Menjelang
dan setelah kelahiran anak kami (Aku dan Afidah) yang pertama, Madiba Vandana Afias, di awal tahun 2014, pekerjaan-pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel,
mencuci piring dan pakaian, menyetrika dan lain-lain tidak mungkin lagi kami
kerjakan sendiri, terutama Afidah yang lebih banyak melakukan pekerjaan itu.
Merawat anak menjadi prioritas dan akan sangat sulit dilakukan jika tetap
melakukan semua pekerjaan rumah.
Sebagai
perantauan, kami tentu tak mudah meminta pertolongan orang tua atau keluarga,
karena kendala jarak. Apalagi mengandalkan bantuan tetangga di sebuah pemukiman
perumahan di perkotaan. Akhirnya kami memutuskan meminta pertolongan orang lain
untuk menggantikan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Banyak orang
menggunakan istilah “pembantu” bagi orang-orang yang kami butuhkan ini,
belakangan istilah itu oleh kalangan pekerja sosial dianggap kurang tepat,
lantaran mereka melakukan pekerjaan itu bukan atas kehendaknya sendiri atau
melakukannya tanpa pamrih, tetapi kerena diberikan perintah dan menerima upah
atas pekerjaannya, sehingga istilah yang tepat untuk digunakan adalah pekerja
rumah tangga atau disingkat PRT.
Ada juga
yang mengganti panggilan “pembantu” dengan panggilan asisten rumah tangga atau
disingkat ART. Aku menduga orang-orang yang menggunakan panggilan asisten
karena mengganggap istilah “pembantu” sangat kasar. Orang seperti ini cenderung
melihat persoalan itu dari sisi moralitas, bukan dari perbedaan hak-haknya
(atau mungkin juga karena ketidaktahuan). Tapi sesungguhnya itu tidak
menjadikannya berbeda, karena asisten merupakan kata serapan dari bahasa
inggris yang juga berarti pembantu.
Kedudukan
PRT dalam sebuah rumah tangga, setidaknya di keluarga kami, tidak bisa lagi
dipandang sebelah mata, apalagi sejak kehadiran anak kedua kami, Kayana Ontosoroh Afias di pertengahan tahun ini.
Mereka
meninggalkan keluarganya untuk merawat orang lain, tentu saja itu bukanlah
pekerjaan yang menyenangkan. Kalau saja keadaan memungkinkan bagi mereka untuk
memilih pekerjaan, mereka mungkin lebih memilih berdagang atau menjadi pegawai
negeri sipil, dari pada menjadi PRT.
“punya bayi
gak, bu?” itu menjadi pertanyaan wajib yang selalu kami tanyakan kepada mereka (jika
mereka nampak seperti ibu-ibu) yang akan bekerja di rumah. Kami tak mau ada
orang yang bersedia merawat keluarga kami tapi menelantarkan anaknya sendiri.
Sudah
sebelas orang yang merelakan waktunya untuk bekerja di keluarga kami. Sepuluh diantaranya
sudah purna dan satu lainnya masih ikut menjadi bagian dari keluarga kami.
Terima kasih
untuk mbak Nur, mbak Ani, Syafa, mbah Dul, mbak Yem, mbak Sulis, mbak Ratmi,
mbak Teti, mbak Pris dan mbah Yatmi yang pernah menjadi bagian dari keluarga
kami, maafkan bila kami pernah melakukan kesalahan. Dan untuk bu Marni, semoga mencintai
kami, khususnya Madiba dan Kayo, juga semoga kerasan di rumah ya.
Semarang,
Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar