Oleh: Asep Mufti[1]
Baru-baru
ini banyak orang terusik dengan apa yang dialami oleh Baiq Nuril, seorang
perempuan, mantan guru honorer di sekolah di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Baiq
Nuril divonis bersalah oleh lembaga peradilan karena dianggap menyebarkan
informasi elektonik yang muatannya melanggar kesusilaan, sebagaimana dimaksud
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kasus
bermula pada tahun 2012[2],
saat Baiq merekam perbincangan antara dirinya dengan kepala sekolah tempat dia
bekerja. Dalam perbincangan itu, Baiq sebagai perempuan merasa dilecehkan oleh
kepada sekolah tersebut. Baiq kemudian memberikan rekaman perbincangan itu
kepada teman kerjanya, dan tersebarlah rekaman tersebut. Tidak terima lantaran
perbincangannya tersebar, kepala sekolah itu kemudian melaporkan Baiq ke pihak
kepolisian. Laporan tersebut diproses.
Pengadilan
Negeri Mataram sebenarnya sudah menyatakan Baiq tidak bersalah dan membebaskan
dirinya dari segala tuduhan, namun terhadap putusan tersebut, Penuntut Umum
melakukan upaya hukum. Pengadilan tingkat banding dan kasasi, justeru
memberikan vonis bersalah kepada Baiq Nuril. Baiq mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali dan ditolak, lalu mengajukan amnesti kepada Presiden Joko
Widodo.
Di
tengah gencarnya upaya gerakan sosial perempuan yang mendorong adanya
pengaturan tentang penghapusan kekeresan seksual, kasus Baiq Nuril semakin
menegaskan bahwa perempuan masih menjadi pihak yang rentan mengalami kekerasan
seksual. Dalam sudut pandang gerakan perempuan, Baiq merupakan korban, namun
pada kenyataannya, dalam penegakan hukum Baiq justeru menjadi pesakitan.
Kasus
Baiq, hanya satu dari sekian rentetan kasus yang terjadi dalam penegakan hukum
di Indonesia, dimana “rakyat kecil” rentan menjadi korban ketika berhadapan
dengan proses penegakan hukum. Kita tentu masih ingat, sebelumnya ada kasus
yang dialami oleh Prita Mulyani yang juga menjadi pesakitan lantaran melakukan
kritik terhadap pelayanan sebuah rumah sakit. Ada juga kasus Manisih, di
Batang, Jateng, yang menjadi pesakitan lantaran mengambil kapuk sisa-sisa panen
di sebuah perkebunan. Mbok Minah di Banyumas, menjadi pesakitan lantaran
mengambil 3 buah kakao.
Terhadap
kasus-kasus tersebut, tentu saja menjadi keprihatinan dalam masyarakat dan selalu
timbul pertanyaan, adakah yang salah dengan penegakan hukum di Indonesia?
Bermula dari keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia, Satjipto
Rahardjo (1930-2010), menciptakan sebuah gagasan hukum yang kemudian dikenal
dengan isitilah Hukum Progresif. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi
rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi
yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.[3]
Sekiranya Satjipto masih hidup, tentu kasus Baiq dan kasus-kasus lain yang
disebut di atas, tidak luput dari kritikan begawan hukum tersebut.
Konsep
hukum progresif berangkat dari asumsi bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Maka, setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang
ditunjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan
ke dalam skema hukum.[4]
UU
ITE yang menjerat Baiq Nuril, pada mulanya merupakan UU yang pada awalnya untuk
melindungi kepentingan Negara, publik, dan swasta dari kejahatan siber (cyber
crime). Saat itu ada 3 pasal mengenai defamation (pencemaran nama
baik), penodaan agama, dan ancaman online. Semula, ketiga pasal itu
dimaksudkan untuk menangkap para penjahat siber. Namun, kini malah lebih sering
dipakai untuk mengkriminalisasikan warga yang memanfaatkan internet dan media
sosial untuk menyampaikan keluhan, opini, isi pikirannya, berpolemik, hingga
menyampaikan kritik kepada pimpinan daerah.[5]
Cara
berhukum yang demikian, menurut Satjipto, merupakan tradisi atau aliran analytical jurisprudence, yang hanya
melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan
analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai bangunan peraturan yang dinilai
sebagai sistematis dan logis. Dunia di luar, seperti manusia, masyarakat dan kesejahteraan
ditepiskannya.[6]
Sederhananya, apa yang tertera dalam peraturan perundang-undangan, lebih
prioritas dalam penegakan hukumnya daripada melihat fakta sosialnya. Tradisi
seperti inilah yang ditentang oleh Satjipto Rahardjo dengan hukum progresifnya.
Hukum
progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final,
melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.
Dalam konteks pemikiran tersebut, hukum selalu berada dalam proses untuk terus
menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus-menerus membangun dan
mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas
kesempurnaannya dapat diverifikasikan ke dalam faktor-faktor keadilan,
kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakekat “hukum
yang selalu dalam proses menjadi” (law as
a process, law in the making). Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri,
tetapi untuk manusia.[7]
Pendapat
Satjipto tentang Hukum Progresif, sama halnya dengan penganut realisme hukum
dan sociological jurisprudence. Seperti
yang dikatakan Jerome Frank, tujuan utama penganut realisme hukum (legal realism) adalah untuk membuat
hukum “menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial”. Untuk mencapai
tujuan ini, mereka mendorong perluasan bidang-bidang yang memiliki keterkaitan
secara hukum, agar pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di
dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat
hukum.[8]
seperti halnya realisme hukum, sociological
jurisprudence juga ditujukan untuk memberi kemampuan bagi institusi hukum
untuk secara lebih menyeluruh dan cerdas mempertimbangkan fakta-fakta sosial di
mana hukum itu berproses dan diaplikasikan.[9]
Dengan
pendapat yang demikian, maka, hukum progresif lebih menempatkan faktor perilaku
di atas peraturan dalam sebuah penegakan hukum. Faktor dan kontribusi manusia
dianggal lebih menentukan daripada peraturan yang ada. Faktor manusia adalah
simbol daripada unsur-unsur greget. [10]
Satjipto mencontohkan sikap Mantan Hakim Agung Bismar Siregar yang-menurut
Satjipto-selalu memutus berdasar hati nurani terlebih dahulu dan baru kemudian
dicarikan peraturannya, oleh karena hakim memutus berdasarkan hukum.
Dalam
konteks yang lebih luas, hukum progresif sebenarnya ingin membebaskan diri dari
dominasi hukum liberal, yaitu hukum modern yang tumbuh dan berkembang di Eropa.
Hukum modern lahir seiring dengan dinamika perkembangan ekonomi di negara
modern. Sistem produksi kapitaslis membutuhkan dukungan suatu tatanan sosial
yang mampu melancarkannya, maka diperlukan hukum yang positif, tertulis dan
dirinci dengan jelas sehingga dapat menjamin prediktabilitas.[11]
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa hukum modern lebih bersifat
positivistik, karena lebih dapat memberikan kepastian.
Namun
demikian, hukum progresif tidka bersikap a
priori terhadap hukum liberal, karena ada hal yang bisa diambil dari hukum
liberal, tetapi banyak juga yang tidak dinginkan.[12]
Kesimpulan
Pada
intinya, hadirnya gagasan hukum progresif merupakan kritik dari praktek hukum
yang sangat positivistik, yang tidak lain merupakan tradisi dari hukum modern
yang liberal. Hukum modern lebih mengedepankan peraturan perundang-undangan
yang tertulis dalam menegakkan hukum, tapi mengesampingkan fakta sosial. Konsep
hukum progresif, memiliki kesamaan dengan realisme hukum atau sociological jurisprudence, selain itu
juga dengan konsep hukum responsif nya Philippe Nonet dan Philip Selznick.
Dalam aksinya, hukum progresif lebih mempercayakan kepada perilaku manusia
untuk mewujudkan keadilan, daripada peraturan-peraturan yang tertulis.
[1] Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Nasional. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah
Sosiologi Hukum, dengan dosen pengampu, Dr. Rizal Ramadhani, S.H.,LL.M., pada
Magister Ilmu Hukum, Universitas Nasional.
[2] Lihat berita www.cnnindonesia.com, berjudul “Kronologi Kasus Baiq Nuril, Bermula Dari Percakapan Telepon,”
Rabu, 14 November 2018.
[3] Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,” Genta
Publishing, Juli 2019, hlm. 2.
[4] Ibid,
hlm. 3
[5] Lihat berita www.hukumonline.com, berjudul UU ITE dan Risiko Hukum Bagi Pengguna Media Sosial,” Kamis, 29
Desember 2016.
[6] Opcit,
Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif,
Sebuah Sintesa Hukum Indonesia”, hlm. 6
[7] Ibid
[8] Philippe Nonet & Phipil Selznick, “Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi”,
HuMa, Desember 2003, hlm. 59
[9] Ibid
[12] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar