Awalnya, Saya sekedar fokus untuk menyelesaikan
tugas akhir kuliah atau skripsi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Saat itu tema skripsi yang Saya pilih mengenai Pemberian Bantuan
Hukum Secara Cuma-Cuma di Tingkat Penyidikan. Judul ini Saya pilih, karena Saya
tertarik dengan dunia pengacara, hanya itu, tidak ada alasan lain.
Tapi melalui penyusunan skripsi itu, Saya dipertemukan
dengan buku-buku karya Franz Hendra Winata, Adnan Buyung Nasution, Abdul Hakim
Garuda Nusantara dan buku-buku terkait lainnya. Dari hasil bacaan itulah Saya
mulai mengetahui sedikit ide dan gerakan Bantuan Hukum Struktural yang
digunakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH), khususnya yang berada dalam naungan
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Sepanjang yang Saya pahami saat itu, Bantuan hukum di
Indonesia pada mulanya hanya gerakan moralitas, wujud dari rasa iba terhadap
mereka yang berhadapan dengan hukum dan kebetulan miskin. Lalu terjadi
pergeseran pandangan dimana bantuan hukum tidak lagi hanya persoalan moral,
lebih dari itu merupakan gerakan untuk mendorong adanya perubahan struktur yang
menjadi penyebab terjadinya kemiskinan. Bantuan hukum struktural merupakan
gerakan yang timbul dari cara pandang yang terakhir sekaligus kritik terhadap
bentuk-bentuk bantuan hukum sebelumnya. Bagi LBH-YLBHI, kemiskinan dalam
masyarakat terjadi akibat struktur dalam masyarakat atau negara yang tidak
mencerminkan keadilan.
Pemahaman Saya tentang dunia pengacara, yang mulanya
sempit, karena beranggapan pengacara hanyalah pekerjaan yang lingkupnya hanya
dalam sistem peradilan, menjadi berubah.
Proses penyusunan skripsi juga mempertemukan Saya
dengan LBH Yogyakarta yang saat itu dipimpin oleh Irsyad Thamrin, lulusan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Alih-alih hanya
melakukan penelitian, Saya malah terlibat lebih jauh di LBH Yogyakarta. Saya
mengikuti Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu), pendidikan yang dipraktekkan
oleh YLBHI beserta LBH-LBH daerah untuk menjaring calon-calon Pengabdi Bantuan
Hukum (PBH). Pertengahan Tahun 2007, Saya resmi menjadi PBH LBH Yogyakarta.
Sampai dengan Februari 2009, sebelum akhirnya Saya
pindah ke LBH Semarang, Saya berkesimpulan, apa yang sebenarnya dilakukan oleh
jaringan YLBHI dengan gerakan Bantuan Hukum Strukturalnya, sesungguhnya bukan
sekedar gerakan hukum, tapi gerakan politik. Tentu saja bukan dalam artian
politik praktis (membangun partai lalu merebut kekuasaan), tapi lebih luas dari
itu.
YLBHI beserta jaringannya menganggap penting untuk
memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat, khususnya bagi mereka yang minim
akses hukum, seperti masyarakat miskin dan marjinal. Tidak hanya itu, YLBHI
juga mendorong masyarakat yang sudah melek hukum, agar berserikat dan membangun
jaringan dengan kelompok masyarakat lainnya. Ini dilakukan agar masyarakat
berdaya, dan tidak bergantung pada bantuan seorang pengacara dalam menghadapi
persoalan hukum.
Hukum itu pun oleh YLBHI tidak diartikan sempit, dalam
arti sekedar teks perundang-undangan, tapi dilihat dari aspek bagaimana hukum
itu dapat memberikan keadilan bagi masyarakat, dengan prioritas masyarakat
miskin dan marjinal. Selain itu, YLBHI juga menggunakan perspektif Hak Asasi
Manusia dalam berhukum. Keberpihakan dan perspektif itulah yang Saya kira
menjadikan YLBHI dan jaringannya berbeda dengan LBH pada umumnya.
Sejak Februari 2009 sampai dengan Februari 2012, Saya
bekerja di LBH Semarang. Saat di LBH Semarang inilah Saya lebih banyak bertemu
komunitas-komunitas buruh, pedagang kaki lima, petani dan nelayan, dibandingkan
saat masih di LBH Yogyakarta.
Ada hal-hal yang kemudian mempengaruhi pribadi Saya
dari pengalaman-pengalaman berinteraksi dengan komunitas-komunitas masyarakat
itu. Cara pandang dan cara komunitas tertentu dalam menghadapi persoalan
berbeda dengan komunitas lainnya. Pengetahuan yang dimiliki seorang Buruh yang
hidup diperkotaan akan berbeda dengan seorang Petani di pedesaaan, begitu pula
cara menghadapi persoalannya masing-masing. Barangkali benar apa yang pernah
dikatakan oleh Karl Marx, bahwa keadaan sosial mempengaruhi kesadaran
seseorang. Dari pengalaman inilah Saya belajar untuk lebih bijak. Setiap
oang/komunitas punya cara berjuang untuk keselamatan hidupnya.
Dari keadaan itu, Saya mencoba untuk lebih banyak
mendengar dan berguru kepada mereka yang buruh, yang petani, yang nelayan dan
yang pedagang kaki lima, bagaimana mereka berjuang untuk hidupnya. Lalu dari
proses itu, berlanjut dengan merumuskan bagaimana cara perjuangan yang sangat
mungkin untuk dilakukan dan saling bekerja sama. Dari pengalaman itu, Saya
belajar bagaiamana senantiasa berusaha rendah hati dan bersolidaritas.
Kini Saya tidak lagi menjadi bagian dari YLBHI, namun
pelajaran soal keberpihakan, bersikap rendah hati dan bijaksana, serta makna
solidaritas, tetap menjadi pegangan hidup Saya hingga saat ini dan nanti,
semoga.
Catatan: Tulisan ini dibuat setelah peristiwa
penyerangan Kantor YLBHI/LBH Jakarta pada Minggu malam, 17 September 2017, oleh
massa yang menolak kegiatan yang diselenggarakan oleh YLBHI/LBH Jakarta.
Asep Mufti
PBH LBH Yogyakarta 2007-2009
PBH LBH Semarang 2009-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar