Kuala Lumpur, Malaysia, jadi pilihan yang masuk akal,
ketika punya keinginan berwisata ke luar negeri bersama keluarga, tapi anggaran
minim. Karena dari informasi yang kudapat, biaya transportasi pesawat udara sangat
terjangkau, bahkan lebih murah ketimbang jalan-jalan ke dalam negeri, seperti
Batu-Malang, Bali, apalagi Raja Ampat di Papua Barat. Biaya penginapan di Kuala
Lumpur juga lebih murah, dibanding di Singapura.
Aku, istriku Afidah, dan kedua Anakku, Diba (5 tahun
10 bulan) dan Kayo (3 tahun 4 bulan), masing-masing sudah memiliki Paspor.
Sebelumnya pengalamanku ke luar negeri pernah pergi ke Arab Saudi saat umroh,
Melbourne, Singapura, dan Johor Baru Malaysia. Tiga kota terakhir kukunjungi
dalam perjalanan dinas pekerjaanku di Bawaslu. Afidah pernah ke Thailand saat
dia masih kerja di LRC KJHAM, lembaga swadaya masyarakat di Kota Semarang yang
konsen di isu perempuan. Sementara Diba dan Kayo sama sekali belum pernah ke
luar negeri.
Catatan perjalanan ini dibuat, selain untuk
memperpanjang ingatan, juga agar dapat dibaca sendiri oleh anak-anak ketika
mereka beranjak besar. Selain itu, agar dapat bermanfaat sebagai informasi bagi
pembaca yang mampir ke blog. Beginilah cerita kami berwisata ke Kuala Lumpur.
Persiapan:
Dari Pesan Tiket Sampai Berangkat
Sebelum pesan tiket, Aku mencari informasi terlebih
dahulu di internet tentang tempat-tempat wisata di Kuala Lumpur. Saat itu
kupilih Kuala Lumpur City Centre (KLCC) Park, Batu Caves, Jalan Alor, Dataran
Merdeka, Central Market, dan Petaling Street sebagai tempat-tempat yang akan
kukunjungi.
Setelah mengulik informasi di laman airasia.com,
tadinya berharap dapat kursi gratis atau setidaknya dapat harga yang murah
banget, tapi tak dapat dua-duanya. Ini pengalaman pertamaku naik maskapai Air
Asia. Aku pesan tiket pada tanggal 26 September 2019, untuk keberangkatan
tanggal 4 November 2019 dan pulang tanggal 7 November 2019. Berempat untuk
Pulang-Pergi (PP) semuanya Rp.4.159.600,-. Aku lupa rinciannya, tapi yang pasti
harga tiket per orang sekitar 500 ribu, dan tiket pulang lebih mahal sedikit
daripada tiket berangkat.
Untuk maskapai Air Asia, memilih kursi ternyata tak
gratis. Karena khawatir duduk terpencar, akhirnya aku pilih kursi sederet untuk
perjalanan PP dengan bayar sejumlah Rp.159.200,- (4 kursi x 2 PP). Untuk
penerbangan internasional, Air Asia cuma menyediakan fasilitas bagasi kabin
gratis dengan maksimal berat 7 kg/orang, sementara untuk bagasi check-in/terdaftar harus bayar lagi,
bisa dibayar bersamaan saat beli tiket atau bayar di bandara. Karena aku
berencana bawa satu koper dengan ukuran 28 inch, aku beli bagasi check-in 25 kg untuk PP dengan membayar
sejumlah Rp.395.650,-.
Selain untuk pilih kursi dan bagasi check-in, Aku harus membayar lagi untuk
satu porsi makan di dalam pesawat, karena Air Asia tidak menyediakan
makanan/minuman gratis. Beli satu porsi agar berhemat. Untuk keberangkatan Aku
pesan Nasi Lemak Pak Nasser seharga Rp.38.000,-, sementara untuk penerbangan
pulang pesan Nasi Goreng Yangzhou seharga Rp.36.900,-. Setiap harga satu porsi
makan sudah termasuk air mineral. Menu makanan bisa dilihat di laman Air Asia
ketika pesan tiket. Nah, jadi kalau ditotal, harga tiket pesawat PP beserta
embel-embelnya, semuanya sejumlah (4.159.600+159.200+395.650+38.000+36.900) =
Rp.4.789.350,-
Di hari yang sama, Aku juga memesan penginapan dengan
mencari info di laman airbnb.com dan aplikasi traveloka. Aku lebih memilih
apartemen daripada kamar hotel. Pertama,
karena dengan pesan satu kamar khawatir ada aturan hotel lokal yang tidak
membolehkan satu kamar untuk berempat. Kedua,
apartemen lebih luas dibanding kamar hotel dan lebih ramah untuk bermain anak.
Aku cek beberapa apartemen dan lihat lokasinya lewat
google map, dekat atau tidak dengan lokasi-lokasi tempat yang akan kutuju.
Setelah membanding-bandingkan harga dari laman airbnb.com dan aplikasi
traveloka, akhirnya lewat Traveloka aku pilih Victoria Home Robertson,
apartemen yang berada di sekitar Jalan Pudu, wilayah Bukit Bintang, pusat kota
Kuala Lumpur. Untuk 3 malam mestinya Aku membayar seharga Rp.1.435.491,-, cuma
karena ada promo potongan harga dari traveloka jadi hanya dibayar sejumlah
Rp.1.219.916,-.
Tiket pesawat dan penginapan sudah beres, lalu apa
lagi yang perlu disiapkan?
Selain menukar uang dari rupiah ke ringgit (saat itu
di Smartdeal Wahid Hasyim Jakarta, 1 RM = 3.410 rupiah), kebutuhan komunikasi
dan internet juga hal penting yang perlu disiapkan. Ketimbang beli paket roaming Telkomsel yang menyediakan 1 GB
untuk masa aktif 3 hari dengan harga Rp.120.000,-, Aku lebih memilih
menggunakan kartu SIM lokal. Di Traveloka tersedia Tune Talk yang menyediakan 5
GB untuk masa aktif 7 hari dengan harga
Rp.89.000,-. Pesan lewat Traveloka dan kartunya bisa di ambil di konter
setiba di Kuala Lumpur International Airport 2 (KLIA 2). Untuk pemesanan lewat
Traveloka ini, kita harus menentukan kapan kartunya akan diambil.
“Gimana klo anak-anak ngantuk dan tidur saat berada di
luar?” pertanyaan itu jadi salah satu kekhawatiranku dengan Afidah. Beruntung
ada kawan kuliah dari Afidah yang berbaik hati mau meminjamkan kereta bayinya.
Sebetulnya di rumah punya, tapi kondisinya kurang bagus.
Mendekati keberangkatan, Aku dan Afidah khawatir berat
koper (beserta isinya) yang akan kami bawa melebihi berat bagasi check-in, yaitu maksimal 25 kg. Karena
kalau kelebihan berat, tambahan harga per kilonya mahal sekali. “Di mana cari
timbangan ya?” tanyaku pada Afidah. “Coba aja di toko beras, pasti punya
timbangan kan” jawab Afidah. Koper kami naikkan ke mobil dan keliling, sampai
akhirnya kami tiba di toko beras depan perumahan. Aneh juga kalau ke situ cuma
buat numpang nimbang kan? Akhinya kami beli beras ukuran 10 kg sebagai modus,
sekalian buat stok persediaan di rumah.
Jadwal keberangkatan penerbangan adalah hari Senin, 4
November 2019, pukul 13.40 WIB. Dengan barang bawaan 1 koper, 1 tas ransel, dan
1 kereta bayi, kami berangkat dari Bekasi sekitar jam 09.30 naik GrabCar menuju
Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta. Berangkat agak lebih cepat karena
mengantisipasi proses imigrasi di bandara yang harus dilalui. Koper masuk
bagasi, lalu kami menuju ruang tunggu dengan membawa satu tas ransel dan kereta
bayi. Jam 1 lebih kami naik pesawat dan terbang menuju KLIA 2.
Hari 1:
Tiba di Kuala Lumpur
Setelah menempuh penerbangan selama 2 jam, Kami tiba
di KLIA 2 sekitar pukul 16.30 waktu setempat. Waktu di Kuala Lumpur lebih cepat
satu jam dari Jakarta.
Setelah melalui proses keimigrasian dan pengambilan
bagasi, Kami menyusuri Lantai 2 Bandara yang dipenuhi toko-toko perdagangan
untuk mencari konter Tune Talk dan mengambil kartu SIM yang telah kupesan
sebelumnya lewat Traveloka. Setelah ketemu, Aku menunjukkan voucher pembelian kepada penjaga konter,
lalu dia memasangkan kartu dan membantu meregistrasi dengan meminjam Pasporku.
Kartu SIM telah aktif. Selanjutnya kami menuju Lantai 1 untuk mencari Pintu 5,
tempat penjemputan GrabCar. Sebelum memesan GrabCar, aplikasi Grab meminta update terlebih dahulu.
Kenapa pilih GrabCar? Sebetulnya ada transportasi lain
seperti Kereta Express yang mahal atau Bus GO-KL yang gratis. Alasannya
sederhana, karena kami bawa 2 anak, 1 koper besar, dan 1 kereta bayi, akan
lebih praktis kalau naik transportasi yang bisa sampai langsung lokasi tanpa
repot memindah-mindahkan barang, karena harus pindah transportasi. Di Bandara
KLIA, GrabCar bebas dipesan, tidak seperti bandara-bandara di Indonesia yang
membatasi taksi online.
Aku memesan GrabCar untuk tujuan langsung ke Apartemen
Victoria Home Robertson dengan tarif sebesar 65 RM. Mobil yang kami tumpangi
bermerek Perodua, mobil nasional Malaysia yang mirip dengan tipe mobil Sirion
di Indonesia. Pengemudi keturunan India bernama Rafiq, masih muda dan bisa
diajak berbahasa melayu. Di dalam mobil dia bercerita punya Pekerja Rumah
Tangga orang Jawa Timur yang sudah lama bekerja di keluarganya. Satu jam kami
tempuh dan tiba di Apartemen. Kami membayar tunai sebesar 72 RM karena ada
tambahan biaya tol selama perjalanan.
Apartemen Robertson |
Apartemen Robertson terdiri dari dua tower, sisi Utara
dan sisi Selatan. Penginapan kami berada di Tower Selatan. Dalam perjalanan
tadi, Aku menerima pesan WhtasApp berbahasa inggris dari pengelola apartemen
yang isinya mengenai informasi waktu check-in
dan check-out, unit yang akan kami
gunakan, dan cara masuk ke apartemen. Jadi dari kedatangan dan kepergian
nantinya kami hanya bertemu security
di pos masuk untuk register tamu dengan menyerahkan Paspor.
Awalnya aku bingung, karena lewat ulasan di Traveloka,
tamu-tamu yang pernah menginap di tempat yang sama harus bertemu dengan petugas
untuk keperluan check-in dan check-out. Bahkan ada beberapa ulasan
yang negatif terkait dengan pelayanan petugas ini, lantaran tidak selalu siaga,
jadi harus menunggu lama.
Jadi lewat pesan yang kuterima itu, kami diarahkan
untuk mengambil kartu akses di loker yang diberikan password. Setelah dibantu oleh tamu lain, kami bisa membuka loker
tersebut dan di dalamnya terdapat kartu akses yang sudah tertera namaku, serta
nomor dan kode akses unit. Dari total 46 lantai, Unit kami berada di lantai 22.
Begitu masuk ke dalam unit apartemen, kami dibuat
terkesan, karena fasilitas dalam unit lumayan lengkap. Ada 2 kasur (1 besar dan
1 kecil) dalam satu kamar, dilengkapi
kamar mandi dalam, disertai sabun, sampo, dan 3 handuk. Ada rak sepatu
disertai dua pasang sandal jepit, ruang keluarga yang dilengkapi sofa dan TV
Internet, kursi dan meja makan, dapur beserta peralatan makan lengkap, dan
mesin cuci serta deterjennya. Ada WiFi nya juga. Kekurangannya tidak ada air
mineral siap minum dan sikat gigi.
Usai menaruh barang, kami bergegas pergi jalan kaki
menuju Jalan Alor untuk mencari makan malam. Jarak antara apartemen ke Jalan
Alor sangat dekat, mungkin sekitar 500 meter, dengan menyeberangi Jalan Pudu
lewat Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Sebetulnya di bawah apartemen ada
kedai-kedai makanan, cuma karena penasaran, kami memilih mencari makan di Jalan
Alor yang begitu populer.
Kawasan Alor mungkin mirip dengan Pecinan di Semarang,
hanya Jalan Alor lebih besar dan panjang. Tapi mungkin karena sudah lelah dan
suasana Alor yang ramai, Kayo merengek meminta pulang ke apartemen. Dengan
sedikit bujukan dan pinjaman Gawai, kami akhirnya bisa makan di salah satu
kedai dengan menu sop seafood dan sotong (cumi-cumi) dengan tambahan 1 porsi
nasi. Harga makan sekitar 8-10 RM per
menu, hampir samalah dengan harga menu di Jakarta.
Usai makan malam, kami pulang ke apartemen,
bersitirahat sambil menikmati pemandangan suasana lampu kota dari jendela kamar.
Dari jendela ini, anak-anak suka menikmati kereta monorail atau LRT yang
berlalu-lalang setiap waktu.
Hari 2:
Menikmati Area Publik Apartemen, Ke Batu Caves dan KLCC Park
Hari kedua kami mulai dengan sarapan mie instan dan
roti, yang kami beli di Mini Market Seven Eleven di bawah apartemen tadi malam.
Lalu menikmati area publik di apartemen yang berada di lantai 6. Ada kolam
renang, taman, perosotan anak, kursi gantung, jogging track, peralatan fitness, dan climbing anak. Ada juga fasilitas sauna, tapi saat itu ruang sauna
terkunci. Aku dan anak-anak berenang, sementara Afidah menemani dari atas
kolam. Kami menyiapkan kostum dan pelampung renang untuk anak dari Bekasi
karena sudah tahu apartemen menyediakan fasilitas kolam renang.
Sekitar pukul setengah 11, kami meluncur ke kawasan
wisata Batu Caves dengan menggunakan GrabCar bertarif 19 RM dan waktu tempuh
sekitar 20 menit. Berdasarkan info dari wikipedia, Batu Caves adalah sebuah
bukit kapur, yang memiliki serangkaian gua dan kuil gua, terletak di distrik
Gombak, Selangor, Malaysia. Tempat ini dinamai dari Sungai Batu, yang
mengalir melewati bukit. Batu Caves juga merupakan nama desa terdekat.
Gua ini adalah salah satu kuil Hindu di luar India yang paling populer, yang didedikasikan
untuk Dewa Murugan. Situs ini adalah titik fokus festival Hindu Thaipusam di
Malaysia.
Batu Caves |
Ikon di kawasan itu adalah Patung Dewa Murugan bercat
emas yang menjulang tinggi sebelum anak tangga berwarna-warni yang menuju ke
dalam gua di atasnya. Di halaman, banyak sekali burung merpati. Diba dan Kayo
senang bermain dengan burung-burung itu. Aku membelikan pakan burung dengan
harga 3 RM, setelah tawar menawar dengan pedagang India yang memasang harga
awal 5 RM. Kami tidak berniat menaiki anak tangga sampai ke Gua, tapi mencoba
beberapa anak tangga dan melihat ada beberapa ekor kera. Mungkin karena cuaca
yang sangat panas, anak-anak tidak betah di kawasan itu. Jam setengah 1, kami
kembali ke apartemen dengan menggunakan GrabCar, kali ini dengan tarif 20 RM.
Di tengah jalan mendekati apartemen, kami turun ketika
melihat ada KFC di sisi jalan Pudu, dan makan siang. Jauh-jauh ke Kuala Lumpur,
makannya tetep di KFC juga. Usai makan siang, kami jalan kaki menuju apartemen,
dan menyempatkan mampir ke Super Mart KK (semacam Indomaret atau Alfamartnya di
Indonesia, karena aku banyak melihat di beberapa titik kota) untuk berbelanja
air mineral dan keperluan makan di apartemen.
Setelah istrirahat dan tidur siang, sekitar jam
setengah 5 sore kami meluncur ke KLCC Park. Taman di tengah kota yang
berdekatan dengan menara kembar Petronas. Berdasarkan peta, titik terdekat
menuju KLCC Park dari apartemen adalah Aquaria KLCC, lalu kujadikan tujuan
untuk pemesanan GrabCar dengan tarif 8 RM. Waktu tempuh sekitar 15 menit. Kami
tiba di gedung Aquaria KLCC. “Kok gak kelihatan tamannya ya?” batinku. Lalu
sebelum turun dari mobil aku coba tanya ke sopir “Kalo mau ke KLCC Park lewat
mana ya, Pak?” tanyaku, “Wah masih jauh, mutar dulu mungkin 1 km” jawabnya. Aku
turun dengan perasaan tidak percaya atas jawaban si sopir, lalu bertanya dengan
security gedung yang ada di situ. Berdasarkan petunjuknya, kami tinggal masuk
gedung, lalu turun dan lurus terus, nanti keluar langsung KLCC Park. “dekat
kali” jawabnya ketika kutanya soal jarak.
Akhirnya kami masuk gedung dan langsung turun ke
lantai bawah dengan menggunakan eskalator. Di bawah dekat eskalator ada pintu
masuk Aquaria. Aquaria ini mungkin kalau di jakarta seperti Seaword Ancol,
barangkali ya. “Yah, lihat ikan!” pinta Diba. Karena dalam wisata ini kami
menghindari area bermain anak berbayar, permintaan tersebut tidak kululuskan.
“Diba kan pernah lihat ikan di Seaworld, ini sama aja kayak di Seaworld”
alasanku mencoba meyakinkan. Berhasil! Dia tak merengek.
KLCC Park |
Lalu kami berjalan lurus melewati Aquaria, di situ
nampak seperti foodcourt, kemudian
aku lihat papan pentunjuk yang menyebutkan KLCC Park. Keluar pintu, lalu naik
tangga dan sampai. “Sekilo apaan, bohong tuh sopir, deket gini kok” umpatku
kesal dengan sopir tadi. Dari situ belum nampak menara kembar Petronas karena
tertutup pohon-pohon, yang nampak orang jogging
berlalu-lalang. Kami susuri jalan, sampai akhirnya terlihatlah menara kembar
itu dan area bermain anak. “Ayo Yah, kita ke sana!” pinta Diba, “sebentar, kita
foto dulu ya!”. Area bermain di taman sangat besar dan banyak macam permainan,
lalu ada juga kolam yang bisa dipakai untuk berenang anak-anak. Dari kolam ini,
kita bisa mengambil foto dengan latar menara Petronas dengan jelas. Tantangan
dari wisata kali ini adalah menjaga stamina anak-anak, agar tidak berlebihan
bermain dan cepat kelelahan.
Kami kemudian bersantai-santai di pinggir kolam persis
di depan gedung Suria KLCC, gedung yang berada di bawah menara kembar Petronas.
Menunggu hari menjadi gelap agar bisa melihat lampu dari menara kembar.
Anak-anak kemudian meminta pulang ke apartemen ketika hari mulai gelap. Diba
memangku Kayo di atas kereta bayi, sambil kudorong menuju tempat yang bisa
menunggu GrabCar. Diba dan Kayo akhirnya tertidur di atas kereta bayi, ketika
kami melewati jembatan yang ada di taman. Kusempatkan berfoto diri bersama
Afidah di atas jembatan, lalu kami mencari jalan keluar yang bisa dilalui
kereta bayi. Kami menunggu GrabCar persis di seberang Impiana Hotel atau di
sebelah Grand Hyatt Kuala Lumpur. Pulang ke apartemen dengan GrabCar bertarif
13 RM. Tarif lebih mahal lantaran waktu padat.
Setiba di apartemen, aku coba menggunakan aplikasi
GrabFood. Beli menu makan Nasi Goreng Sotong dan Nasi Briyani dengan total 20
RM, sudah termasuk transportnya. Tapi ternyata tak bisa bayar dengan tunai,
jadi kupakai pembayaran dengan kartu kredit.
Hari 3:
Ke Berjaya Times Square, Dataran Merdeka, Central Market, dan Petaling Street
Awalnya, Aku sama sekali tidak merencanakan pergi ke
Mall. Tapi beberapa sopir Grab yang kami tumpangi selalu menyebut nama Times
Square ketika kami tanya mengenai tempat berbelanja yang murah. Dan kebetulan
sangat dekat dengan apartemen kami, mungkin sekitar 1 km. Berangkatlah kami ke Berjaya
Times Square.
Tapi karena hari sudah siang, sekitar jam 10, terlalu
panas untuk jalan kaki, selain itu menghemat tenaga, karena hari ketiga
berencana mengunjungi Dataran Merdeka,
Central Market, dan Petaling Street, yang ketiganya berdekatan dan
kemungkinan akan dilalui dengan jalan kaki, jadi aku pesan GrabCar bertarif 6
RM.
Di Berjaya Times Square sebenarnya ada area bermain
anak atau Theme Park di lantai 5, di Indonesia mungkin seperti yang ada di
Trans Mart, tapi berdasarkan informasi di internet, Theme Park di Berjaya Times
Square lebih besar. Jadi kami hindari ke lantai 5.
Kami hanya berputar-putar di 3 lantai bawah, yang
ternyata masih banyak toko yang tutup lantaran kami datang terlalu dini. Kami
mampir ke toko Komonoya Osaka Japan, yang menjual semua barang dengan harga
sama, sebesar 5,9 RM atau sekitar 20
ribu rupiah. Seandainya toko ini ada di Bekasi atau Jakarta, pasti banyak
barang yang akan kami beli. Sayang, kami teringat berat maksimal bagasi check-in. Akhirnya, Kami hanya membeli beberapa barang, seperti kursi lipat anak dll.
Di toko pakaian, persis di depan Komonoya, yang aku lupa nama tokonya, kami
beli 2 celana, 2 rok dan 1 topi anak dengan hanya membayar 47 RM. Sebelum
pulang, kami makan siang di foodcourt
yang ada di lantai dasar dengan memesan dan makan nasi daging dan nasi sotong
dengan total harga 12 RM, ditambah 1 botol air mineral ukuran 600 ml seharga 2
RM. Kami pulang dulu ke apartemen untuk istirahat sebelum lanjut ke Dataran
Merdeka.
Karena sudah beberapa kali menggunakan GrabCar, aku
mendapat 1200-an poin yang kutukar dengan voucher
GrabCar sebesar 10 RM. Sekitar jam 4 sore, kami berangkat ke Dataran Merdeka
dengan menggunakan voucher GrabCar
alias gratis, yang seharusnya kubayar dengan tarif 8 RM.
Dataran Merdeka |
Dataran Merdeka adalah sebuah lapangan yang konon
tempat di mana bendera Malaysia pertama kali dikibarkan pada tanggal 31 Agustus
1957, setelah sebelumnya bendera Union Jack milik Inggris diturunkan, momentum
itu kemudian ditetapkan sebagai hari kemerdekaan Malaysia. Tepat di depan
lapangan, ada gedung Sultan Abdul Samad yang terlihat klasik dan menarik. Nama
gedung merujuk pada nama Sultan Selangor yang berkuasa saat gedung itu dibangun
oleh pemerintahan kolonial. Gedung ini awalnya digunakan sebagai kantor
pemerintahan kolonial Britania Raya yang dikenal dengan New Government Office.
Dari Dataran Merdeka, kami berjalan kaki sekitar 350
meter menuju Central Market, tempat kami membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang
ke Bekasi. Di situ kami membeli beberapa gunting kuku, magnet tempelan kulkas,
pulpen, dll. Kalau mau beli pakaian bermerk, Central Market bukan tempat yang
tepat, karena di situ umumnya hanya menjual cenderamata. Beberapa sopir GrabCar
merekomendasikan Genting Highland Premium Outlet jika mau membeli barang branded yang harganya murah.
Dari Central Market, kami berjalan kaki menuju
Petaling Street yang Cuma berjarak sekitar 100 meter. Kami tidak membeli
apa-apa di sini, karena tidak ada yang menarik. Cuma numpang lewat. Tadinya
kami mau pesan GrabCar untuk pulang ke apartemen, tapi karena jaraknya dekat,
sekitar 1 km dari Petaling Street, kami memutuskan untuk berjalan kaki.
Sebelum masuk ke apartemen, kami membeli dan
membungkus makan malam di Kedai Mama Husein, kedai yang ada di bawah apartemen.
Nasi Goreng Ayam Kampung dan Nasi Briyani kubeli dengan harga 12 RM.
Hari 4:
Pulang
Waktu penerbangan pulang Kamis, 7 November 2019, pukul
14.20 waktu setempat. Pagi hari, Aku dan Afidah berkemas merapikan barang. Jam
10 kami meluncur ke Bandara KLIA2 dengan GrabCar bertarif 65 RM. Dalam
perjalanan, sopir menawarkan kami berkunjung ke Putrajaya, Pusat Pemerintahan
Malaysia, lokasinya searah dengan bandara, cuma karena sopir meminta tambahan
50 RM untuk kunjungan tersebut, tawarannya kami tolak. Selain itu karena
khawatir menghabiskan waktu lama.
Mendekati bandara, di sisi kiri jalan, sopir
menunjukkan Mitsui Outlet Park, outlet
tempat membeli barang-barang branded
dengan harga murah. Menurut si Sopir, ada 4 outlet
di Malaysia tempat membeli barang-barang branded
dengan harga murah: Johor Premium Outlet, Mitsui Outlet Park, Genting Highland
Premium Outlet, dan Melaka Premium Outlet.
Tiba di bandara, aku harus membayar GrabCar sebesar 72
RM karena ada tambahan biaya tol. Suasana bandara nampak ramai. Sempat emosi
dengan pelayanan check-in. Jadi
ketika mendekati satu sudut konter check-in
Air Asia dan menanyakan dengan
salah satu petugas perempuan, aku diminta untuk mencetak boarding pass dan tanda bagasi di mesin (kalau di Bandara Soeta
semacam kios check-in mandiri). Lalu kucoba cetak di mesin tapi gagal. Aku
kembali ke petugas yang sama. “Ke Konter Indonesia saja” sarannya dalam logat
bahasa melayu sambil menunjukkan arah konter khusus Indonesia yang ada di
belakang konter tempatku berada.
Kudatangi konter yang dimaksud dan bertemu petugas
perempuan yang berdiri di depan tempat antrian. Kuberitahu ke dia kalau kami
sudah check-in online. “Cetak
boarding pass dan tanda untuk bagasi dulu ya” sarannya. Akhirnya aku kembali ke
mesin kios yang berbeda dan berhasil mencetak boarding pass dan tanda bagasi. Ketika kudatangi lagi petugas tadi
dan berharap bisa langsung ke konter. Lalu setelah dia memasangkan tanda bagasi
ke koperku, dia bilang “Silakan ke konter sebelah, Pak” sambil menunjukkan
konter pertama yang kukunjungi. “Tadi saya diminta ke sini, kok di sini malah
gak bisa, ini saya sudah cetak boarding
pass dan tanda bagasi” kataku sedikit emosi. “Iya di sini tidak bisa untuk
bagasi” jawabnya.
Jengkel dengan sikap petugas dan pelayanan yang kurang
informatif, aku balik ke konter semula dengan menunjukkan boarding pass dan tanda bagasi. Petugas mempersilakan aku masuk
untuk antri. Di antrian aku baru tahu, ternyata di konter tempat akan menaruh
bagasi, tidak menggunakan petugas seperti di Bandara yang ada di Indonesia,
tapi hanya menggunakan mesin. Aku taruh koper di tempat timbangan dan memindai boarding pass, lalu memindai tanda
bagasi di koper, dan setelah itu koper masuk dengan sendirinya. “Kak, gak ada
kertas sebagai tanda kalau koper sudah masuk?” tanyaku pada petugas perempuan
yang nampak siaga membantu di dekat situ. “tidak ada” jawabnya singkat.
Setelah beres urusan bagasi, kami makan siang terlebih
dahulu, lalu berjalan menuju ke arah imigrasi dan ruang tunggu Q7. Wisata sudah
usai, saatnya pulang.
Jakarta, November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar