Reza Gunadha, Jurnalis, tinggal di Lampung
SEMBOYAN ‘Indonesia Belum Merdeka 100 Persen,’ pernah booming
ketika Tan Malaka memobilisasi Persatuan Perjuangan. Saat ini, semboyan
tersebut kembali terdengar lantang, baik sebagai retorika favorit para
aktivis ketika berorasi maupun dekorasi perdebatan intelektual.
Secara tersirat, semboyan tersebut mengartikulasikan bahwa Indonesia
sejak Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945), belum menjadi negara
yang mutlak berdaulat dalam dua bidang krusial: ekonomi dan politik.
Memakai pengandaian persentase, negara ini bisa dikatakan baru merdeka
50 persen, yakni dalam bidang politik pemerintahan. Namun, 50 persen
kadar kemerdekaan sisanya, yakni dalam sektor perekonomian, belum mampu
teraih.
Sekilas, slogan seperti itu tampak mampu menggambarkan kondisi
objektif Indonesia kontemporer. SBY-Boediono, DPR, MPR, dan segala
perangkat politik di tingkat nasional hingga daerah, kini tampil sebagai
simbol dari kedaulatan politik dalam negeri. Tapi di bidang ekonomi,
perusahaan asing yang bertumpu pada ekspor kapital tetap bercokol dan
mendominasi. Bahkan, rejim reaksioner ini, dengan kedaulatan politik
yang dimilikinya, terus memberikan peluang agar bidang tersebut tetap
berada di tangan kekuasaan investor asing.
Dalam khasanah akademis, jargon tersebut seakan menjadi kata lain
dari satu tesis tentang ‘transformasi besar’ yang terjadi di
negara-negara Dunia Ketiga pada era imperialisme modern. Yakni perubahan
dari negeri koloni menjadi semi-koloni atau setengah jajahan. Tapi,
terdapat perbedaan prinsipil antara karakter ‘kemerdekaan yang baru 50
persen (politik)’ dengan transformasi besar dari negeri koloni menjadi
semi-koloni. Lebih jauh, dalam tulisan ini, saya cenderung menilai
Indonesia sebagai negara semi-koloni.
Tidak Ada Kemerdekaan Politik
Secara teoritis, negeri semi-koloni adalah negeri yang resminya
merdeka secara politik, tetapi dalam kenyataannya terlibat dalam
jejaring ketergantungan di bidang keuangan dan diplomasi (Lenin, 1958:
119). ‘Resmi merdeka secara politik,’ tidak bisa dipadankan dengan
memiliki kedaulatan dalam bidang politik, melainkan hanya berarti negara
yang bersangkutan secara prosedural diakui sebagai sebuah negara.
Keberadaan negeri berkarakter setengah jajahan ini, merupakan imbas
dari politik kolonial yang dijalankan negara-negara imperialis, dalam
persaingannya guna membagi dan memonopoli dunia secara ekonomi dan
politik. Upaya suatu negara imperialis untuk memonopoli dunia tersebut,
tentu tidak bisa berjalan parsial, sehingga bisa memisahkan antara
monopoli di lapangan politik dan monopoli di lapangan ekonomi (Lenin,
1961:6).
Transformasi besar dari negeri koloni menjadi semi-koloni ini,
terlihat jelas pada era pascaperang Dunia Kedua. Yakni ketika Amerika
Serikat muncul sebagai negara imperialis dominan dan mampu mendesak
imperialis Inggris, Prancis, dan lainnya mundur ke belakang dalam hal
penguasaan negara-negara Dunia Ketiga. Dalam catatan Philip C. Jessup
(2006), diplomat AS di PBB periode 1948-1953, kelahiran suatu negara
bangsa pasca-PD II tidak lepas dari kepentingan negeri Paman Sam
terhadap daerah yang bersangkutan. Bahkan, AS bisa mengontrol kebijakan
PBB tentang diakui atau tidaknya kemerdekaan satu negara. Dengan
memberikan kemerdekaan de jure pada satu negeri, AS
melepaskan keterikatan negeri itu dari tuan kolonialnya yang lama dan
menyambungkannya dalam mata rantai monopolinya sendiri.
Praktis, masa kolonialisme di banyak negeri Dunia Ketiga tidak
terputus dari sebelum dan seusai PD II. Bedanya hanya berada di tataran
metode kolonialisasi, yakni dari kolonialisme langsung/terbuka dengan
kolonialisme tidak langsung/tertutup. Dalam bahasa Profesor Jose Maria
Sison (1970:39), kemerdekaan banyak negara bangsa pada era tersebut
hanya ‘kemerdekaan nominal,’ karena imperialis AS telah memastikan
melanjutkan kontrol kolonialis lama terhadap ekonomi, politik,
kebudayaan, militer, dan hubungan internasional banyak negara.
Menurut Sison, kunci keberhasilan kontrol imperialis AS terhadap
negeri semi-koloni adalah, adanya kerjasama dengan kekuatan komprador di
dalam negeri. Dalam konteks historis Indonesia, kekuatan komprador atau
kaki-tangan imperialis AS tersebut timbul pada era pemerintahan Mohamad
Hatta-Sutan Sjahrir. Hatta, misalnya, melalui Manifesto 1 Novembernya
(1945) sudah secara gamblang menyatakan: ‘kita akan memerlukan
pertolongan bangsa asing dalam pembangunan negeri kita, berupa kaum
teknik, pun juga kapital asing.’
Sejak menjadi Perdana Menteri, 29 Januari 1948, Hatta rutin
mengadakan pertemuan rahasia dengan Jenderal van Mook (Belanda) dan
wakil-wakil Amerika Serikat. Setidaknya, pertemuan tersebut berlangsung
intensif pada tahun 1948, yakni tanggal 12 dan 13 Maret, 10 April, dan
16 Juni. Selanjutnya, tanggal 21 Juli, Hatta bersama tiga orang Masyumi
dan Kepala Kepolisian Negara Sukanto, mengadakan pertemuan dengan dua
penasihat Presiden AS Truman, di Sarangan (timur Gunung Lawu). Hasilnya,
AS mendukung penuh Hatta-Sjahrir untuk memerintah di Indonesia, dan
menjamin ketersediaan bantuan modal setelah kolonial Belanda berhasil
didesak mundur. Agar kesepakatan itu berlajalan lancar, AS meminta Hatta
menjalankan politik ‘Red Drive Proposal’ untuk membasmi
kekuatan laskar rakyat anti-imperialis, sehingga menyebabkan provokasi
peristiwa Madiun pada tahun yang sama. Untuk menyukseskan provokasi
tersebut, departemen luar negeri AS bahkan memberikan dana sebesar USD
56 juta kepada Hatta via Biro Konsultasi AS di Bangkok (Supeno, 1982:78, 82).
Puncak politik kolaborasi Hatta-Sjahrir adalah mentransformasikan
Indonesia dari negeri koloni menjadi semi-koloni, yakni menjalankan
politik imperialis AS dengan ditandatanganinya kesepakatan Konferensi
Meja Bundar (KMB). Melalui KMB, selain menempatkan RI sebagai negara
persemakmuran Belanda, RI juga dinilai sebagai kelanjutan dari Hindia
Belanda sehingga harus membayar utang negara yang disebut pertama
tersebut. Seusai KMB, keterjajahan dalam lapangan politik maupun ekonomi
terus berlanjut. Dalam bidang politik, berbagai kebijakan legislasi
dalam bentuk perundang-undangan (UU) disahkan untuk melindungi
perusahaan-perusahaan modal asing. Misalnya, UU perburuhan atau lebih
dikenal sebagai UU Tedjakusuma yang reaksioner. Dalam bidang ekonomi,
investasi asing terus mengalir. White Engineering Corporation New York,
pada tahun 1952, menyampaikan bahwa modal Belanda di Indonesia masih
mencapai USD 1.470 miliar. Sementara AS berada di tempat kedua dengan
nilai USD 350 juta. (Ibid: 111). Determinasi imperialis AS terhadap
kehidupan ekonomi dan politik nasional ini, seperti yang kita tahu,
semakin dominan dan terlihat jelas pada era Orde Baru.
Konsekuensi Politik: SBY-Boediono Sebagai Rejim Boneka
Selanjutnya, pertanyaan yang harus diajukan adalah: apakah Indonesia
yang kini di bawah kekuasaan rejim SBY-Boediono masih berkarakter
semi-koloni? Ataukah determinasi imperialis AS hanya berada di sektor
perekonomian, sementara rejim berhasil mengonsolidasikan kedaulatan
politik pasca-Soeharto?
Dalam bidang politik, DPR RI, MPR, Kepresidenan, beserta perangkatnya
di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota tak ubahnya seperti volkstraad
dalam skema pemerintahan jaman kolonial Belanda, yakni tidak memiliki
kekuataan apapun untuk menentukan berbagai kebijakan. Mayoritas
rancangan undang-undang yang masuk dalam program legislasi nasional
(prolegnas) merupakan ‘pesanan’ dari pihak imperialis AS. Bahkan, kaum
imperialis AS mengintervensi sekaligus membiayai proyek amandemen UUD
1945, sebagai langkah untuk menjustifikasi penguasaan seluruh kekayaan
alam Indonesia.
The Global Review, pada 8 Desember 2011, memuat berita
tentang keseluruhan proyek amandemen UUD 1945 yang dibiayai oleh NDI dan
UNDP. Amandemen I UUD sebesar USD 95 juta; amandemen ke-II USD 45 juta;
amandemen ke-III USD 35 juta, dan amandemen ke-IV senilai USD 25 juta.
Sejak Orde Baru berkuasa hingga rejim SBY-Boediono, kaum imperialis
mendominasi kebijakan politik legislasi dengan hasil fantastis, yakni
mampu mengesahkan 115 UU yang berkaitan dengan penguasaan ekonomi dan
sumber daya alam. Khusus dalam dua kali masa kepemimpinan SBY,
imperialis AS melalui berbagai lembaga donor telah menggelontorkan dana utangan senilai USD 3,4 miliar untuk membuat berbagai perundang-undangan (Taliwang, 2011: 139).
Meski imperialis AS memiliki kedudukan determinan, rejim komprador
saat ini ikut melakukan penindasan terhadap segenap rakyat Indonesia.
Melalui kewenangannya untuk memberikan berbagai hak istimewa bagi
pemodal asing, mereka menjadi selayaknya ‘tuan tanah tipe baru’ yang
merampas dan memonopoli lahan untuk disewakan kepada imperialis. Secara
faktual dari 191 juta hektar luas daratan Indonesia, 175 juta hektar di
antaranya dikuasai modal besar dan sebagian besar adalah modal asing.
Sisa 35,1 juta hektarnya (yakni berupa kawasan hutan) dikuasai oleh
berbagai perusahaan pemegang hak penguasaan hutan, 15 juta hektar
melalui hak guna usaha, dan 8,8 juta hektar melalui hak pengelolaan
hutan tanaman industri (lihat Ibid: 75).
Belum lagi, menurut data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), 35 persen
daratan Indonesia diizinkan untuk dibongkar guna industri pertambangan
oleh 1.194 perusahaan pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya
pertambangan, dan 257 Kontrak Pertambangan Batu bara (PKP2B). Sedangkan
Sawit Watch menyebutkan, sampai Juni 2010, pemerintah memberikan 9,4
juta hektar lahan kepada 30 grup perusahaan imperialis yang mengontrol
600 anak perusahaan komprador di Indonesia. Jumlah tersebut, akan
bertambah menjadi 26,7 juta hektar pada 2020.
***
Membedakan karakter negara Indonesia dari ‘belum merdeka 100 persen’
dengan negeri semi-koloni, memiliki implikasi substansial dalam pola
analisis dan gerakan kaum progresif terhadap kedudukan rejim
SBY-Boediono. Pertama, dengan menilai Indonesia sebagai negara
semi-koloni, maka rejim saat ini hanyalah rejim komprador atau boneka
imperialis AS. Karenanya, kedua, berbagai retorika populis legislator, maupun pihak oposan mainstream
agar rejim mau menjalankan politik pro-rakyat merupakan kesia-sian.
Paling banter, hal itu akan menimbulkan delegitimasi rejim komprador
yang bercokol, menciptakan destabilisasi kepentingan imperial sehingga
memaksa mereka mencari kelompok lain (biasanya oposan rejim) untuk
menjadi komprador barunya—seperti di Mesir dan Tunisia.
Bercermin pada pengalaman rakyat Indonesia sendiri, jalan dominan dan
terpenting untuk mengubah karakter Indonesia dari semi-koloni menjadi
merdeka adalah melalui revolusi rakyat yang membebaskan daerah demi
daerah dari cengkeraman imperialis beserta klas kompradornya di dalam
negeri. Dengan jalan tersebut, berbagai upaya perlawanan rakyat tidak
hanya berujung pada pergantian rejim, tetapi memiliki perspektif
memotong mata rantai paling lemah dari imperialis AS sebagai syarat
pembentukan negara demokrasi rakyat.***
Referensi:
Guerrero, Armado, Philippine Society and Revolution, RSMTT, 1970
Jessup, Philip C, The Birth Of nations, Center for information Analysis, Yogyakarta, 2006.
Lenin, V. I, Imperialisme Tingkat Tertinggi Kapitalisme, Suatu Paparan Populer, Jajasan Pembaruan, Jakarta, 1958.
_______, Imperialisme dan Perpecahan Di dalam Sosialisme, Jajasan Pembaruan, Jakarta, 1961.
Supeno, Indonesia, Sejarah Singkat Gerakan Rakyat Untuk Kebebasan (Jilid II), Belanda, 1982.
Taliwang, M Hatta, dkk, Indonesiaku Tergadai, Institute Ekonomi Politik Soekarno Hatta, Jakarta, 2011
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6603&type=2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar