(Tanggapan untuk Ariehta
Eleison dalam "Mengapa Mencibir Pada Kepastian Hukum")
Semalam aku menyelesaikan
membaca tulisan kawanku Ariehta Eleison, tulisan yang dibuat berdasarkan
penelitiannya terhadap 2 Putusan Kasasi Mahkamah Agung. Karya tulis yang
terdiri dari 10 lembar itu diberi judul “Mengapa Mencibir Pada Kepastian
Hukum?”. Arie sengaja membuat tulisan itu untuk didiskusikan dalam acara
Konsorsium Hukum Progresif yang baru-baru ini diadakan di Semarang. Namun
karena keterbatasan acara Konsorsium, tulisan tersebut tidak dapat
didiskusikan secara layak. Padahal munurutku, Arie membuat tulisan itu dengan
baik, dalam artian secara teknis mudah dibaca dan secara substansi kaya akan
referensi.
Jika kita terbiasa mendengar bahwa
Hukum Progresif yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo, berupaya mengkritik
keberadaan Hukum Liberal atau Hukum Modern yang berwujud pada persoalan kepastian
hukum, Arie justeru hadir dengan karyanya untuk berupaya membela kepastian
hukum, sebaliknya mengkritik Hukum progresif.
Seperti kukatakan di atas, Kajian
Arie beranjak dari 2 Putusan Kasasi Mahkamah Agung terhadap perkara korupsi di
2 tempat, yaitu di Maluku dan Kalimantan. Pada intinya, terdapat perbedaan pada
2 kasus tersebut, dimana dalam perkara yang terjadi di Maluku, terdakwa
dibebaskan oleh MA, sementara yang terjadi di Kalimantan, MA memvonis terdakwa
dengan 1 tahun penjara. Arie dalam tulisannya menyebut kedua kasus tersebut
dengan Kasus Perbuatan Melawan Hukum.
Masalahnya terletak pada Putusan MA
terhadap Kasus Korupsi yang terjadi di Kalimantan, dimana Majelis Kasasi
menggunakan penafsiran terhadap Perbuatan Melawan Hukum yang notabenenya diatur
dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 atau UU Tipikor.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) oleh Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006. Namum
Majelis Hakim MA tetap menggunakan penjelasan tersebut dengan alasan terjadi
ketidakjelasan rumusan Pasal 2 ayat (1) pasca Putusan MK, utnuk itu MA perlu
melakukan penemuan hukum. Terhadap kasus tersebut, Arie menyebut telah terjadi
ketidakpastian hukum. Terdapat pelanggaran prinsip yang disebut Marjane
Termorshuizen-Arts sebagai ciri khas Rule of Law, dimana aturan dan
proses hukum yang konsisten diaplikasikan kepada setiap orang, secara sama,
bahkan untuk elit pemerintah sekalipun. Arie juga mengutip Gustav Radbruch yang
mengatakan bahwa keadilan dapat terwujud melalui kepastian hukum.
Namun di tengah kegelisahan Arie
terhadap ketidakpastian hukum yang kemudian mendambakan kepastian hukum dalam
kasus korupsi tersebut, Satjipto Rahardjo beserta pengikutnya justeru muncul dengan
mengembangkan paham yang mempertanyakan Kepastian Hukum atau Rule Of Law.
Tentu saja terdapat pertentangan antara Arie dan paham dari Satjipto Rahardjo.
Dari tulisannya tersebut, aku
menduga Arie sedang menuduh Hukum Progresif sebagai anti kepastian hukum dan
mengindentikan gagasan hukum progresif dengan tindakan Majelis Hakim MA yang
membuat terobosan hukum (breaking of law) dalam kasus Korupsi di
Kalimantan. Dikatakan terobosan karena Hakim tetap menggunakan
argumentasi-argumentasi yang sebenarnya sama dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1)
UU Tipikor yang notabenenya sudah dianulir oleh MK.
PEMAHAMANKU TENTANG HUKUM
PROGRESIF
Memang benar bahwa hukum progresif
yang dikembangkan oleh Satjipto bertitik tolak dari kritik terhadap hukum
liberal atau hukum modern yang mendambakan kepastian hukum. Tapi ini bukan
berarti Hukum Progresif anti terhadap Kepastian Hukum atau anti terhadap Hukum
Liberal. Hukum Progresif hanya ingin terbebas dari dominasi suatu tipe hukum,
dalam konteks saat ini yaitu hukum liberal.
Satjipto mengatakan, “Hukum
progresif tidak a priori terhadap hukum liberal, karena ada hal-hal yang bisa
diambil dari hukum liberal, tapi banyak juga yang tidak kita inginkan.” (Hukum
Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Hal.43)
Memang benar, Hukum Progresif
mendorong adanya terobosan-terobosan hukum melalui sebuah penafsiran. Namun
demikian, menurutku bukan berarti putusan MA yang memberikan vonis pada Kasus
korupsi di Kalimantan dapat dikatakan sebagai tindakan progresif sebagaimana
dimaksud Hukum Progresif. Lalu, dalam hal apa tindakan hukum dapat dikatakan
sebagai tindakan progresif?
Satjipto selalu mengatakan bahwa
penegakan hukum tidak terlepas dari tujuan sosialnya yaitu kebahagiaan dan
kesejahteraan rakyat. Dalam prakteknya, agar penafisran progresif tidak menjadi
liar, ditegaskan prinsipnya, yaitu pro kepada rakyat. Sepanjang pencermatanku
terhadap tulisan-tulisan Satjipto, maka konteks yang dimaksud rakyat adalah
masyarakat miskin dan kaum-kaum marjinal. Dengan demikian jelas sekali
keberpihakan Satjipto dalam berhukum.
Pertanyaannya, apakah putusan
Mahkamah Agung terhadap kasus Korupsi di Kalimantan diletakkan pada tujuan
sosialnya atau berpihak kepada rakyat kecil?
Sampai disini aku justeru tidak
bisa menjawab pertanyaan itu dan berharap ada kawan-kawan yang ikut menanggapi
tulisan dari Arie yang menurutku sangat menarik.
--Disela-sela kerja rutin,
Semarang, 2 Desember 2013--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar