RUU
Pemilu merupakan perubahan dari tiga UU: Pilpres (UU 42/2008), Pileg (UU
8/2012) dan Penyelenggara Pemilu (UU 15/2011), saat ini belum tuntas dibahas
oleh Pemerintah dan DPR. Isu yang masih alot dibahas dan mengemuka adalah
terkait ambang batas pencalonan presiden.
Bagaimana
soal penanganan pelanggaran Pemilu? Nah, persoalan inilah yang hendak
kusampaikan agar juga diketahui oleh Publik.
Apa
hal baru di RUU Pemilu terkait penanganan pelanggaran? Berdasarkan pembacaanku
terhadap naskah RUU Pemilu versi 10 Juni 2017 yang dirilis di laman Perludem,
berikut ini hal-hal baru dalam penanganan pelanggaran:
1. Dalam Pilpres, WNI yang punya hak pilih,
pemantau dan peserta pemilu dapat melaporkan dugaan pelanggaran kepada lembaga
pengawas paling lambat 7 hari sejak diketahui. Di UU 42/2008 atau UU yang lama,
diatur 3 hari sejak kejadian.
2. Batas waktu penanganan oleh lembaga
pengawas paling lama 7 hari, dan bisa diperpanjang selama 14 hari. Di UU
42/2008 dan UU 8/2012, diatur paling lama 3 hari dan bisa diperpanjang selama 5
hari.
3. Di RUU Pemilu diatur mengenai sengketa
proses dalam Pilpres, misalnya ada bakal calon presiden dan wakil presiden yang
dianulir oleh KPU, maka yang bersangkutan dapat mengajukan sengketa pemilu ke
Bawaslu. Di UU 42/2008 hal itu tidak diatur.
4. RUU Pemilu mengadopsi aturan mengenai
Pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis dan massif) yang diatur dalam UU
Pilkada. Tapi ada perbedaannya. Jika dalam UU Pilkada, pelanggaran TSM
dimaksudkan hanya untuk pelanggaran politik uang, tapi di RUU Pemilu tidak
hanya sebatas politik uang tapi pelanggaran administrasi pada umumnya. Namun
kesamaan keduanya, jika Bawaslu menilai terdapat pelanggaran TSM, dapat
merekomendasikan pembatalan pasangan calon atau calon anggota legislatif.
Bawaslu melakukan pemeriksaaan yang bersifat terbuka atas pelanggaran TSM
paling lama 14 hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar