Senin, 11 November 2019

Berwisata Ke Kuala Lumpur Empat Hari Tiga Malam


Kuala Lumpur, Malaysia, jadi pilihan yang masuk akal, ketika punya keinginan berwisata ke luar negeri bersama keluarga, tapi anggaran minim. Karena dari informasi yang kudapat, biaya transportasi pesawat udara sangat terjangkau, bahkan lebih murah ketimbang jalan-jalan ke dalam negeri, seperti Batu-Malang, Bali, apalagi Raja Ampat di Papua Barat. Biaya penginapan di Kuala Lumpur juga lebih murah, dibanding di Singapura.

Aku, istriku Afidah, dan kedua Anakku, Diba (5 tahun 10 bulan) dan Kayo (3 tahun 4 bulan), masing-masing sudah memiliki Paspor. Sebelumnya pengalamanku ke luar negeri pernah pergi ke Arab Saudi saat umroh, Melbourne, Singapura, dan Johor Baru Malaysia. Tiga kota terakhir kukunjungi dalam perjalanan dinas pekerjaanku di Bawaslu. Afidah pernah ke Thailand saat dia masih kerja di LRC KJHAM, lembaga swadaya masyarakat di Kota Semarang yang konsen di isu perempuan. Sementara Diba dan Kayo sama sekali belum pernah ke luar negeri.

Catatan perjalanan ini dibuat, selain untuk memperpanjang ingatan, juga agar dapat dibaca sendiri oleh anak-anak ketika mereka beranjak besar. Selain itu, agar dapat bermanfaat sebagai informasi bagi pembaca yang mampir ke blog. Beginilah cerita kami berwisata ke Kuala Lumpur.

Jumat, 08 November 2019

Potret Lembaga Pengawas dan Penegakan Hukum Pemilu[1]


Oleh: Asep Mufti, Tim Asistensi Divisi Penindakan Bawaslu


Kehadiran lembaga pengawas pemilu dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, telah ada sejak pemilu yang diadakan pada tahun 1982 atau pemilu keempat (sebelumnya telah dilaksanakan Pemilu tahun 1955, 1971, dan 1977) yang dilaksanakan sejak Negara Indonesia berdiri. Sejak kehadirannya, lembaga pengawas selalu menuai kontroversi, banyak pihak yang menilai kinerja lembaga pengawas pemilu tidak maksimal.

Terhadap keberadaan lembaga pengawas tersebut, ada pihak yang mengusulkan agar lembaga pengawas ditiadakan dalam pelaksanaan pemilu atau dibubarkan. Di lain pihak, ada yang berpendapat agar lembaga pengawas diperkuat dan diberi tambahan kewenangan agar kinerjanya menjadi lebih baik. Kedua pendapat tersebut selalu muncul ketika pembahasan rancangan undang-undang pemilu. Pada kenyataannya, lembaga pengawas pemilu masih ada hingga saat ini.

Dalam pelaksanaan Pemilu Tahun 2019, secara kelembagaan, pengawas pemilu semakin diperkuat dengan dipermanenkannya lembaga pengawas tingkat kabupaten/kota. Semula hanya berupa panitia yang sifatnya hanya sementara, diperkuat menjadi Badan. Selain itu ada penambahan jumlah anggota di tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Secara fungsi, pengawas pemilu diberi kewenangan baru yaitu menyelesaikan pelanggaran administrasi pemilu melalui pemeriksaan secara terbuka dengan produk berupa putusan, yang mana terdapat kewajiban bagi KPU untuk melaksanakan putusan tersebut.

Mengingat perkembangan pelaksanaan pemilu semakin kompleks, apakah keadaan lembaga pengawas pemilu dirasa cukup efektif sebagai penegak hukum pemilu yang dapat mendorong pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil? Atau justeru masih banyak kelemahan yang perlu dibenahi?

Penegakan Hukum Progresif


Oleh: Asep Mufti[1]


Baru-baru ini banyak orang terusik dengan apa yang dialami oleh Baiq Nuril, seorang perempuan, mantan guru honorer di sekolah di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Baiq Nuril divonis bersalah oleh lembaga peradilan karena dianggap menyebarkan informasi elektonik yang muatannya melanggar kesusilaan, sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kasus bermula pada tahun 2012[2], saat Baiq merekam perbincangan antara dirinya dengan kepala sekolah tempat dia bekerja. Dalam perbincangan itu, Baiq sebagai perempuan merasa dilecehkan oleh kepada sekolah tersebut. Baiq kemudian memberikan rekaman perbincangan itu kepada teman kerjanya, dan tersebarlah rekaman tersebut. Tidak terima lantaran perbincangannya tersebar, kepala sekolah itu kemudian melaporkan Baiq ke pihak kepolisian. Laporan tersebut diproses.

Pengadilan Negeri Mataram sebenarnya sudah menyatakan Baiq tidak bersalah dan membebaskan dirinya dari segala tuduhan, namun terhadap putusan tersebut, Penuntut Umum melakukan upaya hukum. Pengadilan tingkat banding dan kasasi, justeru memberikan vonis bersalah kepada Baiq Nuril. Baiq mengajukan permohonan Peninjauan Kembali dan ditolak, lalu mengajukan amnesti kepada Presiden Joko Widodo.

Di tengah gencarnya upaya gerakan sosial perempuan yang mendorong adanya pengaturan tentang penghapusan kekeresan seksual, kasus Baiq Nuril semakin menegaskan bahwa perempuan masih menjadi pihak yang rentan mengalami kekerasan seksual. Dalam sudut pandang gerakan perempuan, Baiq merupakan korban, namun pada kenyataannya, dalam penegakan hukum Baiq justeru menjadi pesakitan.

Kasus Baiq, hanya satu dari sekian rentetan kasus yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia, dimana “rakyat kecil” rentan menjadi korban ketika berhadapan dengan proses penegakan hukum. Kita tentu masih ingat, sebelumnya ada kasus yang dialami oleh Prita Mulyani yang juga menjadi pesakitan lantaran melakukan kritik terhadap pelayanan sebuah rumah sakit. Ada juga kasus Manisih, di Batang, Jateng, yang menjadi pesakitan lantaran mengambil kapuk sisa-sisa panen di sebuah perkebunan. Mbok Minah di Banyumas, menjadi pesakitan lantaran mengambil 3 buah kakao.

Terhadap kasus-kasus tersebut, tentu saja menjadi keprihatinan dalam masyarakat dan selalu timbul pertanyaan, adakah yang salah dengan penegakan hukum di Indonesia? Bermula dari keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia, Satjipto Rahardjo (1930-2010), menciptakan sebuah gagasan hukum yang kemudian dikenal dengan isitilah Hukum Progresif. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak ­status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.[3] Sekiranya Satjipto masih hidup, tentu kasus Baiq dan kasus-kasus lain yang disebut di atas, tidak luput dari kritikan begawan hukum tersebut.

Pengaturan Hukum dan Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia[1]


Oleh: Asep Mufti[2]


Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah semakin meluas dan merambah pada berbagai elemen tak terkecuali pada lembaga-lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.

Pada lembaga eksekutif, kasus teranyar adalah kasus yang menjerat Menteri Pemuda dan Olah Raga, Imam Nahrawi. Nahrawi terjerat kasus penyaluran dana hibah pada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Di lembaga legislatif, ada kasus besar seperti kasus KTP elektronik yang menjerat Ketua DPR saat itu, Setya Novanto. Sedangkan pada lembaga yudikatif, terdapat kasus Ketua MK, Akil Mochtar dan Hakim MK lainnya, Patrialis Akbar yang terjerat kasus suap. Belakangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga gencar melakukan operasi tangkap tangan yang menjerat Hakim-Hakim pada pengadilan negeri. Fakta-fakta ini tentu sangat memprihatinkan.

Pada perkembangannya, Korupsi tidak semata-mata merugikan keuangan Negara, namun juga telah melanggar hak hak sosial dan ekonomi masyarakat, bahkan dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime).

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha untuk memberantas tindak pidana korupsi dan menyelamatkan keuangan Negara. Berbagai produk perundang-undangan, lembaga dan tim khusus telah dibentuk oleh pemerintah guna memerangi tindak pidana korupsi sampai ke akar-akarnya demi menyelamatkan perekonomian dan keuangan Negara.

Korupsi merupakan ancaman serius yang tidak saja menyerang sendi-sendi perekonomian nasional suatu Negara, namun dampaknya juga sangat mempengaruhi sistem perekonomian internasional serta melemahkan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai keadilan di semua Negara. Berdasarkan kenyataan tersebut, pemberantasan tindak pidana korupsi bukan merupakan tanggung jawab satu negara saja, namun merupakan tanggung jawab bersama Negara-negara di dunia yang dalam penegakan hukumnya membutuhkan kerjasama internasional[3].

Negara-negara di dunia harus bekerja sama dalam memberantas tindak pidana korupsi, karena kejahatan ini selain bersifat extraordinary crime juga bersifat borderless (tidak memandang batas-batas Negara) dan transnational (lintas Negara). Oleh Karena itu penanganannya juga harus secara global dan transnasional. Namun kerjasama ini tidak semata-mata hanya menghukum para koruptor sehingga menciptakan efek jera (deterrent effect) namun juga diusahakan semaksimal mungkin agar kerugian Negara dapat diselamatkan (asset recovery). Untuk menyelamatkan aset (asset recovery) dalam penanganan tindak pidana korupsi, setiap Negara harus membuka hubungan kerja sama yang lebih luas, tidak hanya dalam penegakan hukum pelakupelakunya tetapi juga dalam mengembalikan asset hasil korupsi yang dilarikan/disembunyikan di wilayah Negara lain[4].