Oleh : Soetandyo Wignjosoebroto
Sebuah
pertanyaan acapkali diajukan dalam banyak perbincangan intelektual tentang ihwal asal terjadi atau terbentuknya
masyarakat manusia. Jawaban yang pernah diberikan atas pertanyaan ini ada
berbagai macam, semua tergantung dari paradigma si pemberi jawaban. Mereka yang berangkat dari basis pemikiran
Aristotelian tentu saja berkeyakinan bahwa masyarakat manusia sudah terbentuk
pada saat Yang Maha-Kuasa mensabdakan terbentuknya alam semesta berikut seluruh
kehidupan di dalamnya. Berpikir atas
dasar basis asumptif Aristotelian ini, tak ayal lagi terbentuknya kehidupan
bermasyarakat manusia tak bisa lain daripada bagian dari takdir Tuhan, yang
sudah terjadi dan terbentuk sejak hari kejadian.
Mereka yang
berangkat dari basis pemikiran non-Aristotelian akan mencoba memberikan jawaban
dengan memasukkan faktor kesejarahan ke dalam persoalan ini. Kaum rasionalis akan memberikan penjelasan
bahwa terbentuknya kehidupan bermasyarakat manusia itu bermula pada suatu
ketika tatkala manusia mulai tersadar akan potensi rasionalitasnya. Kaum rasionalis menjelaskan terbentuknya
kehidupan bermasyarakat dengan merujuk ke kehendak rasional manusia yang dalam
kehidupan di bumi ini mendambakan kesejahteraan dan kebebasan sebagai unsur
kondisional dari kesejahteraan hidup duniawinya itu.
Tatkala paham rasionalisme berpadu dengan paham empirisme dan melahirkan apa yang disebut saintisme, lahirlah penjelasan yang datang dari paham berperspektif lain tentang asal mula terjadinya kehidupan bermasyarakat dan bermasyarakat negara. Kaum saintis memberangkatkan pemikiran mereka pada suatu asumsi dasar bahwa kehidupan bermasyarakat manusia itu – tak beda dengan kehidupan bermasyarakat hewan pada umumnya -- adalah suatu macam modus survival, ialah strategi spesi-spesi makhluk untuk memungkinkan kelestarian jenisnya di tengah alam. Menerima kehidupan bermasyarakat manusia sebagai suatu modus survival biologik, sains sosial sejak awal acap mengandalkan hasil kajian biologik sebagai pangkalan berpikirnya. Dari sinilah sains , dalam hal ini sains sosial, mencari asal mula terjadinya kehidupan bermasyarakat pada produk proses evolusi biologik (yang berhakikat sebagai proses di dunia organisme) yang berlanjut ke proses proses evolusi sosial (yang berhakikat sebagi proses di dunia supraorganisme).
Penjelasan
Kaum Rasionalis Tentang Asal Kehidupan Bermasyarakat Negara
Dalam kurun
sejarah, abad 16-17 ditengarai sebagai abad lahirnya kembali pemikiran yang
hendak mencoba menjelaskan bahwa segala wujud kebenaran itu berada atau berawal
dari rasio alias akal dan penalaran manusia.
Demikian juga halnya dengan ihwal kebenaran jawab atas pertanyaan asal
mula kehadiran masyarakat manusia berikut organisasi penertibnya yang disebut
negara. Lewat suatu penalaran,
diimajinasikan bahwa terjadinya kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu tak
berawal dari manapun kecuali dari rasionalitas manusia-manusia individu yang,
demi kebebasan dan diperolehnya kesejahteraan hidup, membuat
perjanjian-perjanjian yang rasional guna membentuk kehidupan bersama. Inilah yang dalam kepustakaan ilmu politik
dan ilmu negara disebut ‘teori kontrak sosial’, yang secara khusus diambil dari
karya Jean-Jacques Rousseau, Du Contrat
Social.[1]
JJ Rousseau |
Bertolak
dari paham rasionalisme, tak ayal lagi, ‘kontrak sosial’ adalah suatu
konstruksi dalam alam pemikiran intelektual, dengan fungsinya sebagai dasar
pembenar yang berperangai moral (rationale,
reason of existence) tentang hadirnya kehidupan bernegara. Berstatus suatu rasionale atau alasan
pembenar yang masuk akal, apa yang disebut “teori kontrak sosial” ini tentu
saja bukan sebuah diskripsi tentang suatu kejadian dalam sejarah. Pada asasnya, ‘kontrak sosial’ adalah suatu
fiksi, hasil teoretisasi di alam pemikiran, bahwa terbentuknya organisasi
kehidupan bernegara, berikut lembaga-lembaga pemerintahannya, berasal dari
kesediaan rakyat yang rasional untuk melepaskan sebagian dari hak-hak kebebasan
kodratinya yang asasi, demi terselenggaranya kehidupan bersama yang
tertib.
Teori
kontrak sosial menyiratkan adanya dasar moral pembenar bahwa kekuasaan para
pejabat negara itu berasal tak dari sumber manapun kecuali dari persetujuan rakyat. Keterikatan rakyat pada segala bentuk aturan
yang ditegakkan para pejabat kekuasaan negara, dengan demikian, akan
termaknakan sebagai keterikatan atas dasar kedaulatan dan persetujuan mereka
sendiri. Di sini terbangunlah konsep
tentang hadirnya suatu kehidupan bernegara yang demokratik, berikut terbatasinya
kebebasan kodrati rakyat oleh suatu kekuatan yang tak lain daripada kebebasan
rakyat itu sendiri, ialah kebebasan mereka untuk berkontrak sosial, yang
termaknakan sebagai kebebasan untuk mengurangi kebebasan (sampai batas
tertentu. Dalam kehidupan alam, manusia
adalah individu-individu yang terlahir bebas menurut kodratnya , namun akan
menemukan dirinya berada dalam ikatan-ikatan di manapun dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Dengan penjelasan sebagaimana yang
terpapar di muka ini, kaum rasionalis hendak mengemukakan tesisnya bahwa
kerangka bangunan setiap kehidupan bernegara – yang dalam istilah teknisnya
disebut ‘konstitusi negara’’ – itu tentulah berasal dari rasionalitas manusia. Karena diasumsikan bahwa setiap manusia yang
rasional itu selalu mendambakan kebebasan dan kesejahteraan, maka, berdasarkan
penalaran yang masuk akal, kebebasan dan kesejahteraan pribadi haruslah
dinyatakan sebagai hak manusia yang kodrati dan asasi. Maka pula, setiap kontrak sosial yang
menyepakatkan terbangunnya konstitusi negara selalu menyebutkan – secara
tersurat ataupun secara tersirat -- adanya jaminan agar hak yang kodrati dan
asasi itu dihormati dan dilindungi.
Jaminan itu memerlukan penguatan dalam wujud dinyatakan adanya ancaman
sanksi hukuman pidana terhadap sesiapapun yang melanggar kesepakatan dengan
melakukan pelanggaran terhadap hak-hak sesama manusia.
Di sini pula nyata bahwa pemidanaan itu
tidak dimaknakan sebagai suatu pembalasan yang hendak mengekspresikan dendam
dan kemurkaan yang sifatnya emosional .
Alih-alih, pemidanaan adalah suatu tindakan yang rasional untuk
mengasingkan seorang dua orang pengganggu dari lingkar kehidupan manusia sesama
yang mayoritas demi keselamatan “yang berjumlah banyak” itu dari gangguan sang
penggangu “yang berjumlah lebih kecil”.
Rasionalitas pemidanaan seperti ini pulalah yang mendasari ajaran
utilitarianisme sebagai dasar pembenar bagi setiap kebijakan dan tindakan
hukum, baik di ranah yang privat maupun yang di ranah yang publik.
Penjelasan Kaum Saintis
Tentang Asal Kehidupan Bermasyarakat Negara
Berbeda dengan penjelasan kaum rasionalis
yang mencari kebenaran dari dalam rasio melalui penalaran yang masuk akal, kaum
saintis merasa berkewajiban untuk membuktikan setiap kebenaran jawabannya
dengan data yang diperoleh dari hasil amatannya di alam indrawi, entah secara
langsung entah lewat kesaksian.
Betapapun juga kuatnya penalaran yang dikerjakan olehnya berdasarkan
keniscayaan hukum logika, data pembukti yang dicari dan diperoleh dari alam
empirik tetap saja merupakan syarat yang apabila tak dipenuhi akan membatalkan
simpulan-simpulan penalaran yang dikemukakan.
Demikian pula halnya manakala saintis sosial hendak mencoba memberikan
penjelasan tentang asal mula kehidupan bemasyarakat dan bernegara. Di sini penalaran memang diperlukan, akan
tetapi data pembukti tetap saja sine qua
non untuk membenarkan bahwa apa yang dijelaskan itu memang terjadi dalam
sejarah kehidupan manusia.
Sains sosial dengan terus terang mengaku
tak mempunyai data sejarah – apalagi yang pra-sejarah -- yang dapat dipakai
untuk menjelaskan dengan gamblang proses
terbentuknya kehidupan bermasyarakat manusia. Sehubungan dengan kenyataan itu, para saintis
sosial tak hendak berpretensi dapat menjelaskan persoalan itu berdasarkan
bukti-bukti sosiologik atau antropologik.
Alih-alih, penjelasan tentang ihwal terjadi dan perkembangan kehidupan
bermasyarakat makhluk hidup pada umumnya diserahkan saja pada kajian biologik,
atau pada kajian biologik yang lebih khusus tentang ‘manusia sebagai zoon politicon.
Sebagaimana makhluk zoon politicon lain, manusia adalah spesi makhluk yang menurut
definisnya dan menurut kodrat biologiknya memang tidak pernah hidup dalam model
kehidupan soliter. Sebagaimana makhluk
yang terbilang zoon politicon, manusia
juga hidup dalam satuan-satuan agregatif, berspesialisasi fungsi dan
berkomunikasi di yang memungkinkan kehidupan yang kolektif. Ragam komunikasi dalam masyarakat manusia,
yang berlangsung intensif dan ekstensif,
tidak hanya memungkinkan manusia melakukan kooperasi-kooperasi yang
produktif tetapi juga memungkinkan konflik-konlik yang terjadi dapat terkontrol
dalam batas-batas toleransi yang tak mengganggu kelestarian eksistensinya.
Sekalipun manusia itu bukan satu-satunya
makhluk hayati yang terbilang zoon
politicon, namun demikian – berbeda
dengan makhluk zoon politicon lain
yang hewani – manusia menata kehidupannya atas dasar upayanya sendiri yang
kultural. Kian tinggi kemampuan manusia
mengembangkan kultur materiilnya yang teknologik, akan kian besar pula
kemampuannya memanfaatkan sumber daya, khususnya energi, dari lingkungannya,
dan sehubungan dengan itu akan kian besar pula kemampuannya mengelola
masyarakatnya dalam format dan skala yang lebih besar. Ketika manusia baru dapat mendayagunakan
sumber pangan dalam bentuk karbohidrat untuk menghimpun tenaga gerak yang
relatif rendah, maka masyarakat rendah energi ini hanya berskala kecil yang
disebut komunitas suku
Lama sebelum datangnya kehidupan
bernegara bangsa yang modern dan berteknologi maju, yang pada gilirannya
memerlukan – akan tetapi juga mampu
menghasilkan – energi anorganik dalam jumlah yang tinggi – komunitas-komunitas
lokal yang berbasis suku itupun mengalami proses perubahan evolusioner ke
tataran integrasi yang lebih tinggi.
Inilah proses yang terjadi kian bersicepat di banyak negeri di berbagai
benua pada abad 20 yang oleh Clifford Geertz di sebut proses from old societies to a new state. Dewasa ini perkembangan kian nyata, seperti
tak hendak berhenti pada stadium terbentuknya new nation states saja akan tetapi juga terus berlanjut ke skala
global, suatu dunia kehidupan yang baru tanpa mengenal perbatasan.
Tak pelak lagi, negara bangsa yang kita
kenali sekarang ini sesungguhnyalah merupakan produk evolusi dalam sejarah
kehidupan manusia yang telah berumur teramat panjang. Perkembangan bermula dari bentuknya yang
embrional dalam masa prasejarah, berupa kerabat sedarah yang sekalipun lokal
namun diikat oleh suatu solidaritas yang lebih berbasis pada perasaan
berketunggalan darah daripada berketunggalan teritori permukiman. Perkembangan evolusioner dari
satuan-satuanlokal genealogis dan territorial yang berlanjut ke struktur-struktur
kehidupan bernegara bangsa yang disatukan oleh perasaan ketunggalan budaya dan
bahasa, atau oleh perasaan berkesamaan nasib dalam sejarah, amatlah panjangnya
dan sudah bermula pada masa prasejarah; ialah tatkala manusia harus hidup
dengan cara berburu, yang tak mungkin dilakukan oleh manusia secara individual
kecuali dengan cara kerja kooperatif berkelompok.
Kodrat fisikal manusia tidak memastikan
kemampuan manusia untuk memburu hewan
buruan secara bersendiri. Koperasi
dengan membagi peran antar-warga, yang pada gilirannya harus diefektifkan agar
produktif berdasarkan kemampuan manusia untuk berkomunikasi secara spesifiek
bersaranakan suara yang bermaknakan bahasa, telah membentuk masyarakat manusia
sebagai suatu satuan yang unik, yang tak hanya berkarakter biologik-organik melainkan
juga sosial-kultural yang supra-organik.
Dalam bukunya yang berjudul ‘De La Division Du Travaille”, seorang
sosiolog Perancis bernama Emil Durkheim mengemukakan hasil kajiannya bahwa
lahir dan perkembangan masyarakat manusia itu ditentukan oleh lanjut tak
lanjutnya pembagian kerja antar-manusia di dalam masyarakatnya itu.
Emile Durkheim |
Durkheim
menggunakan istilah solidarité
untuk menggambarkan
keeratan hubungan antara satuan-satuan dalam sistem masyarakat, nota bene yang berubah dari ‘yang
independen secara segmental’ ke yang ‘interdependen secara fungsional’
itu. Keeratan hubungan yang terbilang
longgar dalam system kehidupan yang segmental ia sebut la solidarité mécanique, sedangkan derajat keeratan hubungan yang
terbilang kuat dalam sistem kehidupan yang fungsional ia sebut la solidarité organique. Masyarakat dibilangkan sebagai masyarakat dengan solidaritas mekanik bila
satuan-satuan pilahan di dalamnya dapat dilepas untuk tak lagi berhubungan dengan
satuan lain tanpa mengganggu fungsi keseluruhan sistem. Sementara itu, satuan-satuan pembangun
struktur di dalam masyarakat dengan solidaritas organik tak akan dapat dilepaskan
dari ikatan fungsionalnya, karena apabila hal itu dilakukan maka kelestarian
seluruh sistem kehidupan niscaya akan terganggu.
Manusia Sebagai Subjek dan Masyarakat Manusia Sebagai Objek
Rene Descartes |
Kajian
sains, yang pada awalnya lebih meminati ihwal masyarakat dan perkembangan
masyarakat manusia sebagai objek kajiannya, terkesan lebih memposisikan manusia
individu sebagai oknum yang kehadirannya amat lebih ditentukan oleh kondisi
masyarakatnya daripada yang sebaliknya.
Inilah konsep tentang manusia yang digambarkan sebagai “unsur kecil yang
tak seberapa berarti” dalam suatu sistem kehidupan yang mempunyai hukum
perubahan dan perkembangannya sendiri.
Syahdan,
kalaupun sains yang mengkaji perubahan sosial pada akhirnya juga membicarakan
kebebasan manusia, namun demikian kebebasan manusia itu tidak dipahami sebagai
hasil kerja rasio yang independen. Alih-alih, kerja dan arah kerja rasionya itu
bersebab dari kondisi dan/atau perubahan kondisi yang terjadi dalam konteks,
yang memaksa manusia dengan segenap akalnya membuat putusan yang akan bisa
menyelamatkan dirinya. Inilah paham yang
disebut determinisme dalam pewacanaan tentang tindakan-tindakan manusia dalam
masyarakatnya.
Henry Maine ((1822-1888), misalnya,
memparadigmakan hubungan kontraktual antar-individu manusia bukan sebagai
ekspresi kebebasan manusia yang rasional untuk mengikatkan diri atau tak
mengikatkan diri, melainkan lebih memberikan kesan bahwa hubungan itu adalah
akibat “keterpaksaan” manusia untuk
menyesuaikan diri ke perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan
hidupnya. Menurut Maine, dalam
masyarakat-masyarakat patrimonial atau feodal yang amat dikuasai oleh sistem
kekerabatan, peran para individu di dalam masyarakat akan ditentukan secara
sepihak oleh tradisi yang berlaku, dan bukan oleh putusan akal yang bebas dari
manusia-manusia yang bersangkutan. Peran-peran yang ditentukan “dari sono”
inilah yang disebut peran-peran bertipe askriptif atau attributif.
Henry Maine |
Seiring
jalan dengan apa yang dikemukakan oleh Henri Maine itu adalah juga sesungguhnya
apa yang telah dikemukakan Emil Durkheim dalam bukunya de La Division du Travaille yang telah disebutkan di muka. Tipe-tipe solidaritas yang mengintegrasikan
organisasi masyarakat itupun bukan pertama-tama produk rasionalitas manusia per se, melainkan produk perubahan struktural
yang dialami masyarakat. Tatkala
temuan-temuan dalam ilmu pengetahuan alam telah berhasil diaplikasikan dalam
wujud teknologi industri, organisasi kerja manusia dalam rupa pembagian kerja
yang lebih fungsional daripada segmental telah berdampak pula pada ihwal
solidaritas, yang menggserkan dan melengserkannya dari tipenya yang mekanik ke
tipenya yang organik.
Karl Marx |
Demikianlah
sepanjang satu abad sejak Marx dan Maine menggunakan metode sains – dan tidak cuma
berasionalisasi – untuk menganalisis perubahan masyarakat dan menarik
simpulan-simpulannya, kajian sains sosial kian mantap bekerja atas dasar upaya
untuk mendiskripsikan fakta sosial dan untuk menjelas-jelaskan hubungan
sebab-akibat antar-fakta peristiwa yang terjadi di alam empirik yang objektif. Rasionalitas dan kerja penalaran manusia
untuk membuat berbagai rasionalisasi perbuatan dan tindakan yang terjadi dalam
masyarakat seolah kehilangan peran pentingnya, sampai di suatu saat tatkala
para pengkaji sains sosial mulai mengenal dan menerima paradigma baru tentang apa
yang disebut the rational choice dalam
setiap tindakan individu yang bebas. [***]
[1]
Teori terjadinya negara
dan hukum atas dasar kontrak dan persetujuan rakyat ini dikemukakan antara lain
oleh Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Jean-Jacques Rousseau
(1712-1778), dan dengan simpulan yang
berbeda-beda. Locke, dan kemudian juga
Rousseau, disebut-sebut sebagai peletak dasar konsep demokrasi. Berbeda dari Locke dan Rousseau, Hobbes
justru tiba pada simpulan yang mem-berikan dasar pembenar pada model
pemerintahan yang otokratik.
Keterangan : Tulisan ini disampaikan pada acara Karya Latihan Bantuan Hukum LBH Semarang tahun 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar