Iqra Anugrah,
mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS
MARI memulai obituari ini dengan sebuah cerita yang mungkin
terdengar tidak begitu nyambung. Suatu saat, John Sidel, salah
satu pengkaji politik Asia Tenggara terkemuka, bercerita dalam kuliahnya,
‘Dalam
pemilihan walikota London kemarin saya begitu terkejut mendengar bahwa semua
kandidat, dari berbagai partai politik yang berbeda aliran, mengidolakan Nelson
Mandela, seakan-akan Mandela hanyalah seorang kakek tua yang bijak dan murah
senyum. Mereka semua lupa bahwa Mandela adalah seorang komunis.’
Sidel benar. Semenjak Nelson Mandela menang pemilu
demokratis pertama di Afrika Selatan dan menjadi presiden di tahun 1994 hingga
kepulangannya baru-baru ini, citranya lebih mirip sebagai seorang negosiator
daripada pejuang, yang siap berkompromi daripada melawan. Dengan kata lain,
citra Mandela menjadi lebih ‘liberal’ dan ‘jinak.’ Citra inilah yang melekat di
banyak bayangan orang, terutama di Barat, mengenai Mandela. Namun Madiba,
panggilan kehormatan dari sukunya, suku Xhosa, menolak pencitraan itu. Bahkan,
berkali-kali ia menegaskan dirinya sebagai bagian dari politik
progresif-revolusioner dan gerakan pembebasan nasional di berbagai belahan
Dunia Ketiga.
Di tengah-tengah suasana berkabung atas berpulangnya
Mandela, penghormatan yang paling pantas atas kepergiannya adalah mengupas sisi
revolusioner dari seorang pejuang anti-apartheid paling terkemuka di Afrika
Selatan.