Senin, 17 November 2025

Cau-Bau-Kan, Hanya Sebuah Dosa


Setelah membaca dua karyanya Novel Pangeran Diponegoro dan Kerudung Merah Kirmizi, aku langsung menggemari gaya penulisan Remy Sylado yang menurutku lugas, sarat informasi, dan mengenalkanku pada kosakata yang tak lazim. Aku melanjutkan membaca karya lainnya Perempuan Bernama Arjuna. Kisah mahasiswi filsafat yang kuliah di Amsterdam, Belanda. 

Sayangnya aku hanya sanggup membaca sampai setengah buku, lantaran sedang malas dengan topik berat yang diangkat dalam novel itu, yaitu filsafat. Sebenarnya buku menarik, hanya kubaca pada waktu yang tidak tepat. Buku itu serupa Dunia Shopie karya Jostein Gaarder.

Aku kembalikan buku Perempuan Bernama Arjuna ke Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Perpustakaan Jakarta dan menggantinya dengan Cau-Bau-Kan, Hanya Sebuah Dosa, buku yang pada tahun 2002 pernah diadaptasi menjadi film oleh sutradara Nia Dinata.

Bercerita tentang kisah Siti Nurhayati atau Tinung, perempuan Betawi yang buta huruf. Setelah ditinggal mati oleh lelaki yang telah menjadikannya istri kelima, keadaan memaksa Tinung terjerumus dalam dunia prostitusi di Kali Jodo, Batavia. Tinung diajarkan menari dan menyanyi sebagai bekal menjadi perempuan penghibur.

Tinung dipertemukan oleh dua pelanggan lelaki Tionghoa dengan nama yang sama, Tan Liang Peng. Tan pertama berasal dari Bandung, rentenir atau lintah darat yang kerap menggunakan kekerasan terhadap orang-orang nahas yang tak mampu membayar utangnya. Tan kedua berasal dari Semarang, pedagang tembakau dan pembuat uang kertas palsu.

Tinung menjadi Cau-Bau-Kan, istilah dalam bahasa Hokkian (suku Tionghoa di Provinsi Fujian, Tiongkok dan termasuk suku Tionghoa terbesar di Indonesia) yang berarti perempuan, namun kemudian diartikan sebagai  perempuan pribumi yang hidup bersama atau diperbini oleh lelaki Tionghoa. Istilah itu berkembang di Batavia menjadi kata "Cabo" yang berarti pelacur.

Mulanya Tinung diajak hidup bersama Tan Peng Liang dari Bandung. Lalu mengalami trauma, kabur, dan diburu oleh Tan setelah menyaksikan pembunuhan yang dilakukan oleh tukang pukulnya. Tinung kembali ke Kali Jodo lalu bertemu dan diajak hidup bersama oleh Tan Peng Liang dari Semarang. Kebahagiaan dirasakan Tinung, hingga Tan ditangkap dan diadili karena membuat uang palsu. Semua kisah itu terjadi di era kolonialisme Belanda.

Saat masa pendudukan Jepang, Tinung diambil paksa oleh serdadu Jepang dan diperkosa secara bergiliran, kemudian dijadikan Jugun Ianfu, perempuan budak pemuas hasrat seksual serdadu Jepang di masa perang.

Tentang Jugun Ianfu ini Pramoedya Ananta Toer mengisahkan secara dramatis dan memilukan melalui bukunya Perempuan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Juga terdapat memoar Mardiyem, seorang penyintas, yang ditulis oleh Eka Hindra dan Koichi Kimura dalam buku Momoye Mereka Memanggilku, Biografi Sejarah Jugun Ianfu di Indonesia.

Meski fiksi, tapi melalui kisah kehidupan Tinung ini Remy Sylado menunjukkan peranan masyarakat Tionghoa pada gerakan kemerdekaan Indonesia, peristiwa dan nama-nama tempat bersejarah yang mengandung fakta.

Novel ini mengajakku berpetualang mengikuti kisah tokoh Tan, yang kabur sebagai buronan ke beberapa negara seperti Cina, Thailand, dan Malaysia. Lalu Tan  menjadi penyelundup senjata dari Thailand ke Malaysia juga Indonesia untuk digunakan melawan penjajah Jepang.

Kerentanan ekonomi kaum perempuan pun menjadi isu mengemuka dalam novel ini. Mengingatkanku pada film Pangku, garapan sutradara Reza Rahadian yang belum lama ini kutonton di bioskop.

 

-Bekasi-Jakarta, 16-17 November 2025-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar