"Mohon maaf saya terlambat,
Pak" ucapku ketika masuk ke dalam ruang kelas dan mengetahui perkuliahan
sudah di mulai. Jam menunjukkan pukul 17.40 di Hari Jumat, 29 Maret 2019. Si Dosen
mengangguk, mempersilakanku masuk. Setelah hampir 12 tahun aku meninggalkan suasana
perkuliahan dan menyandang gelar sarjana hukum dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY), kini aku kembali.
Aku mendaftarkan diri sebagai
mahasiswa pasca sarjana (Strata 2) untuk kelas
karyawan (Jumat-Sabtu), di Magister Hukum Universitas Nasional (Unas), yang perkuliahannya dilaksanakan di Menara Unas,
Ragunan. Konon,
Unas merupakan kampus swasta tertua di
Jakarta. Sebelumnya aku juga mencari
informasi kuliah
ke UI, UGM cabang Jakarta, dan Universitas Jayabaya, tapi setidaknya ada 3 alasan
kenapa akhirnya aku
memilih kuliah di Magister Hukum Unas. Pertama,
alasan akademis, yaitu predikat
akreditasinya B. Kedua, alasan
teknis, fleksibilitas kehadiran dalam ruang kuliah, ini penting lantaran aku harus membagi waktu dengan aktifitas
kerjaku di Bawaslu dan waktu bersama keluarga. Ketiga, alasan ekonomis, biaya
kuliah yang terjangkau, per semester 8 juta, bisa dicicil 4 kali pembayaran, murah bukan?
Entah kenapa, aku begitu
antusias dengan kuliah kali ini. Saat kuliah di tingkat Strata 1, jangankan untuk
jurusan hukum yang kuambil, kuliahpun merupakan ketidaksengajaan sejarah,
apalagi bisa kuliah di Jogja, ini semua
bisa terjadi berkat andil kawanku, Ezhar
(Ami), yang kini tinggal di Natar, Lampung Selatan. Sehat selalu ya, Mi.
Saat awal kuliah di Fakultas
Hukum UMY, tujuan dan semangatku
tidak begitu jelas, mengalir begitu saja. Bahkan sempat berpikir pindah ke
jurusan komunikasi. Sampai akhirnya aku bertemu dengan dosen yang sangat
menginspirasiku, kalau tidak salah di semester 3, saat mengikuti mata kuliah
Hukum Acara Pidana. Dosen itu bernama Muchtar Zuhdy, yang juga
seorang advokat. Pertemuan itulah yang kemudian memberiku semangat belajar
hukum dan mengawali cita-citaku menjadi seorang Advokat. Terima kasih, Pak
Muchtar, semoga senantiasa sehat ya, Pak.
Suasana Jogja yang tentram,
beragam suku dan memberi banyak ruang kebebasan, membuatku nyaman tinggal di
kota pelajar itu. Saat kuliah, aku
‘sok-sokan’
belajar mandiri, dengan pernah membuat kerajinan tangan
dalam bentuk celengan berbahan slongsongan sisa gulungan kain dan pigura foto dari
sterofoam, lalu menjualnya dari pintu ke pintu kos kawan, khusunya kos perempuan,
hehe. Jualan sambil silaturahmi. Selain
dari pintu ke pintu, pernah juga buka
lapak di Sunday Morning UGM. Pernah juga menjual kaos yang kubeli di Perkampungan
Industri Kecil (PIK) Jakarta, kujual dengan
sistem pembayaran cicil, karena aku tahu, ini sangat
memberi keringanan bagi anak kos sebagai pasar penjulanku. Yang penting, barang terjual, pembayaran lancar, haha. Hasil
penjualan cukup buat menambah uang jajan, kalau biaya kuliah, tetap bersumber dari subsidi, dari mereka yang
menciptakanku, Bapak dan Ibu, hehe. Intinya, dulu aku kuliah sambil belajar
kerja, sekarang terbalik, aku kerja
sambil belajar.
"Ada saat dimana hukum
tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang ada, itu alasan adanya displin ilmu
Sejarah Hukum" ujar dosen yang tadi mempersilakanku masuk ruangan, Prof. Dr. Arrisman, S.H.,M.H. Aku
mendengarkan setiap kata-katanya dan mencatat beberapa poin yang disampaikan. Semoga
dengan menjadi mahasiswa yang baik, Prof.
Arrisman memberiku nilai A, haha. Perkuliahan yang semua mahasiswanya berkelamin
laki-laki berjumlah 9 orang ini, diawali dengan mata kuliah Sejarah Hukum. Ayo
kuliah!
Jakarta, 1 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar