Sabtu, 21 Desember 2019

Buku "Pasangan Calon Melawan Kolom Kosong"



Buku berjudul “Pasangan Calon Melawan Kolom Kosong, Potret Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pati Tahun 2017” ini mengulas tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, khususnya yang terjadi di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, pada Pilkada Tahun 2017.

Buku terbitan CV. Rafi Sarana Perkasa Semarang yang terdiri dari 10 bab dan 106 halaman ini ditulis oleh Abhan (Ketua Bawaslu RI Periode 2017-2022), Asep Mufti (Tim Asistensi Bawaslu), dan Achwan (Anggota Bawaslu Kabupaten Pati). Pada bab awal, buku ini memaparkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015, yang secara hukum menjadi dasar konstitusional penyelenggaraan pilkada dengan satu pasangan calon.

Di bab-bab berikutnya, dipaparkan mengenai situasi pemilihan di Kabupaten Pati serta dinamika yang menyertainya, seperti munculnya pasangan calon tunggal dan gerakan relawan pendukung kotak kosong. Ada beberapa permasalahan yang muncul di lapangan. Di bab akhir, penulis memaparkan perihal proyeksi penyelenggaraan pilkada dengan pasangan calon tunggal.

Buku ini diberikan pengantar oleh Harjono (Ketua DKPP RI) dan Arief Budiman (Ketua KPU RI Periode 2017-2022), serta disunting oleh M. Roffiudin, Wartawan Tempo yang kini menjadi Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Periode 2017-2022.

Buku dapat diunduh melalui link berikut: https://bit.ly/2sbiIwC    

Menyoal Permenag Tentang Majelis Taklim


Oleh: Asep Mufti[1]


Baru-baru ini Menteri Agama Republik Indonesia, Fachrul Razi, menuai banyak kritik dari publik akibat menerbitkan sebuah kebijakan yang mengatur majelis taklim. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 Tentang Majelis Taklim (Permenag). Ketentuan yang banyak dikritik oleh publik adalah ketentuan Pasal 6 ayat (1) Permenag tersebut yang mengharuskan majelis taklim terdaftar pada Kantor Kementerian Agama.

Majelis taklim sesungguhnya sudah ada dan berkembang secara organik dalam masyarakat muslim di Indonesia. Di lingkungan masyarakat, kita banyak menemukan komunitas yang melakukan pengkajian tentang islam dengan cara membaca Al-quran, ceramah, dan lain-lain.

Sekretaris Jenderal PBNU, Helmy Faishal Zaini, menilai Permenag tersebut mengganggu peran majelis taklim di masyarakat. Helmy mengatakan UU Keormasan sudah mengatur pendirian organisasi bagi majelis taklim yang hendak mendaftarkan sebagai ormas. Jadi menurut Helmy, pemerintah janganlah mempersulit dan merepotkan masyarakat.[2]

Terbitnya Permenag tersebut juga disesalkan oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily. Menurut Ace, keluarnya Permenag itu terlalu berlebihan, karena hal itu tidak perlu diatur oleh pemerintah. Selama ini majelis taklim itu sangat tumbuh subur di masyarakat tanpa harus diatur-diatur oleh pemerintah.[3]

Dalam konteks Hak Asasi Manusia, sesungguhnya setiap orang bebas untuk berkumpul dan berserikat, tidak terkecuali di Indonesia, karena hak atas kebebasan tersebut telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28E ayat (3) menyebutkan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Karena hak itu telah dijamin dan diakui oleh negara, maka menjadi kewajiban negara terutama pemerintah untuk melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhinya.[4]

Apakah Permenag yang mengatur majelis taklim tersebut membatasi dan menghambat pemenuhan hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat? Pertanyaan tersebut menjadi permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini. Namun untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui lebih dulu dengan jelas mengenai apa yang menjadi latar belakang pemerintah, khususnya Menteri Agama menerbitkan Permenag tentang majelis taklim dan bagaimananya pengaturannya.  Selain itu, perlu juga diketahui, bagaimana seharusnya peran negara dalam memenuhi hak kebebasan berkumpul dan berserikat.

Menolak Hukuman Mati Dalam RKUHP


Oleh: Asep Mufti[1]


Menjelang akhir masa jabatan keanggotaan DPR RI periode 2014-2019, elemen masyarakat, terutama mahasiswa bergejolak melakukan unjuk rasa di banyak daerah, bahkan sampai merenggut dua nyawa mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara. Peristiwa dan keadaan yang sangat memprihatinkan.

Peristiwa tersebut disebabkan adanya polemik terhadap beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU), baik yang telah disahkan oleh DPR, yaitu UU KPK, maupun RUU lain yang belum disahkan seperti RUU tentang Hukum Pidana (RKUHP), Penghapusan Kekerasan Seksual, Pertanahan dll. Tulisan ini hanya mencoba untuk melihat permasalahan yang menjadi polemik atas RKUHP, khususnya terkait dengan pengaturan hukuman mati.

Niatan bangsa ini memiliki Hukum Pidana Nasional lagi-lagi harus tertunda, mengingat terhadap rancangan yang ada, masih menuai banyak penolakan masyarakat. Meskipun polemik yang berkembang di media massa maupun di media sosial, bagi masyarakat atau setidaknya bagi penulis, tidak cukup memberikan informasi yang cukup untuk betul-betul memahami persoalan sebenarnya.