiliki latar belakang militer, mempelajari berbagai sejarah perjuangan dan
taktik gerilya dari berbagai gerakan pembebasan nasional di banyak penjuru
dunia secara seksama, sebagaimana diakuinya:
‘Aku membaca laporan Blas Roca, sekretaris jenderal Partai Komunis Kuba, mengenai masa-masa mereka sebagai organisasi illegal di bawah rejim Batista…Aku membaca taktik-taktik gerilya yang tak lazim a la para jenderal Boer di masa Perang Inggris-Boer. Aku membaca karya-karya oleh dan tentang Che Guevara, Mao Tse-tung, Fidel Castro.’ (hlm, 237).
Saya jadi teringat kata-kata Frantz Fanon dan Jean-Paul
Sartre dalam bukunya Fanon yang terkenal itu, The Wretched of the Earth. Bagi
Fanon dan Sartre, aksi kekerasan yang dilakukan mereka yang terjajah terhadap
sang penjajah adalah sebuah aksi pembebasan; matinya sang penjajah adalah
kelahiran bagi manusia merdeka yang dulunya terjajah.
Mandela sepertinya memang
tidak pernah membaca Fanon secara langsung. Namun menurut Elleke Boehmer
(2008), strategi Mandela adalah ‘jalan tengah’ antara militansi non-kekerasan
Gandhi dan kekerasan revolusioner Fanon. Dinamika India dan Algeria tentu
berbeda dengan Afrika Selatan. Mandela bekerja dengan menyerap inspirasi dari
banyak tempat dan menyesuaikannya dengan kondisi Afrika Selatan.
Tahun 1962, Mandela ditangkap oleh rejim apartheid, untuk
dijebloskan ke dalam penjara selama kurang lebih 27 tahun, dan baru dibebaskan
sekitar tahun 1990. Baik Mandela maupun ANC dan rekan-rekan koalisinya tidak
tinggal diam. Di Penjara, Mandela memupuk harapan dengan berbagai cara, mulai
dari mengikuti perkembangan perjuangan koalisi ANC, menyelenggarakan program
pendidikan bagi para tahanan politik melalui kuliah bersama dan pementasan
drama, merintis proses rekonsiliasi dengan mendekatkan diri dengan para sipir
kulit putih, hingga bercocok tanam. Di luar sana, ANC dan koalisinya terus
bergerak, melalui gabungan antara aksi-aksi massa, lobi-lobi internasional,
serangan bersenjata terhadap rejim apartheid oleh MK dan pembentukan Front
Persatuan Demokratik (United Democratic Front, UDF). Perlahan-lahan,
hasilnya mulai terlihat. Mandela dibebaskan, ANC berjaya dan di pemilu presiden
multirasial dan demokratis yang pertama di tahun 1994, ANC memperoleh suara
terbanyak dan Mandela menjadi presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan
hingga 1999.
Ketika berkuasa
Mandela kemudian berkuasa, di tengah-tengah sebuah
masyarakat dengan ‘tradisi’ segregasi berpuluh-puluh tahun dan ketidakpercayaan
di antara berbagai kelompok, terutama antara para warga kulit putih dan kulit
hitam. Karenanya, rekonsiliasi dan persatuan nasional segera menjadi prioritas
utamanya.
Awalnya, tidak mudah bagi ANC dan dua rekan koalisinya,
COSATU dan SACP, untuk segera menjalankan agenda-agenda progresif
pasca-apartheid. Frederik de Klerk, presiden terakhir dari era apartheid yang
juga seorang kulit putih, ditariknya sebagai wakil presiden, sebagai simbol
persatuan nasional dan rekan pemerintahan yang berpengalaman bagi koalisi
ANC. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, sipil dan politik, termasuk
hak-hak kaum minoritas seksual, direstorasi. Kemudian, Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi didirikan untuk mengusut berbagai kejahatan rejim apartheid. Singkat
kata, rekonsiliasi nasional dan toleransi multirasial berhasil dibangun.
Tentu, Mandela bukan nabi dan Afrika Selatan bukan
surga. Para rekan dan pendukungnya mulai mengritik abainya Mandela terhadap
korupsi dan kapitalisme kroni yang dilakukan oleh para orang terdekatnya. Tak
hanya itu, agenda-agenda ekonomi redistribusionis yang dicanangkan oleh Mandela
tak kunjung dilaksanakan. Kawan-kawan Kiri-nya mulai kecewa dengan Mandela yang
seakan-akan ‘menerima’ ekspansi kapitalisme neoliberal di Afrika Selatan. Penggantinya,
Tabo Mbeki, terkenal sebagai presiden yang korup. Pertumbuhan ekonomi
meningkat, namun begitu juga tingkat kesenjangan ekonomi, dan hanya segelintir
elit Afrika Selatan yang dapat menikmati ‘pertumbuhan’ tersebut. Generasi muda
kulit hitam di Afrika Selatan mulai kecewa dengan ANC yang dianggap
‘mengkhiatanati’ kepentingan mayoritas rakyat Afrika Selatan.
Terlepas dari segala kekurangannya, Madiba telah berbuat
banyak. Selepas masa kepresidenannya, Madiba terus berjuang. Isu-isu kesehatan
publik, terutama kesejahteraan anak dan penanggulangan HIV/AIDS, menjadi
perhatian utamanya setelah masa jabatannya habis, hingga ia berpulang.
Penutup: Madiba dan warisannya
Kini, Madiba berpulang. Seluruh dunia berkabung. Barat dan
media arus-utama mencitrakannya sebagai seorang sesepuh bangsa dengan orientasi
humanitarian. Mereka lupa, atau sengaja melupakannya, bahwa Mandela
pertama-tama adalah seorang revolusioner, yang berpedoman pada aksi massa,
pemahaman teoretik dan solidaritas internasional.
Madiba tidak pernah lupa dengan Nat Bregman, seorang komunis
yang selalu berbagi makan siang dengannya. Juga dengan Fidel Castro dan Olof
Palme, yang membantunya dan rakyat Afrika Selatan sedari awal dalam perjuangan
melawan apartheid. Meskipun sulit, ia selalu membela rakyat pekerja dan
memperjuangkan keadilan ekonomi. Tak lupa, ia juga memperjuangkan solidaritas
antara bangsa-bangsa dunia ketiga yang semakin meredup akhir-akhir ini. Garis
politik anti-imperialismenya jelas, sebagaimana terlihat dalam kritiknya atas
invasi Amerika Serikat ke Iraq dan aksi-aksi jingoisme lainnya. Tentu,
keberhasilan perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan bukan karya Mandela
seorang. Ada gerakan massa yang sadar di sana. ‘Aku cuman bagian dari massa,’
ujar Mandela. Benar, Mandela selalu dekat dengan massa. Namun, kita tahu, tanpa
kepemimpinan dan jasa Mandela, tidak ada Afrika Selatan yang seperti sekarang.
Kaum liberal ‘demokrat,’ yang dukungannya terhadap gerakan
rakyat selalu suam-suam kuku dan ini kagak itu kagak, tentu enggan
mengupas sisi revolusioner seorang Mandela. Tetapi, dari refleksi kita atas
perjuangan Mandela dan rakyat Afrika Selatan, maka teranglah bahwa rejim
apartheid di Afrika Selatan tumbang bukan hanya karena keberhasilan
‘negosiasi,’ namun terutama karena gerakan massa yang konsisten dan
berkesinambungan.
Berpulangnya Mandela mengingatkan saya akan kalimat terkenal
dari Joe Hill, aktivis buruh militan dari Amerika Serikat, yang berkata,
‘jangan berkabung, berhimpunlah!’ Kepergian Mandela bukan untuk dijadikan
ratapan, namun justru menjadi momentum untuk meningkatkan militansi gerakan
rakyat. Ingatlah, penindasan dan kapitalisme sekedar berganti baju, dari epos
kolonialisme dan apartheid menuju epos neoliberalisme. Oleh karena itu,
militansi menjadi jauh lebih penting disaat sekarang.
Sebagaimana ada banyak jalan menuju Roma, ada juga banyak
jalan menuju pembebasan dan sosialisme. Mandela menunjukkan, inspirasi yang
mengilhami perlawanan bisa datang dari mana saja, dari Shakespeare maupun Marx,
dari Gandhi maupun Mao, dari Barat maupun Timur. Semuanya bermuara pada tujuan
yang sama. Madiba, dengan usahanya, telah menunjukkan jalannya bagi kita.
Adalah kewajiban kita, anak-anaknya, untuk melanjutkan jalannya, jalan
demokrasi popular, pembebasan rakyat dan solidaritas internasional.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar