Menjelang
akhir masa jabatan keanggotaan DPR RI periode 2014-2019, elemen masyarakat,
terutama mahasiswa bergejolak melakukan unjuk rasa di banyak daerah, bahkan
sampai merenggut dua nyawa mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara. Peristiwa
dan keadaan yang sangat memprihatinkan.
Peristiwa
tersebut disebabkan adanya polemik terhadap beberapa Rancangan Undang-Undang
(RUU), baik yang telah disahkan oleh DPR, yaitu UU KPK, maupun RUU lain yang
belum disahkan seperti RUU tentang Hukum Pidana (RKUHP), Penghapusan Kekerasan
Seksual, Pertanahan dll. Tulisan ini hanya mencoba untuk melihat permasalahan
yang menjadi polemik atas RKUHP, khususnya terkait dengan pengaturan hukuman
mati.
Niatan
bangsa ini memiliki Hukum Pidana Nasional lagi-lagi harus tertunda, mengingat
terhadap rancangan yang ada, masih menuai banyak penolakan masyarakat. Meskipun
polemik yang berkembang di media massa maupun di media sosial, bagi masyarakat
atau setidaknya bagi penulis, tidak cukup memberikan informasi yang cukup untuk
betul-betul memahami persoalan sebenarnya.
Tujuan
dari penyusunan hukum pidana nasional, sebagaimana tertuang dalam ketentuan
menimbang pada RKUHP tanggal 15 September 2019, adalah untuk menggantikan KUHP
warisan pemerintah kolonial Hindia-Belanda[2]
yang hingga saat ini digunakan, dengan hukum pidana nasional yang disesuaikan
dengan politik
hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Sejak
puluhan tahun silam, upaya penyusunan atau rekodifikasi Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) nasional sebenarnya sudah digagas. Tepatnya, saat
digelarnya Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada 1963, salah satunya
membahas Rancangan KUHP (RKUHP) selain Rancangan KUHAP KUHPerdata, KUHDagang.
Seminar ini disebut-sebut menjadi titik awal sejarah pembaruan KUHP di
Indonesia yang setahun kemudian mulai dirumuskan oleh tim pemerintah.[3]
Upaya menyusun hukum pidana nasional tersebut mengalami pasang surut hingga
kemudian kembali diusahakan untuk disahkan oleh DPR-Pemerintah menjelang akhir
periode saat ini.
Setidaknya
terdapat beberapa pengaturan yang masih dianggap kontroversial dalam RKUHP,
meliputi pengaturan terkait hukuman mati, makar, penghinaan terhadap presiden,
tindak pidana terhadap agama, persetubuhan laki-laki dan perempuan di luar
perkawinan, mempertunjukkan alat pencegah kehamilan, aborsi, korupsi,
pelangaran HAM berat, dan penyebaran ajaran komunisme atau Marxisme-Leninisme.[4]
Masih
diaturnya pidana hukuman mati dalam RKUHP dikritik oleh banyak aktivis, karena
dianggap bertentangan dengan sejumlah ketentuan Hak Asasi Manusia, seperti
ketentuan Pasal 28A UUD atau UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,
sedangkan di tingkat internasional, penerapan hukuman mati bertentangan dengan
DUHAM dan Kovenan Hak Sipil-Politik.
Pengaturan Hukuman Mati dalam
RKUHP
Terkait
dengan jenis-jenis pidana, RKUHP[5]
yang terdiri dari dua buku, mengatur sebagai berikut:
Pidana terdiri atas:
a.
pidana pokok;
b.
pidana tambahan; dan
c.
pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana
tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. (Pasal 64 RKUHP)
Pasal
1
Pidana pokok terdiri atas:
a.
pidana penjara;
b.
pidana tutupan;
c.
pidana pengawasan;
d.
pidana denda; dan
e.
pidana kerja sosial.
Urutan pidana tersebut menentukan berat atau ringannya pidana. (Pasal 65 RKUHP)
Sedangkan Pidana tambahan terdiri atas:
a.
pencabutan hak tertentu;
b.
perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan;
c.
pengumuman putusan hakim;
d.
pembayaran ganti rugi;
e.
pencabutan izin tertentu; dan
f.
pemenuhan kewajiban adat setempat. (Pasal 66 RKUHP)
Dari
ketentuan RKUHP di atas, pidana hukuman mati bukan termasuk dari pidana pokok.
Berbeda dengan KUHP saat ini, dimana hukuman mati termasuk dari pidana pokok,
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 huruf a KUHP.
Dalam RKUHP, hukuman mati termasuk pidana yang
bersifat khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 menyebutkan:
“Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c
merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif”.
Kekhususan mengenai
hukuman mati ini diterangkan dalam penjelasan Pasal 67 yang menyebutkan:
“Pidana yang dapat
diancam dengan pidana yang bersifat khusus adalah pidana yang sangat serius
atau yang luar biasa, antara lain tindak pidana narkotika, tindak pidana
terorisme, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana berat terhadap hak asasi
manusia. Untuk itu, pidana mati dicantumkan dalam bagian tersendiri untuk
menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jika
dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana
yang paling berat. Oleh karena itu, harus selalu diancamkan secara alternatif
dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling lama 20 (tahun)”.
Pertimbangan utama digesernya kedudukan pidana
mati itu didasarkan pada pemikiran, bahwa dilihat dari tujuan pemidanaan dan
tujuan diadakan/ digunakannya hukum pidana (sebagai salah satu sarana
“kebijakan kriminal‟ dan “kebijakan social”), pidana mati pada
hakikatnya memang bukanlah sarana utama (sarana pokok) untuk mengatur,
menertibkan dan memperbaiki masyarakat. Dalam hal ini, pidana mati hanya
merupakan perkecualian. Pemikiran demikian dapat diidentikkan dengan sarana
amputasi atau operasi di bidang kedokteran yang pada hakikatnya juga bukan
sarana/obat yang utama, tetapi hanya merupakan upaya perkecualian sebagai
sarana/obat terakhir.[6]
Dikarenakan hukuman mati bersifat khusus, oleh karena
itu penerapannya selalu diancamkan secara alternatif. Mengenai ini dalam Pasal
98 menyebutkan:
“Pidana mati diancamkan secara alternatif
sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi
masyarakat”.
Penjelasan
dari Pasal 98 tersebut menyebutkan demikian:
“Pidana mati tidak terdapat dalam stelsel pidana pokok. Pidana mati
ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini
benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi
masyarakat. Pidana mati adalah pidana
yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa
percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan
dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat
diganti dengan pidana penjara seumur hidup.”
Pada
penjelasan Pasal 98 di atas, disebutkan bahwa hukuman mati dapat diterapkan
secara bersyarat dengan memberikan masa percobaan. Masa percobaan tersebut
dapat dijatuhkan oleh hakim dengan memperhatikan 3 syarat, sebagaimana diatur
dalam Pasal 100 ayat (1), meliputi:
1.
terdakwa
menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
2.
peran
terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau
3.
ada
alasan yang meringankan.
Tenggang
waktu masa percobaan yang diatur adalah 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) hari
setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Pasal 100 ayat
[3]).
Apabila seorang terpidana selama masa percobaannya menunjukkan sikap dan perbuatan
yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi
pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah
Agung (Pasal 100 ayat [4]). Sebaliknya, apabila terpidana selama masa percobaannya tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang
terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung (Pasal 100 ayat [5]).
Terkait dengan masa perocobaan tersebut, Ahli Hukum JE
Sahetapy juga pernah mengemukakan pandangan yang sama. JE Sahetapy pernah
berpendapat bahwa berdasarkan pengalaman di Amerika, sebetulnya pidana mati
tidak akan mempengaruhi angka-angka statistik kejahatan di beberapa negara
bagian yang mempertahankan atau menolak pidana mati. Lalu Ia memperkenalkan
abolisi de facto. Dengan abolisi de facto ini, menurut Sahetapy,
terpidana mati tidak segera dieksekusi. Ia masih diberi kesempatan hidup dan
bertobat sampai 10 tahun untuk membersihkan hati nuraninya. Dalam rentang waktu
itu, jika Ia benar-benar bertobat, ancaman mati diubah menjadi seumur hidup.[7]
Pidana mati
dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden. Pelaksanaannya tidak dilaksanakan di muka umum dan dilakukan dengan
cara menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam
Undang-Undang. Apabila Terpidana merupakan wanita yang sedang hamil, wanita yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut
melahirkan, wanita tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh (Pasal
99).
Pada pengaturan di Buku Kedua RKUHP, terdapat beberapa
perbuatan yang diancam dengan pidana mati, meliputi:
1.
Makar (Pasal 191 dan Pasal
192);
2.
Memberi bantuan kepada
musuh di waktu perang (Pasal 212);
3.
Pembunuhan berencana
(Pasal 466);
4.
Pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti
dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan terhadap orang, yang mengakibatkan luka
berat atau mati (Pasal 486);
5.
Perbuatan yang
membahayakan keselamatan penerbangan (Pasal 595);
6.
Genosida (Pasal 599 dan
Pasal 600);
7.
Terorisme (Pasal 601);
8.
Narkotika (Pasal 613,
Pasal 614, dan Pasal 615);
Hukuman Mati Versus Hak Untuk Hidup
Hak untuk hidup dan hak untuk
tidak diperlakukan secara kejam, tidak manusiawi dan penghukuman yang
merendahkan harkat dan martabat manusia merupakan hak yang secara fundamental
diakui dalam berbagai instrumen hak asasi manusia. Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) merupakan dua instrumen hak
asasi manusia yang secara eksplisit menolak dilaksanakannya praktik hukuman
mati ini. Pasal 3 DUHAM menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kehidupan,
kebebasan dan keselamatan sebagai individu”. Ketentuan ini dipertegas lagi
dalam Pasal 6 ayat 1 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang
menyatakan "every human being has the right to life. This right shall
be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life"[8],
atau dengan terjemahan “setiap manusia
berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang
dapat mencabut hak itu.”
Ketentuan
lain yang berkaitan dengan upaya penghapusan hukuman mati ini adalah Optional
Protocol II dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (The Second
Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights)
yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989. Optional Protocol II
tersebut bertujuan untuk menghapuskan secara total hukuman mati di
negara-negara di dunia. Adanya Optional Protocol II tersebut
mengindikasikan bahwa penerapan hukuman mati sebagai salah satu sanksi dalam
hukum pidana tidak lagi memiliki legitimasi di dalam sistem hukum pidana yang
berlaku di negara-negara yang telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.[9]
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik melalui
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant
on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Di Indonesia, hak untuk hidup diatur dalam UUD
1945. Pasal 28A menyebutkan “Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Selain itu, Pasal 28I
ayat (1) menybutkan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun”.
Selain diatur dalam konstitusi, perlindungan
terhadap hak untuk hidup juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia, dimana dalam Pasal 9 ayat (1) menyebutkan “Setiap
orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
kehidupannya.”
Menurut
Hendardi, aktivis HAM dan merupakan pendiri Setara Institute (sebuah lembaga
yang fokus melakukan penelitian tentang kehidupan demokrasi dan HAM), terdapat
empat alasan kenapa hukuman mati harus ditolak[10].
Empat alasan itu terdiri dari:
Pertama, negara bukan saja harus menghormati dan
melindungi hak untuk hidup (the right to
life), tapi juga menjamin pelaksanaan penegakan hukum yang tak merengut hak
tersebut. Negara harus menjamin hak setiap orang untuk hidup tanpa merenggutnya
dalam penegakan hukum pidana.
Kedua, dalam prinsip hak-hak asasi manusia, hak untuk hidup adalah hak
yang tak terenggutkan (non-derogable
right), tak boleh dicabut dalam keadaan apa pun. Pencabutan hak ini tidak
diperkenankan bukan saja dalam keadaan perang, apalagi dalam keadaan damai.
Ketiga, hak untuk hidup adalah hak yang melekat di dalam diri (right in itself) setiap orang. Hidup
menyatu dengan tubuh manusia atau setiap orang. Merenggutnya berarti mengakhiri
hidup seseorang. Pada titik yang mengerikan inilah hidup seseorang sebagai
manusia berakhir.
Keempat, hak untuk hidup paling ditekankan untuk
dihormati dan dilindungi oleh semua Negara sebagaimana terkandung dalam Pasal 6
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi
RI. Hak ini juga dilindungi dalam Pasal 28A UUD 1945 serta Pasal 4 UU No
39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Penghormatan dan perlindungan bukan
saja bersumber dari prinsip dan norma hak-hak asasi manusia internasional, tapi
juga telah menjadi bagian dari ketentuan hukum nasional. Negara berkewajiban
melindungi dan menjamin setiap orang agar dapat menikmati hak untuk hidup.
Penulis sependapat dengan alasan-alasan yang dikemukakan
oleh Hendardi di atas. Hukuman mati harus dihapuskan dari sistem pemidanaan di
Indonesia.
[1] Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Universitas Nasional. Tulisan ini disusun sebagai tugas mata kuliah “HAM dan
Proses Peradilan Pidana” dengan Dosen Pengampu Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H.
[2] Hukum Pidana yang berlaku di
Indonesia saat ini adalah Wetboek van strafrecht voor Indoensie (WvSI) yang di
Hindia Belanda mulai berlaku pada 1 Januari 1918. Pasca Indonesia merdeka WvSI
tetap berlaku dengan beberapa perubahan dengan terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1946
(Lihat Monograf Focus Group Discussion “Hukuman Mati Dalam R KUHP 2015”,
terbitan Aliansi Nasional Reformasi KUHP-ICJR, Oktober 2015)
[3] Lihat www.hukumonline.com, judul berita “Sekilas Sejarah dan Problematika Pembahasan
RKUHP”, Selasa, 26 Desember 2017. Link: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a42131b82c60/sekilas-sejarah-dan-problematika-pembahasan-rkuhp/
[4] Lihat berita online tempo.co
dengan judul “Disahkan Pekan Depan, Ini 10 Pasal Kontroversial RKUHP”, Senin,
16 September 2019. Link: https://nasional.tempo.co/read/1248284/disahkan-pekan-depan-ini-10-pasal-kontroversial-rkuhp
[5] RKUHP tanggal 15 September
2019, teridiri dari Buku Kesatu tentang Aturan Umum terdiri dari Pasal 1 s.d.
Pasal 187 dan Buku Kedua tentang Tindak Pidana terdiri dari Pasal 188 s.d. 628
[6] Naskah Akademik RKUHP, hal.36.
[7] JE Sahetapy dalam “Abolisi De Facto Bagi Terpidana Mati”.
Tulisan ini dimuat dalam laman tempo.co edisi 3 Januari 2005
[8] Monograf Focus Group
Discussion, “Hukuman Mati Dalam R KUHP
2015”, terbitan Aliansi Nasional Reformasi KUHP-ICJR, Oktober 2015, hlm. 18
[9] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar