Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah semakin
meluas dan merambah pada berbagai elemen tak terkecuali pada lembaga-lembaga
Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.
Pada lembaga eksekutif, kasus teranyar adalah kasus
yang menjerat Menteri Pemuda dan Olah Raga, Imam Nahrawi. Nahrawi terjerat
kasus penyaluran dana hibah pada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Di
lembaga legislatif, ada kasus besar seperti kasus KTP elektronik yang menjerat
Ketua DPR saat itu, Setya Novanto. Sedangkan pada lembaga yudikatif, terdapat
kasus Ketua MK, Akil Mochtar dan Hakim MK lainnya, Patrialis Akbar yang
terjerat kasus suap. Belakangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga gencar
melakukan operasi tangkap tangan yang menjerat Hakim-Hakim pada pengadilan
negeri. Fakta-fakta ini tentu sangat memprihatinkan.
Pada perkembangannya, Korupsi tidak semata-mata
merugikan keuangan Negara, namun juga telah melanggar hak hak sosial dan
ekonomi masyarakat, bahkan dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime).
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha
untuk memberantas tindak pidana korupsi dan menyelamatkan keuangan Negara.
Berbagai produk perundang-undangan, lembaga dan tim khusus telah dibentuk oleh
pemerintah guna memerangi tindak pidana korupsi sampai ke akar-akarnya demi
menyelamatkan perekonomian dan keuangan Negara.
Korupsi merupakan ancaman serius yang tidak saja
menyerang sendi-sendi perekonomian nasional suatu Negara, namun dampaknya juga
sangat mempengaruhi sistem perekonomian internasional serta melemahkan
nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai keadilan di semua Negara. Berdasarkan
kenyataan tersebut, pemberantasan tindak pidana korupsi bukan merupakan
tanggung jawab satu negara saja, namun merupakan tanggung jawab bersama Negara-negara
di dunia yang dalam penegakan hukumnya membutuhkan kerjasama internasional[3].
Negara-negara di dunia harus bekerja sama dalam
memberantas tindak pidana korupsi, karena kejahatan ini selain bersifat extraordinary crime juga bersifat borderless (tidak memandang batas-batas
Negara) dan transnational (lintas
Negara). Oleh Karena itu penanganannya juga harus secara global dan
transnasional. Namun kerjasama ini tidak semata-mata hanya menghukum para
koruptor sehingga menciptakan efek jera (deterrent
effect) namun juga diusahakan semaksimal mungkin agar kerugian Negara dapat
diselamatkan (asset recovery). Untuk
menyelamatkan aset (asset recovery)
dalam penanganan tindak pidana korupsi, setiap Negara harus membuka hubungan
kerja sama yang lebih luas, tidak hanya dalam penegakan hukum pelakupelakunya
tetapi juga dalam mengembalikan asset hasil korupsi yang
dilarikan/disembunyikan di wilayah Negara lain[4].
PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN
YANG MENGATUR TINDAK PIDANA KORUPSI
Dalam sejarahnya, pengaturan tindak pidana korupsi
telah diatur sejak era kepeminpinan orde lama sampai dengan hingga saat ini.
Berikut ini adalah daftar peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak
pidana korupsi:
1.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
KUHP
yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Wetboek van strafrecht voor Indoensie
(WvSI) yang di Hindia Belanda mulai berlaku pada 1 Januari 1918. Pasca
Indonesia merdeka WvSI tetap berlaku dengan beberapa perubahan dengan terbitnya
UU Nomor 1 Tahun 1946[5].
Dalam
KUHP tidak diatur mengenai definisi korupsi, namun ada beberapa pengaturan
pasal yang mengatur tindakan atau perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai
korupsi, antara lain:
a.
Pasal 209 dan Pasal 419, yang mengatur perbuatan
suap kepada seorang Pejabat;
b.
Pasal 210 dan Pasal 420, yang mengatur perbuatan
suap kepada Hakim dan Penasihat Hukum;
c.
Pasal 415, yang mengatur perbuatan penggelapan
uang yang dilakukan oleh Pejabat;
d.
Pasal 418, yang mengatur gratifikasi yang
diterima oleh Pejabat;
e.
Pasal 423 dan Pasal 424, yang mengatur perbuatan
pejabat yang menguntungkan diri sendiri dan orang lain dengan cara
menyalahgunakan kekuasannya;
f.
Pasal 425, yang mengatur perbuatan pemerasaan
yang dilakukan oleh seorang pejabat.
2.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf
Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 dan Peraturan
Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/ZI/1/7 tanggal 17 April
1958
Menurut
dua peraturan tersebut, terdapat 2 macam perbuatan korupsi, yaitu:
a.
Perbuatan
korupsi pidana, dimana terjalin unsur kejahatan atau pelanggaran, sehingga
berdasarkan itu dapat dipidana dengan hukuman badan dan/atau denda yang cukup
berat di- samping perampasan harta-benda hasil korupsinya (pasal 2).
b.
Perbuatan
korupsi lainnya, dimana terdapat unsur "perbuatan melawan hukum"
(pasal 3). Perbuatan korupsi ini tidak diancam dengan hukuman pidana, melainkan
Pengadilan Tinggi yang mengadilinya atas gugatan Badan Koordinasi Penilik Harta
Benda, dapat merampas harta-benda hasil perbuatan korupsi itu. Yang dimaksud
dengan unsur "perbuatan melawan hukum" tersebut diatas ialah
"onrechtmatige daad" tercantum dalam pasal 1365 K.U.H. Perdata,
perkataan mana menurut yurispuridentie mempunyai ma'na sangat luas yakni : Perbuatatan
atau kelalalaian seseorang, yang oleh karenanya melanggar hak orang lain atau
bertentangan dengan kewajibannya sendiri menurut hukum, atau dengan norma-norma
adat kesopanan yang lazim ataupun bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan
hidup untuk bertindak prihatin terhadap orang lain atau barang c.q. haknya.
Dapatlah kita singkatkan ma'na dari perkataan "perbuatan melawan
hukum" tersebut dengan istilah "perbuatan tercela". Harta-benda
hasil perbuatan tercela inilah yang dapat dirampas oleh Pengadilan Tinggi tadi;
pun juga lain-lain harta-benda yang oleh pasal 12 ayaat (2) dari peraturan
Peperpu tersebut disamakan dengan harta-benda hasil perbuatan tercela dapat
pula dirampas yaitu :
1)
harta-benda
seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak diterangkan olehnya atau
oleh pengurusnya;
2)
harta-benda
yang tidak terang siapa pemiliknya;
3)
harta-benda
seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki dianggap tidak seimbang dengan
penghasilan mata pencahariannya[6].
Maksud
diadakannya peraturan-peraturan Peperpu tersebut ialah supaya dalam tempo
singkat dapat dibongkar perbuatanperbuatan korupsi yang dewasa itu sangat
meraja-lela sebagai akibat dari suasana seakan-akan Pemerintah dewasa itu sudah
tidak mempunyai kewibawaan lagi. Oleh karena itu peraturan peraturan itu dimaksudkan
untuk berlaku buat sementara waktu saja (temporair)[7]
3.
Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960
Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
Dengan
berlakunya UU ini, dua Peraturan Penguasa Perang Pusat Tahun 1958 dinyatakan
tidak berlaku. Namun demikian, perumusan delik yang ada dalam Peraturan
Pengusaha Perang Pusat tersebut diambil alih sepenuhnya oleh UU ini dengan
sedikit perubahan.
Pada
Pasal 1 ayat (1) sub a dan b hanya kata “perbuatan” diganti dengan “tindakan”
karena undang-undang ini memakai istilah “tindak pidana korupsi” bukan
“perbuatan pidana korupsi”. Pada sub c hanya ditambah Pasal 415, 416, 417, 423,
425, 435 KUHP.memang ini menjadi kekurangan Peraturan Penguasa Perang Pusat
karena penggelapan oleh pegawai negeri benar merupakan bentuk inti korupsi di
samping masalah suap menyuap (Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 KUHP)[8].
Berdasarkan
Pasal 1, yang disebut tindak
pidana korupsi ialah:
a.
tindakan
seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung
atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara atau Daerah
atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara
atau Daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal
kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat;
b.
perbuatan
seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan
menyalah-gunakan jabatan dan kedudukan;
c.
kejahatan-kejahatan
tercantum dalam pasal 17 sampai pasal 21 peraturan ini dan dalam pasal 209,
210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.
4.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Pengertian
Korupsi berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1971, lebih luas, yang jika
disimpulkan terdiri dari perbuatan seseorang yang merugikan keuangan Negara dan
yang membuat aparat pemerintah tidak efektif, efisien, bersih dan berwibawa.
Jika hal ini dipahami maka dapat diketahui bahwa tujuan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah : 1) Mencegah kerugian keuangan
Negara 2) Mencapai aparat pemerintah yang efisien, efektif, bersih dan
berwibawa[9].
5.
Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
UU ini merupakan pelaksanaan dari amanat Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
yang merupakan salah satu tuntutan Reformasi 1998.
Keberadaan UU ini sebagai bentuk reaksi atas
persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi pada era Orde Baru,
sekaligus membuktikan keseriusan pemerintah dalam memeberantas korupsi. Untuk
pengertian korupsi, UU ini tetap merujuk pada perundang-undangan yang ada,
Namun dalam UU ini diatur mengenai perbuatan Kolusi dan Nepotisme.
Kolusi berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU ini adalah permufakatan
atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara
Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan
atau negara. Sementara Nepotisme berdasarkan Pasal 1 angka 5 adalah setiap
perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara.
Melalui UU ini juga diatur mengenai kewajiban untuk
mengumumkan dan melaporkan harta kekayaan bagi seseorang yang akan menjadi
pejabat negara.
6.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Menyebutkan, Dihukum Karena Tindak Pidana Korupsi, Yaitu :
a.
barang siapa dengan
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang atau suatu
badan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara
dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b.
barang siapa dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada atau yang karena
jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
c.
barang siapa
melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416,
417, 418, 419, 420, 423, 425, dan pasal 435 kitab undang-undang hukum pidana.
d.
barang siapa memberi
hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan
mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya
atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan itu.
e.
barang siapa tanpa
alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima
pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam pasal
418, 419 dan pasal 420 kitab undang-undang hukum pidana, tidak melaporkan
pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
Tindak
pidana korupsi berdasarkan undang-undang ini lebih luas lagi yaitu dengan
dicantumkan korporasi sebagai subjek hukum. Namun UU ini di beberapa pasal
masih merujuk pada perbuatan atau tindakan yang diatur dalam KUHP. Melalui
perubahan dalam UU No. 20 Tahun 2001, rumusan tindakan yang sebelumnya mengacu
pada KUHP diubah dan dirumuskan secara langusng dengan menyebut unsur-unsur
tindakan yang ada dalam KUHP, selain itu diatur juga mengenai Gratifikasi.
Berdasarkan
pengaturan UU ini, tindakan-tindakan korupsi dapat dikelompokkan sebagai
berikut[10]:
a.
Kerugian Uang Negara
(Pasal 2);
b.
Penggelapan dalam
Jabatan (Pasal 3);
c.
Suap-Menyuap (Pasal
5);
d.
Pemborong perbuatan
curang (Pasal 7);
e.
Benturan kepentingan
dalam pengadaan (Pasal 12);
f.
Gratifikasi (Pasal
12B dan 12C).
Selain
bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas, masih ada
tindak pidana lain yang yang berkaitan. dengan tindak pidana korupsi itu
adalah:
a.
Merintangi proses
pemeriksaan perkara korupsi
b.
Tidak memberi
keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
c.
Bank yang tidak
memberikan keterangan rekening tersangka
d.
Saksi atau ahli yang
tidak memberi keterangan atau memberiketerangan palsu
e.
Orang yang memegang
rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu
f.
Saksi yang membuka
identitas pelapor.
LEMBAGA-LEMBAGA
PEMBERANTASAN KORUPSI
Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan sejak
era kepemimpinan Orde Lama sampai dengan saat ini, juga tidak terlepas dari
pembentukan lembaga-lembaga sebagai pelaksana dari peraturan
perundangan-undangan.
Dalam sejarahnya, sebagai upaya memberantas tindak pidana korupsi Pemerintah pernah
membentuk lembaga-lembaga sebagai berikut:
a.
Operasi Budhi (Keppres No. 275/1963). Operasi ini untuk mengusut karyawan-karyawan
ABRI yang dinilai tidak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda
diambil-alih dan dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi
Budhi” antara lain mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun
akhirnya dibebaskan dari dakwaan.
b.
Tim Pemberantas Korupsi (Keppres No. 228/1967). Para anggota tim ini
merangkap jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan
Panglima ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini kemudian berhasil menyeret 9 orang
yang diindikasikan “koruptor”.
c.
Komisi Empat
(Keppres No. 12/1970). Mantan Wakil Presiden, Mohammad Hatta diangkat sebagai
penasihat komisi yang dibentuk oleh Presiden Soeharto tersebut. Menurut Hatta, korupsi
telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal
usia rezim ini masih begitu muda[11].
d.
Komite Anti Korupsi/KAK. Selain Komisi Empat, dimasa pemerintahan orde
baru juga pernah berdiri Komisi Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK
terdiri dari aktivis mahasiswa eksponen 66 seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis,
Asmara Nababan dkk. Namun belum terlihat hasil yang telah dicapai, Komisi ini dibubarkan
pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua bulan sejak terbentuk.
e.
Operasi Penertiban (OPSTIB). Pada tahun 1977 dengan berdasarkan
Inpres 9 Tahun 1977, Pemerintah melancarkan Operasi Penertiban (OPSTIB). Dalam
empat tahun (1977-81) Opstib telah menyelamatkan uang negara Rp.200 milyar dan
menindak 6.000 pegawai. Opstib merupakan gabungan dari unsur polisi, kejaksaan,
militer, dan dari menteri pedayaguanaan aparatur negara dan setiap tiga bulan
melaporkan kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan jawatan
pemerintah.
f.
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim yang dibentuk di era Presiden
Abdurrahman Wahid ini berada di bawah Jaksa Agung Marzuki Darusman. TGPTPK
dibentuk sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi yang merupakan amanat UU No.31 tahun 1999. TGPTPK yang beranggotakan
jaksa, polisi dan wakil dari masyarakat tidak mendapat dukungan, bahkan oleh
Jaksa Agung sendiri. Permintaan TGPTPK untuk mengusut kasus BLBI yang banyak
macet prosesnya ditolak oleh Jaksa Agung. Akhirnya, TGPTPK dibubarkan tahun
2001 ketika gugatan judicial review tiga orang Hakim Agung pernah diperiksa
oleh TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
g.
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaran Negara (KPKPN). Dibentuk berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi
dan nepotisme, Komisi yang dipimpin oleh Yusuf Syakir ini bertugas menerima dan
memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara. Berdasarkan UU No. 30
Tahun 2002 tentang KPK akhirnya KPKPN dilebur menjadi bagian KPK.
h.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi ini dibentuk pada era Megawati
sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Komisi ini masih bertahan hingga sekarang. UU No. 30 Tahun 2001 kemudian diubah
dengan UU No. 19 Tahun 2019. Saat masih menjadi Rancangan publik menduga pengaturan-pengaturan
yang baru merupakan upaya pelemahan terhadap KPK dan memicu demontrasi
besar-besaran di Jakarta dan di daerah-daerah lainnya.
i.
Tim Pemburu Koruptor. Tim yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), yang merupakan program 100 hari pemerintahannya. Tim ini
dipimpin oleh Wakil Jaksa Agung, Basrief Arief dibawah koordinasi Wakil
Presiden Jusuf Kalla. Tim yang terdiri dari Kejaksaan dan Kepolisian bertugas
memburu terpidana dan tersangka kasus korupsi yang melarikan diri keluar
negeri.
j.
Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Dibentuk Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada tanggal
2 Mei 2005. Ada dua tugas utama yang diemban tim yang diketuai oleh Hendarman
Supandji. Pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai
dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi
tindak pidana korupsi. Kedua, mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras
melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka pengembalian
keuangan secara optimal.
k.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Dibentuk berdasarkan UU No.
46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pada awalnya,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002
Tentang KPK. Pembentukan Pengadilan Tipikor melalui Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tersebut telah diuji materiil dan hasil pengujian materiil tersebut
dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal
19 Desember 2006 yang intinya menyatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
yang dimuat dalam Pasal 53-62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah
inskonstitusional. Atas dasar Putusan MK tersebut telah diterbitkan produk
hukum baru yaitu Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa
pengaturan mengenai tindak pidana korupsi telah diatur sejak era Kepemimpinan
Presiden Soekarno dengan pemberlakukan KUHP dengan terbitnya UU Nomor 1
Tahun 1946 sampai dengan UU No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU No. 20
Tahun 2001. Namun demikian tidak terdapat definisi hukum mengenai apa
itu korupsi. Peraturan Perundang-Undangan
yang ada hanya merumuskan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana korupsi.
Secara
kelembagaan, telah ada lembaga-lembaga yang bertugas memberantas tindak pidana
korupsi, namun sebelum hadirnya KPK, pembentukan lembaga-lembaga tersebut tidak
bertahan lama.
[1] Tulisan ini disusun
sebagai tugas mata kuliah Tindak Pidana Korupsi dengan Dosen Pengampu Prof. Dr. Mohammad Askin, S.H.
[2] Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas
Nasional
[3] Lihat Laporan Akhir Kompendium Hukum
Tentang Lembaga Pemberantasan Korupsi, yang diterbitkan Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, Tahun 2011, hlm 3.
[4] Ibid,
hlm. 3-4
[5] (Lihat Monograf Focus Group Discussion
“Hukuman Mati Dalam R KUHP 2015”, terbitan Aliansi Nasional Reformasi
KUHP-ICJR, Oktober 2015)
[6] Lihat Penjelasan Umum UU No.
24 Prp. Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi
[7] Ibid
[8] Opcit,
Laporan Akhir Kompendium Hukum Tentang Lembaga Pemberantasan Korupsi, hlm. 15
[9] Ibid,
hlm. 16
[10] Ibid,
hlm. 18-24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar