Sabtu, 27
Januari 2018, Aku, Ibu, Teteh dan Adikku berangkat menuju Arab Saudi untuk
melakukan umroh atau ziarah. Sebelumnya Ibu mempunyai keinginan melakukan
umroh bersama ketiga anaknya, tidak lama setelah Bapak meninggal.
"Ti, mau enggak umroh berempat sama Teteh, sama Arif juga?"
tanya Ibu kepadaku via telepon. Uti adalah nama panggilanku dalam
keluarga.
Setelah
melewati kesedihan karena kepergian Bapak, Aku tak mau membuat kesedihan
baru kepada Ibu dengan menolak ajakannya. "Iya, Bu, mau"
Jawabku saat itu. Bagi Ibu dan mayoritas muslim lainnya, umroh adalah
perjalanan suci. Sampai dengan Aku mengiyakan ajakan Ibu, tak pernah
sebelumnya Aku punya keinginan untuk umroh. Tapi baiklah, anggap saja ini
akan menjadi pengalaman pertamaku pergi ke luar negeri.
Kami berangkat
dengan menggunakan agen perjalanan haji dan umroh Rahma Raya yang berkantor di
Serang, Banten. Kami termasuk dari 23 orang jemaah umroh yang akan
diberangkatkan oleh Rahma Raya. Jam 10 pagi, rombongan berangkat
menggunakan Bus dari Masjid Agung Serang menuju Bandara Soekarno Hata (Soeta)
dengan pendamping Bapak Hasan, pimpinan Rahma Raya.
Sekitar jam 12
siang tiba di Terminal 3 Bandara Soeta. Lalu rombongan menunggu
penerbangan pesawat ke Jeddah yang dijadwalkan jam setengah 5 sore. Proses check-In
dan bagasi jemaah seluruhnya diurus pihak agen. Untuk makan siang, menu makanan
cepat saji dibagikan Pak Hasan ke setiap jemaah. Di Bandara, banyak
sekali jemaah umroh yang juga akan diberangkatkan dari agen lain.
Sekitar jam 3
sore, urusan check-in dan bagasi telah beres, lalu rombongan
masuk ke dalam ruang tunggu. Jam setengah 5 sore rombongan masuk ke
pesawat Garuda Airline, lalu lepas landas sekitar jam 5. Penerbangan
langsung ini ditempuh dengan waktu sekitar 9 jam. Ini mengalahkan penerbangan
terpanjangku sebelumnya, yaitu penerbangan dari Jakarta ke Papua, yang hanya
sekitar 5 jam.
Petugas
Imigrasi Jeddah Yang Menyebalkan
Pesawat
mendarat dengan mulus di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, sekitar jam setengah
11 waktu setempat atau jam setengah 3 pagi waktu Jakarta. Kupikir Aku akan
terkesan dengan bangunan Bandara ini, ternyata keliru, bangunannya
biasa saja, terkesan seadanya.
Penumpang lalu
diarahkan menuju petugas imigrasi. Berpakaian serba hijau dan menggunakan baret
hijau pula, sepintas penampilannya mirip tentara, tapi mereka petugas
imigrasi. Sepenglihatanku, semuanya laki-laki. Terdapat beberapa
bilik petugas, di mana para penumpang diminta berbaris 1 barisan ke
belakang dekat bilik.
Petugas
menggunakan bahasa arab, bukan inggris sebagai bahasa internasional. Jadi
Aku (merasa) mengerti maksud petugas hanya dari bahasa tubuhnya. Aku berada
paling depan barisan. Lalu Aku merasa dimintanya maju mendekat ke bilik,
maka majulah Aku. Setelah itu, petugas tadi keluar dari bilik dan malah
asik berbincang dengan orang berpakaian gamis dan sorban di kepala. "Tadi
Aku emang disuruh mendekat atau enggak ya? Kok dicuekin gini" batinku. Aku
mencoba sabar.
Lalu setelah
petugas tadi masuk kembali ke bilik, Aku langsung sodorkan Paspor dan
Visaku, Ia menerimanya sambil berbincang dengan petugas lain di bilik
sebelah, sambil ketawa haha-hihi. "eh, ini gimana sih
petugas?" tanyaku dalam batin. Karena Aku tak faham apa yang mereka
bicarakan, Aku mencoba terus bersabar sambil mencermati gerak-geriknya.
Petugas itu
kemudian seperti memintaku untuk berdiri di depan kamera DSLR yang terpasang di
pinggir bilik. Aku bergeser dan berdiri di depan Kamera. Petugas tetap sambil
berbincang dengan petugas lain, lalu memencet tombol kamera,
jepret!. Ia tidak langsung melihat hasil jepretannya, tapi
melanjutkan obrolan yang nampak seru. Setelah dia melihat hasil jepretan
kamera, lalu dengan bahasa tubuhnya, Ia memintaku untuk mundur
ke belakang dan akan difoto kembali. "Kayaknya foto yang tadi
terlalu deket" batinku mengira. Singkat kata, sambil terus
berbincang, si petugas akhirnya memberi stempel pada pasporku.
Saat mau keluar
dari bagian imigrasi, ada 2 petugas laki-laki yang mengecek paspor
kembali. Paspor kusodorkan, si petugas menerimanya sambil mengetik pesan WhatsApp
di gawainya. Kupikir Ia mengetik terkait pekerjaan, tapi kulihat Ia
mengetik jenis emoticon dan lambang cinta. "Wah, gak bener
nih petugas" tuduhku. Petugas tadi sepertinya hanya mengecek apakah
pasporku sudah di stempel atau belum, lalu diserahkan kembali.
Adikku yang
juga baru selesai pemeriksaan imigrasi di bilik lain, ternyata
mengeluhkan hal yang sama. Pelayanan petugas imigrasi yang buruk.
Ganti Kartu
Perdana Internet
Di Bandara King
Abdul Aziz, Jeddah, Aku mengecek telepon genggam dan mencoba menggunakan
internet dengan kartu telkomselku. Ternyata tidak bisa, meskipun kuota internet
masih ada.
Ternyata
kebutuhan internet ini sudah jadi segmen pasar di Bandara. Banyak orang
menawarkan kartu paket internet. Salah satunya ada seorang Ibu yang berbahasa
indonesia, dari perawakannya Ibu itu memang orang Indonesia, Dia
menawarkan kartu internet dengan harga 200 ribu dengan kuota internet sebanyak
3 GB. Lalu beberapa pemuda arab juga menawarkan kartu yang sama dengan harga
yang lebih murah, yaitu 40 riyal atau sekitar 150 ribu. Kuota internet berlaku
untuk satu bulan. Aku lalu membeli kartu internet dari pemuda arab itu. Kartu
provider Mobily. Belakangan kuketahui ada juga provider lain yaitu STC.
Menuju ke
Madinah
Rombongan
kemudian menumpaki Bus untuk menuju Madinah. Berdasarkan jadwal dari agen
perjalanan umroh, memang tujuan pertama adalah ke Madinah untuk
mengunjungi beberapa tempat, salah satunya Masjid Nabawie.
Setir mobil dan
jalur jalan di Arab Saudi berbeda dengan di Indonesia. Jika di Indonesia
setir mobil berada di sisi kanan dan menggunakan sisi jalur jalan kiri,
di sini sebaliknya, setir sebelah kiri dan jalur jalan yang digunakan sisi
kanan.
Sekitar jam
setengah 12 malam waktu setempat, Bus mulai meluncur. Dalam perjalanan
ini, Kami dibantu oleh pendamping lokal, tetapi sebenarnya orang
Madura, namanya Fathurahman. Di dalam Bus, Ustad Fathur meminpin
do'a lalu menjelaskan sekilas mengenai umroh dan tujuan perjalanan ke Madinah.
Tapi Ia tidak menjelaskan panjang lebar, lantaran Ia mengerti para jemaah
sudah nampak lelah.
Karena kondisi
masih gelap, jadi tak ada pemandangan yang bisa dilihat, kecuali
lampu jalan dan kendaraan yang lewat. Aku memilih tidur di dalam Bus. Di tengah
perjalanan, Bus berhenti di sebuah masjid untuk memberi kesempatan
penumpang buang air kecil. Aku keluar bus dan ke kamar mandi sambil merasakan
cuaca yang dingin sekali, Aku lihat gawai yang menunjukan suhu udara
sebesar 20 derajat celsius.
Sekitar jam
setengah 5 pagi, Kami tiba di sebuah hotel di Madinah, yang
lokasinya berdekatan dengan Masjid Nabawie, Hotel Al Salihiyah, hotel
dengan 13 lantai. Di hotel itulah rombongan akan mondok selama 2 malam.
Rombongan kami mendapatkan kamar di lantai 2. Aku satu kamar bersama
Adik, Pak Hasan dan Ustad Fathur.
Setelah menaruh
barang di kamar, Aku bersama Adik dan Pak Hasan bergegas ke Masjid
Nabawie untuk mendirikan Shalat Subuh. Sekitar 50 meter berjalan kaki,
kami sampai di halaman masjid, yang terdapat banyak payung raksaksa yang bisa
dililat. Model payung ini ditiru oleh Masjid Agung Jawa Tengah. Karena begitu
banyaknya jemaah, alas kaki perlu kami bawa ke dalam masjid dan ditaruh
di rak alas kaki yang disediakan di bawah beberapa tiang masjid. Di setiap
tiang juga tersedia tumpukan Kitab Alquran. Tersedia juga di beberapa tempat air
zam-zam.
Usai Shalat
Subuh, setelah berdoa sebentar, Aku bergegas balik ke hotel. Saat
baru berdiri, tiba-tiba orang-orang serentak mendirikan shalat lagi
dipimpin imam masjid. "Eh, shalat apa ini?" tanyaku dalam
batin. Karena aku terpisah dengan Adik dan Pak Hasan, Aku tak menemukan
jawaban dan terus keluar masjid tanpa menyertai shalat. Belakangan, kata
Pak Hasan, itu shalat jenazah. Setiap selesai shalat fardhu, di Masjid
Nabawie dilaksanakan shalat jezanah.
Sarapan telah
disediakan di hotel di salah satu lantai. Semua jemaah umroh indonesia
dari berbagai agen yang ada di hotel Al Salihiyah, ternyata sarapan di
tempat yang sama, jadi mesti mengantre untuk memgambil makanan yang disediakan
secara prasmanan. Nasi dengan lauk telor ceplok, ditambah sambel dan
kerupuk, serta roti selai sebagai menu sarapan. Untuk minum tersedia teh
hangat, air putih dan jus jeruk. Selanjutnya untuk makan siang dan makan
malam juga disediakan di tempat yang sama. Hanya perlu mengatur waktu makan agar
tidak mengantre dengan banyak jemaah umroh lainnya.
Pedagang Arab
di Sekitar Hotel
Jadi, di
sekitar Masjid Nabawie, berdiri banyak sekali hotel, yang tentu
saja berisi banyak jemaah umroh atau haji. Hampir setiap hari penuh. Nah,
di lantai dasar hotel tersedia ruko-ruko yang menjajakan barang-barang seperti
alat perlengkapan shalat, parfum, kurma, cendramata
dll.
Konon,
jemaah umroh atau haji dari indonesia yang paling gemar belanja, maka tak
heran kalau banyak pedagang yang orang arab, bisa berbahasa Indonesia.
Barangkali karena konsumennya banyak orang Indonesia, pedagang itu
mempelajari bahasa pelanggannya sebagai taktik pemasaran. Pelanggan Indonesia
pun akhirnya tak perlu susah payah menggunakan bahasa arab atau inggris saat
berbelanja, cukup bertanya "ini berapa harganya?", para
pedagang itu sudah mengerti. Lalu biasanya pedagang akan memuji-muji orang
indonesia, seperti "(orang) Indonesia, berakhlak" ujar mereka
dengan intonasi arab.
Aku beli kopiah
dengan harga 2 riyal atau seharga 7.600 rupiah (dengan hitungan 1 riyal = 3.800
rupiah), di kopiah itu tertera tanda "made in china". Banyak
produk yang dijual merupakan buatan china, meski ada juga buatan turki untuk
sajadah atau perlengkapan alat shalat lainnya. Pedagang arab akan bilang
"halal" kalau transaksi antara pedagang dan pembeli telah bersepakat
soal harga.
Perbanyak
Shalat dan Berdo'a
Selayaknya
jemaah umroh lainnya, Aku pun turut rajin melaksanakan shalat fardhu lima
waktu setiap harinya, bahkan shalat sunah sebelum dan sesudah shalat
fardhu pun kukerjakan. Keseharianku saat umroh dengan di Indonesia sangat
berbanding terbalik. Istriku, Afidah, melalui pesan yang dikirim
bilang "anggap saja do'a itu semacam sugesti, jadi berdo'lah yang
baik-baik". Jadi banyak berdo'alah Aku. Berdo'a untuk Ibu, Anak dan Istri,
Mertua, Saudara, Sahabat dan Kawan-Kawan, serta berdo'a untuk
orang-orang yang telah meninggal seperti Bapak dan Bapak Mertuaku, juga
Muhammad sebagai teladan dan pembawa ajaran Islam.
Sekitar jam 10
siang di hari pertama, Pak Hasan dan Ustad Fathur mengantar kami untuk
mengunjungi raudah dan baqi. Raudah merupakan tempat yang berada antara mimbar
dengan rumah Muhammad. Konon Muhammad pernah berkata, di antara rumah dan
tempat Muhammad berdiri (mimbar), terdapat taman surga, dalam bahasa arabnya,
tempat itu bernama raudah. Nah, raudah saat ini berada di bagian depan
Masjid Nabawie, ditandai dengan karpet hijau. Banyak jemaah yang
berkeinginan shalat di raudah itu, salah satunya Adikku, yang
pagi-pagi sekali sudah menghilang dari kamar, hanya untuk bisa mendirikan
shalat di raudah.
Karena terdapat
jadwal khusus bagi perempuan, yaitu ba'da Subuh dan Isya, maka saat itu
hanya lelaki saja yang bisa mengunjungi raudah, dengan cara masuk dari sisi
kanan bagian depan masjid dan keluar dari sisi kirinya. Aku bersama
rombongan lelaki masuk, Aku tidak melihat raudahnya saat itu, tapi
justru melihat ruang jenazah, yang di dalamnya ada beberapa mayat yang ditutupi
kain hijau. Sejak itu Aku jadi mengerti kenapa selalu ada shalat jenazah ba'da
shalat fardhu. Karena setiap harinya selalu ada orang meninggal dan di
shalatkan.
Selain melihat
ruang jenazah, Aku juga melihat 3 ruangan tertutup, yang konon
dulunya merupakan rumah Muhammad dan kedua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar.
Setelah keluar dari dalam masjid dan berkumpul kembali dengan rombongan
perempuan, Ustad Fathur mengajak rombongan menuju Baqi. Baqi adalah
makam sabahat-sahabat Muhammad, salah satunya Usman. Konon, Allah akan
mengangkat orang-orang yang dikubur di Baqi untuk petama kali di hari
perhitungan atau yaumul hisab. Di depan baqi, Ustad Fathur memimpin pelantunan
do'a.
Keesokan
harinya, Senin, 29 Januari 2018, Aku dan rombongan pergi dengan bus
untuk berziarah ke Masjid Quba dan Jabal Uhud. Konon, Masjid Quba
merupakan masjid pertama yang dibangun Muhammad beserta para sahabat saat
berhijrah dari Mekkah ke Madinah, sementara Jabal Uhud merupakan tempat
peperangan Muhammad dan para sahabat melawan kaum quraish. Selain ke kedua
tempat itu, Kami juga mengunjungi kebun kurma, yang menurutku sedikit
sekali pohon kurmanya, tapi di situ diperdagangkan banyak kurma,
dimana kita boleh mencicipi sepuasnya di tempat. Aku mengambil segenggam kurma
untuk bekal melihat pohon-pohon kurma yang ada di sekeliling. Lalu kami kembali
ke hotel sebelum waktu dhuhur.
Sore harinya
atau ba'da shalat ashar, Kami mengunjungi museum Asmaul Husna, yang
lokasinya berada di sebelah kanan Masjid Nabawie. Sungguh Aku malas
menceritakannya, karena sama sekali tak menarik.
Selasa,
30 Januari 2018, Aku dan rombongan bersiap untuk melakukan rukun umroh,
yaitu berniat, Tawaf, Sa'i dan Tahallul. Kami disarankan untuk mandi
umroh dulu di hotel dan mengenakan kain ihrom bagi laki-laki, kemudian
makan siang sebelum dhuhur dan berangkat menuju Mekkah dengan mampir terlebih
dahulu di Masjid Bar Ali untuk melakukan shalat sunat dan membaca niat umroh.
Kami berangkat
dari Madinah sekitar jam setengah 3 sore dan tiba di Mekkah sekitar jam
setengah 9 malam. Persinggahan kami di Mekkah adalah Villa Hilton, yang
gedungnya berada dekat dengan halaman Masjidil Haram, tempat keberadaan
Ka'bah. Gedung Villa Hilton bersebelahan dengan Tower Zam-zam, gedung
yang di atasnya terdapat jam analog sangat besar, dan merupakan gedung
tertinggi di Arab Saudi.
Villa Hilton
terdiri dari 27 lantai, dan rombongan kami menempati Villa di lantai 6 di
Tower 6. Aku tak tahu ada berapa tower di Villa Hilton. Setelah berkemas di
kamar dan makan malam, rombongan menuju ke dalam Masjidil Haram untuk
menjalankan Tawaf, Sa'i dan Tahallul. Tawaf berupa mengelilingi Ka'bah sebanyak
7 kali dengan diiringi lantunan do'a.
Agar rombongan
tetap menyatu di tengah keramaian jemaah, kami membentuk formasi di mana
jemaah lelaki berada di sisi luar melingkari jemaah perempuan yang berada di
dalam lingkaran. Ustad Fathur yang memimpin do'a berada di posisi paling depan.
Ketika melakukan tawaf, bahu sebelah kanan terbuka dari kain ihrom,
lalu jemaah berkeliling dengan kebalikan arah jarum jam.
Usai
berkeliling 7 putaran, rombongan menepi dan melakukan Shalat Sunat
Tawaf, lalu pergi menuju tempat Sa'i. Sa'i berupa berkeliling dari bukti
Safa ke bukit Marwa, juga sebanyak 7 kali. Tempai Sa'i juga masih
berada di areal Masjidil Haram, yang berupa lorong terdiri dari 2 sisi. Sisa
Bukit Safa masih nampak terlihat berupa bebatuan yang dipagari, sementara
bukit Marwa sudah tidak terlihat. Jarak tempuh Sa'i lebih jauh daripada
tawaf, atau menurutku lebih melelahkan.
Konon Sa'i
merupakan napak tilas dari sejarah Hajar, Istri Ibrahim atau Ibunda
Ismail, yang berputar-putar dari bukit Safa ke Marwa untuk mencari air, karena
perbekalannya telah habis. Saat itu Hajar putus asa karena tak menemukan
Air. Air justru muncul dari tanah yang dikorek-korek oleh kaki ismail
kecil, dan itulah awal mula air zam-zam.
Lalu rombongan
melakukan Tahallul setelah usai Sa'i. Tahallul merupakan rukun terakhir atau
pamungkas dari umroh. Berupa memotong 3 helai rambut. Ustad Fathur memotong
rambut jemaah lelaki, untuk jemaah perempuan, saat itu aku tidak
memperhatikan siapa yang memotong. Setelah semua rukun selesai dilakukan,
Aku pun pulang untuk beriatirahat. Adikku memilih tetap berada di Masjid,
karena dia ingin mendekat ke Hajar Aswad yang ada di bagian Ka'bah, yang memang
tidak dilakukan saat Tawaf.
Ket: Adik, Teteh, Ibu dan Aku di sekitar Ka'bah Masjidil Haram setelah melakukan umroh yang kedua |
Ziarah Kota
Mekkah
Setelah
beristirahat seharian (maksudnya tidak ada agenda yang dijadwalkan oleh agen
perjalanan, tapi kegiatan berbelanja tetap jalan, haha. Hari itu
Aku pergi ke Pasar Jafariah untuk membeli oleh-oleh), keesokan harinya,
Kamis, 1 Februari 2018, dijadwalkan untuk melakukan ziarah di beberapa
tempat di Kota Mekkah.
Sekitar jam 8
pagi, rombongan dengan menggunakan Bus bergerak menuju Jabal
Rahmah, sebuah bukit yang konon merupakan tempat bertemunya Adam dan
Hawa. Tidak lama setelah meninggalkan area Masjidil Haram, dalam Bus
Ustad Fathur menunjukkan sebuah bukit bernama Jabal Tsur. Dari dalam bus,
terlihat banyak orang mendaki bukit itu. Dalam sejarahnya, di Jabal Tsur
terdapat sebuah goa, yang dulunya tempat berlindung Muhammad dan Abu
Bakar dari kejaran Kaum Quraish saat melakukan hijrah ke Madinah.
Kami tiba di
Jabal Rahmah satu jam kemudian. Jabal Rahmah berada di wilayah Arafah. Aku
mendaki bukit itu bersama adikku dan mencapai puncak di mana terdapat sebuah
tugu. Di puncak itu, banyak orang memanjatkan doa, khususnya pengharapan
soal jodoh. Di puncak itu juga banyak orang berjualan cendramata. Di sekitar
Jabal Rahmah ini, kami disarankan untuk mengambil wudhu, sebelum
melakukan niat umroh yang kedua di Masjid Ja'ronah. Umroh kedua ini bersifat
sunnah. Kenapa wudhu di situ? Secara teknis, mengambil wudhu saat
di Masjid Ja'ronah akan memakan waktu yang lama karena kepadatan jemaah umroh,
sehingga akan praktis jika mengambil wudhu di sekitar Jabal Rahmah terlebih
dahulu.
Dari Jabal
Rahmah kami bergerak menuju Masjid Ja'ronah. Dalam perjalanan, kami
melewati wilayah Arafah tempat dilakukannya wukuf saat musim berhaji.
Kami juga melewati Musdzalifah, tempat pergerakan orang haji setelah melakukan
wukuf di Arafah. Lalu melewati juga Mina, tempat orang berhaji melakukan
pelemparan jumroh. Ustad Fathur membantu menjelaskan tempat-tempat tersebut
kepada rombongan.
Setelah singgah
di Masjid Ja'ronah untuk mengenakan kain ihrom dan membaca niat umroh,
kami bergerak menuju Masjidil Haram untuk shalat dhuhur kemudian melakukan
Tawaf, Sa'i dan Tahallul kedua. Tawaf yang kedua ini, karena
dilakukan siang hari, membuat tubuh cukup berkeringat. Sejak tiba di Madinah,
Aku jarang berkeringat lantaran cuaca yang dingin.
Sejak Kamis
malam, Masjidil Haram semakin ramai dan penuh. Kabarnya karena Kamis
malam dan Jumat merupakan akhir pekan orang-orang Arab. Sehingga banyak warga
Mekkah memanfaatkan waktu untuk ke Masjidil Haram. Selain itu juga karena
jemaah umroh semain bertambah. Jika ingin melakukan shalat fardhu di dalam
masjid, maka mesti berangkat sebelum atau sesaat setelah adzan, agar
kebagian tempat. Jika tidak, kita hanya bisa mengikuti shalat berjamaah dari
halaman masjid.
Sedekah
Pedagang Makanan
Ketika suara
adzan berkumandang dari Masjid, semua kedai pedagang tutup dan mereka
melaksanakan shalat. Usai shalat, beberapa pedagang makanan di sekitar hotelku
biasanya membagi-bagikan makanan kepada kaum miskin. Ini semacam sedekah yang
dilakkan oleh pedagang.
Saat tiba
pembagian makanan, akan terlihat orang berbaris di depan kedai mengantre
jatah pemberian. Lucunya, jemaah umroh dari Indonesia juga biasanya dapat
jatah pembagian makanan itu. Beberapa jemaah dari rombonganku bercerita
bahwa mereka mendapat pembagian makanan. Salah satunya Tetehku. Lumayan,
makan gratis.
Hari Terakhir
di Tanah Arab
Sabtu, 3
Februari 2018, Kami mengemasi barang-barang dan bersiap untuk kembali ke
Indonesia. Kami diminta untuk meletakkan koper di depan kamar hotel
setelah dhuhur. Tapi sebelum itu, pagi harinya Kami melalukan Tawaf
sekali lagi di Ka'bah, tanpa melakukan Sa'i dan Tahallul.
Usai shalat
ashar dan semua koper telah dibawa ke bus, sekitar jam setengah 5 sore,
Bus bergerak menuju Jeddah. Jadwal penerbangan pulang, Minggu, 4
Februari 2018, sekitar jam 5 pagi dengan menggunakan maskapai Etihad Airline.
Tiba di
Jeddah, Kami tidak langsung menuju Bandara King Abdul Aziz, tapi
mampir dulu ke Masjid Qishas, yang terletak di pinggiran danau buatan.
Masjid ini merupakan tempat dilakukannya eksekusi bagi terpidana, seperti
hukuman mati dengan cara penggal kepala.
Perkara yang
sering terjadi, kata Ustad Fathur, adalah kasus narkoba dan pembunuhan.
Sebelum dieksekusi, para terpidana sebelumnya diadili dulu di Pengadilan
yang letaknya sebelah kiri atau selatan Masjid. Lalu saat akan pelaksanaan
eksekusi, ada semacam pemberitahuan kepada publik, yang kemudian bisa
menyaksikan eksekusi. Tapi menurut orang Indonesia yang kutemui sesaat setelah
makan bakso Mang Oedin, di mana ia telah tinggal di Jeddah selama 17
tahun, eksekusi sudah tidak lagi terbuka untuk publik sejak tahun 2013
lalu.
Usai shalat
magrib, kami menuju sebuah pasar di mana di situ ada sebuah warung bakso
Mang Oedin, warung yang dimiliki orang Indonesia. Aku, Teteh dan Ibu
masing-masing pesan 1 porsi, sedangkan adikku pesan 1 porsi mie ayam,
ditambah 2 gelas es campur. Rasa baksonya sebetulnya biasa aja,
lebih enak Bakso Wonogiri atau Bakso Sony di Lampung. Semua yang kami pesan
menghabiskan 95 riyal atau sekitar 350 ribu.
Kemudian kami
meluncur ke Bandara King Abdul Aziz. Kami tiba sekitar jam setengah 11 malam
dan harus menunggu penerbangan yang dijadwalkan jam 6 pagi. Sekitar jam 2
pagi, proses check-in selesai dan kami masuk ke bagian imigrasi dan ruang
tunggu. Di ruang tunggu Bandara, Aku dan sebagian besar jemaah tak mendapatkan
kursi. Lalu kami duduk di lantai dan menikmati menu makan malam nasi
kotak yang sudah disediakan oleh agen.
Singkat
kata, Kami naik ke Pesawat Etihad dan lepas landas sekitar jam 6 pagi.
Setelah menempuh 2 jam perjalanan, pesawat tiba di Bandara Abu Dhabi
untuk melakukan transit. Sekitar sejam menunggu, lalu kami terbang dengan
maskapai Etihad kembali langsung ke Jakarta. Kami mendarat di Bandara Soekarno
Hata dengan selamat saat hari sudah malam. Alhamdulillah, perjalanan ziarah ke
tanah arab berjalan lancar.
Asep Mufti
Januari-Februari
2018
(Catatan ini
mulai ditulis saat berada di Madinah di sela-sela waktu istirahat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar