Sejak
tahun 1945 sampai dengan tahun 2019 ini, Indonesia telah melewati tiga babak
pemilihan umum, yaitu 1) pemilihan umum tahun 1955 yang merupakan pemilihan
umum pertama dan dikenal sebagai pemilihan umum paling demokratis; 2) pemilihan
umum di era Orde Baru yang berlangsung secara kontinyu sejak Pemilu 1971 hingga
Pemilu 1997, tetapi dicurigai mengandung banyak kecurangan; dan 3) pemilihan
umum tahun 1999 hingga 2014 yang dikenal sebagai pemilihan umum demokratis,[3]
ditambah pemilu tahun 2019 yang sekarang sedang berlangsung. Pembagian babak
itu mengacu pada 3 era, yaitu era Orde Lama, Orde Baru dan pasca reformasi. Itu
belum termasuk pemilihan kepala daerah yang sejak tahun 2005 dipilih secara
langsung, yang oleh Mahkamah Konstutisi diputuskan bukan sebagai rezim
pemilihan umum.[4]
Berdasarkan standar-standar
internasional pemilihan umum yang disusun oleh International Institute
for Democracy and Electoral Asistence (IDEA) terdapat aspek-aspek untuk
menyatakan pemilu berlangsung demokratis atau tidak[5],
salah satu aspek diantaranya yaitu penegakan peraturan pemilu. Penegakan hukum
pemilu turut menentukan apakah pemilu berlangsung secara demokratis, jujur dan
adil. Kepercayaan publik terhadap proses pelaksanaan pemilihan umum akan
menurun manakala pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tidak dapat ditindak atau
diselesaikan, selain itu juga dapat mencederai proses itu sendiri.
Salah satu lembaga yang saat ini memiliki
kewenangan dalam menegakan hukum pemilu adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Berdasarkan kerangka hukum yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu
(UU Pemilu), semua pelanggaran yang terjadi pada proses pemilihan umum
ditangani atau diselesaikan melalui Bawaslu sebagai pintu masuknya. Ada
beberapa kategori pelanggaran yang dikenal dalam UU Pemilu, meliputi
pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu,
tindak pidana pemilu, serta pelanggaran lain di luar perundang-undangan pemilu
namun peristiwanya terkait dengan pemilu.
Dalam penegakan terhadap tindak
pidana pemilu, Bawaslu melakukannya bersama dengan unsur kepolisian dan
kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (selanjutnya
disingkat Gakkumdu).
Berangkat dari uraian di atas, dalam tulisan
ini penulis hendak mencari tahu:
1. Bagaimana sejarah terbentuknya Gakkumdu dalam penanganan
tindak pidana pemilu?
2. Bagaimana pola penanganan tindak pidana pemilu yang
dilakukan oleh Gakkumdu?
Melalui tulisan ini, penulis berharap
pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab dan diperoleh kesimpulan, serta
memberikan saran bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai
penanganan tindak pidana pemilu.
SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN TERBENTUKNYA GAKKUMDU
Jika ditilik dari perundang-undangan terkait pemilu
yang pernah dan sedang berlaku, keberadaan Gakkumdu mulai diatur dalam UU Nomor
8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam ketentuan Pasal
267 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012, disebutkan Untuk
menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu, Bawaslu,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia
membentuk sentra penegakan hukum terpadu. Pembentukan Gakkumdu, dengan
demikian terkait dengan penanganan tindak pidana pemilu.
Menelisik maksud dan bahasa yang di
dalam pasal tersebut, maka Sentra Gakumdu dimaksudkan untuk menyamakan persepsi
antarlembaga penegakan hukum pemilu ketika ada kasus pelanggaran pemilu.
Penyamaan persepsi ini menjadi penting untuk menghindari perbedaan tafsir
terhadap ketentuan pidana pemilu yang ada di dalam UU No. 8/2012, ataupun
langkah yang akan diambil oleh Bawaslu sebagai penerima pelanggaran untuk
menaikkan status pelanggaran menjadi penyidikan.[6]
Ketentuan lebih teknis mengenai
Gakkumdu kemudian diatur dalam kesepakatan bersama antara Bawaslu, Polri dan
Kejaksaan Agung, sebagaimana dimaksud Pasal 267 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2012.
Pada tanggal 16 Januari 2013, Bawaslu,
Polri dan Kejaksaan Agung membuat Nota Kesepakatan Bersama Nomor 01/NKB/BAWASLU/I/2013,
Nomor B/02/I/2013, dan Nomor KEP-005/A/JA/01/2013 tentang Sentra Penegakan
Hukum Terpadu. Kesepakatan ini ditanda tangani oleh Muhammad (Ketua Bawaslu),
Timur Pradopo (Kepala Polri) dan Basrief Arief (Jaksa Agung).
Gakkumdu berdasarkan kesepakatan
tersebut, tidak hanya diperuntukkan dalam penanganan tindak pidana pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD, tetapi keberadaannya juga diperuntukkan untuk pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan. Sementara kedudukannya berada di
pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Struktur kelembagaan Gakkumdu,
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Nota Kesepakatan Bersama, terdiri dari:
Pembina, Ketua dan Anggota. Masing-masing jabatan terdiri dari 3 perwakilan
lembaga.
Fungsi Gakkumdu berdasarkan Pasal 7 Nota
Kesepakatan Bersama adalah:
1. Sebagai forum koordinasi antara Bawaslu, Polri dan Kejaksaan
Agung dalam proses penanganan tindak pidana pemilu;
2. Pelaksanaan pola penanganan tindak pidana pemilu;
3. Sebagai pusat data dan informasi tindak pidana pemilu;
4. Pertukaran data dan/atau informasi;
5. Peningkatan kompetensi dalam penanganan tindak pidana
pemilu;
6. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi tindak lanjut penanganan
tindak pidana pemilu.
Terkait dengan pola penanganan
pelanggaran, Nota Kesepakatan Bersama tersebut tidak secara rinci mengatur,
namun menyebutkan akan diatur dalam Standar Operasional Prosedur (SOP).
Pengaturan Gakkumdu kemudian diatur
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wakil Walikota. Perppu yang kemudian
disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015.
Dalam Pasal 152 UU Nomor 1 Tahun 2015
disebutkan untuk menyamakan
pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu Provinsi,
dan/atau Panwas Kabupaten/Kota, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor,
dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk sentra penegakan hukum
terpadu. Kententuan lebih lanjut mengenai Gakkumdu diatur dalam Kesepakatan
Bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung
Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu.
Menindaklanjuti ketentuan Pasal 152 UU
Nomor 1 Tahun 2015 tersebut, terbitlah Nota Kesepahaman
antara Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor:
15/NKB/BAWASLU/IX/2015, Nomor: B/38/X/2015, dan Nomor: KEP-153/A/JA/10/2015
tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu.
Pada perkembangannya, terdapat
perubahan sebanyak 2 kali terhadap UU Nomor 1 Tahun 2015, terakhir diubah
dengan UU Nomor 10 Tahun 2016. Di UU Nomor 10 Tahun 2016, Pasal 152 mengalami
perubahan, salah satunya mengenai pengaturan teknis tentang Gakkumdu, yang
sebelumnya diatur melalui kesepakatan bersama, namun diubah diatur dalam
Peraturan Bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa
Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu.
Lalu pada tanggal 21 November 2016
terbitlah Peraturan Bersama Ketua Bawaslu, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016,
Nomor 01 Tahun 2016 dan Nomor 013/JA/11/2016 tentang Sentra Penegakan Hukum
Terpadu pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
serta Walikota dan Wakil Walikota.
Berbeda dengan pengaturan Gakkumdu dengan Nota
Kesepakatan bersama yang dibuat pada tahun 2013 yang mengatur kedudukan
Gakkumdu pada Pilpres, Pileg dan Pemilihan. Peraturan Bersama hanya mengatur
khusus Gakkumdu untuk Pemilihan. Pengaturan mengenai kelembagaan Gakkumdu oleh
Peraturan Bersama juga lebih banyak/rinci dibanding Note Kesepakatan Bersama
sebelumnya yang lebih sederhana. Begitu juga pengaturan tentang pola hubungan
dan tata kerjanya. Misalnya seperti: 1) Struktur Gakkumdu yang sebelumnya hanya
3 jabatan, yaitu Pembina, Ketua dan Anggota, di dalam Peraturan Bersama menjadi
4 jabatan, yaitu Penasihat, Pembina, Koordinator dan Anggota; 2) Peraturan
Bersama mengatur tentang jumlah penyidik kepolisian sebanyak 2-6 orang dan
jaksa sebanyak 2-3 orang. Sebelumnya tidak diatur; 3) Peraturan Bersama
mengatur mengenai teknis penanganan di sebuah daerah yang terhambat keadaan
geografis; 4) Peraturan Bersama mengatur tentang pola hubungan dan tata kerja
mulai dari penerimaan laporan, pembahasan pertama, pembuatan kajian, pembahasan
kedua, penyidikan, pembahasan ketiga dan penuntutan.
Kemudian sering dengan terbitnya UU Nomor 7 Tahun
2017, Gakkumdu juga kembali diatur, khususnya dalam Pasal 486. Ketentuan lebih
lanjut diatur dengan Peraturan Bawaslu. Pada tahun 2018, Bawaslu kemudian
menerbitkan Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2018 tentang Sentra Penegakan Hukum
Terpadu.
Jika Peraturan Bersama mengatur Gakkumdu untuk
penyelenggaraan Pemilihan, maka Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2018 mengatur
tentang Gakkumdu dalam penyelenggaraan pemilu. Secara substansi sebetulnya
tidak banyak perbedaan diantara keduanya. Namun ada beberapa tambahan yang ada
di Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2018, yaitu mengenai pembahasan keempat,
pembahasan yang dilaksanakan untuk menentukan sikap
Gakkumdu dalam melakukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan; atau melaksanakan putusan pengadilan. Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2008 kemudian diganti dengan Peraturan
Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018.
Dari uraian dapat kita lihat kronologis
terbentuknya Gakkumdu yang dilihat dari ketentuan perundang-undangan. Dalam
prakteknya, Topo Santoso dkk dalam buku “Penegakan Hukum Pemilu”, mengatakan
bahwa pada pemilu tahun 2004, Panwas Pemilu bersama
kepolisian dan kejaksaan membangun sistem Penegakan Hukum Pidana Pemilu Terpadu atau disingkat
GAKKUMDU. Hal ini dimaksudkan untuk memperlancar
proses penanganan pidana pemilu mengingat undang-undang pemilu (baik legislatif maupun presiden)
membatasi waktu penanganan perkara
pidana pemilu.[7] Saat itu Gakkumdu dibentuk
bukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan namun dibentuk sesuai kebutuhan
untuk meningkatkan efektivitas penyelesaian
tindak pidana pemilu, butuh keterpaduan dalam sistem peradilan pidana.
PENANGANAN
TINDAK PIDANA PEMILU
Sampai dengan pemilu tahun 1999, undang-undang
terkait pemilu sekalipun memuat ketentuan pidana, sama sekali tidak bicara
mengenai mekanisme penyelesaian tindak pidana yang terjadi. Tampaknya pembuat
undang-undang menyerahkan hal itu kepada ketentuan yang berlaku mengenai
penyelesaian perkara pidana yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Mekanisme penyelesaian tindak pidana tidak berbeda dengan
mekanisme penyelesaian tindak pidana lainnya, yang harus melalui sistem
peradilan pidana, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga peradilan. Ketika
kasus itu memasuki peradilan pun akan melalui tahap-tahap seperti perkara pada
umumnya, yaitu melalui Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), dan
Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi.[8]
Baru pada pemilu tahun 2004 terdapat perubahan
pengaturan, dimana setiap pelanggaran, termasuk tindak pidana, dilaporkan
kepada pengawas pemilu sebelum diteruskan kepada kepolisian untuk dilakukan
penyidikan. Laporan disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak terjadinya
pelanggaran pemilu. Sedangkan pihak yang dapat mengajukan laporan terdiri dari
Warga Negara Indonesia (WNI) yang punya hak pilih, Pemantau Pemilu, dan Peserta
Pemilu.[9]
Selain itu, terdapat pengaturan mengenai batasan waktu penanganan. Pengawas
pemilu memiliki waktu selama 7 (tujuh) hari dan dapat diperpanjang paling lama
14 (empat belas) hari untuk memutuskan apakah laporan tindak pidana dapat
diteruskan kepada penyidik.[10]
Kemudian penyidik melakukan penyidikan paling lama
30 (tiga puluh) hari sejak menerima penerusan dari pengawas pemilu, dan paling
lama 7 (tujuh) hari setelah selesai penyidikan, penyidik menyerahkan berkas
kepada penuntut umum. Penuntut kemudian menyerahkan kepada pengadilan paling
lama 14 (empat belas) hari sejak diterima berkas dari penyidik.[11]
Di tingkat pengadilan, terdapat perbedaan penanganan
atas tindak pidana yang tergantung besaran ancamannya. Terhadap tindak pidana
yang ancamannya kurang dari 18 (delapan belas) bulan, pengadilan negeri
merupakan tingkat pertama dan terakhir, yang diselesaikan paling lama 21 (dua
puluh satu) hari. Sementara bagi tindak pidana yang ancamannya lebih dari 18
(delapan belas) bulan, pengadilan tinggi merupakan tingkat banding dan
terakhir, yang diselesaikan paling lama 14 (empat belas) hari.[12]
Pada pemilu tahun 2009, ada perkembangan penting
dalam penyelesaian tindak pidana pemilu dibandingkan dengan pemilu tahun 2004,
paling tidak menyangkut lima hal, yaitu 1) waktu penyelidikan/penyidikan,
penuntutan, serta pemeriksaan di pengadilan lebih cepat; 2) waktu dan mekanisme
alur pergerakan berkas perkara diatur lebih detail; 3) pemeriksaan perkara
dilakukan oleh hakim khusus; 4) putusan pengadilan negeri boleh dibanding ke
pengadilan tinggi tanpa membedakan besar ancaman hukumannya; dan 5) adanya
keharusan pengadilan untuk memutus perkara pidana pemilu yang dapat memengaruhi
perolehan suara peserta pemilu, paling lambat lima hari sebelum hasil pemilu
ditetapkan secara nasional.[13]
Ketentuan mengenai batas waktu penyampaian laporan
yang sebelumnya diatur paling lama 7 (tujuh) hari, dipersingkat menjadi 3
(tiga) hari. Menurut Topo Santoso dan Ida Budhiati, hal ini merupakan
kemunduran dalam penegakan hukum pemilu, karena tidak memperhitungkan kondisi
di berbagai daerah di Indonesia, sehingga berakibat banyak tindak pidana pemilu
tidak bisa diproses lebih lanjut karena sudah dianggap daluwarsa.[14]
Ketentuan ini hanya akan bermakna “kepastian hukum”, yaitu dengan
“menghanguskan” semua laporan yang disampaikan lebih dari 3 hari sesudah
kejadian. Hal ini akan memudahkan penegak hukum karena mudah dalam menolak
menangani perkara, tetapi akibatnya banyak tindak pidana “menguap” dan
pelakunya tidak tersentuh hukum. Rakyat tidak mendapat keadilan. Proses pemilu
diwarnai pelanggaran yang tidak diproses secara layak. Para pelaku tidak
mendapat sanksi dan tidak akan jera untuk mengulangi lagi di masa depan.
Singkatnya, pengaturan batasan pelaporan yang singkat justeru merusak asas
pemilu, yaitu jujur dan adil.[15]
Masalah batasan penyampaian laporan ini, mengalami
perubahan lagi pada pemilu tahun 2014, khususnya untuk Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD. Ada dua perubahan pengaturan, yaitu waktu yang semula hanya 3 hari
menjadi 7 hari. Selain itu, jika dulu dihitung sejak terjadinya pelanggaran,
pada pemilu 2014 dihitung sejak diketahuinya pelanggaran pemilu.[16]
Norma “sejak diketahui” itu dibandingkan norma “sejak terjadinya”, menurut
penulis, sedikit membuka ruang penanganan bagi pelanggaran yang sudah terjadi
lama, namun tidak memberikan kepastian hukum, karena norma itu bisa saja
dimanipulasi oleh pelapor dengan mengaku baru mengetahui kejadian. Sebagai
contoh, Caleg A mengetahui bahwa Caleg B menggunakan ijazah palsu saat
mendaftarkan diri dalam pencalonan, namun hal itu tidak dilaporkan oleh Caleg A
kepada pengawas pemilu. Setelah dilaksanakan pemungutan suara beberapa bulan
setelahnya, ternyata perolehan suara Caleg A kalah dengan suara Caleg B. Karena
kalah, Caleg A melaporkan kepada pengawas pemilu dengan mengaku baru mengetahui
jika ijazah Caleg B adalah palsu.
Selain batasan penyampaian laporan dalam pemilu
tahun 2009, penanganan oleh pengawas pemilu yang semula paling lama 14 (empat
belas) hari, dipersingkat menjadi 5 (lima) hari. Penyidikan yang semula 30
(tiga puluh) hari menjadi 14 (empat belas) hari. Penuntutan yang semula 14
(empat belas) hari menjadi hanya 5 (lima) hari. Sementara PN dan PT memutus
paling lama 7 (tujuh) hari, lebih singkat dari pada sebelumnya, yaitu 21 (dua
puluh satu) hari di tingkat PN dan 14 (empat belas) hari di tingkat PT.
Dari sejarah penanganan tindak pidana pada tiap
pemilu tersebut, meskipun sudah terdapat peranan dari pengawas pemilu, polisi
sebagai penyidik, dan jaksa sebagai penuntut umum, namun dalam pola
penanganannya dilakukan secara terpisah, artinya semua bekerja sesuai dengan
pola dan mekanisme instansinya masing-masing.
Baru pada pemilu tahun 2014, terbentuk Sentra
Penegakan Hukum Terpadu yang merupakan wadah bagi pengawas pemilu, polisi dan
jaksa dalam melakukan penanganan tindak pidana pemilu, sebagaimana diatur Pasal
267 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD,
yang isinya menyebutkan bahwa sentra penegakan hukum terpadu dibentuk untuk menyamakan
pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu, Bawaslu, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Dengan adanya
Gakkumdu, pola penanganan tindak pidana tidak lagi sesuai dengan instansi
masing-masing, tetapi ditetapkan secara bersama-sama antara pengawas pemilu,
polisi, dan jaksa.
Jika dilihat dari Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun
2018 Tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu, proses penanganan tindak pidana
pemilu meliputi:
1. Penerimaan temuan dan laporan dugaan pelanggaran pemilu;
2. Pembahasan pertama;
3. Kajian pelanggaran pemilu oleh pengawas pemilu;
4. Pembahasan kedua;
5. Penyidikan;
6. Penuntutan;
7. Pembahasan ketiga.
Dalam proses penerimaan temuan dan laporan,
pengawas pemilu didampingi oleh polisi dan jaksa yang tergabung dalam Gakkumdu.
Pendampingan oleh polisi dan jaksa ini dilakukan untuk membantu mengidentifikasi
adanya dugaan tindak pidana dalam temuan atau laporan, serta menjadi ruang
konsultasi bagi pengawas pemilu.[17]
Dalam ketentuan itu terdapat norma “temuan”, yang berarti dugaan pelanggaran
yang ditemukan oleh pengawas pemilu setelah melakukan pengawasan pemilu. Jika
laporan merupakan peristiwa dugaan pelanggaran yang disampaikan oleh pihak lain
(WNI yang punya hak pilih, Pemantau Pemilu dan Perserta Pemilu), maka temuan
adalah dugaan pelanggaran yang ditemukan sendiri oleh pengawas pemilu.
Pembahasan pertama merupakan pertemuan yang
dilakukan oleh pengawas pemilu, polisi, dan jaksa. Pertemuan ini dilakukan
paling lama 1x24 jam setelah temuan atau laporan diterima dan diregister oleh
pengawas pemilu dan bertujuan untuk menentukan pasal pidana yang akan
disangkakan terhadap pertistiwa yang ditemukan atau dilaporkan.[18] Pembahasan
pertama ini dipimpin oleh Koordinator Gakkumdu dari unsur Pengawas Pemilu.[19]
Setelah dilakukan pembahasan pertama, pengawas
pemilu kemudian membuat kajian. Dalam proses kajian ini, pengawas pemilu dapat
melakukan klarifikasi para pihak seperti, pelapor, saksi, dan terlapor. Selain
itu dapat juga meminta keterangan ahli. Ketika meminta klarifikasi atau
keterangan, pengawas pemilu dapat didampingi oleh polisi dan jaksa.[20]
Hasil dari kajian pengawas pemilu tersebut kemudian
menjadi bahan dalam pembahasan kedua, yaitu pertemuan pengawas pemilu, polisi,
dan jaksa untuk menyimpulkan apakah temuan atau laporan merupakan tindak pidana
pemilu atau bukan. Jika merupakan tindak pidana, maka diteruskan ke tingkat
penyidikan. Sebaliknya jika bukan merupakan tindak pidana, maka temuan atau
laporan dihentikan. Pembahasan kedua ini, dipimpin oleh Koordinator Gakkumdu
dari unsur Pengawas Pemilu.[21]
Jika temuan atau laporan merupakan tindak pidana
pemilu, maka polisi penyidik yang tergabung dalam gakkumdu melakukan penyidikan
paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima penerusan dari pengawas
pemilu.[22]
hasil dari penyidikan ini, kemudian dijadikan bahan untuk melakukan pembahasan
ketiga, yaitu pembahasan yang dilakukan 3 unsur untuk menentukan apakah hasil
penyidikan dapat dilimpahkan kepada jaksa
penuntut umum atau tidak. Pembahasan ketiga ini, dipimpin oleh
Koordinator Gakkumdu dari unsur kepolisian.[23]
Apabila berdasarkan keputusan Gakkumdu hasil
penyelidikan dilimpahkan kepada jaksa, maka kemudian jaksa penuntut umum
melimpahkan berkas kepada pengadilan negeri, paling lama 5 (lima) hari sejak
berkas diterima dari penyidik. Penuntut umum kemudian menyusun surat dakwaan.[24]
Perkara kemudian berlanjut ke pengadilan sampai
dengan dibacakannnya putusan. Berikutnya dilakukan pembahasan keempat yang
dipimpin oleh koordinator gakkumdu dari unsur kejaksaan. Dilakukan paling lama
1x24 jam setelah putusan dibacakan oleh pengadilan. Pembahasan ini bertujuan
untuk menentukan sikap apakah akan melakukan upaya hukum atas putusan
pengadilan atau melaksanakannya.[25]
Begitulah pola penanganan tindak pidana pemilu yang
diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018, yang ruang lingkupnya hanya
untuk pemilu presiden dan wakil presiden, serta pemilu anggota DPR, DPD, dan
DPRD. Sementara untuk pola penanganan tindak pidana pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota (disebut Pemilihan) diatur tersendiri dengan Peraturan Bersama
Ketua Bawaslu, Kepala Polri dan, Jaksa Agung.[26]
Meskipun diatur dengan peraturan yang berbeda, pola penanganannya kurang lebih
sama, perbedaannya terletak pada batas waktu penangannya, dimana untuk
pemilihan merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah sebanyak 2 kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Sebagaimana tujuan awalnya dibentuk,
Gakumdu dimaksudkan untuk menyamakan persepsi antar lembaga penegakan hukum
pemilu ketika ada kasus pelanggaran pemilu. Penyamaan persepsi ini menjadi
penting untuk menghindari perbedaan tafsir terhadap ketentuan pidana pemilu yang
ada di dalam UU, ataupun langkah yang akan diambil oleh Bawaslu sebagai
penerima pelanggaran untuk menaikkan status pelanggaran menjadi penyidikan.
Namun, fakta yang terjadi justru Gakumdu yang mempersulit jalannya proses
terhadap pelanggaran pidana pemilu. Acap kali setiap dugaan pelanggaran pidana
pemilu menjadi mentok dan tidak ditindaklanjuti menjadi penyidikan karena
perdebatan yang tak henti, serta Kepolisian dan Kejaksaan yang tidak sepakat
dengan Bawaslu untuk menaikkan status laporan pelanggaran menjadi penyidikan di
Kepolisian.[27]
Menurut Yusti Erlina, Kepala Bagian
Temuan dan Laporan Bawaslu, memang sering kali ketika laporan pelanggaran
pidana masuk ke Bawaslu, dan internal Bawaslu sudah menyimpulkan bahwa itu
pelanggaran, namun ketika dibawa ke ruang diskusi Sentra Gakumdu yang di sana
terdapat Kepolisian dan Kejaksaan, maka pelanggaran ini akan dimentahkan.[28]
Apa yang diutarakan oleh Yusti, berkesesuaian dengan
apa yang dikatakan Topo Santoso dan Ida Budhiati dalam bukunya, bahwa para
anggota Bawaslu/Panwaslu cenderung menyalahkan polisi (dan jaksa) yang dianggap
kurang menguasai dan netral dalam menangani kasus-kasus pemilu, sementara pihak
polisi dan jaksa cenderung beranggapan anggota Bawaslu/Panwaslu kurang memahami
persoalan hukum (khususnya hukum pidana).[29]
Namun yang disampaikan oleh Topo dan Ida tersebut, persoalan penanganan tindak
pidana yang muncul dalam konteks ketika pengawas pemilu kebanyakan tidak
berlatar belakang hukum.
Dari uraian tersebut setidaknya dapat disimpulkan, bahwa
alih-alih dibentuk untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana
pemilu, yang terjadi justeru sebaliknya, terjadi perbedaan antar ketiga unsur
yang ada dalam gakkumdu.
Selain itu, keharusan adanya sentra gakkumdu dalam
penanganan tindak pidana pemilu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, juga pernah menghambat penanganan tindak
pidana pemilu. Seperti kasus Partai Perindo pada bulan Februari-Maret 2018
lalu, dimana Partai Perindo melakukan kampanye di media elektronik (televisi).
Menurut Bawaslu, apa yang dilakukan oleh Partai Perindo merupakan kampanye di
luar jadwal, mengingat kampanye itu dilakukan sebelum masa kampanye di mulai[30].
Namun demikian, penanganan tidak bisa dilanjutkan, karena saat itu gakkumdu
belum terbentuk.[31]
Jika sebelumnya masalah yang muncul terkait perbedaan pendapat, untuk kasus ini
justeru hambatan muncul hanya karena masalah teknis.
KESIMPULAN
Berdasarkan ulasan di atas, dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Bahwa Sentra Penegakan Hukum Terpadu dalam sejarah pemilu
di Indonesia, khususnya dalam penanganan tindak pidana pemilu, secara hukum
mulai muncul sejak adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa
Gakkumdu dibentuk oleh Bawaslu, Polri dan Jaksa Agung yang tujuannya untuk
menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu. Gakkumdu dalam
perkembanganya kemudian diatur juga dalam Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah sebanyak 2 kali,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016;
2. Kelembagaan Gakkumdu diatur mulai dari Nota Kesepakatan Bersama,
Peraturan Bersama, sampai dengan Peraturan Bawaslu;
3. Kedudukan Gakkumdu hanya berada di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota;
4. Dengan adanya Gakkumdu, penanganan tindak pidana dilakukan secara
bersama-sama oleh pengawas pemilu, polisi, dan jaksa, mulai dari penerimaan
temuan dan laporan dugaan pelanggaran di tingkat pengawas pemilu, sampai dengan
penyikapan terhadap putusan pengadilan;
5. Pada praktinya, alih-alih bertujuan menyamakan pemahaman dan pola
penanganan, yang terjadi justeru sering terjadi perbedaan pandangan atau
pendapat antara pengawas pemilu, polisi, jaksa yang tergabung dalam Gakkumdu;
6. Penanganan tindak pidana pemilu juga mendapat hambatan dari adanya
pengaturan batasan waktu penanganan yang relatif singkat.
Dari kesimpulan-kesimpulan berdasarkan
hasil penelitian tersebut, untuk sementara penulis berpendapat, Gakkumdu yang
pada awal terbentuknya diharapkan dapat memberi kemudahan dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana, yang tidak terlepas dari upaya menciptakan pemilu
demokratis, justeru tidak menampakkan keberhasilannya.
Karena terbatasnya penelitian dalam
penulisan ini, sekiranya masih perlu dilakukan penelitian secara empiris, untuk
melihat efektifitas dari Gakkumdu, dimana hasil dari penelitian itu bisa digunakan
sebagai argumentasi untuk menentukan apakah keberadaan Gakkumdu masih bisa dilakukan
perbaikan atau justru ditiadakan.
***
BAHAN BACAAN
Buku:
1. Internasional IDEA, Standar-standar Internasional Pemilihan Umum: Pedoman
Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu”, Jakarta:
International IDEA, 2004
2.
Topo
Santoso dkk (Tim Peneliti Perludem), “Penegakan
Hukum Pemilu: Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014
3. Topo
Santoso dan Ida Budhiati, “Pemilu Di
Indonesia: Kelembagaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan”, terbitan Sinar
Grafika, cetakan pertama, 2019
4. Veri
Junaidi dkk, “Evaluasi Penegakan Hukum
Pemilu 2014”, terbitan Yayasan Perludem
Perundang-Undangan:
1.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
2.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
3.
UU
Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
4.
UU
Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
5.
UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD dan DPRD
6.
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-Undang, sebagaimana telah diubah sebanyak 2 kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
7.
UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum
8. Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Sentra Gakkumdu
Putusan Peradilan:
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004
Berita:
“Terbukti Langgar UU,
Perindo Tak Bisa Dikenakan Sanksi” dimuat pada laman www.liputan6.com, pada tanggal 23 Maret
2018
[1] Disusun sebagai tugas mata kuliah
Sejarah Hukum, dengan dosen pengampu, Dr. Arrisman.,S.H.,M.H, pada Magister
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Nasional
[2] Mahasiswa Magister Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Nasional
[3] Topo Santoso dan Ida Budhiati, “Pemilu Di Indonesia: Kelembagaan,
Pelaksanaan, dan Pengawasan”, terbitan Sinar Grafika, cetakan pertama,
2019, halaman 1
[4] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
072-073/PUU-II/2004
[5] Internasional IDEA, Standar-standar
Internasional Pemilihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum
Pemilu”, Jakarta: International IDEA, 2004.
[6] Lihat dalam buku elektronik karangan
Veri Junaidi dkk, “Evaluasi Penegakan
Hukum Pemilu 2014”, terbitan Yayasan Perludem, halaman 49
[7] Lihat dalam buku elektronik karangan
Topo Santoso dkk (Tim Peneliti Perludem), “Penegakan
Hukum Pemilu: Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014”, tercantum pada
catatan kaki halaman 109
[8] Op.cit,
Topo Santoso dan Ida Budhiati, halaman 156-157
[9] Lihat Pasal 127 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 12/2013), serta Pasal
79 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
(UU 23/2003).
[10] Lihat Pasal 128 UU 12/2003 dan Pasal 80
UU 23/2003
[11] Lihat Pasal 131 UU12/2003 dan Pasal 83
UU 23/ 2003
[12] Lihat Pasal 133 UU 12/2003 dan Pasal 84
UU 23/ 2003
[13] Op.cit,
Topo Santoso dan Ida Budhiati, halaman 213. Bisa dilihat juga dalam UU
Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta UU Nomor
42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
[14] Ibid,
Topo Santoso dan Ida Budhiati, halaman 213-214
[15] Ibid,
halaman 215
[16] Lihat Pasal 249 ayat (4) UU Nomor 8
Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
[17] Lihat Pasal 19 Peraturan Bawaslu Nomor
31 Tahun 2018 Tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu
[18] Ibid,
Pasal 20
[19] Dalam Struktur Gakkumdu terdapat 3
koordinator yang mewakili masing-masing instansi (pengawas pemilu, kepolisian
dan kejaksaan)
[20] Op.cit,
Pasal 21 Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018
[21] Ibid,
Pasal 23
[22] Ibid,
Pasal 25
[23] Ibid,
Pasal 26
[24] Ibid,
Pasal 29
[25] Ibid,
Pasal 31
[26] Peraturan Bersama Ketua Bawaslu, Kepala
Polri, dan Jaksa Agung Nomor 14 Tahun 2016, Nomor 01 Tahun 2016, dan Nomor
013/JA/11/2016 Tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu dalam Pemilihab Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
[27] Op.cit,
Veri Junaidi dkk, “Evaluasi Penegakan
Hukum Pemilu 2014”, halaman 49-50
[28] Ibid
[29] Op.cit,
Topo Santoso dan Ida Budhiati, halaman 216.
[30] Ketentuan Pasal 492 UU
Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
[31] Lihat berita berjudul “Terbukti Langgar
UU, Perindo Tak Bisa Dikenakan Sanksi” dimuat pada laman www.liputan6.com, pada tanggal 23 Maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar