Minggu, 28 april 2013. Waktu menunjukkan pukul setengah satu siang. Sekitar 50 orang buruh sedang berkumpul membahas persiapan aksi Mayday ketika Aku dan Afidah tiba di Kantor Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Aneka Industri Serikat Pekerja Metal Indonesia (PC SPAI SPMI) Kota Semarang di Jalan Sidomulyo Raya No.19 Tlogosari Semarang. Sebagian besar orang berada di dalam, namun nampak juga yang mendengarkan pembahasan rapat dari luar. Di Kantor Serikat Pekerja inilah film ‘Di Balik Frekuensi’ karya Ucu Agustin akan kami putar.
‘Di
Balik Frekuensi’ merupakan sebuah film dokumenter yang menggambarkan bagaimana
media massa -khususnya televisi- befungsi sebagai alat atau corong bagi
kepentingan pemiliknya. Itu digambarkan melalui 2 cerita : Pertama, tentang
Luviana seorang wartawan Metro TV yang di PHK oleh perusahaan (Media Group)
lantaran hendak memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh. Kedua, tentang Hari
Suwandi dan Harto, dua warga korban lumpur lapindo yang melakukan aksi protes
dengan berjalan kaki dari Sidoarjo ke Jakarta.
Usai
rapat buruh, Aku dan Afidah dibantu dengan kawan-kawan buruh mempersiapkan perlengkapan
pemutaran film di tengah-tengah kesibukan buruh lainnya yang berburu nasi
bungkus untuk santap siang. Orang berlalu-lalang sambil berbincang-bincang satu
sama lain di dalam Kantor yang tidak terlalu luas untuk menampung sebanyak 50
orang, sehingga suasana terasa begitu sesak, riuh dan panas.
“Wah, banyak sekali orangnya”
pikirku sambil menyiapkan perlengkapan. Sebelumnya aku hanya memperkirakan
peserta sebanyak 20 orang.
Butuh
waktu sekitar 15 menit untuk persiapan sampai akhirnya film siap untuk diputar.
Aku
kemudian menampilkan foto-foto aksi buruh dalam peringatan Hari Kartini pada
Minggu 21 April 2013 lalu di Jalan Pahlawan Semarang yang gambarnya diambil
oleh Afidah dan Aku saat aksi itu dilakukan. Trailer film “Di Balik Frekuensi”
juga kami putar.
Muhron,
Ketua PC SPAI SPMI Kota Semarang mempersilahkanku untuk memulai acara pemutaran
film, kemudian aku menyambutnya dengan memberikan penjelasan mengenai kegiatan
pemutaran film dan apa tujuannya kepada peserta.
“Setidaknya ada 2 tujuan dari
pemutaran film ini : Pertama, untuk memberikan semangat kepada kawan-kawan
dalam menyambut mayday. Kedua, agar kawan-kawan semakin kritis terhadap media
massa” kataku saat itu.
Sebelum
film diputar, Afidah (Pengelola Perpustakaan Rumah Buku) membacakan satu puisi
karya Wiji Thukul yang berjudul “Edan”:
Sudah dengar cerita Mursilah?
edan!
Dia dituduh maling karena mengumpulkan serpihan kain
Dia sambung-sambung jadi mukena untuk sembahyang
padahal mukena tak dibawa pulang
padahal mukena Dia taroh di tempat kerja
edan!
sudah diperas dituduh maling pula
Sudah dengar cerita Santi?
edan!
karena istirahat gaji dipotong
edan!
karena main kartu lima kawannya langsung dipecat majikan
padahal tak pakai uang
padahal pas waktu luang
edan!
Kita mah bukan sekrup
Film-pun
diputar......
Asyik Menonton |
Tak
lama kemudian, 4 kawan mahasiswa Universitas Katholik Soegijapranata datang dan
langsung mengisi ruang kosong yang sebelumnya ditinggalkan kawan-kawan buruh.
Kemudian datang lagi 2 kawan, seorang mantan pimpinan salahsatu Serikat Pekerja
dan yang seorang lagi buruh korban PHK di sebuah pabrik jepang di Semarang.
Film
selesai diputar.....
Oleh
karena tidak ada narasumber maupun moderator, Aku dan Afidah berusaha menggali
apa pendapat kawan-kawan setelah menonton film tersebut.
“Filmnya bagus gak?” Tanyaku
dan Afidah kepada penonton.
“Bagus” jawab
sebagian penonton.
Kurniawan, Pengurus SPMI
mengawali pendapatnya tentang film. Menurutnya, apa yang terjadi dengan Luviana
dalam film itu, menggambarkan bahwa perjuangan buruh pasti akan sulit tanpa
berorganisasi.
Aris
-yang datang pada saat film tengah di putar dan yang kukatakan sebagai mantan pimpinan
salahsatu Serikat Pekerja- menyatakan bahwa apa yang terjadi dengan Luviana
merupakan satu dari sekian banyak persoalan buruh yang terjadi.
“Serikat Buruh saat ini kurang
diperhitungkan secara politik” pendapat Aris mengenai situasi
Serikat Buruh kekinian.
Muhron
menyatakan bahwa film ‘Di Balik Frekuensi’ bisa menjadi bahan renungan bagi
perjuangan kawan-kawan buruh.
“Di film ini setidaknya
terdapat 2 isu, mengenai perburuhan dan media masa atau frekuensi” terang
Afidah.
Ben,
salahsatu mahasiswa yang datang memberikan pendapatnya tentang lumpur lapindo.
Menurutnya berlarut-larutnya masalah lumpur lapindo dikarenakan kesalahan dari
pemerintah.
Nuel,
kawan Ben yang juga seorang mahasiswa turut berpendapat. Ia menyatakan terdapat
persoalan-persoalan hukum dalam cerita yang ada di film. Saat ini hukum
bermasalah karena memang hukum bukan untuk manusia, tapi justeru sebaliknya.
Diskusi setelah pemutaran film |
Diskusi
seterusnya mengalir dengan sendirinya, tanpa dibatasi waktu dan aturan. Sampai
akhirnya tinggal segelintir orang yang bertahan, maka itu mejadi pertanda
diskusi akan segera berakhir. Aku dan Afidah lebih dulu berpamitan meninggalkan
beberapa pengurus SPMI dan 4 kawan mahasiswa.
Asep
Mufti, Pengelola Perpustakaan Rumah Buku
-Semarang,
29 April 2013-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar