[Sambungan dari http://asepmufti.blogspot.com/2012/09/pidato-sukarno-pancasila-1_8975.html ]
Saudara-saudara, jangan mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Bayern, bukan Saksen (kerajaan lama di Jerman, lebih dikenal sebagai Prusia, Bavaria dan Saxony-Ed.) adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermania-lah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italia-lah – yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pengunungan Alpen – adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga India-lah nanti harus menjadi nationale staat.
Saudara-saudara, jangan mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Bayern, bukan Saksen (kerajaan lama di Jerman, lebih dikenal sebagai Prusia, Bavaria dan Saxony-Ed.) adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermania-lah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italia-lah – yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pengunungan Alpen – adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga India-lah nanti harus menjadi nationale staat.
Sukarno |
Nationale staat hanya
Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang
kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau Tua-tuan terima
baik, marilah kita mengambil dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.
Maaf, Tuan Liem Koen Hian. Tuan tidak mau akan kebangsaan?
Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo
(Wakil Ketua, maksudnya Soeroso-Ed.), Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan
kebangsaan.”
(Liem Koen Hian menanggapi: “Bukan begitu. Ada sambungannya
lagi.”)
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih,
karena Tuan Liem Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak
juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena
mereka memeluk paham kosmopolitanisme, yang mengatakan tidak ada
kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitanisme,
sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon,
tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya menschheid –
perikemanusiaan! Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada
rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya
berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi
oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada
saya. Katanya: “Jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah
rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikit
pun.” Itu terjadi pada tahun ‘17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada
orang lain yang memperingatkan saya, ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam
tulisannya, San Min Chu I atau The Three People’s Principles,
saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh
Baars itu. Dalam hati saya sejak itu, tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh
The Three People’s Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh
bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa
Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat,
sehormat-hormatnya, merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen – sampai
masuk ke lobang kubur.
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)
Saudara-saudara! Tetapi… tetapi… memang prinsip kebangsaan
ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang-orang meruncingkan
nasionalisme menjadi chauvinisme (nasionalisme yang berlebihan,
ekstrem-Ed.), sehingga berpaham “Indonesia uber Alles (Indonesia di atas
semua bangsa-Ed.).” Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa
berbangsa satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia
hanya satu bagian kecil saja dari dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan
saya adalah perikemanusiaan. Mynationalism is humanity.”
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang
menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa,
yang mengatakan Deutschland uber Alles. Tidak ada yang setinggi Jermania,
yang katanya bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru –
bangsa Arya – yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa
lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian, Tuan-Tuan.
Jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia-lah yang terbagus dan termulia, serta
meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita
bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju
pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip yang kedua. Inilah philosofische
princiep yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh
saya namakan internasionalisme. Tetapi jikalau saya katakana internasionalisme,
bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan,
yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak
ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak
dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup di dalam taman sarinya internasionalisme.
Jadi, dua hal ini, Saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2 – yang pertama-tama
saya usulkan kepada Tuan-tuan sekalian – adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar
mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu
negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun
golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat
semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara
Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk
memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam – maaf beribu-ribu maaf,
keislaman saya jauh belum sempurna – tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya
punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak
bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam
mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal,
juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di
dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di
dalam permusyawaratan.
Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan
tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin
rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat
Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar
daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh
utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian
besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup
berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin
menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin
utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan
rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya,
agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang
Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya
hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu,
hukum Islam pula.
Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata
terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam
jiwa rakyat, sehingga 60 persen, 70 persen, 80 persen, 90 persen utusan adalah
orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru
jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan
hanya Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90 persen daripada
kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen yang
memberikan suaranya kepada Islam? Maaf beribu maaf, saya Tanya hal itu! Bagi
saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di
dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara
sekalian – baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam – setujuilah
prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya.
Tidak ada satu staat yang hidup betul, betul hidup, jikalau di dalam
badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candaradimuka,
kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam,
maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah
prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat!
Di dalam perwakilan rakyat Saudara-saudara Islam dan
Saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebathebatnya. Kalau misalnya orang
Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter (huruf, dalam bahasa Inggris-Ed.) di dalam
peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah
mati-matian, agar supaya, sebagian besar dari utusan-utusan yang masukn badan
perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, fair play!
(permainan yang jujur, dalam bahasa Inggris-Ed.). Tidak ada negara boleh dikatakan
negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki
tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran
pikiran. Allah subhanahu wa ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya
dalam pergaulan sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk
membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi
nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah Saudara-saudara prinsip nomor 3,
yaitu prinspi permusyawaratan!
Prinsip nomor 4, sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari
ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak
akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: Prinsipnya San
Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: Nationalism, Democracy,
Sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang
kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua
orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku
oleh Ibu Pertiwi yang cukup member sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita
pilih, Saudara-saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan
Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita
sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire
demoratie. Tetapi
tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah
di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum
kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan
sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan yang diadakan di sana itu, sekedar
menurut resepnya Fransche Revolutie (Revolusi Perancis, dalam bahasa
Belanda-Ed.). Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi di sana itu
hanyalah politieke demoratie saja; semata-mata tidak ada sociale
rechtvaardigheid – tidak ada keadilan sosial, tak ada economische democratie
sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin
Perancis, Jean Jaures yang menggambarkan politieke demoratie. “Di dalam parlementaire
demoratie,” kata Jean Jaures, “tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak
politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk
dalam parlemen. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan
kesejahteraan di kalangan rakyat?”. Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata
lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, didalam Parlemen dapat
menjatuhkan minister (menteri, dalam bahasa Belanda dan Inggris-Ed.). Ia
seperti raja. Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja – di dalam pabrik –
sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar jalan
raya, dibikin werloos (menganggur, dalam bahasa Belanda-Ed.), tidak
dapat makan suatu apa.” Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi,
hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup,
yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan
sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang
dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan paham Ratu-Adil, ialah sociale
rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa
dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya
ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita
memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita
terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja
persamaan politik, Saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita
harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang akan kita buat,
hendaknya bukan bada permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi
badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke
rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid (keadilan politik dan keadilan
sosial, dalam bahasa Belanda-Ed.).
Kita akan bicarakan hal ini bersama-sama, Saudara-Saudara,
di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita
selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang,
saya tidak akan memilih monarki. Apa sebab? Oleh karena monarki vooronderstelt
erfe-lijkheid (pewarisan yang sudah diketahui terlebih dahulu, dalam bahasa
Belanda-Ed.). Turuntemurun. Saya orang Islam, saya demokrat karena saya orang
Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara
pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik
kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita
mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes
Hadikoesoemo misalnya, menjadi Kepala Negara Indonesia, dan mangkat, meninggal
dunia, janganlah anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya – dengan otomatis –
menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu, saya tidak mufakat
kepada prinsip monarki itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah
mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka
dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan,
tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan
menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut
kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara
Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan
cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni
tiada “egoism agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun
Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah
hormat-menghormati satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadirin)
Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid
(sifat dapat memahami pendapat yang lain, dalam bahasa Belanda-Ed.),
tentang menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid
itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini – sesuai
dengan itu – menyatakan: Bahwa prinsip kelima dari Negara kita, ialah Ketuhanan
yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati
satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa
Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah,
Saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan
mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah prinsip ketiga – permufakatan, perwakilan – di
situlah tempatnya ktai mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang
tidak onverdraagzaam (tidak sabar, memaksa, dalam bahasa Belanda-Ed.),
yaitu dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan
Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak
tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar.
Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya.
Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindera. Apa lagi yang lima
bilangannya?
(Seorang yang hadir: “Pendawa Lima.”)
Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip –
kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan – lima pula
bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini
dengan petunjuk seorang teman ahli bahasa — namanya ialah Pancasila. Sila
artinya “asas” atau “dasar”, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan
Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuk tangan riuh)
Atau, barangkali ada Saudara-saudara yang tidak suka akan
bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara
tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah
saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita.
Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme – kebangsaan dan
perikemanusiaan – saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan Sosionasionalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische
demoratie – yaitu politieke demoratie dengan sociale
rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan – saya peraskan pula menjadi
satu: inilah yang dulu saya namakan Sosio-demokrasi. Tinggal lagi
Ketuhanan, yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: Sosio-nasionalisme,
sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga,
ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuantuan senang kepada Trisila
ini, dan minta satu, satu dasar saja! Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan
lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: Kita mendirikan negara
Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen
buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat
Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat
Indonesia, tetapi Indoesia buat Indoesia. Semua buat semua! Jikalau saya peras yang
lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu
perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Alangkah
hebatnya! Negara Gotong-Royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah)
“Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis
dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang
statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan,
yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe.
Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama!
Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama,
perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat
semua buat kebahagiaan semua. Holopiskuntul- baris buat kepentingan
bersama! Itulah gotong-royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah)
Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak
kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen
dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, Saudara-saudara, yang
saya usulkan kepada Saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi
terserah kepada Tuan-tuan, mana yangTuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah
Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada Saudarasaudara semuanya.
Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada Saudara-saudara ini, adalah prinsip
untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora
dengan prinsip-prinsip itu.
Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan,
Saudarna-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara
Indonesia. Di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur
alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bahwa kita mendirikan Negara Indonesia
bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan
dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang
gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan
Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan
negara Indonesia yang lambat-laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap
syukur kepada Allah SWT.
Berhubungan dengan itu – sebagai yang diusulkan oleh
beberapa pembicara-pembicara tadi – barangkali perlu diadakan noodmaat-regel
(aturan darurat, dalam bahasa Belanda-Ed.), peraturan yang bersifat sementara.
Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat
saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, Saudara-saudara, itulah harus
Weltanschauung kita.
Entah Saudara-saudara memufakatinya atau tidak, tetapi saya
berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu.
Untuk membangun nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk
kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan;
untuk sociale rechtvaardigheid; untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah yang
berkobarkobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi, Saudara-saudara,
diterima atau tidak, terserah kepada Saudara-saudara. Tetapi saya sendiri
mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat
menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu
Weltanschauung dapat menjadi kenyataan – menjadi realiteit – jika
tidak dengan perjuangan!
Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia,
jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat
Sen!
De Mensch – manusia – harus perjuangkan itu. Zonder (tanpa,
dalam bahasa Belanda-Ed.) perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit!
Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat
Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa
Tionghoa, Saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu:
Zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita
agama, yang dapat menjadi realiteit. Jangan pun buatan manusia,
sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (hitam
di atas putih, dalam bahasa Belanda-Ed.), tertulis di atas kertas, tidak dapat menjelma
menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam.
Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita
yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya
Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita
ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup
sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin
hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale
rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan
yang luas dan sempurna – janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya,
ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan!
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia
Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di
dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain
sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama, sebagai
bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita
cita-citakan di dalam Pancasila.
Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah,
insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu Saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka
tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko – tidak
berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalamdalamnya. Jikalau
bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekadkan mati-matian untuk mencapai
merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia
buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan
dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad: Merdeka!
“Merdeka atau mati!”
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas
pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi
panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta
maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang
saya anggap verschrikkelijk zwaarwichtig (seolah-olah sangat berat,
dalam bahasa Belanda-Ed.) itu.
Terima kasih!
(Tepuk tangan riuh-rendah dari segenap hadirin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar