(Ringkasan Bab I halaman 1-18 bukunya Arief
Budiman “Negara dan Pembangunan : Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan”)
Konon
katanya, dalam pembangunan yang murni kapitalistis, peran negara mesti
dikurangi sampai sekecil mungkin, sementara pelaku pembangunan yang didorong
yaitu para pengusaha dan industriawan yang dibantu ama para petani dan buruh
(busyeeet, petani ama buruh cuma jadi pembantu doang!). Negara katanya bakalan
mengganggu pembangunan kalo ia kebanyakan campur tangan. Negara yang semacam ini nih (yang sering lepas
tangan), yang biasanya selalu dihubung-hubungin sama sistem politik yang demokratis,
yang ngasih kemungkinkan masyarakat bisa ngambil keputusan-keputusan penting
sendiri. Nah, karena itulah kapitalisme sama demokrasi kadang dianggap sebagai
saudara kembar.
Kenyataannya
nih, ada dua kelompok negara kapitalis. Pertama,
kelompok negara-negara industri kaya yang sudah maju atau berkembang, yang
biasanya punya sistem politik yang demokratis.
Kedua, kelompok negara-negara
kapitalis miskin, yang biasanya sistem politiknya otoriter, bahkan totaliter.
Gimana
ngejelasinnya tuh? Kenapa negara-negara miskin yang menganut jalan kapitalisme biasanya
otoriter?
Pengalaman
Rusia waktu proses industrialisasi, kata si Gerschenkron (1962), industrialisasi
Rusia terjadi waktu negara-negara eropa barat sudah selesai duluan
industrialisasinya. Jalan yang ditempuh ama negara-negara yang ngelakuin
industrialisasi lebih dulu beda ama jalan yang ditempuh ama negara yang
menyusul kemudian. Dimana peran negera lebih banyak pada negara-negera yang
terlambat ngelakuin industrialisasi, selain itu juga modalnya semakin gede bagi
industrialisasi yang lebih belakangan.
Di negara
yang ngawal-mulain idustrialisasi atau bisa dibilang negera generasi pertama,
contohnya kayak Inggris, modal industrialisasi yang dibutuhkan relatif kecil.
Yang dibangun cuma pabrik-pabrik tekstil dengan teknologi sederhana, itu kenapa
modalnya masih bisa disediain masyarakat sendiri, secara mandiri. Peran negara
kurang dibutuhin. Negara perannya cuma nyiptain lingkungan atau keadaan yang
memadai supaya pembangunan bisa berkembang.
Tapi beda
nih, sama industrialisasi di negara indutri generasi kedua, modalnya yang
dibutuhin semakin gede, teknologinya juga udah semakin canggih. Industri enggak
cuma terbatas pada barang konsumsi tetapi juga industri yang menghasilkan
barang setengah jadi dan barang modal kayak mesin-mesin pabrik. karena itulah,
keterlibatan negara jadi lebih banyak. Negera ngumpulin modal, lewat bank atau
perusahaan-perusahaan negara, untuk ngebangun industrinya. Pengusaha-pengusaha
swasta dikasih kesempatan ngebangun industri lewat pinjaman bank, lantaran
enggak sanggup biayaiin sendiri karena modal yang dibutuhin gede banget.
Seandainya
bank dan perusahaan negara enggak cukup ngumpulin modal, nah, barulah modal
asing dan modal perusahaan multinasional dilibatin. Tapi pasti mereka ada
maunya dulu, biasanya mereka minta supaya negara –yang bakal dikasih modal- mesti
bisa ngendaliin gejolak politik yang bakal timbul, kalau enggak, ya udah, modal
luar negeri enggak bakalan dikasih.
Nah, demi
ngedapetin modal asing itulah, atas nama stabilitas politik, negara nyingkirin
pengusaha-pengusaha dalam negeri yang bersikap nasionalis dan rakyat jelata
kayak buruh yang sering nuntut upah. Negara bakal memperkuat diri supaya bisa
terus menolak tekanan-tekanan ekonomi dan politik masyarakat. Saat itulah,
menurut O’Donnell, negara berubah jadi Negara Otoriter Birokratis. Otoriter karena
negara maksaain kehendaknya ama masyarakat, birokratis karena proses
pengambilan keputusan cuma dikuasai para birokrat negara, tanpa ngelibatin
masyarakat.
Negara
Otoriter Birokratis (OB) berbeda nih ama Negara Fasis atau Komunis. Di sebuah
Negara Fasis, negara dianggep punya kesadaran tentang ujung perjalanan sejarah
dalam menyempurnakan manusia. Sementara di sebuah Negara Komunis, berbicara
tentang cita-cita masyarakat tanpa kelas, dimana semua orang kerja buat kebahagiaan
semua orang, bukan buat keuntungan perorangan.
Baik di
Negara Fasis atau Komunis, ideologi yang dipake lebih filosofis, yang mana konsep kemanusiaan dan kebahagiaan
dipersoalkan secara kompleks. Rakyat digerakkin supaya berideologi dan
berpolitik, meskipun politik disini berarti ngedukung politik dan ideologi
negara.
Berbeda ama
Negara OB. Negara muncul layaknya sebuah mesin birokrasi yang gede, yang
bertampang dingin dan cuma punya satu tujuan, yaitu, ningkatin produksi
ekonomi. Negara enggak seneng kalo rakyat ngomongin politik. Tugas rakyat cuma
kerja buat pembangunan (ekonomi), buat nyuksesin pembangunan, titik! Itu kenapa
seringnya di negara OB, terjadi aliansi teknokrat ekonomi ama kaum militer.
Yang jadi
pertanyaan, kenapa ada Negara OB yang relatif bersih, enggak korup, jadi
pembangunannya berhasil, kayak Singapura atau Korea Selatan? tapi di Indonesia
atau di Bangladesh malah gagal? Padahal semua pemerintahan di semua negara itu sama-sama
Otoriter-birokratis, gimana cara ngejelasinnya?
Salah satu
yang menarik dari Negera-Negara OB yang nongol di Dunia Ketiga ini, yaitu
terlibatnya negara dalam akumulasi modal, beda ama studi-studi sebelumnya yang
cuma ngeliat kaum burjuasi yang berperan dan menguasai perekonomian. Normalnya
kapitalis atau burjuasi muncul dari luar negara, tapi di Negara OB, kapitalis
muncul juga dari dalem negara itu sendiri atau lahir karena bantuan kuat dari
elit birokrasi negara.
Negara OB
amat berperan supaya dirinya atau milih orang lain di luar negara, supaya jadi
pemilik modal yang ngumpulin atau akumulasi modal. Ada 2 tipe Negara OB, yaitu
Negara OB Pembangunan, yang lainnya Negara OB Rente.
Di Negara OB
Pembangunan, kapitalis yang kebentuk jadi kapitalis unggul, atau kalo pejabat
negara yang ngelola perusahaan-perusahaan negara, berhasil ngasih keuntungan
yang gede buat negara. Mula-mula mereka emang tergantung ama negara, karena
mereka sedikit banyak dapet fasilitas-fasilitas yang dikasih negara. Tapi lama
kelamaan, mereka jadi mandiri, ngelepasin diri dari ketergantungan ama negara.
Pada akhirnya, mereka inilah yang bakal jadi kekuatan ekonomi di negara itu.
Ini kayak yang terjadi di Korea Selatan.
Tapi di
Negara OB Rente, prosesnya malah berlainan, elit negara ngasih fasilitas ke swasta
atau pejabat negara yang ngelola perusahaan-perusahaan negara. Tapi untuk
jasanya ini, elit negara itu minta imbalan atau minta ongkos sewa. Itu kenapa
dibilang rente. Kadang orang yang dikasih fasilitas itu, enggak lain,
keluarga-keluarganya sendiri. Jadi si elit negara itu udah macem rentenir.
Jabatan birokrasi si elit udah jadi kayak “alat produksi“ untuk ngumpulin
modal. Di Indonesia, praktek semacem itu pernah dibilang Kapitalis Birokrat
atau Kapbir. Jadi di Negara OB Rente, kapitalis yang tumbuh bukan yang tangguh
dan mandiri, tetapi kapitalis yang bergantung terus menerus ama fasilitas
negara. Itu kenapa gak maju-maju.
AM - 31032015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar