Oleh:
Asep Mufti[1]
Baru-baru
ini Menteri Agama Republik Indonesia, Fachrul Razi, menuai banyak kritik dari
publik akibat menerbitkan sebuah kebijakan yang mengatur majelis taklim. Kebijakan
tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 Tentang
Majelis Taklim (Permenag). Ketentuan
yang banyak dikritik oleh publik adalah ketentuan Pasal 6 ayat (1) Permenag tersebut
yang mengharuskan majelis taklim terdaftar pada Kantor Kementerian Agama.
Majelis
taklim sesungguhnya sudah ada dan berkembang secara organik dalam masyarakat
muslim di Indonesia. Di lingkungan masyarakat, kita banyak menemukan komunitas
yang melakukan pengkajian tentang islam dengan cara membaca Al-quran, ceramah,
dan lain-lain.
Sekretaris
Jenderal PBNU, Helmy Faishal Zaini, menilai Permenag tersebut mengganggu peran
majelis taklim di masyarakat. Helmy mengatakan UU Keormasan sudah mengatur
pendirian organisasi bagi majelis taklim yang hendak mendaftarkan sebagai
ormas. Jadi menurut Helmy, pemerintah janganlah mempersulit dan merepotkan
masyarakat.[2]
Terbitnya
Permenag tersebut juga disesalkan oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan
Syadzily. Menurut Ace, keluarnya Permenag itu terlalu berlebihan, karena hal
itu tidak perlu diatur oleh pemerintah. Selama ini majelis taklim itu sangat
tumbuh subur di masyarakat tanpa harus diatur-diatur oleh pemerintah.[3]
Dalam
konteks Hak Asasi Manusia, sesungguhnya setiap orang bebas untuk berkumpul dan
berserikat, tidak terkecuali di Indonesia, karena hak atas kebebasan tersebut
telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 28E ayat (3) menyebutkan “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Karena hak itu telah dijamin dan diakui oleh negara, maka menjadi kewajiban negara terutama
pemerintah untuk melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhinya.[4]
Apakah Permenag yang mengatur majelis
taklim tersebut membatasi dan menghambat pemenuhan hak atas kebebasan berkumpul dan
berserikat? Pertanyaan tersebut menjadi permasalahan yang akan dikaji dalam
tulisan ini. Namun untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui lebih dulu
dengan jelas mengenai apa yang menjadi latar belakang pemerintah, khususnya
Menteri Agama menerbitkan Permenag tentang majelis taklim dan bagaimananya
pengaturannya. Selain itu, perlu juga
diketahui, bagaimana seharusnya peran negara dalam memenuhi hak kebebasan
berkumpul dan berserikat.
Isi
Permenag Nomor 29 Tahun 2019
Permenag yang ditetapkan dan
diundangkan pada tanggal 13 Nopember 2019 tersebut, isinya terdiri dari 6 bab
dan 22 pasal. Ruang lingkup pengaturan dari Permenag tersebut meliputi
pendaftaran, penyelenggaraan, pembinaan, dan pendanaan majelis taklim.
Majelis Taklim, sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1 angka 1 Permenag tersebut, didefinisikan sebagai lembaga
atau kelompok masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan Islam
nonformal sebagai sarana dakwah Islam.
Majelis
Taklim dalam menjalankan tugasnya untuk meningkatkan pemahaman, penghayatan,
dan pengamalan ajaran agama Islam[5],
menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
1.
pendidikan agama Islam bagi masyarakat;
2.
pengkaderan Ustadz dan/atau Ustadzah, pengurus,
dan jemaah;
3.
penguatan silaturahmi;
4.
pemberian konsultasi agama dan keagamaan;
5.
pengembangan seni dan budaya Islam;
6.
pendidikan berbasis pemberdayaan masyarakat;
7.
pemberdayaan ekonomi umat; dan/atau
8.
pencerahan umat dan kontrol sosial dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.[6]
Pihak-pihak
yang dapat membentuk majelis taklim menurut Permenag ini adalah Perseorangan, kelompok orang,
organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, masjid, dan mushala.[7]
Majelis
Taklim, menurut Permenag ini, harus terdaftar pada Kantor Kementerian Agama.[8]
Secara teknis, permohonan pendaftaran diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Kementerian Agama atau Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.[9]
Selebihnya, Permenag ini mengatur syarat-syarat pendaftaran, teknis
penyelenggaraan, pembinaan dan pendanaan oleh pemerintah kepada majelis taklim
yang terdaftar.
Meskipun
Permenag ini mengatur keharusan majelis taklim terdaftar pada Kantor
Kementerian Agama, namun tidak ditemukan pada norma lain yang memberikan sanksi
apabila majelis taklim tidak mendaftarkan diri. Sehingga menurut penulis, meski terdapat norma
yang menyebut “harus terdaftar”, namun norma tersebut tidak mempunyai daya
paksa. Norma tersebut hanya berkaitan dengan masalah pendanaan yang sumbernya
bisa berasal pemerintah atau pemerintah daerah.[10]
Sederhananya, tidak ada permasalahan hukum apabila majelis taklim tidak
mendaftarkan diri kepada pemerintah, hanya saja majelis taklim tersebut tidak
mendapatkan akses pendanaan dari pemerintah.
Hal
itu juga ditegaskan oleh Menteri Agama, Fachrul Razi, yang menyatakan bahwa
Permenag bertujuan untuk membantu persoalan keuangan yang dialami oleh majelis
takilm.[11]
Namun demikian, Wakil Presiden RI,
Ma’ruf Amin, pada suatu kesempatan pernah menyatakan bahwa pengaturan tentang
majelis taklim juga bertujuan untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme.[12]
Meskipun hal itu kemudian dibantah sendiri oleh Fachrul Razi, yang menyatakan
keberadaan Permenag semata-mata hanya terkait masalah pendanaan.
Pemenuhan
Hak atas Kebebasan Berkumpul dan Berserikat
Sebagaimana telah disebut di atas,
bahwa hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat telah diatur dalam Pasal 28E
ayat (3) UUD 1945. Selain itu dalam hukum nasional, hak itu juga ditegaskan
kembali dalam Pasal 24 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang
menyebutkan “Setiap
warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan Partai Politik, Lembaga
Swadaya Masyarakat, atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya
pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntunan perlindungan,
penegakan dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan
perundangundangan”.
Pentingnya hak atas kebebasan berkumpul
dan berserikat, yang berkaitan juga dengan hak untuk menyampaikan pendapat,
pernah disampaikan oleh Mohammad Hatta dalam sidang BPUPKI sebelum kemerdekaan.
Dalam sidang tersebut terjadi perdebatan antara Soekarno dan Hatta. Soekarno
berpandangan bahwa jaminan perlindungan hak tersebut berasal dari faham liberalisme
yang melahirkan imperialisme.[13]
Hatta setuju dengan penolakan terhadap
liberalisme dan individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan untuk
memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara
yang ingin didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme. Lalu Hatta mengatakan:
“Tetapi
satu hal yang saya kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu
pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya untuk
mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas Undang-Undang Dasar yang
kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita
setujui”.
“Sebab
itu ada baiknya dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara
disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada misalnya tiap-tiap
warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara itu jangan takut
mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak buat berkumpul dan
bersidang atau menyurat dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untuk menjaga
supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita dasarkan negara
kita kepada kedaulatan rakyat”.[14]
Berdasarkan pendapat Hatta tersebut,
maka arti penting hak atas kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyampaikan
pendapat adalah untuk mencegah terciptanya negara kekuasaan.
Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat,
merujuk pada pembagian generasi oleh Karel Vasak, ahli hukum dari prancis,
termasuk dalam generasi pertama hak asasi manusia.[15]
Generasi yang mewakili hak-hak sipil dan politik. Hak-hak ini muncul dari
tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan
kekuatan-kekuatan sosial lainnya -sebagaimana yang muncul dalam revolusi hak
yang bergelora di Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.[16]
Hak-hak generasi pertama itu sering pula
disebut sebagai “hak-hak negatif”. Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai
buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur tangan terhadap hak-hak dan
kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin suatu ruang kebebasan di mana
individu sendirilah yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-hak generasi
pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar
(baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap kedaulatan
individu. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam generasi
pertama ini sangat tergantung pada absen atau minusnya tindakan negara terhadap
hak-hak tersebut. Jadi negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya,
karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut.[17]
Permenag meskipun tidak sampai membatasi
majelis taklim sebagai wujud hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, namun
telah memperlihatkan bahwa negara sangat aktif dalam mengatur atau mengontrol
kebebasan individu, apalagi jika dikaitkan dengan pendapat Wakil Presiden,
Ma’ruf Amin, yang mengatakan bahwa Permenag ini bertujuan untuk mencegah
radikalisme. Padahal persoalan radikalisme itu sendiri masih diperdebatkan,
karena beberapa pihak menganggap isu radikalisme digulirkan oleh pemerintah
untuk mengidentifikasi tindakan terorisme, namun prakteknya isu tersebut tidak
hanya menyasar pada tindakan terorisme, tapi lebih luas dari itu.
Peran negara yang sangat aktif, yang
dicerminkan dalam Permenag, sangat bertolak belakang dengan konsep generasi
pertama HAM yang menuntut ketiadaan campur tangan dalam rangka pemenuhannya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa keberadaan Permenag yang mengatur majelis taklim tidak dapat
dikatakan sebagai bentuk upaya pemerintah menghambat pemenuhan hak atas
kebebasan berkumpul dan berserikat. Namun demikian, upaya tersebut (penerbitan
Permenag) sangatlah berlebihan dan tidak seharusnya dilakukan oleh pemerintah
jika serius menghormati hak asasi manusia.
[1] Mahasiwa Magister Ilmu Hukum Universitas
Nasional. Tulisan ini disusun sebagai tugas mata kuliah “HAM dan Proses
Peradilan Pidana” dengan Dosen Pengampu Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H.
[4] Jimly Asshidiqie, “Kemerdekaan
Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi”,
Jakarta: 2005, hal 29
[5] Lihat Pasal 2
[6] Lihat Pasal 3
[7] Lihat Pasal 5
[8] Lihat Pasal 6 ayat (1)
[9] Lihat Pasal 6 ayat (2)
[10] Lihat Pasal 20
[11] https://news.detik.com/berita/d-4818816/menag-pastikan-pma-majelis-taklim-untuk-bantuan-keuangan
(diakses 11 Desember 2019)
[12] https://republika.co.id/berita/q1vnh9366/wapres-sebut-pendataan-majelis-taklim-cegah-radikalisme
(diakses 11 Desember 2019)
[13] Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko
Riyadi (Penyunting), “Hukum Hak Asasi
Manusia”, Pusham UII, Yogyakarta, 2008, hal. 238
[14] Pidato Hatta tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI, berdasarkan
naskah yang dihimpun oleh RM A.B. Kusuma, yang dikutip Knut D. Asplund dkk, Ibid, hal. 239-240
[15] Terdapat 3 Generasi HAM, meliputi: Hak
sipil Politik (Generasi pertama), hak ekonomi sosial budaya (Generasi Kedua),
dan Hak solidaritas atau hak bersama (Generasi Ketiga).
[17] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar