Senin, 25 Februari 2013

Soesilo Toer - Doktor Pemulung

Oleh Gunawan Budi Susanto

Soesilo Toer
DIA terhitung pendek, tak lebih dari 160 cm, dengan wajah bercambang keputihan. Dan, tak lagi muda. Kini, dia berusia 76 tahun. Namun jangan menyangka dia lemah. Macam keladi, tua-tua makin menjadi. Berkali ulang dia, misalnya, bersepeda motor berboncengan dengan sang istri, pergi-pulang dari Blora ke rumah mertua di Yogyakarta. Juga saat menjadi narasumber di Semarang, Kudus, atau Surabaya, dia pun berboncengan motor. Lagi-lagi dengan istri. Fisik oke. Psikis? Diehard, keras kepala! Dia pun keras kemauan, keras bersikap, menghadapi tantangan kehidupan. Pada usia, yang kebanyakan orang lebih memilih duduk manis menikmati masa senja dalam kehidupan, dia justru tak henti-henti bekerja: mencangkul, memulung, menulis, dan memotivasi siapa pun untuk menulis dan terus menulis. Dan, itu dia lakukan di sebuah rumah tua di pojok kota, di Jalan Sumbawa, Jetis, 40 Blora.
 
Di pekarangan rumah itulah, di lahan seluas lebih dari 3.000 m2, dia menanam ratusan pohon jati. Dia juga menanam berbagai pohon buah dan tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai sayur dan obat-obatan. Di rumah itulah dia membangun perpustakaan. Dan, di perpustakaan itulah dia menerima dan menjamu para tamu, tua dan muda, dari berbagai pelosok kota, dari berbagai negara. Dari empat benua sudah, para tamu berdatangan. Tinggal dari Benua Afrika yang belum.

Para tamu itu datang untuk membaca, belajar menulis, meneliti, atau berkonsultasi tentang naskah mereka. Semua dia terima dengan lapang hati, lapang dada.
 
“Siapa pun yang datang ke perpustakaan ini bisa meminjam buku. Gratis. Jika haus, saya suguhi minuman. Saat kami makan, mereka pun saya ajak makan. Jika ingin mengingap, ada kamar tersedia bagi mereka. Itulah kamar kakak tertua saya tidur tahun-tahun belakangan sebelum dia meninggal dunia. Mana ada perpustakaan lain semacam itu?” ujar dia seraya tersenyum, tanpa bermaksud jumawa.
 
Perpustakaan Liar
 
Upaya sepele, sederhana? Boleh jadi. Namun, jika Anda tahu, itu bukan pencapaian sederhana. Sejak mula dia membangun perpustakaan itu sampai kini, masih ada saja pejabat pemerintahan di kabupaten penghasil kayu jati terbaik di dunia yang menyebut perpustalaan yang di kelola sebagai, “Perpustakaan liar!” Karena pandangan sang pejabat itulah, perpustakaan yang dia kelola gagal memperoleh block grant Rp 200 juta dari Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010. “Saat itu saya butuh rekomendasi dari Dinas Pendidikan sebagai salah satu syarat untuk menerima bantuan. Namun rekomendasi tak pernah keluar karena, ya itu tadi, perpustakaan ini dikategorikan perpustakaan liar!” katanya.

 
Liar karena apa? Tak berizin? Kepada siapa kita mesti meminta izin mendirikan perpustakaan – bagian dari upaya mencerdaskan bangsa? Bukankah perpustakaan, dan kemudian penerbitan nonkomersial, yang dia bangun bersemboyan: masyarakat Indonesia membangun adalah masyarakat Indonesia membaca menuju masyarakat Indonesia menulis. Jadi, maaf, terlibat upaya pencerdasan masyarakat lewat pendirian perpustakaan merupakan tindakan ilegal? Masya Allah!
 
Namun itulah cap buruk (stigma) yang distempelkan kepada dia. Stigma “sepele” memang, tetapi itu mempertebal stigma sebelumnya: eks tahanan politik (tapol) 1965. Stigma itu terus melekat sampai kini. Meski sudah kenyang menerima perlakuan tak adil yang berdasar prasangka stigmatik itu, tampaknya sepanjang hayat pula dia mesti terus melawan siapa pun yang memperlakukannya berdasar prasangka bahwa karena pernah ditahan setelah pertikaian politik 1965, dia pasti bersalah. Dan orang bersalah tak berhak berbuat apa pun, meski mungkin perbuatan itu berguna bagi orang lain.
 
“Dulu, di Bekasi, sebelum pulang ke Blora, saya diarak dan disoraki, ‘PKI! PKI!’ . Ya, seperti di sinetron-sinetron itu. Saat itu ada yang mengatakan, ‘Kamu PKI!” Saya bilang, saya bukan PKI. Tak percaya? Lalu saya lepas celana panjang saya untuk menunjukkan pada mereka. ‘Lihat, lihat! Saya tidak pake kolor item!’ Bukankah mereka punya pengertian PKI itu pake kolor item. Saat itu kolor saya merah,” katanya sambil tertawa masam.
 
Itu terjadi gara-gara dia tak bisa menerima begitu saja warung kelontongnya digusur. Penggusuran terjadi berkali ulang. Mula-mula warungnya, kemudian rumah tempat tinggalnya. Dia memang kalah, tetapi tak pernah menyerah.
 
Tahun 2004, dia memboyong anak dan istrinya, Benee Santoso (kini 22 tahun dan telah bekerja di Jakarta) dan Suratiyem (46), pulang ke Blora dan menempati rumah keluarga besar, warisan dari sang bapak, Mastoer. Di kota kelahirannya tak berarti dia terbebas dari perlakuan diskriminatif dan penilaian miring. Namun dia tak peduli. Dia bertekad menjadikan rumah warisan keluarga itu menjadi ruang publik bagi pengembangan seni, budaya, dan intelektualitas. Dan, itu seperti peran rumah itu dulu, tahun 1930-1950, ketika menjadi titik simpul pergerakan melawan pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang.
 
Menulis dan Terus Menulis
 
Kini, di dan dari rumah di pojokan kota itulah dia – dibantu banyak eksponen muda – melancarkan gerakan: mencerdaskan masyarakat lewat membaca dan menulis. Ya, di rumah itulah dia acap menyelenggarakan acara diskusi dan bedah buku. Dia menggelar pula, antara lain, Festival Kali Lusi (2008), Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa (2009), Panggil Aku Kartini Saja (peringatan empat tahun meninggalnya Pramoedya Ananta Toer, 2010). Berbagai acara itu melibatkan banyak komunitas seni dari berbagai kota. Acara Seribu wajah Pram, misalnya, didukung oleh 53 komunitas dari berbagai penjuru negeri dan melibatkan banyak seniman, antara lain mendiang dalang Tristuti Rachmadi, Djoko Pekik, dan Romo Sindhunata.
 
Setahun lalu, dia menyelenggarakan lomba menulis bagi pelajar setingkat SMP dan SMA se-Kabupaten Blora. Peserta membeludak. Bukan cuma dari kota kecil itu. Tak sedikit pula pelajar dari Kendal, Jember, Denpasar – untuk menyebut beberapa kota – mengikuti lomba. 

Lalu dia, bersama Hermawan Widodo, menyunting naskah para peserta dan menerbitkannya menjadi buku. Buku pertama dari rencana tujuh buku dia beri judul Kumpulan Tulisan Terpilih Karya Anak Semua Bangsa (Pataba Press, Blora: 2011), berisi puisi dan cerpen hasil pilihan lomba menulis tahun 2011.
 
“Untuk menjadi bangsa yang maju, kita harus membangun kebiasaan membaca dan menulis. Dan, perpustakaan ini dengan segala kegiatan pendukungnya menjadi salah komponen pencerdasan bangsa itu,” tutur dia.
 
Apakah gerakan itu bakal tergusur pula? Tergusur oleh kepongahan kekuasaan? Sebagaimana dia sendiri terus-menerus tergusur dalam laku hidup semenjak muda?
 
Dia tak peduli. Sampai hari ini, dia tetap melangkah tanpa henti: untuk mengajak kaum muda gemar membaca dan menulis. Karena itulah, untuk memperingati hari kematian sang kakak sulung, Pramoedya Ananta Toer, bulan April nanti, kini dia melalui Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) menyelenggarakan lagi lomba tingkat nasional menulis prosa dan puisi bagi pelajar SMP dan SMA serta yang sederajat. Dia menyediakan hadiah jutaan rupiah bagi para pemenang serta bakal membukukan naskah pemenang.
 
“Pram dari Dalam”
 
Buku : Pram Dari Dalam
Selain itu, dia juga menulis buku Pram dari Dalam, yang diterbitkan Gigih Pustaka Mandiri (2013). Buku yang dia dedikasikan untuk sang kakak itu berisi tentang banyak kisah kenangan yang mengunjukkan betapa Pramoedya – yang tujuh kali berturut-turut dicalonkan menerima Hadiah Nobel bidang kesusastraan – adalah manusia biasa. Ya, manusia yang memiliki berbagai kelemahan di balik kelebihan yang begitu menggetarkan bukan hanya novelis, melainkan juga sebagai pejuang keadilan dan kebebasan berekspresi. Kesaksian dari sang adik tersayang itu bisa memberikan latar belakang lebih komplet dan mendalam untuk menikmati karya-karya sastra Pramoedya, termasuk tetralogi Pula Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca.
 
“Saya merasa berkejaran dengan waktu. Kini saya sudah 76 tahun. Mungkin tak banyak lagi waktu bagi saya. Namun saya tak akan berhenti menulis. Masih akan ada buku yang saya tulis, termasuk lanjut Pram dari Dalam,” ujar Soesilo Toer.
 
Ya, itulah nama lelaki tua yang masih pengkuh itu. Soesilo, kelahiran Blora tahun 1937, adalah lulusan Universitas Patric Lumumba (S2) dan Institut Plekhanov (S3) – keduanya di Uni Soviet (sekarang Rusia). Menjadi penulis, dosen, bahkan rektor pernah dia alami. Kini dia, yang juga pernah berjualan apa saja, terlebih setelah keluar dari tahanan Orde Baru – tanpa pembuktian kesalahan, berkait dengan peristiwa politik 1965, bangga menyebut diri berprofesi sebagai pemulung. Mungkin dialah satu-satunya orang bergelar doktor yang menjadi pemulung. “Saya memulung apa saja. Saya memulung kata-kata menjadi tulisan. Saya memulung mur, baut, gunting, pisau, palu, arit, atau apa saja yang saya temukan di jalan. Saya ingin, nanti, para peringatan tujuh tahun meninggalnya Pram, memaerkan semua hasil perburuan saya,” ujar dia, tanpa bermaksud bercanda.
 
“Namun saya belum menjadi pemulung profesional. Kalau Anda ingin membantu saya menjadi pemulung profesional, buanglah kalung atau cincin emas Anda dan biarlah saya menemukannya. Menemukan emas sebagai hasil memulung, itulah pertanda sebagai pemulung profesional. Pemulung adalah manusia yang mampu menciptakan nilai tambah absolut dari ketiadaan modal sama sekali,” kata dia, saat syukuran peringatan hari lahir Pramoedya (6 Februari 1924) di Blora, Minggu, 10 Februari lalu.
 
Peringatan hari lahir Pram sekaligus syukuran penerbitan buku Pram dari Dalam itu dihelat di rumah tua warisan Mastoer, sang bapak. Acara bertajuk “Mengenang Pram dari Dalam” itu dihadiri para pembaca dan penggemar karya Pram dari berbagai kota. Ya, berdatangan dari Cepu, Randublatung, Kradenan, Ngawen – semua kota-kota kecamatan di Kabupaten Blora, serta dari Rembang, Pati, Kudus, Semarang, Yogya, dan lain-lain. Di antara kebanyakan kaum muda itu terselip pula beberapa lelaki dan perempuan sepuh. Mereka adalah eks tahanan di Pulau Buru, yang dekat dengan Pramoedya saat berada di pulau pengasingan tersebut.
 
Pada malam itu, mengemuka kesaksian mereka mengenai perjumpaan dengan Pram atau dengan karya sang novelis. Bambang Soekotjo dari Pati, misalnya, menceritakan kedekatan yang terjalin dengan Pram sewaktu di Pulau Buru. Budi Maryono, penulis cum penerbit, berkisah tentang perjumpaan sembunyi-sembunyi dengan karya-karya Pram pada masa Orde Baru berjaya serta perjumpaan dengan Pram secara fisik yang amat membekas dalam kenangan.
 
Berkisah pula Muhammad Burhanudin, dosen Fakultas Bahasa dan seni Universitas Negeri Semarang (Unnes), yang datang bersepeda motor sendirian menembus hujan lebat dari Yogyakarta ke Blora semata-mata untuk menghadiri perhelatan sederhana itu. Ada pula suami-istri muda, yang sedang merintis sebuah perpustakaan publik di Semarang, Afida Mashitoh dan Asep Mufti. Mereka menyatakan amat terinspirasi oleh karya-karya Pram. Dan, lewat pembacaan atas karya-karya Pram pula mereka bisa memahami sejarah bangsa ini secara utuh. Sejarah yang hadir tidak secara sepotong-potong, sejarah yang hadir dengan “tulang dan daging dan darah”.
 
Malam makin larut. Dan ketika acara ditutup. Rumah tua itu tak segera tutup pintu pula. Belasan anak muda dari berbagai kota masih mengobrol dengan tuan rumah, Soesilo Toer. Sebagian menggeletakkan tubuh di atas tikar di ruang tengah, tempat semula mereka berdiskusi: tertidur, kelelahan.
 
Rumah yang selama bertahun-tahun dianggap angker, malam itu riuh oleh percakapan: tentang dunia tulis-menulis, tentang perlawanan terhadap ketidakadilan, tentang harapan hari esok lebih baik di negeri ini. Dan, Soesilo Toer menjadi bagian tak terpisahkan dari geriap anak muda untuk terus menjalani hidup sebagaimana semestinya manusia: tidak memakan sesama.
 

* Gunawan Budi Susanto, penulis kumpulan cerpen Nyanyian Penggali Kubur dan cerita bersambung Ketika Dendam Terbuncang.

 ** Tulisan ini dimuat di SUARA edisi cetak 22 Februari 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar