Rabu, 23 November 2016

Mereka Pekerja, Bukan Pembantu



Menjelang dan setelah kelahiran anak kami (Aku dan Afidah) yang pertama, Madiba Vandana Afias, di awal tahun 2014, pekerjaan-pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci piring dan pakaian, menyetrika dan lain-lain tidak mungkin lagi kami kerjakan sendiri, terutama Afidah yang lebih banyak melakukan pekerjaan itu. Merawat anak menjadi prioritas dan akan sangat sulit dilakukan jika tetap melakukan semua pekerjaan rumah.

Sebagai perantauan, kami tentu tak mudah meminta pertolongan orang tua atau keluarga, karena kendala jarak. Apalagi mengandalkan bantuan tetangga di sebuah pemukiman perumahan di perkotaan. Akhirnya kami memutuskan meminta pertolongan orang lain untuk menggantikan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah.

Banyak orang menggunakan istilah “pembantu” bagi orang-orang yang kami butuhkan ini, belakangan istilah itu oleh kalangan pekerja sosial dianggap kurang tepat, lantaran mereka melakukan pekerjaan itu bukan atas kehendaknya sendiri atau melakukannya tanpa pamrih, tetapi kerena diberikan perintah dan menerima upah atas pekerjaannya, sehingga istilah yang tepat untuk digunakan adalah pekerja rumah tangga atau disingkat PRT.

Selasa, 27 September 2016

Kayo, Menjadi Penduduk Indonesia


Setelah mendapatkan surat pengantar dari Ketua RT.06 yang diketahui Ketua RW.03 di tempat tinggalku, Perumahan Pandana Merdeka, keesokannya aku mendatangi Kantor Kelurahan Bringin, di Jalan Bringin Raya.

Berdasarkan UU Administrasi Kependudukan, aku harus memberitahukan kelahiran anakku paling lama 60 hari atau 2 bulan sejak kelahiran. Anakku yang kedua, Kayana Ontosoroh Afias (Kayo), lahir tanggal 27 Juli 2016, artinya masih dalam tenggat waktu pemberitahuan.

Setibanya di Kantor Kelurahan (Jumat, 9 September 2016)

"bapaknya mau ngurus apa?" tanya ibu petugas di Kelurahan yang usianya kutaksir sekitar 35-36 tahun.

"buat akta kelahiran anak saya, bu"

"anak keberapa, pak?"

"kedua"

"syarat-syaratnya sudah dibawa?"

"sudah saya siapkan. cuma apa aja yang diperlukan ya, bu?"

Selasa, 20 September 2016

Munir Dibunuh, Merawat Ingatan


Tempohari aku tidak bisa ikut dalam pemutaran film dan diskusi seputar Munir (yang pada bulan ini diselenggarakan di beberapa tempat), lantaran waktu kerja di siang hari dan mengasuh anak di malam hari. Meskipun sebenarnya aku pernah menonton salah satu film berjudul 'Kiri Hijau Kanan Merah' di sekitar tahun 2009/2010 di FIB Undip. Film yang bercerita tentang kehidupan Munir.

Nah, untuk tetap merawat ingatan, bahwa Munir telah dibunuh dan belum semua pelakunya diganjar hukuman, aku baca buku karya Wendratama ini. Buku berjudul "Kasus Pembunuhan Munir, Kejahatan Yang Sempurna?" yang diterbitkan Tahun 2009 oleh PT.Gramedia Pustaka Utama.

Wendra menulis buku ini berdasarkan dokumen dan pengamatan atas proses persidangan, juga melakukan wawancara langsung kepada pihak-pihak terkait. Semua itu ia tuangkan dalam sebuah tulisan bergaya novel yang mengalir. 

Jika dalam film aku bisa tahu riwayat kehidupan Munir, dari buku ini aku bisa tahu proses persidangan dan bagaimana konstruksi kasus yang dibangun oleh penuntut umum untuk menuntut Pollycarpus, Muchdi PR dan lainnya.

Mengetahui detik-detik kematian Munir di udara, yang penderitaannya berakhir di dalam pesawat saat berada di atas tanah Rumania, atau sekitar 2 jam sebelum sampai ke tempat tujuannya, Belanda, sungguh amat memilukan. 

Penuntasan kasus pembunuhan Munir adalah ujian sejarah bagi bangsa ini atas penghormatan dan penegakan hak asasi manusia.


-September 2016-

Selasa, 13 September 2016

Kayo, Imunisasi Polio dan BCG


Di harinya yang ke empat puluh, Kayo kami bawa ke Puskesmas Ngaliyan untuk diimunisasi. Kayo diberi imunisasi Polio kedua dan BCG (Bacille Calmette Guerin). Beratnya kini 4 kilo dengan panjang 54 cm. Kayo sudah mulai bisa mengikuti obyek yang dia lihat dengan matanya. 

***
Ayah, 5 September 2016

Madiba, Jatuh Dari Tangga



Dua hari setelah ia ulang tahun, ia jatuh dari tangga belakang rumah. Tak ada yang tahu persis kejadiannya seperti apa, karena mamanya, Afidah, sedang berbicara kepada seseorang di ruang tamu. Yang jelas, akibat jatuh itu kepalanya robek dan mendapat 4 jahitan di RS Permata Medika. Beruntung karena sampai dengan seminggu setelahnya tidak ada tanda-tanda ia terluka di bagian dalam akibat jatuhnya. 

Ia kini sudah banyak mengenal barang atau sesuatu dan bisa diucapkan meski pengucapannya belum sempurna. Dengan permintaan, ia sudah bisa membuang sampah pada tempat seharusnya, meskipun untuk pipis dan BAB belum bisa ke toilet.

Pada malam hari menjelang tidur, ia tak mau berada di kamar tidur, ia selalu mengajakku berada di ruang tengah di depan TV (ia sedang di tempat yang sama ketika aku menulis catatan ini). Lalu ia tertidur di ruang tengah, kemudian aku memindahkannya ke kamar tidur menyusul mama-nya yang biasanya sudah terlebih dulu tidur.

***

Ayah
Rumah, 22 Januari 2016

Minggu, 31 Juli 2016

Kayana Ontosoroh Afias



Pertama kali dalam hidup, aku menyaksikan lahirnya anak manusia.

Rabu, 27 Juli 2016, di ruang persalinan RSUD Tugurejo, istriku Afidah menahan sakit dan mengejan dengan kekuatan yang ia punya, hingga tepat pada pukul 16.50 WIB lahirlah anak kedua kami, berkelamin perempuan, dengan berat badan 3120 gram dan panjang badan 49 cm.

Aku menahan tangis karena terharu saat mendengar tangis bayi itu tak lama setelah dikeluarkan dari rahim ibunya. Tubuhnya masih biru dan banyak dilekati cairan putih saat ditengkurepkan oleh bidan di atas dada ibunya yang masih dalam posisi tertidur.

"Halo, Kayo" sapaku dan Afidah kepada bayi itu.

Senin, 04 April 2016

Guilty By Suspicion, Film tentang Penghancuran Komunisme di Amerika

 
 
Salah satu isu yang menarik perhatianku di Indonesia adalah peristiwa pembantaian massal tahun 1965-1966, pembunuhan orang-orang yang dituduh komunis atau simpatisan komunis. Sejarawan John Roosa, Profesor pada University of British Columbia (UBC), Kanada, yang pernah melakukan penelitian tentang peristiwa itu mengatakan : Identitas bangsa, sistem ekonomi dan politik Indonesia berubah total sesudah 1965*. 
 
Ketertarikanku atas peristiwa itu mengantarkanku pada sebuah film berjudul “Guilty By Suspicion”, film hollywood yang dirilis tahun 1991. Film ini memang tidak bercerita tentang peristiwa 1965-1996 di Indonesia, tetapi menceritakan tentang persoalan yang sama, yaitu PENGHANCURAN KOMUNISME. 
 
*** 
 
SINOPSIS FILM “GUILTY BY SUSPICION”
Tahun 1947, Komite Negara Anti Kegiatan Amerika menyelidiki adanya komunisme di Hollywood. Komite ini mengunakan intelijen untuk mencari informasi terkait orang-orang yang dituduh sebagai komunis. Banyak orang menghindari berurusan dengan komite ini, bahkan rela menjauhi keluarga dan sahabat sendiri ketika keluarga dan sahabatnya itu telah dituduh sebagai komunis. 
 
Komite ini telah memiliki daftar orang-orang yang dituduhnya komunis, komite hanya membutuhkan keterangan saksi-saksi yang menyebutkan nama-nama itu agar dapat mengadili. Bagi orang yang mau diperiksa dan menyebutkan nama-nama itu, ia mendapatkan kebebasan, sebaliknya bagi mereka yang tidak mau bekerja sama akan diganjar penjara dan kesulitan mendapat pekerjaan.
 
David Merrill (diperankan Robert De Niro), seorang sutradara film kembali ke Washington dari Paris untuk urusan pembuatan sebuah film. Sebagai sutradara, Ia begitu terobsesi membuat film hingga menyebabkan ia bercerai dengan istrinya Ruth Millerr (Annete Bening).
 
Kedatangannya di Washington disambut oleh teman-temannya di rumah dengan sebuah pesta. Sahabatnya, Larry (Chris Cooper), yang juga datang malam itu justeru bersikap aneh. Ia menghindari David. Keanehan Larry dikarenakan sebelumnya ia telah bersaksi di komite dan menyebutkan nama-nama terkait, salah satunya istrinya sendiri. 

Menunggu Sidang bersama Cerita "Para Penyintas"



Tidak ada yang lebih menarik untuk dilakukan saat menunggu sidang di pengadilan, selain membaca buku. Kali ini, buku yang menemaniku berjudul "Para Penyintas dari Pamulang hingga Papua", buku berisi 20 cerita yang dikirimkan seorang kawan, Dewi Nova, berdasarkan pesanan kekasihku, Afidah.

Cerita kelima berjudul " Pulang Ke Mana" karya Ramadhani Arumningtyas melanjutkan cerita-cerita sebelumnya yang sudah kubaca. Bercerita tentang kisah Ajeng, gadis belasan tahun yang diperkosa oleh bapak tirinya. Ajeng memutuskan untuk meninggalkan rumah di Tulung Agung. Ia kemudian ditawari temannya pekerjaan di sebuah kafe. Nasib sial menimpa Ajeng, temannya ternyata seorang kaki tangan seorang germo. Terjerumuslah Ajeng dalam dunia prostitusi di lokalisasi Prakla di Bontang.

Setahun kemudian, saat Ajeng baru memasuki usia 16 tahun, Ia mengetahui dirinya terinveksi HIV setelah sebuah LSM melakukan tes kesehatan. Ajeng yang akhirnya bekerja pada LSM yang begerak di isu pemberdayaan perempuan pekerja seks, bercerita kepada rekan kerjanya Dala, kadang Ia merindukan Ibunya, namun yang dirindukan tak pernah mencarinya.

Suatu ketika Ajeng mengetahui ada 2 orang gadis berasal dari Palu yang bernasib sama dengannya, terjebak di lokalisasi Prakla. Mereka, Delsi (16 tahun) dan Angel (15 tahun) meminta kepada Ajeng dan Dala agar bisa dikeluarkan dari tempat itu dan pulang ke rumah. LSM tempat Ajeng bernaung tak mampu membantu lantaran tak punya uang untuk menebus utang Delsi dan Angel kepada germo. Dengan bantuan pendanaan dari Dinas Sosial dan Badan Amil Zakat, Delsi dan Angel akhirnya bisa kembali ke rumahnya di Palu.

Tiga bulan kemudian, melalui telepon Dala menerima kabar dari Ibu Delsi, penjual gorengan. Delsi tidak diterima pihak sekolah lantaran pihak sekolah tahu Delsi pernah bekerja di lokalisasi, Ia tertekan, kemudian kabur dari rumah. Sementara Angel, tidak diterima lagi oleh ibunya yang single parent, lantaran Angel hamil oleh pacarnya.

****

Tiga jam sudah terlewati, sidangku belum juga dimulai. Seluruh persidangan diskorsing karena sudah masuk waktu dhuhur. 

Pengadilan Agama Semarang, 30 Maret 2016