Oleh: Asep Mufti,
S.H.[2]
Pemilihan Umum Tahun
2019 merupakan pengalaman pertama di Indonesia, yang mana Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD dan DPRD (Pileg) dilakukan secara bersamaan dengan Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Secara hukum pelaksanaan pemilu
tersebut diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU
Pemilu).
Secara hukum,
keserantakan pemilu diawali dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
14/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada tanggal 23 Januari 2014. Putusan atas
pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden ini diajukan oleh Effendi Gazali. Perkara ini diajukan saat
momentum Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD, serta Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden pada Tahun 2014.
Setidaknya terdapat 4
pertimbangan Majelis Hakim MK saat itu, yang akhirnya menjadi dasar
diselenggarakannya pemilu secara serentak. Pertimbangan-pertimbangan itu
meliputi[3]:
1. Penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan
rancang bangun sistem pemerintahan menurut UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan
presidensial. Arah penyelenggaan pilpres adalah untuk memperkuat sistem itu.
Sementara menurut Mahkamah, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan
Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata dalam
perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah
yang dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun
berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks
and balances), terutama antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik.
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis
yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan
koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik
secara alamiah. Model koalisi yang dibangun antara partai politik dan/atau
dengan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden justru tidak memperkuat sistem
pemerintahan presidensial;
2. Dari sisi original intent, makna asli yang
dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa
penyelenggaraan Pilpres adalah dilakukan serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan. Hal itu secara tegas dikemukakan oleh Slamet Effendy Yusuf sebagai
salah satu anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI yang
mempersiapkan draft perubahan UUD 1945 yang mengemukakan bahwa para anggota
MPR yang bertugas membahas perubahan UUD 1945 ketika membicarakan mengenai
permasalahan ini telah mencapai satu kesepakatan bahwa “...yang dimaksud
pemilu itu adalah pemilu untuk DPR, pemilu untuk DPD, pemilu untuk presiden dan
wakil presiden, dan DPRD. Jadi, diletakkan dalam satu rezim pemilu.”
Diterangkan lebih lanjut secara teknis bahwa gambaran pelaksanaan Pemilu
nantinya akan terdapat 5 (lima) kotak, yaitu “... Kotak 1 adalah kotak DPR,
kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3 adalah presiden dan wakil presiden, dan kotak
4 adalah DPRD provinsi, kotak 5 adalah DPRD kabupaten/kota.” (vide Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku V Pemilihan
Umum (2010), halaman 602 yang mengutip Risalah Komisi A ke-2 Sidang Majelis
pada Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 5 November 2001);
3. Penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan
penyelenggaraan lebih menghemat uang negara;
4. Dalam pemilu serentak, warga negara dapat memilih
secara cerdas dan memetakan checks and balances, dengan cara
mempertimbangkan sendiri mengenai penggunaan pilihan untuk memilih anggota DPR
dan DPRD yang berasal dari partai yang sama dengan calon presiden dan wakil
presiden.
Mahkamah Konstitusi
tidak memberlakukan putusan tersebut pada Pemilu Tahun 2014, mengingat proses
dan tahapan sedang berjalan dan mendekati waktu pelaksanaan, sehingga apabila
diberlakukan pada Pemilu Tahun 2014 akan mengalami kekacauan dan menimbulkan
ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan
UUD 1945[4].
Karena merupakan yang
pertama kali dalam sejarah pemilu di Indonesia, keserentakan pemilu berpotensi
menimbulkan kompleksitas dalam pelaksanaannya. Seperti yang dikatakan oleh
Ketua Bawaslu, Abhan, yang mengatakan bahwa pemilu 2019 dapat dipastikan akan
diwarnai dengan berbagai kompleksitas baik pada aspek penyelenggaraan,
pengawasan, maupun pada aspek partisipasi pada masyarakat pemilih[5].
Sudah
kita ketahui bersama, Pilpres Tahun 2019 diikuti oleh 2 pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden, yaitu Pasangan Calon Nomor Urut 01, Joko Widodo dan Ma’ruf
Amin, dan Pasangan Calon Nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga
Salahuddin Uno. Sementara Pileg diikuti oleh 16 partai politik nasional dan 4
partai politik lokal di Aceh.
Pada
saat pemungutan suara, yaitu tanggal 17 April 2019, Pemilih mencoblos 5 surat
suara yang terdiri dari Pilpres (berwarna abu-abu), DPD (warna merah), DPR
(warna kuning), DPRD Provinsi (warna biru), dan DPRD Kab/Kota (warna hijau).
Berdasarkan
ketentuan Pasal 383 UU Pemilu, penghitungan suara dimulai setelah pemungutan
suara berakhir dan berakhir pada hari pemungutan suara. Secara teknis,
sebagiamana diatur Peraturan KPU[6], pemungutan suara di dalam negeri dimulai
pukul 07.00 sampai dengan pukul 13.00 waktu setempat. Berdasarkan norma
tersebut, jika pemungutan suara dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 17 April
2019, maka penghitungan suara baru bisa dimulai sejak pukul 13.00 waktu
setempat dan harus sudah selesai pada jam 24.00 waktu setempat. Berdasarkan
Pasal 11 ayat (1) dalam Peraturan KPU yang sama, jumlah pemilih dalam satu TPS
ditetapkan paling banyak 300 orang.
Sebagai bentuk
persiapan, KPU sebagai penyelenggara pernah menggelar simulasi pada tanggal 12
Maret 2019 lalu, untuk memprediksi lamanya waktu penghitungan suara. Berdasarkan
simulasi yang dilakukan, menurut Anggota KPU Viryan Aziz, hasil simulasi menunjukkan
penghitungan suara selesai di atas pukul 24.00. Hal ini dikarenakan kertas
suara dan pilihan yang banyak, sehingga penghitungan saat simulasi tidak dapat
selesai pukul 24.00.[7]
Dari
uraian di atas terlihat permasalahan antara norma perundang-undangan dan
realitas yang terjadi. Pasal 383 UU Pemilu mengharuskan penghitungan harus
selesai pada hari yang sama dengan pemungutan suara, sementara realitasnya
berdasarkan simulasi yang dilakukan, penghitungan bisa melebihi waktu yang
ditentukan norma hukum tersebut.
Terhadap
persoalan tersebut, beberapa elemen masyarakat yang terdiri dari 1 1embaga dan
6 orang lainnya mengajukan permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah
Konstitusi dengan nomor perkara 20/PUU-XVII/2019. Salah satu pasal yang diuji
adalah Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu.
Menurut alasan para pemohon frasa “hanya
dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara”
dalam pasal 383 ayat (2) yang membatasi penghitungan suara, berpotensi tidak
terpenuhi akibat kompleksitas penghitungan. Sehingga dapat memengaruhi
kondusifitas dan keabsahan Pemilu 2019. Oleh karena itu pasal tersebut dapat
menyebabkan kerugian hak konstitusional Para Pemohon yang dijamin dalam Pasal
22E ayat (1) UUD 1945.[8]
Setelah melalui
proses pemeriksaan, MK membacakan putusan atas permohonan tersebut pada tanggal
28 Maret 2019. Di salah satu amar putusannya, MK menyatakan Pasal 383 ayat (2)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang norma itu
tidak dimaknai dapat diperpanjang tanpa jeda paling lama 12 (dua belas) jam
sejak berakhirnya hari pemungutan suara. Sederhanya, melalui putusan itu, MK
memperpanjang waktu penghitungan suara, semula diatur harus selesai pada hari
yang sama atau sampai pukul 23.59, dipenjanjang paling lama 12 jam dengan
catatan tanpa jeda, ini berarti pengitungan suara bisa dilakukan sampai dengan
pukul 12.00 pada keesokan harinya sejak hari pemungutan suara.
Berdasarkan uraian
tersebut, melalui tulisan ini, penulis hendak melihat putusan MK tersebut
melalui pendekatan sosiologi hukum.
Menurut Soerjono
Soekanto, sosiologi hukum merupakan ilmu pengetahuan tentang realitas hukum. Di
satu pihak terdapat anggapan bahwa hukum merupakan hasil atau timbul dari
proses-proses sosial lainnya (the genetic sociology of law). Di lain
pihak, terdapat anggapan bahwa hukum merupakan pengarah terhadap kehidupan
sosial (the operational sociology of law). Kedua pendekatan itu
mempunyai hubungan timbal balik, sehingga dapat dikatakan, sosiologi hukum
menyoroti hubungan timbal balik antara hukum denga proses-proses sosial
lainnya dalam masyarakat.[9]
Sementara menurut
Satjipto Rahardjo, terdapat 3 karakteristik studi hukum yang merupakam kunci
untuk melakukan penyelidikan dalam bidang sosiologi hukum. 3 karekteristik itu
meliputi: Pertama, sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan
terhadap praktek-praktek hukum, mengapa praktek yang demikian itu terjadi,
sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang berpengaruh, latarbelakang dan
sebagainya. Kedua, sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris
(emperical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Ketiga,
sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Perhatiannya yang
utama hanyalah memberikan penjelasan terhadap obyek yang dipelajarinya atau
penjelasan terhadap fenomen hukum yang nyata.[10]
Melalui tulisan ini,
penulis hendak melihat aspek sosiologis dari Putusan MK Nomor: 20/PUU-XVII/2019. Realitas sosial
apa yang ditangkap oleh Majelis Hakim MK yang menjadi dasar dalam memberikan
putusan, yang pada hakikatnya adalah menciptakan norma baru, hal mana merupakan
hubungan timbal balik dari hukum dan realitas sosial sebagaimana dimaksud
Serjono Soekanto.
Selain itu, untuk melihat cara pandang Majelis Hakim
MK dalam menguji kesahihan empiris terhadap norma Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu,
sebagaimana menjadi satu pendekatan sosiologi hukum seperti dikatakan oleh
Satjipto Rahardjo.
Bahwa bunyi Pasal 383 UU Pemilu lebih lengkapnya
adalah sebagai berikut:
(1) Penghitungan suara
di TPS/TPSLN dilaksanakan setelah waktu pemungutan suara berakhir.
(2) Penghitungan
suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di
TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara.
Dari ketentuan Pasal
383 tersebut, norma yang dipermasalahkan oleh Pemohon pengujian undang-undang
di MK adalah frasa “hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang
bersangkutan pada hari pemungutan suara” yang ada pada ayat (2). Dalam
permohonannya, pemohon meminta kepada MK untuk menegaskan Pasal 383 ayat (2) UU
Pemilu yang mengatur batas waktu penghitungan yang harus selesai pada hari
pemungutan suara, dimaknai dapat melebihi pukul 23.59 di hari pemungutan suara
asalkan penghitungan tetap dilakukan secara tidak terputus hingga paling lama di
hari berikutnya. Hal ini penting agar tidak menimbulkan persoalan dan
komplikasi hukum yang dapat menyebabkan dipersoalkannya keabsahan Pemilu 2019.
Apalagi hasil simulasi penghitungan menunjukkan kemungkinan terlewatinya batas
waktu tersebut.[11]
Pemohon
mengkhawatirkan keabsahan pemilu 2019, apabila dalam penghitungan suara
melibihi batas waktu yang ditentukan oleh pasal 383 ayat (2) UU Pemilu.
KPU sebagai
penyelenggara pemilu, dalam persidangan yang dilakukan oleh MK memberikan
keterangan bahwa berdasarkan simulasi-simulasi yang dilakukan oleh KPU, jika
penghitungan suara dinilai selesai pada saat selesainya pencatatan hasil suara
pada form C1 Plano, maka batas waktu yang diatur dapat dikatakan cukup.
Sementara proses menyalin hasil suara dalam Berita Acara dan Sertifikat tidak
termasuk di dalamnya. Namun KPU meminta adanya kelonggaran waktu untuk
mengantisipasi kejadian-kejadian khusus yang terjadi pada saat proses
penghitungan suara dilaksanakan.[12]
Bawaslu sebagai
lembaga pengawas, yang juga memberi keterangan dalam persidangan, mengatakan
bahwa berkaca pada Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
Kab/Kota Tahun 2014 yang menggunakan 4 jenis surat suara, banyak TPS yang
melakukan penghitungan surat suara dan pengadministrasian dokumen dan berkas
pungut-hitung yang melewati pukul 24.00 waktu setempat. Apalagi, pemilihan
dengan lima jenis surat suara seperti pemilu serentak 2019, penghitungan dan
pengadministrasian bakal molor dari waktu yang ditentukan.[13]
Dari keterangan yang
disampaikan Pemohon, KPU, dan Bawaslu, setidaknya dapat disimpulkan bahwa
terdapat realitas dimana pengitungan suara selama ini membutuhkan waktu yang
cukup lama, dan terdapat potensi melebihi batas waktu yang ditentukan pada pemilu
2019, mengingat terdapat tambahan kertas suara yang akan dihitung. Dari
realitas itu, maka keberlakukan atau kesahihan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu
akan diuji.
Bahwa terhadap
permasalahn itu, MK dalam putusannya memberikan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Pemilu 2019
merupakan pemilu serentak pertama karena untuk pertama kalinya, pemilu presiden
dan wakil presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilu anggota legislatif
(yaitu pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota).
Salah satu konsekuensi keserentakan pemilu dimaksud adalah bertambahnya jenis
surat dan kotak suara. Jika pada Pemilu 2014, in casu pemilu anggota
legislatif, terdapat empat kotak suara maka pada Pemilu 2019, yang
menggabungkan penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan
bersamaan dengan pemilu anggota legislatif, terdapat lima kotak suara.
Penyelenggaraan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, akan menimbulkan
beban tambahan dalam penyelenggaraan termasuk memerlukan waktu lebih lama.
Apalagi, jumlah partai politik peserta Pemilu 2019 lebih banyak dari Pemilu
2014. Terkait dengan hal itu, Pasal 350 ayat (1) UU Pemilu mengantisipasi
dengan cara membatasi bahwa pemilih untuk setiap TPS paling banyak 500 orang.
Bahkan, setelah melalui simulasi, sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Peraturan KPU
Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan
Umum, KPU mengatur bahwa jumlah pemilih untuk setiap TPS paling banyak 300
orang.
Bahwa sekalipun
jumlah pemilih untuk setiap TPS telah ditetapkan paling banyak 300 orang, namun
dengan banyaknya jumlah peserta pemilu, yang terdiri dari dua pasangan calon
presiden, 16 (enam belas) partai politik nasional dan khusus Aceh ditambah
dengan 4 (empat) partai politik lokal peserta pemilu dengan tiga tingkat
pemilihan, dan perorangan calon anggota DPD, serta kompleksnya
formulir-formulir yang harus diisi dalam penyelesaian proses penghitungan
suara, potensi tidak selesainya proses penghitungan suara pada hari pemungutan suara
sangat terbuka. Belum lagi jika faktor kapasitas dan kapabilitas aparat
penyelenggara pemilu, khususnya di tingkat TPS, turut dipertimbangkan.
Oleh karena itu,
dalam hal potensi yang tak dikehendaki tersebut benar-benar terjadi, sementara
UU Pemilu menentukan pembatasan waktu yang sangat singkat dalam menghitung
suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara, maka keabsahan hasil
pemilu akan menjadi terbuka untuk dipersoalkan.
Bahwa untuk mengatasi
potensi masalah tersebut maka ketentuan pembatasan waktu penghitungan suara
sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu harus dibuka namun dengan
tetap memerhatikan potensi kecurangan yang mungkin terjadi. Potensi kecurangan
mana akan terbuka jika proses penghitungan suara yang tidak selesai pada hari
pemungutan suara lalu dilanjutkan pada hari berikutnya dengan disertai jeda
waktu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, perpanjangan jangka waktu
penghitungan suara hanya dapat dilakukan sepanjang proses penghitungan
dilakukan secara tidak terputus hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya
hari pemungutan suara di TPS/TPSLN. Perpanjangan hingga paling lama 12 jam
sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN, yaitu pukul 24.00 waktu
setempat, merupakan waktu yang masuk akal, jika waktu tersebut diperpanjang
lebih lama lagi justru akan dapat menimbulkan masalah lain di tingkat KPPS.
Bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat, sebagian dalil para Pemohon
sepanjang menyangkut pembatasan waktu penghitungan suara di TPS/TPSLN
sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu cukup beralasan. Hanya
saja, untuk mengurangi segala kemungkinan risiko, terutama risiko kecurangan,
lama perpanjangan waktu penghitungan suara cukup diberikan paling lama 12 (dua
belas) jam. Dengan waktu tersebut, dalam batas penalaran yang wajar, sudah
lebih dari cukup untuk menyelesaikan potensi tidak selesainya proses
penghitungan suara di TPS/TPSLN pada hari pemungutan suara. Sehubungan dengan
itu, maka Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu harus dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945 sepanjang tidak dimaknai, “Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari
pemungutan suara dan dalam hal penghitungan suara belum selesai dapat diperpanjang
paling lama 12 (dua belas) jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara.”
Dengan dimaknainya
Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu sebagaimana dinyatakan di atas maka semua norma
yang memuat batas waktu yang terkait atau terdampak dengan penambahan waktu 12
(dua belas) jam tersebut harus pula disesuaikan dengan penambahan waktu
dimaksud.”[14]
Jika dilihat dari
pertimbangan MK tersebut, nampak bahwa MK mencoba memberikan penjelasan
terhadap praktik-praktik hukum, khususnya mengenai pengitungan suara pada
pemilu 2014, dan hal tersebut menjadi salah satu dasar bagi MK dalam memberikan
putusan. Dengan demikian, merujuk pada pendapat Satjipto Rahardjo, dengan melihat
praktik-praktik hukum tersebut, maka MK telah melakukan sebuah penyelidikan
dalam bidang sosiologi hukum.
Pertimbangan MK yang
menyatakan “untuk mengurangi segala kemungkinan risiko, terutama risiko
kecurangan, lama perpanjangan waktu penghitungan suara cukup diberikan paling
lama 12 (dua belas) jam. Dengan waktu tersebut, dalam batas penalaran yang
wajar, sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan potensi tidak selesainya
proses penghitungan suara di TPS/TPSLN pada hari pemungutan suara,” menurut
penulis telah menjadikan putusan MK sebagai pengendali sosial atau pengarah
terhadap praktik penghitungan suara (the operational sociology of the law).
Putusan MK tersebut
pada praktiknya, sangat tepat dan efektif. Ini dikarenakan, menurut informasi
yang diterima oleh penulis dari beberapa daerah, dalam kapasitas penulis
sebagai pekerja di Bawaslu, pada umumnya Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS) yang melakukan penghitungan suara di TPS, dengan daftar
pemilih lebih dari 200 orang, dapat menyelesaikan pengitungan suara pada
sekitar pukul 3-5 pagi. Dengan demikian, apabila MK tidak membuat penasiran
terhadap Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu dengan memperpanjang waktu selama 12 jam,
maka dapat dipastikan banyak pengitungan suara yang dilakukan melebihi batas
waktu.
Meski secara hukum
Putusan MK sangat tepat dan tidak menimbulkan persoalan hukum dalam aspek
teknis pengitungan suara, namun di sisi lain kita mendapatkan kenyataan banyak
petugas KPPS yang meninggal dan diduga akibat kelelahan saat bertugas pada
pemilu tahun 2019 ini. Berdasarkan catatan KPU per tanggal 4 Mei 2019, terdapat
440 orang Anggota KPPS meninggal[15]. Fakta ini tentu menjadi keprihatinan
bagi kita semua.
***
[1] Disusun sebagai tugas mata kuliah Sosiologi Hukum,
dengan dosen pengampu, Dr. Rizal Ramadhani, S.H.,LL.M., pada Magister Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Nasional.
[3] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
14/PUU-XI/2013, halaman 78-84. Dokumen putusan dapat diunduh melalui laman www.mahkmahkonstitusi.go.id
[5] Lihat berita “Bawaslu: Pemilu 2019 Akan Diwarnai
Berbagai Kompleksitas”, dimuat tanggal 25 September 2018 pada laman www.nasional.sindonews.com
[6] Pasal 4 ayat (4) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan
Suara dalam Pemilihan Umum, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan KPU Nomor
9 Tahun 2019
[7] Lihat berita berjudul “KPU Prediksi Penghitungan
Suara di Pemilu 2019 Lebih Lama dari Regulasi” dimuat tanggal 27 Maret 2019, di
laman www.suara.com
[9] Soerjono Soekanto, “Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi
Kalangan Hukum”, cetakan keenam, tahun 1991, PT.Citra Aditya Bakti –
Bandung, halaman 4.
[10] Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, cetakan keempat, tahun
1996, PT.Citra Aditya Bakti – Bandung, halaman 327-328
[15] Lihat berita berjudul “Total 554 Orang KPPS,
Panwas dan Polisi Tewas di Pemilu 2019” dimuat tanggal 7 Mei 2019, pada
laman www.cnnindonesia.com
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus