Rabu, 22 Januari 2025

Jalan-Jalan ke Singapura-Johor Bahru 3 Hari 2 Malam


Persiapan: Pesan Tiket dan Penginapan

Rekreasi ke Singapura atau Malaysia sebetulnya jauh lebih hemat dibandingkan misalnya pergi ke Jogja atau Bali. Itulah salah satu alasan kenapa kami memilih berwisata ke Singapura dan Johor Bahru. Sejak bulan November 2024, Aku dan pasangan hidupku, Afidah, sudah mulai merencanakan dan menyiapkan pembelian tiket pesawat dan penginapan.

Tanggal 17 November 2024, melalui aplikasi Traveloka, aku memesan tiket pesawat AirAsia keberangkatan dari Jakarta ke Singapura penerbangan tanggal 18 Januari 2025 untuk empat orang terdiri dari Aku, Afidah, si sulung, Madiba (11 tahun), dan si bungsu, Kayo (8 tahun). Harga untuk satu tiket sebesar Rp. 452.843,- dikali empat dan ditambah biaya layanan totalnya sebesar Rp. 1.838.543,-

Di hari dan waktu yang sama, aku juga pesan tiket kepulangan dari Johor Bahru ke Jakarta. Kenapa pulang dari Johor Bahru? Karena penginapan dan tiket pulang dari Singapura mahal, setidaknya mahal menurut pandanganku ya. Jadi di hari kedua kita memang merencanakan bermalam di Johor Bahru sekalian pulang dari sana di hari ketiganya.

Tiket kepulangan dari Johor Bahru ke Jakarta dengan pesawat AirAsia penerbangan tanggal 20 Januari 2025 masing-masing seharga Rp. 635.934,- dikali empat dan ditambah biaya layanan totalnya sebesar Rp. 2.581.892,-. Sementara untuk penginapan aku memilih Hallmark Regency Hotel karena menyediakan kamar family suite dengan tiga ranjang kasur dan lokasinya dekat dari Johor Bahru Sentral. Aku pesan semalam dengan harga Rp. 640.773,-. Jadi total biaya tiket pesawat pulang-pergi dan penginapan semuanya sebesar Rp. 5.061.208,-.

 

Berkemas dan Berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta

Kami berempat mengemas barang masing-masing menggunakan tas ransel, tanpa koper. Karena kita sudah memprediksi akan banyak jalan kaki, sehingga hanya dengan tas ransel akan lebih mudah bergerak. Beberapa barang yang telah kami siapkan: paspor, smartphone, pakaian untuk 3 hari, handuk, selimut, peralatan cuci muka dan pembersih gigi, 2 tumbler, 2 payung, adaptor, charger, power bank, buku jurnal dan pulpen, kamera polaroid, topi, sedikit camilan, mata uang dolar Singapura sebanyak 165 dolar dan 545 ringgit Malaysia dalam bentuk tunai, serta paket internet roaming.  Untuk paket internet aku beli paket Internet RoaMAX Asia Tenggara dengan kuota 10 gb masa aktif 7 hari dan bisa dipakai untuk tethering. Aku beli lewat aplikasi MyTelkomsel dengan harga 150 ribu.

Sehari sebelumnya aku sudah check-in secara daring melalui laman AirAsia. Ini sangat penting untuk memastikan ketersediaan kursi kosong sehingga kemungkinan besar bisa mendapatkan posisi duduk dalam satu baris untuk kami berempat, mengingat maspakai AirAsia tidak menyediakan pilihan kursi secara gratis. Karena akan repot kalau kursinya terpisah-pisah jauh. Meskipun anak-anak sebetulnya sudah cukup besar, tapi mereka sudah lama tidak naik pesawat. Kami mendapat kursi dalam satu baris dengan nomor 23A, 23B, 23C, dan 23D.

Sesuai jadwal, penerbangan jam 16.35 WIB dengan waktu boarding jam 15.55 WIB, berangkat dari Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta. Mesin mobil kunyalakan dan meluncur dari Bekasi jam setengah dua belas siang. Mobil kutitipkan di Soewarna, tempat penitipan mobil langgananku. Di situ dalam waktu 1x24 jam dikenai biaya 80 ribu. Pilihan membawa mobil sendiri lebih murah dibandingkan naik GrabCar atau GoCar. Dari parkiran Soewarna kami diantar oleh mobil pengantaran fasilitas gratis dari Soewarna menuju gerbang 2F Terminal 2.

Tiba di Terminal 2, kemudian mencetak boardingpass di konter, dan melewati bagian imigrasi dengan melaporkan keberangkatan lewat mesin. Aku dan Madiba berhasil, tapi Kayo gagal berkali-kali, karena di barisan belakang ada rombongan umrah, sehingga diarahkan petugas untuk pindah ke konter imigrasi untuk melaporkan keberangkatan secara manual. Selanjutnya kami menanti naik pesawat di ruang tunggu F1. Dengan sedikit keterlambatan akhirnya kami lepas landas.

Di dalam pesawat, maskapai AirAsia juga tidak menyediakan makan dan minuman gratis, bahkan sekadar air putih. Tapi kami sudah sedia air minum. Karena anak-anak lapar, kami pesan seporsi nasi goreng seharga 50 ribu dan seporsi nasi lemak seharga 70 ribu, mahal ya! Dibandingkan paket nasi padang dekat rumah yang cuma 10 ribu. Hehe.

 

Bandara Changi dan Jewel

Setelah menempuh sekitar 1 jam 45 menit, kami mendarat di Terminal 4 Bandara Changi sekitar pukul 19.30 waktu setempat. Waktu di Singapura lebih cepat satu jam dari Jakarta. Setelah melewati imigrasi kedatangan yang semuanya menggunakan mesin, kami mencari Shuttle Bus yang mengantarkan ke Gedung Jewel, sebuah Mal yang di dalamnya terdapat hutan buatan dan air terjun. Letak Jewel berada persis di seberang Terminal 1. Oiya, Bandara Changi memiliki 4 Terminal. Terminal 1, 2, dan 3 terintegrasi dengan Kalayang atau Sky Train tapi untuk Terminal 4 tidak, hanya menyedikan bus untuk pergi ke terminal lainnya atau ke Jewel.

Tiba di Jewel suasana sangat ramai, mungkin karena akhir pekan. Suasana Imlek atau Lunar yang nuansanya kemerahan menghiasi setiap sudutnya. Kami coba melihat-lihat area gedung dengan naik ke lantai atas area foodcourt, bukan untuk makan tapi melihat air terjun yang warnanya berubah-ubah dari ketinggian. Karena tak begitu menarik, kami turun menuju area air terjun yang di sisi pinggir melingkar disediakan tempat-tempat untuk duduk. Kebetulan akan dimulai pertunjukan air terjun. Air terjun yang warna-warni dengan suara gemuruh disertai dengan suara latar dan menampilkan gambar-gambar hologram dari pancurannya.

Usai menikmati air terjun, kami mencari makan malam di Terminal 1, sekaligus mencari Sky Train untuk menuju Terminal 3. Di area keberangkatan Terminal 1 terdapat Kinetic Rain, instalasi seni menyerupai tetesan air hujan berwarna keemasan yang bergerak-gerak berubah bentuk. Menarik.

Ngapain ke Terminal 3? Kami akan bermalam di bandara. Terminal 3 menjadi pilihan karena di situlah ada Stasiun MRT yang akan kami gunakan menuju area patung singa muntah atau Merlion Park esok harinya. Anak-anak tertawa dan protes ketika kubilang patung singa muntah. “Air mancur itu, Yah” kata Madiba.

Sampai di Terminal 3 kami melihat-lihat situasi dan mancari tempat yang sekiranya memberi kenyamanan untuk istirahat. Kami tidak menemukan sofa, hanya kursi-kursi deret yang terdapat pembatas di kanan-kirinya. Berdasarkan informasi di internet, memang ada tempat nyaman seperti Snooze Luonge, tapi itu adanya di area dalam ruang tunggu keberangkatan atau transit. Sementara kami tidak bisa masuk karena tidak memiliki rencana penerbangan.

Menurut bagian informasi di bandara, memang hanya tersedia kursi-kursi deret itu saja untuk di area luar keberangkatan Terminal 3. Karena kursi ada pembatasnya, jadi tidak bisa digunakan untuk selonjoran. Kita mencari tempat untuk istirahat yang berdekatan dengan toilet. Anak-anak kemudian kuminta mencatat pengalamannya dalam jurnal yang sudah dibawa. Menjelang malam, Afidah menggelar selimut untuk dua orang di lantai yang dingin persis di bawah kursi deret untuk sedikit menghalangi angin. Anak-anak tidur lebih dulu, kemudian Aku dan Afidah berusaha tidur sambil duduk di kursi. Tidur seadanya dan tidak pulas. Momen ini adalah bagian terberat dari perjalanan.

“Aku trauma tidur di bandara” jawab Madiba ketika kutanya soal pengalamanya di keesokan hari. “kenapa?” tanyaku, “dingin lantainya, bikin susah tidur” jawabnya. “hehe, iya sih, tapi gak semua orang punya pengalaman seperti itu. Dengan pernah tidur di bandara seperti itu kita jadi lebih siap kalau harus tidur di tenda saat camping lagi” ujarku mencoba menghibur dan menyemangati anak-anak.

 

Ke Merlion Park

Jam 3 pagi anak-anak mulai terbangun dan tak bisa tidur lagi. Karena merasa lapar, aku membeli satu kotak nasi goreng kemasan seharga 5,4 dolar yang bisa dihangatkan di mesin microwave di mini market yang buka 24 jam di bandara. Kita makan bersama, anak-anak mengunakan tambahan rumput laut yang dibawa dari rumah. Setelah cuci muka, sikat gigi, dan ganti baju jam setengah 6 pagi waktu setempat, kami turun satu lantai menggunakan lift untuk menuju stasiun MRT.

I wanna go to Raffles Place Station. Can I pay for cash?” tanyaku kepada petugas di loket. “No. You can use this card” jawab petugas sambil menunjukkan selembar kertas di kaca yang memberi keterangan jenis kartu EZ Link dan harga sebesar 10 dolar dengan isi kartu sebanyak 5 dolar. “One card for one person?” tanyaku memperjelas. Si petugas mengiyakan sambil mengangguk. Akhirnya aku membeli empat kartu. Tadinya kupikir disediakan tiket sekali jalan. Karena di Tahun 2019 saat aku ke Singapura lewat pelabuhan Batam bisa membeli tiket MRT sekali jalan dengan wujud tiket berupa kartu kertas yang dibeli lewat mesin.

Berdasarkan informasi dari Google Map, untuk menuju Marlion Park harus naik MRT dua kali. Pertama naik MRT dengan tujuan Stasiun Tanah Merah, kemudian dilanjutkan dengan MRT jurusan Tuas Link dengan tujuan Stasiun Raffles Place. Biayanya bisa kuketahui ketika menempelkan kartu saat keluar di Stasiun Raffles Place. Aku lupa, tapi sekitar 2,1 dolar dari Changi menuju Raffles Place. Dalam perjalanan Aku melihat-lihat suasana di luar dari dalam kereta. Jam setengah 7 pagi langit Singapura masih nampak gelap dan jalanan sepi.

Stasiun Raffles Place terletak di tengah-tengah perkantoran. Mirip kawasan SCBD di Jakarta. Tiba di Raffles Place sekitar jam 7. Anak-anak yang mengantuk lantaran kurang tidur, kami biarkan tidur di kursi beton berlapis keramik di peron bawah tanah. Sekitar jam 7.30 kami keluar dari stasiun melalui pintu B dan ternyata cuaca di luar hujan lumayan deras. “Gimana menikmati suasana kotanya kalau hujan begini” gelisahku dalam hati. Dari stasiun menuju Merlion Park sebetulnya hanya tinggal jalan kaki sekitar 400 meter menyusuri Jalan Battery dan menyeberang Jalan Fullerton atau Jalan Esplanade.

Jam 8 hujan belum juga reda, sementara kami merasa lapar. Akhirnya dengan berbekal payung kami berjalan kaki menuju 7 Eleven terdekat. Beli mie kuah, onigiri, dan pisang untuk sarapan yang kami santap di dalam 7 Eleven. Setelah itu kami melanjutkan jalan kaki menuju Merlion Park. Di Sekitar patung Merlion, yang letaknya berada di bawah jalan, ramai sekali pengunjung. Sementara kursi-kursi di sekitarnya basah karena hujan. Rencana membuat video Madiba menari di sekitar patung singa menjadi sulit. Di sekitarnya ada Jubilee Bridge, juga tak luput dari banyak orang. Akhirya kami memutuskan naik ke atas dan memilih area pedestrian untuk menikmati suasana dan mengambil gambar. Di lokasi itu Madiba menari dengan lagu JJAM milik Stray Kids dan aku memvideokannya.

 

Bergerak ke Johor Bahru

Dari Merlion Park kami hendak menuju Johor Bahru lewat Woodland Checkpoint, terminal perbatasan Singapura-Malaysia yang menyediakan dua moda transportasi kereta dan bus untuk menuju Johor Bahru. Kami menyeberang lagi Jalan Esplanade dan menuju halte bus di dekat situ. Lalu kami naik bus nomor 57 untuk menuju Stasiun Little India. Rencananya dari Stasiun Little India kami melanjutkan naik bus nomor 107 menuju Woodland Checkpoint, tapi setelah menempelkan kartu EZ  Link saat tiba di Stasiun Little India, saldo kartu tersisa hanya 1,6 dolar, yang semula masih 2,8 dolar.

Karena khawatir saldo tidak mencukupi untuk membayar bus 107 jurusan ke Woodland, aku mencoba untuk mengisi kartu di Stasiun MRT yang ada di seberang jalan. Sampai di loket MRT ternyata untuk Top Up minimal harus 10 dolar untuk setiap kartu. Dengan kurs 1 dolar Singapura = 11.900 rupiah, kuurungkan niat mengisi saldo kartu EZ Link. Lalu aku memesan GrabCar dengan biaya 20,30 dolar Singapura.

Tiba di Woodland Checkpoint kami jalan kaki menuju terminal bus dengan melewati stasiun kereta yang keduanya masih dalam satu gedung yang sama. Kami harus melewati Imigrasi Singapura. Tapi sebelumnya kami bertanya ke petugas perempuan untuk memastikan apakah kami bisa membayar bus dengan uang tunai. Petugas tersebut bilang bisa dengan ongkos 2 dolar.

Setelah melewati imigrasi, saat kami mengantre naik bus, ada dua jenis bus yang terpampang di papan petunjuk, yaitu SBS dan SMRT. Saat bus SBS datang, kami langsung naik bus tanpa menempelkan kartu. Petugas perempuan kemudian memanggil kami untuk menempelkan kartu di pintu bus. Kami menjelaskan bahwa kami akan membayar dengan cara tunai, lalu si petugas perempuan mengarahkan ke petugas laki-laki tua. Si petugas laki-laki tua menyarankan untuk naik bus di sekitar situ yang bukan jenis SBS atau SMRT yang bisa membayar dengan fleksibel. Bedanya, kalau bus SBS atau SMRT desain dalamnya seperti busway di Jakarta, sementara bus yang kami tumpangi desain dalamnya seperti bus antar kota antar provinsi. Kami membayar dengan uang kertas 10 dolar untuk empat orang dan diberi kembalian sebanyak 2 dolar.

 

Tiba di Johor Bahru Sentral

Berangkat dari Woodland Checkpoint hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk tiba di Johor Bahru Sentral atau Johor Bahru Checkpoint, pos pemeriksaan kedatangan yang sebetulnya hanya menyeberang laut yang nampak seperti sungai.

Di bagian imigrasi kami harus mengisi dokumen kedatangan di Malaysia atau Malaysia Digital Arrival Card (MDAC) yang diisi secara daring dengan membuka tautannya lewat memfoto barcode yang tersedia. Di pintu keluar Johor Baru Sentral (JB Sentral) terdapat banyak kedai makanan. Kami berhenti di salah satu kedai untuk makan siang sebelum menuju ke hotel.

Setelah makan siang, aku memesan GrabCar menuju Hallmark Regency Hotel tempat kami menginap semalam di Johor Bahru. Jarak JB Sentral ke Hallmark sekitar 3 kilometer. Ongkos GrabCar hanya 11 ringgit. Kurs 1 ringgit = 3.600 rupiah. Oiya, aplikasi Grab dengan sendirinya akan mengubah sistem pembayaran dari sebelumnya rupiah, menjadi dolar ketika di Singapura, lalu berubah menjadi ringgit di Johor Bahru. Aku membayar dengan tunai. Sesampainya di hotel aku menunjukkan pemesanan dari aplikasi dari Traveloka. Petugas perempuan meminta uang deposit sebesar 50 ringgit yang ketika checkout akan dikembalikan dan tambahan biaya pelayanan sebesar 10 ringgit.

Hotel Regency ternyata hanya berjarak 1 kilometer dengan KSL City, pusat perbelanjaan di Johor Bahru yang lumayan besar. Juga hanya berjarak 200 meter dengan Plaza Pelangi, pusat perbelanjaan yang lebih kecil. Setelah berhasil check-in, seperti melampiaskan dendam karena kurang tidur, kami berempat langsung bersahabat dengan kasur.

Bangun jam 6 sore, mandi-mandi, ganti baju, kemudian sekitar jam 8 kami berjalan kaki menuju Plaza Pelangi untuk mencari makan malam. Selain makan di kedai Uncle Jack yang menunya makanan cepat saji seperti McD, kami juga berbelanja camilan di supermarket yang ada di Plaza Pelangi. Pulang ke hotel, anak-anak mencatat pengalaman hari itu ke dalam buku jurnal perjalan masing-masing. “Yah, kita naik bus berapa waktu mau ke Little India?” tanya Kayo ketika sedang mencatat Jurnal. “Bus 57” jawabku.

 

Jalan Tan Hiok Nee dan Johor Premium Outlet

Sama dengan Singapura, jam 7 pagi di Johor Bahru masih gelap. Jam 8 pagi dari lantai 5 kami turun ke lantai bawah untuk sarapan di restoran hotel. Menu sarapannya biasa saja, tapi diantaranya ada  kwetiau kuah yang lumayan enak. Setelah sarapan, kami pergi jalan kaki ke taman yang dekat dari hotel, namanya Taman Datin Rokiah, tempatnya lumayan bagus dan rindang, berada di pinggir jalan di area pemukiman warga. Ada wahana bermain anak, ada peralatan gym, juga jogging track.

Pulang ke hotel kami istirahat sebentar dan mulai berkemas untuk check-out.  Jam 11.30 kami check-out kemudian memesan GrabCar menuju Jalan Tan Hiok Nee, sebuah jalan atau kawasan yang banyak gedung-gedung tua. Ongkos GrabCar hanya 8 ringgit.

Sebelum menyusuri Jalan Tan Hiok Nee, di dekat situ ada kawasan Istana Sultan. Kami jalan menuju ke sana, melewati monumen Sultan Abu Bakar, Tugu 0 kilometer Johor Bahru, dan Majelis Bandaraya Johor Bahru (Pengadilan Tinggi), tapi sayangnya tidak bisa masuk ke kawasan Istana karena gerbangnya tutup. Kami kemudian mampir ke Kenangan Kopi (logonya sama dengan Kopi Kenangan) yang bersebelahan dengan kantor pos di sekitar situ. Lalu kami berfoto-foto di Tugu 0 Kilometer.

Setelah itu kami kembali berjalan menyusuri Jalan Tan Hiok Nee dan mampir di gedung berwarna merah menyala yang berada di pojokan perempatan. Ternyata gedung itu dipakai untuk kedai MarryBrown, restoran yang menjual makanan cepat saji. Setelah foto-foto dan mengambil video, aku memesan GrabCar untuk menuju ke Johor Premium Outlet (JPO), pusat perbelanjaan yang menjual barang dengan jenama terkenal. Tujuan kami tentu bukan buat menghambur-hamburkan uang, tapi sekadar menunggu jadwal penerbangan karena lokasi JPO dekat dengan Bandara Senai Johor Bahru. Tentu sambil melihat-lihat. Padini merupakan jenama lokal yang selalu kucari ketika berada di Malaysia, karena sepanjang yang kutahu hanya ada di Malaysia dan harga-harganya murah meriah. Bahkan ada kemeja panjang yang dijual hanya 9 ringgit atau 32.000 rupiah, murah kan! Sebelumnya aku mendapat baju flanel murah di Padini saat di Kuala Lumpur, tapi aku tidak menemukan di outlet Padini JPO.  Kayo yang kepincut sandal Crocs warna hijau saat masuk ke outletnya merengek minta dibelikan. Karena uang ringgit yang tersedia masih sisa, permintaannya kululuskan.

Sekitar jam setengah 6 sore, Aku memesan GrabCar menuju Bandara Senai. Ketika siang hari kucek ongkosnya hanya 8 ringgit, tapi karena aku pesan sore harganya menjadi 24 ringgit. Tiba di Bandara Senai sekitar jam 7 malam. Bandaranya ternyata kecil. Petugas belum membolehkan kami masuk ke area konter check-in, meskipun sebenarnya aku sudah melakukan check-in secara daring, tapi berniat untuk mencetak boardingpass untuk kebutuhan jurnal anak-anak. “AirAsia tujuan Jakarta belum bisa masuk, nanti jam 8 malam” kata si petugas perempuan dengan logat melayu. “kok aneh ya” batinku. Sambil menunggu aku bertanya lagi ke petugas perempuan memakai baju merah yang kuyakini staf dari AirAsia. “Kak, ini yang penerbangan ke Jakarta memang belum boleh masuk ya?” tanyaku “Iya, nanti baru bisa masuk jam setengah 8” jawabnya sambil melihat kertas yang mungkin berisi daftar penerbangan. “Apa gak terlalu mepet, Kak? Karena harus ke bagian Imigrasi juga” tanyaku khawatir karena jadwal penerbangan jam 21.35 dengan jadwal boarding jam 20.55. “gak, imigrasinya dekat aja kok” jawabnya. 

Setelah bisa masuk, melewati bagian imigrasi, dan masuk ruang tunggu aku bisa memahami kenapa tadi belum boleh masuk, karena ruang tunggu keberangkatan internasional hanya satu dan kecil, jadi mungkin menunggu penerbangan sebelumnya berangkat dulu. Saat aku menunggu hanya ada dua jadwal penerbangan, ke Jakarta dan Guangzhou. Jam 9 malam kami naik ke pesawat AirAsia dan pulang ke Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar