Akhirnya harapanku menginjakkan kaki di bumi Papua
tercapai, ini berkat tugas yang diberikan oleh Bawaslu kepadaku, yaitu
mengantarkan soal dan memantau pelaksanaan tes tertulis Calon Anggota Panwas
Kabupaten Kepulauan Yapen.
Papua dengan pesona alam dan kebudayaannya membuatku
penasaran, meskipun terkadang miris atas beberapa kebijakan pemerintah pusat
yang dipaksakan di Pulau paling timur Indonesia ini.
Aku menerima tugas bersama Edwien Setiawan, Staf
di Bawaslu. Kami mendapatkan penerbangan Jakarta-Jayapura pada Rabu, 19 Juli
2017, Pukul 23.55 WIB atau 3 hari sebelum pelaksanaan tes tertulis tanggal 22
Juli 2017. Keberangkatan kami lebih dini lantaran terbatasnya akses pesawat
terbang ke Papua, baik dari Jakarta ke Jayapura maupun dari Jayapura ke
Kepulauan Yapen.
Maskapai Batik Air mengantarkan kami terbang ke
Jayapura malam itu. Mestinya penerbangan akan langsung menuju Jayapura yang
akan ditempuh dengan waktu sekitar 5 jam 30 menit, namun dalam perjalanan
Co-Pilot memberitahukan jika pesawat akan mendarat di Ambon, Maluku, akibat ada
penumpang yang terkena asma. Karena aku tertidur, Aku tidak tahu persis berapa
lama pesawat berada di Ambon.
Ini pengalaman pertamaku ke Papua, sekaligus
penerbangan pesawat terlama yang pernah kualami. Ketika pesawat akan sampai ke
Bandara Sentani, Kabupaten Jayapura, aku terbangun dari tidur lalu menengok ke
jendela pesawat. Mataku menyaksikan hamparan hutan dan pegunungan yang
terkadang tertutup gumpalan awan. Lalu kulihat perairan yang dikelilingi pegunungan-pegunungan
hijau, ada yang nampak lebat dengan pepohonan adapula yang nampak cuma
diselimuti rerumputan seperti lapangan golf, itulah Danau Sentani.
Pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Sentani
sekitar jam 9 pagi waktu Indonesia bagian timur, 2 jam lebih awal dari waktu di
Jakarta. Waktu tempuh penerbangan lebih lambat dari seharusnya.
Karena penerbangan pesawat dari Jayapura ke Kepulauan
Yapen dijadwalkan pada keesokan harinya, Jumat, 21 Juli 2017, kami mencari
penginapan yang terdekat dari Bandara. Aku lalu mengecek aplikasi Traveloka
untuk mengetahui lokasi-lokasi hotel terdekat. Ternyata ada banyak. Paling
dekat berjarak 200 meter saja. Sebetulnya bagi Edwin, Jayapura bukan pertama
kalinya dia kunjungi, namun Ia tak begitu paham dengan lokasi-lokasi di
sekitar. Kami berdua memutuskan berjalan kaki dan memilih Hotel Uniqe, hotel
yang dekat dari bandara, untuk menjadi tempat bermalam.
Setelah beristirahat, sore harinya kami berniat
menikmati suasana Danau Sentani. Petugas hotel memberi petunjuk bagaimana
menuju tempat, dimana dari tempat itu kami bisa menyaksikan senja atau matahari
tenggelam di pinggiran Danau. "Sentani Lake Sunset atau Kafe Yoka"
kata petugas hotel mencoba menyebutkan tempat rujukan. "Bisa naik
starwagon" lanjutnya memberi petunjuk. Starwagon yang dimaksud ternyata
mobil colt diesel warna putih yang digunakan sebagai angkutan umum di Sentani.
Kami sebetulnya masih ragu dengan tempat yang jadi
rujukan petugas hotel, lantaran petugas hotel juga nampak ragu ketika kami
tanyakan. "Ah, yang penting jalan, nanti di dekat Danau kita turun"
batinku. Setelah menunggu sebentar di tepi jalan, naiklah kami ke dalam
angkutan umum starwagon.
"Bapak mau ke mana tadi?" tanya sopir yang
orang Papua itu. "Sentani Lake Sunset atau Kafe Yoka" jawab kami
dengan ragu. Lalu sopir menurunkan Kami di dekat sebuah wisma bernama Yoghwa,
yang menyediakan restoran yang letaknya di pinggir danau. Barangkali Kafe Yoka
yang kami sebutkan terdengar seperti Yoghwa oleh sopir. Bukan tempat yang kami
tuju sebetulnya, tapi tak apalah, yang penting di pinggir danau. Kami memesan
kopi hitam dan kopi susu. Langit jingga yang kami nanti tak kunjung datang,
justru hujan deras yang menyapa. Begitu hujan mereda, kami kembali ke
penginapan.
Malam harinya, kami mendapat kabar dari Bapak
Philipus, Anggota Tim Seleksi Calon Anggota Panwas Kabupaten Yapen, kalau
penerbangan pesawat Trigana Air dengan tujuan Kepulauan Yapen ditunda sehari.
Seharusnya Jumat pagi menjadi sabtu pagi jam 7. Pemesanan tiket pesawat untuk
kami memang dibantu oleh Bapak Philipus. Aku dan Edwin bingung, lantaran tes
akan dilaksanakan pada hari Sabtu jam 10 siang. Jika kami berangkat Sabtu pagi,
waktunya terlalu mepet. Karena menurut info, waktu tempuh penerbangan Jayapura
ke Kepulauan Yapen sekitar 1 jam, lalu dari bandara menuju lokasi tes sekitar 1
jam dengan menggunakan mobil.
Aku lalu teringat dengan pesan Bapak Gunawan
Suswantoro, Sekjen Bawaslu, yang berpesan saat pembekalan di Jakarta, sebelum
distribusi soal dilaksanakan. Bagaimanapun caranya, soal harus sampai di tempat
tujuan, katanya. Lalu Bapak Abhan, Ketua Bawaslu, memandu kami berucap
sumpah agar menjaga kerahasiaan soal yang akan kami bawa. Malam itu kami
memutuskan akan tetap pergi ke bandara pada pagi hari, barangkali pesawat bisa
tetap berangkat.
Malam itu juga, Amandus, Tim Asistensi Bawaslu Papua
menemui kami di kamar hotel. Ternyata dia pun hendak pergi ke Nabire di
keesokan harinya menggunakan pesawat terbang. Dia bermalam di hotel dekat hotel
tempat kami menginap. Setelah berbincang-bincang, Amandus berpamitan, dan kami
beristirahat. Aku atur alarm di telepon genggam agar membangunkan kami jam 4
pagi.
Paginya kami terkejut, karena bukan alarm yang
membangunkan, tapi Amandus yang tiba-tiba masuk ke kamar ketika waktu
menunjukkan jam setengah 6. Dengan keadaan masih limbung, aku berkemas dan
berangkat ke bandara.
Sesampai di Bandara, ternyata benar, penerbangan Trigana
Air ke Kepulauan Yapen ditunda Sabtu pagi akibat cuaca buruk. Beruntunglah kami
karena ada Amandus, dia memilki kenalan di bandara yang kemudian membantu kami
memesankan tiket penerbangan ke Kabupaten Biak dengan maskapai Garuda Air.
Tiket Trigana Air kami kembalikan dan uang pembayaran diganti penuh. Amandus
berpamitan sementara kami masih menunggu kedatangan pesawat Garuda.
Kami pilih tujuan Kabupaten Biak, lantaran tidak ada
lagi penerbangan pesawat yang langsung ke Kepulauan Yapen. Dari situ rencananya
kami akan membeli tiket pesawat kembali untuk tujuan Kepulauan Yapen.
Sekitar jam 8, kami naik ke pesawat Garuda dan terbang
menuju Kabupaten Biak. Sesampainya di Bandara Frans Kaisiepo, Biak, setelah
menempuh waktu hampir 1 jam, kami langsung membeli tiket pesawat Trigana Air
untuk tujuan Serui, Kepulauan Yapen. Tiket kami dapatkan tanpa tahu kapan waktu
penerbangan. Kata petugas penjual tiket, lantaran cuaca buruk, pesawat Trigana
yang akan kami tumpangi belum tiba di Bandara. Kami diminta untuk menunggu saja
bersama penumpang lainnya.
Sambil menunggu, Aku mulai membuat catatan ini. Lebih
1 jam kami menunggu sampai akhirnya pihak Trigana Air memberi kabar penerbangan
dibatalkan. Lagi-lagi alasan cuaca buruk. Memang sejak dari Jayapura, guyuran
hujan tak kunjung henti. Terkadang reda sebentar lalu hujan lagi. Selain itu,
sedang ada banyak pejabat provinsi melakukan penerbangan dari Jayapura ke
Kepulauan Yapen, mengingat akan ada Pemungutan Suara Ulang Pilkada tanggal 26
Juli 2017.
Aku dan Edwin mengembalilan tiket dan menerima uang
ganti, lalu bergegas menuju pelabuhan biak untuk mengejar kapal cepat yang
sebentar lagi akan berangkat. Informasi tentang transportasi kapal cepat ini
sudah kami ketahui sebelumnya dari Amandus, sebagai transportasi alternatif
selain pesawat terbang.
Dari bandara, kami menumpaki mobil menuju pelabuhan
Biak. Turut bergabung bersama kami, Yudi, asal Cirebon, yang bekerja pada
perusahaan kontraktor pemasangan jaringan selular (tower atau BTS). Ternyata
Yudi juga menjadi korban pembatalan penerbangan Trigana Air sejak dari
Jayapura, dan dia juga menginap di hotel yang sama dengan kami di Sentani.
Hanya sebentar saja kami naik mobil. Sepanjang
perjalanan, sopir mobil, Bapak Bram, membantu menghubungi pihak kapal cepat agar
mau menunggu kami. Setiba kami di pelabuham Biak, di depan pintu masuk kapal
Edwin langsung memesan tiket lalu kami langsung naik. Kapal cepat ini terdiri
dari 4 kabin, 3 kabin bawah untuk kelas VIP dan 1 kabin atas untuk kelas
ekonomi. Kami merupakan penumpang kabin atas. Kapal ini akan menuju ke
Kabupaten Waropen dan Kepulauan Yapen.
Perjalanan menuju Pelabuhan Serui, Kepulauan Yapen
diperkirakan akan ditempuh selama 6 jam, kami berangkat dari Pelabuhan Biak
sekitar jam setengah satu siang. Di kapal cepat ini Aku melanjutkan membuat
catatan ini setelah terhenti di Bandara Frans Kaisiepo, Biak.
Setelah menempuh waktu selama 5 jam, kapal bersandar
di dermaga pelabuhan di Kabupaten Waropen. Sebagian penumpang turun digantikan
penumpang baru. Waktu setempat menunjukkan jam setengah 6. Hari mulai gelap.
Ombak semakin besar. Lalu kapal melanjutkan perjalanannya menuju Pelabuhan
Serui, Kepulauan Yapen.
Di perjalanan, langit dan laut di luar sudah tak lagi
terlihat, gelap. Kapal terombang-ambing oleh ombak. Seorang penumpang perempuan
terlihat takut dengan kondisi itu, beberapa penumpang laki-laki
menertawakannya, ia teriak-teriak lalu protes. Barangkali mereka ini saling
berkawan, tapi buatku apa yang mereka lakukan itu bukan hal lucu, yang tak
patut dijadikan canda-tawa.
Beruntung perjalanan tak lagi lama. Kapal bersandar di
dermaga pelabuhan Serui setelah satu jam ditempuh. Kami disambut oleh Bapak
Philipus, dan ia meminta kepada seorang pengemudi mobil untuk mengantarkan kami
ke Hotel Maureen sebagai tempat istirahat dan bermalam.
Aku dan Edwin kelaparan. Sejak pagi, hanya mie rebus
yang kami makan di Bandara Sentani. Bapak Philipus sangat pengertian, ternyata
ia sudah memesan makan malam di hotel. Kami taruh tas dan perlengkapan lain di
dalam kamar, lalu segera makan.
Keesokan harinya, Sabtu, 22 Juli 2017, jam 10,
bertempat di SMAN 2 Serui, tes tertulis diselenggarakan, diikuti sebanyak 15
peserta, terdiri dari 13 peserta laki-laki, 2 peserta perempuan. Naskah soal
yang kami bawa dari Jakarta, yang kerahasiaan dan keutuhannya kami jaga, tiba
dengan selamat dan terpakai sebagaimana mestinya. Tes berlangsung lancar dan
terkendali.
"Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu
Tegakkan Keadilan Pemilu"
-Papua, Juli 2017-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar