Oleh: Asep Mufti, Tim Asistensi Divisi Penindakan Bawaslu
Kehadiran lembaga pengawas pemilu
dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, telah ada sejak pemilu yang
diadakan pada tahun 1982 atau pemilu keempat (sebelumnya telah dilaksanakan Pemilu
tahun 1955, 1971, dan 1977) yang dilaksanakan sejak Negara Indonesia berdiri.
Sejak kehadirannya, lembaga pengawas selalu menuai kontroversi, banyak pihak
yang menilai kinerja lembaga pengawas pemilu tidak maksimal.
Terhadap keberadaan lembaga pengawas
tersebut, ada pihak yang mengusulkan agar lembaga pengawas ditiadakan dalam
pelaksanaan pemilu atau dibubarkan. Di lain pihak, ada yang berpendapat agar
lembaga pengawas diperkuat dan diberi tambahan kewenangan agar kinerjanya
menjadi lebih baik. Kedua pendapat tersebut selalu muncul ketika pembahasan
rancangan undang-undang pemilu. Pada kenyataannya, lembaga pengawas pemilu masih
ada hingga saat ini.
Dalam pelaksanaan Pemilu Tahun 2019,
secara kelembagaan, pengawas pemilu semakin diperkuat dengan dipermanenkannya
lembaga pengawas tingkat kabupaten/kota. Semula hanya berupa panitia yang
sifatnya hanya sementara, diperkuat menjadi Badan. Selain itu ada penambahan
jumlah anggota di tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Secara fungsi,
pengawas pemilu diberi kewenangan baru yaitu menyelesaikan pelanggaran
administrasi pemilu melalui pemeriksaan secara terbuka dengan produk berupa
putusan, yang mana terdapat kewajiban bagi KPU untuk melaksanakan putusan
tersebut.
Mengingat perkembangan pelaksanaan
pemilu semakin kompleks, apakah keadaan lembaga pengawas pemilu dirasa cukup efektif
sebagai penegak hukum pemilu yang dapat mendorong pelaksanaan pemilu yang jujur
dan adil? Atau justeru masih banyak kelemahan yang perlu dibenahi?
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada
baiknya kita melihat kembali sejarah dan perkembangan pengawas pemilu dari awal
kemunculannya hingga saat ini.
Awal
Kemunculan Lembaga Pengawas Pada Pemilu Tahun 1982
Kemunculan lembaga pengawas pada
pemilu tahun 1982 merupakan respon atas kritik terhadap penyelenggaraan pemilu
sebelumnya di era pemerintahan Orde Baru, yaitu Pemilu Tahun 1971 dan 1977. Pemerintah
berkuasa mendesain pemilu sedemikian rupa, mulai dari kepanitiaan penyelenggara
yang diisi oleh pejabat-pejabat pemerintah, sampai keterlibatan PNS pada
Golongan Karya sebagai peserta pemilu yang mewakili kepentingan penguasa, namun
di sisi lain melarang PNS menjadi anggota partai politik (PPP dan PDI). Selain
itu juga ada upaya rekayasa hasil pemilu. Keadaan tersebut menuai protes dari
partai politik dan masyarakat.
Protes-protes partai politik semakin keras pada saat terjadi
pelanggaran dan kecurangan besar-besaran dalam Pemilu 1977. Ditopang oleh
gerakan mahasiswa yang mulai muncul kembali di kampus-kampus, protes-protes partai
politik tersebut mendapat respon dari pemerintah Orde Baru. Atas persetujuan
DPR yang didominasi oleh Golkar dan ABRI, pemerintah memperbaiki undang-undang
pemilu demi meningkatkan ‘kualitas’ pemilu berikutnya, yakni Pemilu 1982[2].
Menjelang Pemilu Tahun 1982, terbitlah UU
No. 2 Tahun 1980 yang merupakan perubahan kedua atas UU No. 15 Tahun 1969
Tentang Pemilu Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Melaui
UU inilah lembaga pengawas pemilu mulai diatur. Berdasarkan Pasal 8 ayat (4b),
pengawas pemilu terdiri dari:
1.
Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan
Umum Pusat
2.
Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan
Umum Daerah Tingkat I
3.
Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan
Umum Daerah Tingkat II
4.
Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan
Umum Kecamatan
Keanggotan dari Panitia Pengawas
Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) terdiri dari unsur Pemerintah,
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Golongan
Karya (Golkar), dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Panwaslak Pemilu ini merupakan
satu-satunya yang berwenang melakukan pengawasan Pemilu dalam Pemilu-Pemilu
Orde Baru. Pihak lain, baik organisasi maupun masyarakat luas tidak memiliki
hak melakukan pengawasan[3].
Panwaslak Pemilu dibentuk dan bertanggung jawab kepada Ketua
Panitia Pemilihan/Panitia Pemungutan Suara. Panitia Pemilihan/Panitia
Pemungutan Suara sendiri notabenenya merupakan lembaga pelaksana teknis yang
diawasi oleh Panwaslak Pemilu. Ini menimbulkan persoalan, mengingat lembaga
yang akan mengawasi justru dibentuk oleh lembaga yang akan diawasi. Bagaimana
mungkin pengawasan akan berjalan efektif jika yang mengawasi merupakan
subordinat dari yang diawasi?
Ketentuan-ketentuan tentang Panwaslak Pemilu dalam UU No. 2 Tahun
1980 tidak menjelaskan ruang lingkup
fungsi pengawasan pemilu, tidak merinci tugas dan wewenang pengawas pemilu,
tidak menjelaskan mekanisme dan prosedur penanganan pelanggaran, serta tidak
mengatur pengisian anggota dan penentuan pimpinan Panwaslak Pemilu. Soal-soal
seperti itu diserahkan sepenuhnya pengaturannya kepada Peraturan Pemerintah.
Namun Peraturan Pemerintah pun tidak mengatur secara rinci, kecuali dalam soal
pengisian anggota Panwaslak Pemilu dan penentuan pimpinannya[4].
Dalam Peraturan Pemerintah itu disebutkan bahwa Ketua Panwaslak
Pemilu Pusat adalah Jaksa Agung dengan lima wakil ketua merangkap anggota,
masing-masing adalah pejabat dari Departemen Dalam Negeri, ABRI, Golkar, PPP,
dan PDI. Begitu seterusnya pada tingkat bawah: Panwaslak Pemilu Daerah I
diketuai oleh Kepala Kejaksaan Tinggi yang didampingi lima wakil ketua
masing-masing dari Pemda Tingkat I, Kodam/Korem, DPD I Golkar, DPD PPP dan DPD
PDI; Panwaslak Pemilu Daerah II diketuai oleh Kepala Kejaksaan Negeri yang
didampingi lima wakil ketua masing-masing dari Pemda Tingkat II, Kodim, DPD II
Golkar, DPC PPP, dan DPC PDI; sedang Panwaslak Pemilu Kecamatan diketuai oleh
pejabat kecamatan yang didampingi staf Koramil dan wakil-wakil dari Golkar, PPP,
dan PDI[5].
Pada faktanya, Panwaslak Pemilu Pusat diragukan independensinya.
Seperti diketahui bahwa Jaksa Agung adalah anggota kabinet di era Presiden
Soeharto yang harus melaksanakan kebijakan serta keinginan Soeharto. Apalagi
komposisi keanggotaan Pawaslak Pemilu Pusat juga menguntungkan Golkar, sebagai
pihak yang berkuasa. Dari 16 anggota Panwaslak Pemilu Pusat, unsur pemerintah
ada 4 orang (termasuk ketua dan wakil ketua), unsur golongan ABRI 3 orang,
unsur Golkar, PPP, dan PDI masing-masing 3 orang. Dengan komposisi demikian,
yang sarat dengan dominasi unsur birokrasi pemerintah yang pro Golkar,
kepentingan Golkar jelas lebih terjaga. Secara keseluruhan fungsi Panwaslak
Pusat pun kurang efektif[6].
Fungsi pengawasan oleh Panwaslak Pemilu diselewengkan untuk
kepentingan pemenangan Golkar, dengan dua langkah sekaligus: pertama, Panwaslak
Pemilu melegalkan kasus-kasus pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh
Golkar; kedua, Panwaslak Pemilu melakukan diskriminasi dalam menjalankan fungsi
penegakan hukum pemilu, karena hanya mengusut kasus-kasus pelanggaran yang
dilakukan oleh peserta pemilu non-Golkar[7].
Keberadaan Panwaslak Pemilu pada akhirnya selalu dipertahankan dalam
pemilu-pemilu Orde Baru karena dirasa cukup efektif untuk mengatur dan
mengendalikan kemenangan Golkar[8].
Pengawas Pemilu Pada Pemilu Tahun
1999
Setelah Presiden
Soeharto menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998, presiden penggantinya, B.J.
Habibie, bergegas merancang undang-undang parpol dan pemilu yang lebih
demokratis, terbuka, dan adil. Habibie, melalui Menteri Dalam Negeri Syarwan
Hamid, mendelegasikan tugas merancang UU tersebut kepada Tim Tujuh, beranggotan
tujuh orang dan diketuai Rektor Insititut Ilmu Pemerintahan (IIP) Ryaas Rasyid.
Mereka berhasil merancang tiga UU lalu mengajukannya kepada Dewan Perwakilan
Rakyat[9].
Salah satu UU yang dirancang kemudian disahkan adalah UU No. 3 Tahun 1999
Tentang Pemilihan Umum.
Dengan dasar UU
No. 3 Tahun 1999, Pemilu Tahun 1999 diselenggarakan, Pemilu pertama pasca
lengsernya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Jika sebelumnya
pengawas pemilu dinamakan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum, maka
dalam UU No. 3 Tahun 1999 terdapat perubahan menjadi Panitia Pengawas saja.
Sama dengan lembaga pengawas sebelumnya, kedudukan pengawas dalam Pemilu Tahun
1999 juga berada pada tingkat Pusat, Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan
Kecamatan.
Tugas dan
kewajiban Panitia Pengawas dirinci oleh UU ini. Berdasarkan Pasal 26, Panitia
Pengawas memilki tugas dan kewajiban sebagai berikut:
a.
mengawasi
semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum;
b.
menyelesaikan
sengketa atas perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum;
c.
menindaklanjuti
temuan, sengketa, dan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan untuk
dilaporkan kepada instansi penegak hukum.
Keanggotaan Panitia Pengawas (Panwas) bukan lagi terdiri dari
pejabat-pejebat pemerintahan dan partai politik sebagaimana di era Orde Baru,
tapi terdiri dari unsur hakim, perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat. Namun
untuk Panwas tingkat kecamatan hanya terdiri dari unsur perguruan tinggi dan
tokoh masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 1999 yang
merupakan peraturan pelaksana UU No. 3 Tahun 1999, kedudukan Panwas dalam
Pemilu semakin menguat dibanding sebelumnya. Dalam PP ini, diatur bahwa Panwas
berwenang menghentikan atau membubarkan kampanye yang tidak sesuai ketentuan
perundang-undangan[10].
Panwas juga diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan apakah akan
dilaksanakan pemungutan suara susulan jika terdapat kecurangan dalam pemungutan
suara[11].
Selain itu, Panwas juga berwenang dan wajib memeriksa keabsahan alasan Panitia
Pemilihan yang menolak membubuhkan tanda tangan pada berita acara hasil
penghitungan suara[12].
Namun demikian, pada pelaksanaannya Panwas Pusat dalam laporannya
mengakui bahwa Panwas Kecamatan yang berdiri pada garis depan itu umumnnya
kurang memiliki pengetahuan dan informasi yang memadai sehingga Panwas Pusat
menyusun pedoman pengawasan pemilu khusus untuk Panwas Kecamatan yang antara
lain dibuat dalam bentuk tanya jawab. Laporan Panwas bahkan menyimpulkan bahwa
setengah dari anggota Panwas pada semua tingkatan kurang memiliki penguasaan
mendalam mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilihan umum.
khusunya mengenai proses pelaksanaan pemilihan umum (electoral proces). Panwas juga mengakui bahwa para relawan Lembaga
Pemantau Pemilu lebih menguasai secara teknis proses pelaksanaan pemilihan umum
berdasarkan asas-asas pemilu yang demokratik daripada para anggota Panwas pada
umumnya[13].
Memang dalam Pemilu Tahun 1999, selain terdapat Panwas dalam
melakukan pengawasan, Lembaga Pemantau baik dari dalam maupun luar negeri dapat
melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan pemilu dengan mendaftarkan diri
ke KPU[14].
Hal ini menjadikan pemilu lebih transparan, dan merupakan sebuah perkembangan
yang lebih baik dibandingkan pemilu di era Orde Baru yang hanya memberikan hak
mengawasi kepada Panwaslak.
Terkait dengan kewenangan menyelesaikan sengketa dan penanganan
pelanggaran, Panwas Pusat dalam laporannya menyatakan bahwa tidak begitu jelas
dalam peraturan perundang-undangan mengenai persengketaan macam apa serta
mengenai sifat keputusan Panwas apakah bersifat mengikat dan final (arbritasi)
ataukah tidak mengikat (mediasi). Karena undang-undang tidak mengatur hal ini
secara jelas, maka Panwas mengambil posisi: berupaya menawarkan solusi bila
terjadi persengketaan baik diminta maupun tidak diminta, tanpa mempersoalkan
apakah dipenuhi ataukah tidak[15].
Dari keterangan tersebut, terdapat hambatan lain yang dialami oleh
Panwas selain persoalan SDM, yaitu terkait regulasi, dimana tidak ada
pengaturan secara jelas atau teknis mengenai kewenangan yang diberikan kepada
Panwas.
Dalam laporan pertanggungjawabannya, Panwas Pusat menyimpulkan
bahwa lembaga tersebut tidak efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai
penegak hukum peraturan pemilu. Panwas Pemilu 1999 hanyalah sekadar
menyampaikan peringatan tertulis, rekomendasi, meneruskan temuan kepada
instansi penegak hukum, atau bertindak sebagai mediator kalau diminta. Bahkan banyak
pihak memberikan julukan beragam tentang Panwas Pemilu, seperti tukang pembuat
rekomendasi, tukang memberi peringatan, tidak bergigi, pemulung data, dan was-was
melulu[16].
Pengawas Pemilu Pada Pemilu Tahun
2004
Pemilu Tahun 2004 merupakan babak
baru dalam sejarah kepemiluan di Indonesia. Jika sebelumnya pemilu hanya
memilih anggota legislatif, maka di tahun 2014, Presiden dan Wakil Presiden
juga dipilih langsung oleh rakyat. Perkembangan ini akibat adanya perubahan
pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), di mana
Pasal 6A ayat (1), hasil perubahan ketiga, menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat.
Keberadaan pengawas pemilu diatur dalam UU No. 12
Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta diatur
dalam UU No.23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk melakukan pengawasan pemilu dibentuk Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu),
Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan
Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan[17].
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tingkat pusat
dibentuk oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), sementara Panwaslu Provinsi dibentuk
oleh Panwaslu, Panwaslu Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panwaslu Provinsi, dan
Panwaslu Kecamatan dibentuk oleh Panwaslu Kabupaten/Kota. Oleh karenanya,
Panwaslu tingkat Pusat bertangung jawab kepada KPU, sementara untuk jajaran di
bawahnya bertanggung jawab kepada Panwaslu yang membentuk. Dengan model
pembentukan dan pertanggungjawaban yang demikian, maka pengawas pemilu lebih
mandiri pada tingkat provinsi sampai dengan kecamatan karena memiliki wewenang
membentuk dan pengawas pemilu di bawahnya, namun itu tidak dimiliki oleh
Panwaslu tingkat pusat.
Tugas dan wewenang pengawas pemilu berdasarkan
Pasal 122 UU No. 12 Tahun 2003 adalah:
a.
mengawasi
semua tahapan penyelenggaraan Pemilu;
b.
menerima
laporan pelanggaran peraturan perundangundangan Pemilu;
c.
menyelesaikan
sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu; dan
d.
meneruskan
temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang
berwenang.
Jika disandingkan dengan penyelenggara pemilu
pada era Orde Baru, desain kelembagaan penyelenggara pemilu tahun 2004 hampir
serupa, di mana pengawas pemilu selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
Panitia Pemilihan (PPI). Namun dari sisi keanggotaan terdapat perbedaan. Jika
pengawas pemilu di era Orde Baru terdiri dari unsur pemerintah, Partai Politik,
Golkar, dan ABRI, keanggotaan pengawas pemilu pada Tahun 2014 terdiri dari
unsur kepolisian, kejaksaan, Perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan pers.
Untuk jumlah keanggotaannya Panwaslu Pusat paling banyak 9 orang, Panwaslu
Provinsi paling banyak 7 orang, Panwaslu Kabupaten/Kota paling banyak 7 orang,
dan Panwaslu Kecamatan paling banyak 5 orang.
Masuknya unsur kejaksaan dan kepolisian
dalam susunan keanggotaan Panwaslu, sebagai upaya penguatan kelembagaan
Panwaslu. Berdasarkan refleksi terhadap banyaknya kasus pelanggaran pemilu 1999
yang tidak bisa ditindak dan diteruskan ke pengadilan dikarenakan adanya
perbedaan pemahaman, persepsi, dan standar pelaporan yang berkaitan dengan
syarat terpenuhinya bukti-bukti yang memadai antara Panwaslu, kepolisian, dan
kejaksaan. Dengan memasukan unsur kepolisian dan kejaksaan diharapkan agar
ketiga lembaga penegak peraturan hukum Pemilu tersebut memiliki frekuensi yang
sama, dengan kata lain memiliki pemahaman, persepsi, dan standar yang sama
dalam menangani kasus pelanggaran Pemilu[18].
Pengaturan pengawas pemilu Tahun 2004 lebih maju
dibandingkan dengan Pemilu Tahun 1999. Pertama, pengaturan
tugas dan wewenang pengawas pemilu lebih tegas dan lebih memadai untuk
menjalankan fungsi pengawasan pemilu. Kedua,
selain mensyaratkan orang-orang nonpartisan untuk bisa menjadi anggota
pengawas, panitia pengawas pemilu juga menempatkan unsur kepolisian dan
kejaksaan. Ketiga, untuk mengatasi
kesulitan pengawas pemilu dalam melakukan klarifikasi dan verifikasi atas laporan
dan indikasi-indikasi terjadinya pelanggaran, UU No. 12/2003 memberi ruang
khusus kepada pengawas pemilu untuk mengakses informasi di lingkungan
penyelenggara pemilu dan pihak-pihak yang terkait. Keempat, pengawas pemilu lebih independen dalam menjalankan fungsi
pengawasan[19].
Dalam konteks penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa,
pada Pemilu Tahun 2004, warga negara yang memiliki hak pilih, pemantau, dan
peserta pemilu mempunyai kedudukan hukum untuk menyampaikan laporan kepada
pengawas pemilu[20]. Untuk Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden, hak menyampaikan laporan tersebut diberikan juga kepada Tim
Kampanye[21]. Penyampaian laporan
dibatasi waktu yaitu 7 hari sejak terjadinya pelanggaran. Sementara pengawas
pemilu mempunyai waktu untuk melakukan kajian dan memutuskan menindaklanjuti
atau tidak menindaklajuti laporan paling lama 14 hari sejak diterimanya
laporan. Pengaturan waktu penyampaian laporan dan melakukan kajian ini tidak
diatur dalam pemilu-pemilu sebelumnya.
Kewenangan Panwaslu terkait penanganan
kasus-kasus dugaan pelanggaran pemilu, juga diperkuat. Panwaslu menjadi
satu-satunya lembaga yang berhak menerima laporan, menjadi satu-satunya lembaga
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan kajian terhadap laporan atau temuan
dugaan pelanggaran pemilu untuk memastikan apakah hal tersebut benar-benar
mengandung pelanggaran. Bila terjadi pelanggaran administrasi maka Pengawas
Pemilu merekomendasikan kepada KPU/KPUD untuk dikenakan sanksi administratif kepada
pelanggar, sedangkan bila laporan tersebut mengandung unsur pelanggaran pidana
maka Pengawas Pemilu meneruskannya kepada penyidik kepolisian[22].
Hadirnya pengawas pemilu dalam penyelenggara Pemilu Tahun 2004
bertindak sebagai alat “penegak hukum” meskipun bisa dikatakan hanya sebagai
jembatan ke instansi penegak hukum yang berwenang. Hal ini dikarenakan, selain
Panwaslu mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu juga menerima laporan
pelanggaran pemilu dan memverifikasi kemudian meneruskan kepada instansi yang
berwenang[23].
Pengawas pemilu memiliki batasan waktu dalam melakukan penyelesaian
sengketa, yaitu paling lama 14 hari sejak pihak-pihak ditemukan. Cara
penyelesaian yang diatur adalah 3 metode, meliputi: Pertama, mempertemukan para pihak yang bersengketa untuk dilakukan
musyawarah. Kedua, apabila tidak
tercapai mufakat, pengawas menawarkan alternatif penyelesaian kepada para pihak. Ketiga, jika tawaran alternatif penyelesaian tidak diterima oleh
para pihak, pengawas pemilu membuat keputusan.
Berdasarkan data Panwaslu 2004[24],
dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2004, Panwaslu menerima laporan dugaan
pelanggaran administrasi sebanyak 8.946, tindak pidana sebanyak 3.153, dan
sengketa sebanyak 644. Sementara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004,
Panwaslu menerima dugaan pelanggaran administrasi sebanyak 1.296, tindak pidana
sebanyak 274, dan sengketa sebanyak 43. Jumlah laporan keseluruhan yang
diterima oleh Panwaslu adalah sebanyak 14.656.
Data dalam tabel berikut menggambarkan hasil dari penanganan
pelanggaran dan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Panwaslu 2004:
JENIS LAPORAN
|
PEMILU LEGISLATIF
2004
|
PEMILU PRESIDEN DAN
WAKIL PRESIDEN 2004
|
JUMLAH
|
||||
ADMIN
|
PIDANA
|
SENGKETA
|
ADMIN
|
PIDANA
|
SENGKETA
|
||
Diterima Panwas
|
8.946
|
3.153
|
644
|
1.296
|
274
|
43
|
14.656
|
Diteruskan ke KPU
|
8.013
|
-
|
-
|
1.158
|
-
|
-
|
9.171
|
Diteruskan ke Penyidik
|
-
|
2.413
|
-
|
-
|
187
|
-
|
2.600
|
Diteruskan Penuntut
|
-
|
1.253
|
-
|
-
|
94
|
-
|
1.347
|
Diteruskan ke Peradilan
|
-
|
1.065
|
-
|
-
|
82
|
-
|
1.147
|
Ditangani KPU
|
2.822
|
-
|
-
|
259
|
-
|
-
|
3.081
|
Diputus Pengadilan
|
-
|
1.022
|
-
|
-
|
79
|
-
|
1.101
|
Musyawarah
|
-
|
-
|
380
|
-
|
-
|
33
|
413
|
Alternatif
|
-
|
-
|
33
|
-
|
-
|
6
|
39
|
Diputus Panwas
|
-
|
-
|
61
|
-
|
-
|
2
|
63
|
Pengawas Pemilu pada Pemilihan Kepala
Daerah sebelum Pemilihan Serentak
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, juga tidak
terlepas dari peran pengawas pemilu. Sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat
(3) UU No. 32 Tahun 2004 yang
menyebutkan Dalam mengawasi
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk
panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi,
pers, dan tokoh masyarakat.
Anggota Panitia Pengawas (Panwas) untuk tingkat
provinsi berjumlah 5 orang, tingkat kabupaten/kota 5 orang, dan kecamatan 3
orang. Panwas dibentuk dan bertanggungjawab kepada DPRD. Pengaturan teknis
mengenai pelaksanaan pemilihan kepala daerah diatur dalam PP No. 6 Tahun 2005
Tentang Pemilihan, Pengangkatan Pengesahan, dan Pemberhantian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah.
Panwas dalam pemilihan kepada daerah memiliki
tugas dan wewenang sebagi berikut:
a.
Mengawasi
semua tahapan penyelenggaraan pemilihan;
b.
Menerima
laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan;
c.
Menyelesaikan
sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan;
d.
Meneruskan
temuan dan laporan yang tidak dapat dilaksanakan kepada instansi yang
berwenang; dan
e.
Mengatur
hubungan koordinasi antar panitia pengawas pada semua tingkatan.
Pengaturan Panwas dalam Pemilihan Kepala Daerah
ini tidak berbeda jauh dengan pengaturan dalam UU No. 12 Tahun 2003, mulai dari
unsur keanggotan, tugas dan wewenangnya, serta tata cara penanganan pelanggaran
dan penyelesaian sengketa. Namun yang membedakan, Panwas dalam Pemilihan Kepala
Daerah dibentuk dan bertanggungjawab kepada DPRD. Hal ini dikarenakan belum ada
Panwas di tingkat pusat. Berikutnya, ketika Bawaslu sudah terbentuk pada tahun
2008, maka Panwas Pemilihan ini tidak lagi dibentuk dan bertanggungjawab kepada
DPRD, tetapi kepada Bawaslu.
Pengawas
Pemilu pada Pemilu Tahun 2009
Sama seperti pelaksaan Pemilu Tahun 2004, Pemilu Tahun 2009 selain
akan memilih anggota legislatif, juga akan memilih Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung untuk kedua kalinya. Penyelenggaraan pemilu berdasarkan UU No.
10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta UU No. 42 Tahun
2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Menjelang Pemilu Tahun 2009, DPR menyusun Rancangan Undang-Undang
mengenai penyelenggara pemilu. dalam pembahasannya muncul kembali perdebatan
mengenai perlu tidaknya keberadaan lembaga pengawas. Di satu pihak, terdapat
fraksi yang minta agar fungsi pengawasan pemilu diserahkan kepada peserta pemilu,
pemilih dan pemantau, sehingga tidak perlu lagi lembaga pengawas pemilu. Jika
pun dipertahankan, hanya berlaku sampai Pemilu 2009. Sebab jika lembaga
pengawas dipertahankan, mereka akan tetap ‘tidak bergigi’ karena fitrahnya
memang hanya membantu penyelenggara pemilu dalam mengawasi pelaksanaan pemilu[25].
Di lain pihak, terdapat fraksi yang menganggap bahwa pengawas
pemilu ‘tidak bergigi’ tersebut lebih disebabkan lemahnya posisi lembaga
pengawas pemilu dan kurang memadainya organisasinya. Apalagi UU No. 12/2003,
UU No. 23/2003, dan UU No. 32/2004 tidak memberikan tugas dan wewenang lembaga
pengawas untuk mengontrol perilaku jajaran KPU/KPUD dan petugas-petugas pemilu
dibawahnya, kecuali mereka terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran peraturan
pemilu. Padahal pada wilayah inilah fungsi pengawasan itu akan efektif karena
bersentuhan langsung dengan kinerja anggota KPU/KPUD dan panitia pemilihan di bawahnya[26].
Setelah perdebatan yang panjang, DPR
lebih memilih untuk tetap mempertahankan Panwaslu, karena Panwaslu dinilai
memiliki posisi dan peran strategis dalam upaya pengawasan pelaksanaan pemilu sesuai
aturan perundangundangan yang berlaku terutama menegakkan asas pemilu yang
luber dan jurdil, serta dalam upaya menciptakan Pemilu yang demokratis.
Keyakinan para pembuat Undang-Undang tersebut dapat kita temukan dalam
penjelasan umum Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa: “Dalam
penyelenggaraan pemilihan umum, diperlukan adanya suatu pengawasan untuk
menjamin agar pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas
pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan”. Tidak hanya dipertahankan,
Panwaslu pun diperkuat kelembagaannya. Sekali lagi upaya untuk menguatkan
kelembagaan Panwaslu dilakukan[27].
Dengan adanya UU No. 22 Tahun 2007
Tentang Penyelenggara Pemilu, ada semangat untuk memisahkan lembaga pengawas
pemilu dari kelembagaan KPU. Selain itu lembaga pengawas pemilu tingkat pusat
yang sebelumnya hanya bersifat sementara, dikembangkan menjadi lembaga yang
bersifat tetap, di mana keanggotanya dipilih secara periodik 5 tahun sekali.
Panwaslu menjadi Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum).
Lembaga pengawas pemilu berdasarkan UU
No. 22 Tahun 2007 terdiri dari Bawaslu beranggotakan 5 orang, Panwaslu Provinsi
beranggotan 3 orang, Panwaslu Kabupaten/Kota beranggotakan 3 orang, Panwaslu
Kecamatan beranggotakan 3 orang, Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) beranggotakan 1
orang, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Jika dalam pemilu-pemilu sebelumnya,
keanggotaan pengawas pemilu berasal dari unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan
tinggi, tokoh masyarakat dan pers, dengan UU No. 22 Tahun 2007 diatur
keanggotaan pengawas pemilu berasal dari berasal dari kalangan profesional dan
tidak menjadi anggota partai politik.
Namun demikian, terdapat catatan mengenai
pola rekrutmen keanggotaan pengawas pemilu. Pada tingkat pusat, anggota Bawaslu
diseleksi oleh Tim Seleksi yang dibentuk oleh KPU. Di mana Tim Seleksi akan
menyerahkan 15 nama kepada KPU untuk kemudian diserahkan kepada DPR untuk
dilakukan uji kelayakan dan kepatutan untuk ditetapkan sebanyak 5 orang yang
akan disahkan oleh Presiden[28].
Di tingkat provinsi dan kabupaten/Kota,
Anggota Panwaslu Provinsi/Kabupaten/Kota diusulkan oleh KPU Provinsi/KPU
Kabupaten/Kota kepada Bawaslu untuk kemudian di uji kelayakan dan kepatutan
serta ditetapkan oleh Bawaslu[29].
Di tingkat kecamatan, Anggota Panwaslu Kecamatan diusulkan oleh KPU
Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Kabupaten/Kota untuk ditetapkan oleh Panwaslu
Kabupaten/Kota[30].
Pengaturan rekrutmen tersebut kemudian
diajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi. Melalui Putusan Nomor
11/PUU-VIII/2010, Menurut MK, mekanisme rekrutmen dalam ketentuan tersebut di
samping akan mengakibatkan anggota-anggota pengawas pemilu menjadi tergantung
pada KPU, sehingga kemandiriannya terganggu, juga sangat potensial
mengakibatkan saling menghambat dalam penentuan anggota pengawas pemilu antara
Bawaslu atau Panwaslu dengan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. Hal
ini mengakibatkan terjadinya calon yang disusulkan oleh KPU, KPU Provinsi, atau
KPU Kabupaten/Kota tidak ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas, atau sebaliknya
jika KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota tidak mengajukan calon Panwas
sehingga tidak ada anggota Panwas yang ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas[31].
Terlepas dari persoalan rekrutmen di
atas, pengawas pemilu juga diperkuat dengan adanya Sekretariat tersendiri.
Pertanggungjawaban Bawaslu dilaporkan kepada Presiden, dan pengawas di bawahnya
bertangungjawab kepada pengawas di atasnya secara berjenjang.
Mengenai tugas dan wewenang pengawas
pemilu, meskipun dalam
UU No. 22 Tahun 2007 dirinci lebih banyak daripada pengaturan sebelumnya, namun
sesungguhnya tidak ada perluasan tugas dan wewenang berarti. Perluasan tugas
wewenang hanya menyangkut tiga hal: (1) mengawasi pelaksanaan rekomendasi
pengenaan sanksi buat anggota KPU/KPUD dan petugas pemilu, (2) mengawasi
pelaksanaan sosialisasi, dan (3) melaksanakan tugas lain yang diperintahkan
undang-undang[32].
Bisa dikatakan UU No. 22 Tahun 2007
merupakan langkah besar yang dilakukan para pembuat UU untuk memperkuat
kelembagaan Panwaslu. Penguatan kelembagaan Panwaslu meliputi beberapa aspek
yakni; pertama, secara organisasi, Pengawas Pemilu
tingkat nasional bersifat tetap dan kini memiliki jaringan sampai ke desa/kelurahan.
Konsekuensi sifatnya yang tetap tersebut Panwaslu berganti nama menjadi Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal ini bisa dianggap sebagai sebuah lompatan besar
karena sejak era Orba sampai pemilu 2004 Panwaslu bersifat tidak permanen atau adhoc. Berubahnya Panwaslu menjadi Bawaslu membuat kedudukan
organisasi Bawaslu menjadi setara dengan KPU, bawaslu tidak menjadi subordinat
dari KPU lagi seperti pada Panwaslu Pemilu 2004[33].
Kedua, berangkat dari problem integritas, netralitas,
profesionalitas penyelenggara Pemilu, kewenangan baru didesain untuk Bawaslu
yakni mengawasi jajaran KPU/KPUD dan petugas-petugas pemilu di bawahnya agar
ketika menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan Pemilu. Bawaslu berwenang
memberikan rekomendasi untuk memberhentikan anggota KPU dan KPU daerah yang
dinilai melanggar peraturan perundang-undangan pemilu, dengan begitu Bawaslu
mampu melakukan kontrol yang efektif terhadap penyelenggara Pemilu[34].
Ketiga, fungsi Bawaslu yang mengantarkan kasus ke KPU/KPUD dan ke
kepolisian layaknya “kantor pos”, seperti pada pemilu 2004 tersebut,
ditingkatkan dengan memberikan konsekuensi hukum bagi KPU/KPUD jika tidak
mereka tidak menindaklanjuti rekomendasi dari Bawaslu. Konsekuensi hukum
tersebut berupa kemampuan Bawaslu untuk menuntut secara pidana bagi anggota KPU
maupun KPUD yang tidak menindaklanjuti laporan atau rekomendasi Pengawas Pemilu[35].
Dalam konteks penanganan pelanggaran,
ditariknya unsur kepolisian dan kejaksaan dari lembaga pengawas, menurut Didik
Supriyanto dkk, hal itu merupakan langkah mundur, sebab keterlibatan polisi dan jaksa
ternyata cukup efektif dalam menangani kasus-kasus pelanggaran pemilu,
khususnya pelanggaran pidana pemilu. Masuknya unsur kepolisian dan kejaksaan
dalam pengawas pemilu pada Pemilu 2004, sebetulnya merupakan buah evaluasi atas
mandulnya pengawasan pemilu pada Pemilu 1999[36].
Penarikan unsur polisi dan jaksa ini juga, menurut Topo Santoso dan Ida
Budhiati, berakibat lemahnya hasil kajian atas laporan pelanggaran karena
kemampuan hukum yang kurang dari anggota Panwaslu yang kebanyakan tidak
berlatar belakang hukum, serta kurang
mulus dan lancarnya koordinasi dan hubungan antar Bawaslu/Panwaslu dengan
polisi/jaksa dalam penyelesaian tindak pidana pemilu[37].
Selian itu, dipersingkatnya batas
waktu penyampaian laporan kepada pengawas pemilu. Sebelumnya diatur paling lama
7 hari setelah terjadinya pelanggaran, diubah menjadi hanya 3 hari sejak
terjadinya pelanggaran[38],
menurut Topo Santoso dan Ida Budhiati, juga merupakan kemunduran dalam
penegakan hukum pemilu, karena tidak memperhitungkan kondisi di berbagai daerah
di Indonesia, sehingga berakibat banyak tindak pidana pemilu tidak bisa
diproses lebih lanjut karena sudah dianggap daluwarsa[39].
Pembatasan ini hanya bermakna ‘kepastian’, yaitu dengan ‘menghanguskan’ semua
laporan yang dilakukan lebih dari 3 hari dan hanya akan memproses semua laporan
yang masuk selama 3 hari sesudah kejadian. Hal ini mungkin akan memudahkan
penegak hukum karena mudah dalam menolak menangani perkara, tetapi akibatnya
banyak tindak pidana ‘menguap’ dan pelakunya tidak tersentuh hukum[40].
Tidak hanya batas penyampaian laporan
yang dipersingkat, batas waktu pengkajian yang dilakukan oleh pengawas pun
dipersingkat. Pada Pemilu Tahun 2004, pengawas memliki batas waktu paling lama
14 hari untuk memutuskan laporan ditindaklanjuti atau tidak, pada pemilu 2009,
pengawas hanya memiliki batas waktu hanya 5 hari saja.
Terkait dengan kewenangan
penyelesaian sengketa, tidak diatur dengan jelas dalam UU. Baik dalam UU No. 22
Tahun 2007, UU No. 10 Tahun 2008, maupun UU No. 42 Tahun 2008.
Laporan Pengawas Pemilu 2009 yang disusun
Bawaslu menunjukkan, dalam pemilu legislatif Bawaslu menerima 21.350 laporan
pelanggaran, yang terdiri dari 15.341 laporan pelanggaran administrasi dan
6.019 laporan pelanggaran pidana. Setelah melakukan pengkajian terhadap laporan
pelanggaran administrasi, Bawaslu mencatat 10.094 kasus mengandung pelanggaran
administrasi. Laporan jenis ini diteruskan ke KPU, dan KPU menindaklanjuti
7.583 laporan, sisanya diabaikan. Selanjutnya Bawaslu mencatat 1.646 kasus yang
benar-benar mengandung pelanggaran pidana yang kemudian diteruskan ke
kepolisian. Ternyata polisi hanya meneruskan 405 kasus ke kejaksaan, dan hanya
260 kasus yang dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan. Akhirnya PN menjatuhkan 248
vonis dan PT menjatuhkan 62 vonis[41].
Berdasarkan data penanganan
pelanggaran pada Pemilu Legislatif 2009 di atas, jika dihitung secara kuantitas
dan dibandingkan dengan hasil penanganan pelanggaran Pemilu Legislatif Tahun
2004, maka pelanggaran administrasi yang diteruskan kepada KPU pada pemilu 2009
yaitu sebanyak 10.094, lebih banyak daripada yang diteruskan Panwas kepada KPU
pada pemilu 2004 yaitu sebesar 8.013. Sementara untuk tindak pidana yang
diputus oleh pengadilan, pada pemilu 2004 angkanya lebih tinggi yaitu sebesar
1.022, dibanding pemilu 2009 yang hanya sebesar 248.
Pengawas Pemilu dalam Pemilu Tahun 2014
Pemilu Tahun 2014 merupakan
pelaksanaan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD berdasarkan UU No. 8 Tahun 2012,
serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan UU No. 42 Tahun 2008. UU
tentang Pemilu Legislatif mengalami perubahan, sedangkan UU tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden tidak ada perubahan.
Pada Pemilu Tahun 2014, kedudukan
pengawas pemilu yang semula diatur UU No. 22 Tahun 2007, kini UU tersebut
diganti dengan UU No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Melalui UU No. 15 Tahun 2011,
kelembagaan pengawas pemilu semakin diperkuat, hal ini dikarenakan pengawas
pemilu sama sekali sudah terlepas dari KPU. Tidak ada lagi mekanisme rekrutmen
pengawas yang melibatkan KPU, sebagaimana terjadi pada Pemilu Tahun 2009.
Bawaslu tingkat pusat, diseleksi oleh Tim Seleksi yang dibentuk langsung oleh
Presiden. Pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, pengawas diseleksi oleh Tim
Seleksi yang dibentuk oleh Bawaslu dan Bawaslu Provinsi.
Selain itu, kelembagaan pengawas
tingkat Provinsi, yang semula hanya bersifat sementara, melalui UU No. 15 Tahun
2011 dipermanenkan menjadi Badan. Jadi secara kelembagaan, pengawas pemilu terdiri
dari Bawaslu sebanyak 5 orang, Bawaslu Provinsi sebanyak 3 orang, Panwaslu
Kabupaten/Kota sebanyak 3 orang, Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 orang, Pengawas
Pemilu Lapangan (PPL) sebanyak 1-5 orang, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Pada masa ini, keanggotaan pengawas
pemilu juga diisi oleh kalangan profesional. Namun demikian ada Upaya
untuk memasukkan unsur partai politik sebagai penyelenggara pemilu ketika
pengesahan UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Di dalam
undang-undang itu disebutkan bahwa bagi anggota partai politik yang ingin
mendaftar menjadi anggota KPU atau Bawaslu harus mundur ketika mendaftar. Hal
inilah yang kemudian mendorong diajukannya gugatan uji materiil ke Mahkamah
Konstitusi (MK) untuk membatalkan pasal tersebut. Dari gugatan tersebut
akhirnya MK memutuskan bagi anggota partai politik yang ingin mendaftar sebagai
anggota KPU atau Bawaslu harus mundur setidaknya 5 (lima) tahun sebelum
mendaftar sebagai penyelenggara pemilu[42].
Ada pengaturan keanggotaan yang juga
merupakan sebuah kemajuan, di mana terdapat upaya affirmative action untuk memberikan kesempatan kepada perempuan. Komposisi
keanggotaan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Namun demikian, ketentuan itu bukan suatu keharusan. Tapi setidaknya, adanya pengaturan
yang demikian, merupakan langkah maju.
Meski secara kelembagaan pengawas
pemilu lebih mandiri dan independen, namun ada permasalahan lain seperti
dialami juga oleh KPU, di mana UU No. 15 Tahun 2011 mewajibkan Bawaslu untuk
melakukan konsultasi kepada DPR dan Pemerintah saat menyusun Peraturan Bawaslu[43].
Kewajiban semacam ini memungkinkan adanya tekanan politik yang dikhawatirkan
turut mempengaruhi pula kemandirian lembaga[44].
Jika dalam Pemilu Tahun 2009 pengawas
pemilu berwenang mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, maka dalam Pemilu Tahun
2014 pengawas pemilu diberi tambahan wewenang untuk mengawasi tahapan persiapan
pelaksanaan pemilu. Jadi pengawasan dilakukan lebih awal. Selebihnya, tugas dan
wewenang pengawas pemilu pada Pemilu Tahun 2014 hampir sama dengan pengawas
pemilu pada Pemilu Tahun 2009.
Dalam konteks penanganan pelanggaran,
khususnya penanganan tindak pidana pemilu, dalam Pemilu Tahun 2014 mulai diatur
sebuah forum antara Pengawas Pemilu, Polisi, dan Jaksa yang dikenal sebagai
Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Berdasarkan
Pasal 267 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012,
disebutkan untuk menyamakan pemahaman dan pola
penanganan tindak pidana Pemilu, Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia membentuk sentra penegakan hukum
terpadu.
Menelisik maksud dan bahasa yang di
dalam pasal tersebut, maka Sentra Gakumdu dimaksudkan untuk menyamakan persepsi
antarlembaga penegakan hukum pemilu ketika ada kasus pelanggaran pemilu.
Penyamaan persepsi ini menjadi penting untuk menghindari perbedaan tafsir
terhadap ketentuan pidana pemilu yang ada di dalam UU No. 8/2012, ataupun
langkah yang akan diambil oleh Bawaslu sebagai penerima pelanggaran untuk
menaikkan status pelanggaran menjadi penyidikan.[45]
Ketentuan lebih teknis mengenai
Gakkumdu kemudian diatur dalam kesepakatan bersama antara Bawaslu, Polri dan
Kejaksaan Agung, sebagaimana dimaksud Pasal 267 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2012.
Pada tanggal 16 Januari 2013, Bawaslu,
Polri dan Kejaksaan Agung membuat Nota Kesepakatan Bersama Nomor
01/NKB/BAWASLU/I/2013, Nomor B/02/I/2013, dan Nomor KEP-005/A/JA/01/2013
tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Kesepakatan ini ditanda tangani oleh
Muhammad (Ketua Bawaslu), Timur Pradopo (Kepala Polri) dan Basrief Arief (Jaksa
Agung).
Gakkumdu berdasarkan kesepakatan
tersebut, tidak hanya diperuntukkan dalam penanganan tindak pidana pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD, tetapi keberadaannya juga diperuntukkan untuk pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan. Sementara kedudukannya berada di
pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Struktur kelembagaan Gakkumdu,
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Nota Kesepakatan Bersama, terdiri dari:
Pembina, Ketua dan Anggota. Masing-masing jabatan terdiri dari 3 perwakilan
lembaga.
Fungsi Gakkumdu berdasarkan Pasal 7
Nota Kesepakatan Bersama adalah:
1.
Sebagai
forum koordinasi antara Bawaslu, Polri dan Kejaksaan Agung dalam proses
penanganan tindak pidana pemilu;
2.
Pelaksanaan
pola penanganan tindak pidana pemilu;
3.
Sebagai
pusat data dan informasi tindak pidana pemilu;
4.
Pertukaran
data dan/atau informasi;
5.
Peningkatan
kompetensi dalam penanganan tindak pidana pemilu;
6.
Pelaksanaan
monitoring dan evaluasi tindak lanjut penanganan tindak pidana pemilu.
Terkait dengan pola penanganan
pelanggaran, Nota Kesepakatan Bersama tersebut tidak secara rinci mengatur,
namun menyebutkan akan diatur dalam Standar Operasional Prosedur (SOP).
Dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014,
batasan waktu penyampaian laporan yang mejadi permasalahan pada Pemilu Tahun
2009, dimana penyampaian laporan dipersingkat menjadi hanya 3 hari sejak
terjadinya pelanggaran, diubah menjadi 7 hari sejak diketahuinya pelanggaran.
setidaknya terdapat 2 perbedaan. Pertama,
mengenai batas waktu yang lebih panjang. Kedua,
norma “sejak diketahui” memberikan peluang kepada pengawas atau penegak hukum
untuk bisa menindak pelanggaran yang sudah lama terjadi namun baru diketahui
oleh pelapor.
Namun demikian perubahan pembatasan
waktu penyampaian laporan pada Pemilu Legislatif tidak diikuti dengan perubahan
pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, sehingga terdapat perbedaan penanganan
antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu
Tahun 2014.
Dalam menyelesaikan sengketa proses,
jika pada Pemilu Tahun 2004, pengawas pemilu diberikan batasan waktu paling
lama 14 hari sejak para pihak dipertemukan, dalam Pemilu Tahun 2014, pengawas
pemilu memiliki waktu paling lama 12 hari sejak diterimanya laporan atau temuan.
Waktu penyelesaian lebih pendek. Namun di sisi lain, Keputusan pengawas
diperkuat dengan sifat keputusannya yang bersifat terakhir dan mengikat,
kecuali mengenai verifikasi partai politik peserta pemilu dan calon anggota
legislatif.
Berdasarkan data pelanggaran
seluruh provinsi di Indonesia yang telah dihimpun oleh Bawaslu RI[46], adapun jumlah
pelanggaran Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 sebanyak 1.238 Dugaan
Pelanggaran, yang terdiri dari 1136 dugaan Pelanggaran Administrasi dan
kemudian diteruskan kepada KPU untuk ditindaklanjuti sesuai dengan
perundang-undangan. Sebanyak 81 rekomendasi dugaan Tindak Pidana Pemilu dan 21
rekomendasi dugaan pelanggaran Kode Etik.
Sementara untuk Pemilu Legislatif Tahun
2014, terdapat sebanyak 3.507 dugaan pelanggaran terdiri dari 3.238 dugaan
pelangggaran administrasi, 209 pelanggaran pidana, 42 pelanggaran etik, dan 18
pelangaran lain diluar kategori pelanggaran pemilu[47].
Pengawas
Pemilu dalam Pemilihan Serentak Tahun 2015, 2017, dan 2018
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota (Pemilihan) secara serentak merupakan
pengalaman baru di Indonesia. Di awali dengan kegaduhan tentang cara pemilihan
(dipilih langsung oleh rakyat atau melalui DPRD), regulasi pemilihan serentak
mulai disusun.
DPR melalui sidang paripurna yang diadakan pada tanggal
26 September 2014 akhirnya mengesahkan rancangan undang-undang tentang
pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota melalui DPRD atau populer disebut
pilkada tidak langsung.
Keputusan DPR tersebut banyak menuai protes publik.
Aksi-aksi demonstrasi banyak bermunculan di berbagai daerah. Di berbagai media
sosial juga banyak ungkapan-ungkapan yang memprotes keputusan DPR tersebut.
Akibat dari banyaknya protes, Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 yang menganulir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014.
Melalui Perppu ini cara pemilihan kembali ke pemilihan langsung[48]. Perppu
tersebut kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 1 Tahun 2015.
Namun karena peristiwa politik yang begitu cepat,
sehingga terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 (UU No. 1 Tahun 2015) menyisakan
permasalahan-permasalahan sendiri. Banyak pasal yang bermasalah serta banyak
hal yang belum diatur dalam Perppu tersebut. Seperti pengaturan tentang uji
publik bakal calon yang merupakan hal baru. Uji publik dianggap tidak begitu
signifikan, namun akan semakin memperlama tahapan. Ketiadaan norma sanksi pidana
bagi tindakan politik uang juga menjadikan Perppu itu bermasalah[49].
Sepanjang pelaksanaan 3 kali pemilihan (Tahun 2015, Tahun
2017, dan Tahun 2018), UU No. 1 Tahun 2015 telah diubah sebanyak dua kali,
melalui UU No. 8 Tahun 2015 dan UU No. 10 Tahun 2016 (UU Pemilihan).
Dalam pelaksanaan Pemilihan Serentak ini,
kelembagaan pengawas pemilu kembali diperkuat dengan hadirnya Pengawas Tempat
Pemungutan Suara (Pengawas TPS). Pada Pemilu atau Pemilihan sebelumnya, lembaga
pengawas hanya sampai dengan tingkat kecamatan.
Pada pelaksanaan pemilihan serentak ini,
Bawaslu Pusat memiliki peran mengkoordinasikan dan memantau, sementara
pengawasan secara langsung dilakukan oleh Bawaslu Provinsi dan Panwas
Kabupaten/Kota. Namun demikian, pengawas pemilihan pada semua tingkatan dapat menerima
temuan dan laporan serta menindaklanjutinya.
Dalam penanganan pelanggaran, terdapat
norma dimana pengawas pemilihan dapat menerbitkan rekomendasi pembatalan calon
petahana, apabila calon tersebut terbukti melakukan penggantian jabatan dalam
rentang waktu 6 bulan sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon hingga akhir
masa jabatan. Norma ini sangat baik untuk menghindari kesewenang-wenangan
petahana, mengingat calon petahana kerap
melakukan penggantian pejabat untuk mengkondisikan pemenangan bagi dirinya atau
bentuk ketidaksukaan pada pejabat tertentu karena yang bersangkutan tidak
mendukungnya. Norma ini juga memperkuat fungsi dari pengawas pemilihan.
Selain itu, Bawaslu Provinsi juga diperkuat
dengan diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap tindakan politik
uang yang terjadi secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif. Bawaslu Provinsi melakukan
pemeriksaan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja. Jika
terbukti, Pasangan Calon dapat diberikan sanksi pembatalan sebagai pasangan
calon. KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib melaksanakan putusan dari
Bawaslu Provinsi. Secara teknis, kewenangan ini kemudian di atur dalam
Peraturan Bawaslu Nomor 13 Tahun 2016 dan diubah dengan Peraturan Bawaslu Nomor
13 Tahun 2017.
Kedudukan Sentra Gakkumdu dalam
penanganan tindak pidana pemilihan juga diatur dalam UU Pemilihan. Secara
teknis, Sentra Gakkumdu kemudian diatur dalam Peraturan Bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik
Indonesia, dan Ketua Bawaslu.
Pengawas
Pemilu pada Pemilu Serentak Tahun 2019
Pemilu Tahun 2019 menjadi sejarah baru
dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia, dikarenakan untuk pertama kalinya Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD diselenggarakan secara serentak dengan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden.
Jika pengaturan pemilu sebelumnya
terpisah-pisah, maka dalam Pemilu Tahun 2019 ini Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Penyelenggara Pemilu diatur
dalam satu UU, yaitu UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Secara kelembagaan, pengawas pemilu
kembali diperkuat dengan dipermanenkannya pengawas pemilu di tingkat
kabupaten/kota, semula hanya Panitia, kini menjadi Badan. Jumlah keanggotaannya
pun ditambah. Sehingga lembaga pengawas pemilu terdiri dari:
a.
Bawaslu,
5 orang Anggota;
b.
Bawaslu
Provinsi, 5-7 orang Anggota;
c.
Bawaslu
Kabupaten/Kota, 3-5 orang Anggota;
d.
Panwaslu
Kecamatan, 3 orang Anggota;
e.
Panwaslu
Keluharan/Desa, 1 orang; dan
f.
Pengawas
TPS, 1 orang.
Dalam konteks penanganan pelanggaran,
pengawas pemilu juga diperkuat. Penanganan pelanggaran administrasi yang semula
hanya ditangani dengan produk rekomendasi, dalam pemilu Tahun 2019, Bawaslu,
Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota dapat menerbitkan sebuah putusan
yang wajib dilaksanakan oleh KPU. Putusan itu diterbitkan setelah dilakukan
pemeriksaan secara terbuka paling lama 14 hari kerja.
Pengalaman pertama Bawaslu dalam
menjalankan kewenangan ini adalah saat melakukan pemeriksaan atas persoalan
Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) yang diwajibkan oleh KPU saat proses
pendaftaran partai politik calon peserta pemilu. Akibat penyusunan dan
pengesahan UU yang terlalu dekat dengan tahapan pemilu, dan Bawaslu yang saat
itu belum selesai menyusun peraturan teknis terkait penyelesaian pelanggaran
administrasi ini, akhirnya Bawaslu menerbitkan Surat Edaran sebagai pedoman
dalam penyelesaian laporan mengenai SIPOL tersebut.
Saat itu, kewenangan memutus penyelesaian
pelanggaran administrasi pemilu secara terbuka ini, banyak dipersoalkan oleh
kalangan pemerhati pemilu. Mengingat dalam kasus SIPOL, Bawaslu sebagai lembaga
yang juga bertugas mengawasi telah mempunyai sikap menolak diterapkannya SIPOL
oleh KPU, sehingga menjadi persoalan jika kemudian Bawaslu juga menjadi menjadi
‘pengadil’ dalam persoalan yang sama. Di kemudian hari, banyak juga kasus-kasus
yang menjadi perdebatan terkait dengan kewenangan ini, seperti kasus pencalonan
anggota legislatif yang merupakan mantan narapidana, kasus Oesman Sapta Odang
(OSO), dan kasus rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara.
Selain itu, Bawaslu juga dapat
mendiskualifikasi Calon apabila terbukti melakukan pelanggaran administrasi dan
politik uang yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif.
Dalam melakukan penanganan pelanggaran,
jika dalam pemilu sebelumnya pengawas pemilu dibatasi waktu paling lama 5 hari
untuk melakukan kajian, pada Pemilu Tahun 2019, batasan waktu tersebut
diperpanjang dengan paling lama 14 hari kerja.
Secara normatif, kedudukan Sentra
Gakkumdu dalam penanganan tindak pidana pemilu juga diperkuat. Di mana polisi
dan jaksa yang tergabung dalam Gakkumdu dibebas tugaskan dari pekerjaannya di
instansi asal. Hal ini tentu saja akan memperkuat pengawas pemilu dalam
penanganan tindak pidana pemilu. Namun pada prakteknya, polisi dan jaksa tetap
dibebani pekerjaan di instansi asalnya, sehingga keduanya tidak fokus dalam
penegakan hukum pemilu.
Pengaturan mengenai Gakkumdu ini diatur
oleh Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018. Dalam Perbawaslu ini, pengawas
pemilu, polisi dan jaksa membahas bersama terhadap temuan atau laporan yang
diterima oleh pengawas pemilu. pembahasan tersebut dilakukan mulai dari
penerimaan temuan/laporan sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan.
Pada perkembangannya, keberadaan Gakkumdu
dalam penanganan tindak pidana pemilu dipersoalkan dan dikeluhkan oleh banyak
pihak, termasuk oleh pengawas pemilu sendiri. Alih-alih dapat mempermudah
proses penanganan, Gakkumdu justeru menjadi hambatan tersendiri. Seperti
penanganan kasus kampanye di luar jadwal yang diduga dilakukan oleh Partai
Perindo dan Partai Solidaritas Indonesia yang ditangani oleh Bawaslu, keduanya
dihentikan karena terdapat persoalan dalam Gakkumdu.
Untuk kewenangan pengawas pemilu dalam
penyelesaian sengeketa yang semula dibatasi paling lama 12 hari kalender oleh
UU No. 7 Tahun 2017, dengan adanya Putusan MK No. 31/PUU-XVI/2018 diubah
menjadi 12 hari kerja. Dengan ketentuan ini, pengawas pemilu memilki batasan
waktu yang lebih panjang.
[1] Disusun untuk Divisi Penindakan
Bawaslu sebagai bahan Diskusi Kelompok Terpumpun (Focus Group Discussion) yang diselenggarakan pada tanggal 31
Oktober 2019 s.d. 2 November 2019
[2] Didik Supriyanto, Veri
Junaidi, dan Devi Darmawan, “Penguatan
Bawaslu: Optimalisasi Posisi, Organisasi, dan Fungsi Dalam Pemilu 2014”,
Jakarta, Perludem, 2012, hlm. 11
[3] Topo Santoso dan Ida Budhiati,
“Pemilu Di Indonesia Kelembagaan,
Pelaksanaan, dan Pengawasan”, Jakarta, Sinar Grafika, 2019, hlm. 83
[4] Ibid, hlm. 12
[5] Ibid, hlm. 13
[6] Dhurorudin Mashad, “Korupsi Politik, Pemilu, dan Legitimasi
Pasca Orde Baru”, Jakarta, CIDES, 1999. hlm. 24-25
[7] Alexander
Irwan dan Edriana, “Pemilu: Pelanggaran
Asas Luber”, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1995.
[8] Didik Supriyanto, Veri
Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit,
hlm. 15
[9] Lihat https://tirto.id/pemilu-1999-parpol-islam-dan-nasionalis-berlaga-tanpa-komunis-cMUE (diakses pada tanggal 26
Oktober 2019)
[10] Lihat Pasal 17 dan Pasal 23 PP
No. 33 Tahun 1999
[11] Lihat Pasal 30 PP No. 33 Tahun
1999
[12] Lihat Pasal 33 PP No. 33 Tahun
1999
[13] Topo Santoso dan Ida Budhiati,
Opcit, hlm. 141-142
[14] Lihat Pasal 27 UU No. 3 Tahun
1999
[15] Topo Santoso dan Ida Budhiati,
hlm. 143
[16] Didik Supriyanto, Veri
Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit,
hlm. 18
[17] Lihat Pasal 120 UU No. 12
Tahun 2003
[18] Ramlan Surbakti dan Hari
Fitrianto, “Transformasi Bawaslu Dan
Partisipasi Masyarakat Dalam Pengawasan Pemilu”, Jakarta, Kemitraan
Partnership, 2015, hlm. 23
[19] Didik Supriyanto, Veri
Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit,
hlm. 20
[20] Lihat Pasal 127 UU No. 12
Tahun 2003
[21] Lihat Pasal 79 UU. No. 23
Tahun 2003
[22] Ramlan Surbakti dan Hari
Fitrianto, Opcit, hlm. 24
[23] Topo Santoso dan Ida Budhiati,
Opcit, hlm. 170
[24] Data ini dilihat dalam Didik
Supriyanto, Veri Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit, hlm. 20
[25] Ibid, hlm. 26
[26] Ibid
[27] Ramlan Surbakti dan Hari
Fitrianto, Opcit, hlm. 25
[28] Lihat Pasal 87 s.d. Pasal 91
UU No. 22 Tahun 2007
[29] Lihat Pasal 93 dan Pasal 94 UU
No. 22 Tahun 2007
[30] Lihat Pasal 95 UU No. 22 Tahun
2007
[31] Topo Santoso dan Ida Budhiati,
Opcit, hlm. 195-196. MK kemudian
memutuskan pasal-pasal terkait rekrutmen tersebut inkonstitusional atau
bertentangan dengan UUD 1945. Namun rekrutmen pengawas pada penyelenggaraan
pemilu 2009 tetap berlangsung sesuai dengan pengaturan yang ada, mengingat
Putusan MK terbit setelah pelaksanaan pemilu 2009 selesai. Putusan MK ini
kemudian mempengaruhi pengaturan penyelenggara pemilu di kemudian hari.
[32] Didik Supriyanto, Veri
Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit,
hlm. 28
[33] Ramlan Surbakti dan Hari
Fitrianto, hlm. 25
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] Didik Supriyanto, Veri
Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit,
hlm. 27
[37] Topo Santoso dan Ida Budhiati,
Opcit, hlm. 216
[38] Lihat Pasal 247 ayat (4) UU
No. 10 Tahun 2008 dan Pasal 190 ayat (4) UU No. 42 Tahun 2008
[39] Topo Santoso dan Ida Budhiati,
hlm. 213-214
[40] Ibid, hlm. 215
[41] Didik Supriyanto, Veri
Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit,
hlm. 31. Data yang ditemukan hanya hasil penanganan pelanggaran Pemilu
Legislatif 2009.
[42] Tim Perludem, “Catatan 20 Tahun Reformasi Pemilu, Ingatan
Reformasi Yang Tak Mendalam, Reformasi Yang Belum Selesai”
[43] Lihat Pasal 120 UU No. 15
Tahun 2011
[44] Topo Santoso dan Ida Budhiati,
Opcit, hlm. 228
[45] Veri Junaidi dkk, “Evaluasi Penegakan Hukum Pemilu 2014”,
Jakarta, Yayasan Perludem, hlm. 49
[46] Laporan Hasil Pengawasan
Pemilu Presden dan Wakil Presiden Tahun 2014
[48] Abhan, Asep Mufti, Achwan, “Pasangan Calon Melawan Kolom Kosong, Potret
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pati Tahun 2017”, Semarang, Rafi Sarana
Perkasa, 2017, hlm. 4
[49] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar