Sabtu, 18 Agustus 2012

Catatan Perjalanan Jakarta-Bandung Bag. II


[Setelah menikmati suasana Ibukota yang panas dan padat selama 2 hari penuh, Aku dan isteriku Afidah meluncur ke arah tenggara menuju sebuah kota dimana Dewi Sartika – seorang perintis pendidikan untuk kaum perempuan di awal abad 20 -- dilahirkan, Bandung]


Dari Leuwipanjang ke Ciwidey naik angkutan apa ya?

Dua jam lamanya perjalanan yang harus Kami tempuh menggunakan bus sejak meninggalkan Jakarta kemudian melewati jalan tol Cipularang hingga akhirnya sampai di Terminal Leuwipanjang saat Jarum jam menunjuk pada angka 9. Pagi tadi memang tak sempat bagi Kami untuk sarapan, sehingga begitu turun dari bus, warung masakan padang menjadi sasaran.

Usai makan, perut kuberi kesempatan untuk mencerna apa yang sudah kutelan sebelum kembali bergegas. Aku mencoba menghampiri seorang lelaki paruh baya yang sedang berdiri di pintu warung untuk menanyakan rute transportasi.

“Pak, kalo dari sini mau ke Kawah Putih Ciwidey naik angkutan apa ya?” tanyaku pada si bapak.

Yang ditanya menjawab “empat kali naik angkutan, dari sini naik angkutan ke Soreang[1], terus dari Soreang naik angkut ke Ciwidey[2], dari terminal Ciwidey naik angkut lagi ke pintu masuk Kawah Putih, terus naik satu lagi angkutan ke lokasi Kawah Putihnya.”

Aku merasa heran dengan penjelasan si bapak karena informasi yang kudapat dari internet, untuk menuju Kawah Putih dari Terminal Leuwipanjang hanya membutuhkan 2 kali naik angkutan.

“Mending naik kijang aja, bisa langsung ke Kawah Putih” si bapak melanjutkan jawabannya sambil menunjuk sebuah mobil Kijang Avanza berwarna putih.

Mendengar pembicaraan terakhir, seorang bapak berambut gondrong yang sedari tadi duduk di sebuah kursi panjang tiba-tiba menghampiri. “ayo saya antar aja!” kata si bapak gondrong. Rupanya si bapak gondrong ini pengendara mobil Kijang tadi. Sampai disini Aku mulai curiga pada keterangan si bapak yang pertama, sekaligus mengetahui adanya kongkalikong antara 2 bapak yang ada di hadapanku saat ini.

“Berapa ongkosnya?” tanyaku berbasa-basi. “250 ribu aja-lah” jawab si bapak gondrong. “Gila! Mahal amat!” pikirku. “Ntar aja deh pak” tanggapanku atas jasa yang ditawarkan.

Aku dan Afidah akhirnya menghubungi kenalan Kami masing-masing untuk memastikan jalur transportasi yang benar. Afidah mengirim pesan pada kenalannya yang bernama Lusius, sementara Aku menelpon Eka Haryani kawanku yang berasal dari Cianjur, juga kawan sekelasku pada saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

“Halo Sep,” terdengar suara Eka dari telpon genggam.

“halo Ka, apa kabar? Ganggu gak nih?” sapaku pada Eka.

“Baik, gak apa-apa. Ada apa sep?”

 “Kamu pasti pernah ke Kawah Putih kan Ka, Aku ama Isteriku lagi di Bandung di Terminal Leuwipanjang. Dari sini ke Kawah Putih naik apa ya ka?”

Informasi yang kudapat dari Eka : ada 2 pilihan angkutan untuk menuju ke Terminal Ciwidey dari Terminal Leuwipanjang, Bis dan Mobil Elf. Setelah sampai Ciwidey naik angkot sekali lagi ke Kawah Putih. Ongkos yang harus dikeluarkan untuk masing-masing angkutan sekitar 5 ribu.

Afidah ternyata mendapat keterangan dari Lusius yang hampir sama kudapatkan dari Eka. Segera saja Kami bergegas. Ketika Kami hendak beranjak menuju angkutan dari warung, ternyata si bapak gondrong masih menunggu keputusanku apakah mau terima jasanya atau tidak. “gimana jadi pake Kijang gak?” tanyanya. “gak ah pak” jawabku.

Setelah berjalan-kaki sebentar di terminal, Kami menemukan tempat di mana tedapat angkutan-angkutan dengan Jurusan Ciwidey. Ada bus dan ada juga Mobil Mitsubishi L-300 [bukan mobil Elf seperti yang dibilang Eka]. Kami memilih L-300 yang nampak akan segera berangkat. Saat perjalanan, di dalam Mobil aku bertanya kepada penumpang lain soal ongkos yang harus kubayar pada sopir dan angkutan apa yang harus kunaiki dari terminal Ciwidey agar aku bisa sampai di kawah putih. Ternyata aku harus membayar sebesar 6 ribu/orang dan itu Kami bayarkan setelah Kami sampai Terminal Ciwidey, sebuah terminal yang terletak di dekat pasar.

Perjalanan dari Terminal Leuwipanjang ke Terminal Ciwidey ditempuh selama 1,5 jam. Setelah itu Kami naik angkutan Carry berwarna kuning.


Menunggu Penumpang lain agar ongkos lebih murah [?]

Setelah Carry Kami tumpangi, mobil tak kunjung meluncur. “Nunggu penuh dulu ya a’, biar ongkosnya murah” kata si Sopir yang nampak masih muda.

Aku masih belum mengerti apa yang dia maksud. Sambil menunggu penumpang lain, si Sopir yang ternyata bernama Cepi menawarkan untuk mengantar sampai lokasi Kawah Putih dan ongkos yang akan Kami bayar kepadanya sudah termasuk tiket masuk. Sebetulnya bisa saja naik angkutan dan turun di pintu masuk Kawah Putih, tapi Kami harus beli tiket masuk sendiri sebesar 12 ribu/orang dan naik angkutan lagi menuju lokasi Kawah Putih-nya. Persoalanya kata Cepi, angkutan dari pintu masuk ke lokasi kawah terkadang menunggu lama karena harus menunggu penumpang penuh, klo tidak penuh harus bayar mahal. Logikanya, berarti lebih baik diantar sampai lokasi daripada memilih perjalanan sambung-menyambung dengan disertai ketidakpastian.

Ketika belum selesai kupikirkan benar atau tidaknya keterangan Cepi, akhirnya Kami mendapatkan 3 penumpang baru dengan tujuan yang sama. Aku seolah-olah ikut senang dengan adanya 3 penumpang tersebut, karena itu berarti ongkos yang harus kubayar lebih murah. Carry kuning pun akhirnya meluncur.

Aku dan Afidah berkenalan dengan ketiga penumpang lain. Ternyata mereka bertiga adalah mahasiswi dari Universitas Hasanudin Makasar yang sedang kursus bahasa Jepang di daerah Pare -- sebuah kampung yang terkenal dengan sebutan kampung inggris – di Kediri Jawa Timur. Dari Pare mereka memang sengaja berlibur ke Bandung.

Sebelum jauh meninggalkan Terminal Ciwidey untuk menuju lokasi Kawah Putih, Cepi menepikan mobil persis di depan sebuah minimarket. “Klo mau beli makanan di sini aja, klo di atas [di sekitar lokasi kawah putih] mahal” Cepi memberi informasi sekaligus saran. Kami-pun segera turun dan berbelanja secukupnya. Usai berbelanja, mobil kembali meluncur.
Di sela-sela perkenalan Kami dalam perjalanan, sambil mengemudi Cepi memberikan info-info menarik terkait wisata kawah putih, Kami-pun serasa terhipnotis mendengarkan keterangannya, hingga hampir lupa menanyakan soal berapa ongkos yang harus Kami bayar.

Di tengah perjalanan Cepi kembali menepikan mobil untuk melakukan tawar-menawar ongkos. Cepi menawarkan sebesar 60 ribu/orang untuk transportasi pulang pergi Ciwidey-Kawah Putih-Ciwidey termasuk tiket masuk. Aku tawar biaya itu yang akhirnya menjadi 55 ribu/orang, itupun khusus untuk Aku dan Afidah, karena setelah dari Kawah Putih Kami langsung menuju Bumi Perkemahan Ranca Upas yang letaknya tidak jauh dari pintu masuk Kawah Putih atau tidak kembali ke Ciwidey. Sementara kenalan baru Kami tetap membayar 60 ribu/orang. Tawar-menawar selesai dengan kemenangan ada di tangan Cepi, karena cuma Aku dan Afidah yang bisa menurunkan biaya ongkos, itupun Cuma 5 ribu.


Kawah Putih

Dari pintu masuk tempat di mana tiket dibeli, ternyata lokasi Kawah Putih masih harus ditempuh sejauh sekitar 5 km dengan jalan menanjak dan agak berbahaya karena ruas jalan sangat sempit meskipun beraspal. Akhirnya jam setengah 1 Kami sampai di areal parkir lokasi Wisata Kawah Putih.

Sebelum Kami berpisah dan mendekat lagi ke lokasi kawah yang ditempuh dengan berjalan kaki, Aku, Afidah, 3 kawan Makasar dan Cepi membuat kesepakatan akan bertemu lagi di areal parkir sekitar jam 2.

Untuk menuju lokasi kawah dari areal parkir Kami harus berjalan sekitar 300 meter. Lantai tempat berjalan kaki terbuat dari paving, cukup terlihat rapih. Di lokasi kawah yang mengandung belerang yang baunya menyengat, masker [penutup hidung dan mulut] memang menjadi kebutuhan, sehingga waktu mulai berjalan kaki, Aku melihat  banyak pedagang sedang menjajakan masker.

Sebelum lebih mendekat ke lokasi kawah yang ditempuh dengan menuruni anak tangga, Aku melihat 2 baliho besar yang menjelaskan riwayat kawah putih dan asuransi. Aku tertarik dengan baliho yang pertama yaitu tentang riwayat Kawah Putih yang memberi informasi sebagai berikut :

“Gunung Patuha oleh masyarakat Ciwidey dianggap sebagai gunung tertua. Namun konon Patuha berasal dari kata Pak Tua [Sepuh], sehingga masyarakat menyebutnya dengan gunung Sepuh. Lebih dari seabad yang lalu, puncak gunung patuha dianggap angker oleh masyarakat setempat sehingga tak seorangpun berani menginjaknya. Oleh karena itu, keberadaan dan keindahannya pada saat tersebut tidak sempat diketahui orang.

Menurut keterangan, Gunung Patuha pernah meletus pada abad X sehingga menyebabkan adanya kawah [Crater] yang mengerikan di sebelah puncak bagian barat.  Kemudian pada abad XII kawah di sebelah kirinya meletus pula,yang kemudian membentuk danau yang indah.

Sejarah Kawah berawal dari tahun 1837, seorang Belanda peranakan Jerman bernama Dr. Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864) mengadakan perjalanan ke daerah Bandung Selatan. Ketika sampai di kawasan tersebut, Junghuhn merasakan suasana yang sangat sunyi dan sepi, tak seekor binatangpun yang melintasi daerah itu. Ia kemudian menanyakan masalah ini kepada masyarakat setempat, dan menurut masyarakat; kawasan Gunung Patuha sangat angker karena merupakan tempat bersemayamnya arwah para leluhur serta merupakan pusat kerajaan bangsa jin. Karenanya bila ada burung yang lancang berani terbang di atas kawasan tersebut, akan jatuh dan mati.  

Meskipun demikian, orang Belanda yang satu ini tidak begitu percaya akan ucapan masyarakat. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya menembus hutan belantara di gunung itu untuk membuktikan kejadian apa yang sebenarnya terjadi di kawasan tersebut. Namun sebelum sampai di puncak gunung, Junghuhn tertegun menyaksikan pesona alam yang begitu indah di hadapannya, dimana terhampar sebuah danau yang cukup luas dengan air berwarna putih kehijauan. Dari dalam danau itu keluar semburan lava serta bau belerang yang menusuk hidung. Dan terjawablah sudah mengapa burung-burung tidak mau terbang melintasi kawasan tersebut…”  


Di dekat baliho tersebut terdapat sebuah saung yang dinamakan “Saung Kecapi”, saung yang sedang diduduki seorang bapak tua berbadan kecil sambil memainkan sebuah kecapi tua.

Usai membaca baliho dan melihat bapak tua memainkan kecapi, Aku berbalik ke kiri dan melihat peringatan yang tertulis di sebuah kayu persis di dekat anak tangga yang menurun menuju lokasi kawah berbunyi “Dalam kondisi normal kunjungan max. 15 menit. Dalam kondisi darurat, mual, pusing, tenggorokan kering, segera meninggalkan area pusat kawah.”

Bersama Afidah bergaya di Lokasi Kawah Putih
Air berwarna putih kehijauan berpadu dengan putihnya batu kapur, juga dihiasi pohon-pohon yang hanya menyisakan batang dan ranting, serta dikelilingi tebing dan hijaunya hutan, semuanya nampak begitu indah. Ah, lebih mudah menikmati keindahannya daripada menggambarkan melalui tulisan. “Keren!!” itu kata yang bisa mewakili kesanku atas keindahan Kawah Putih. Tapi bagi yang tidak suka mencium bau belerang, tentu kawah putih bukan pilihan wisata yang menarik.

Setelah merasa puas menikmati keindahan Kawah Putih, Aku dan Afidah bergegas naik dari lokasi kawah menuju areal parkir. Sampai di areal parkir Aku melihat sebuah bangunan kecil yang dinding-dindingnya terbuat dari kayu. Di dinding depan bangunan itu tertulis “Information Center”, di dalamnya terdapat satu orang petugas. Kami sempatkan untuk mengunjungi bangunan itu. Begitu masuk Kami langsung melihat sebuah etalase kaca yang di dalamnya terdapat berbagai jenis bebatuan dan belerang, serta gambar-gambar lokasi wisata yang tergantung di dinding.

Kawah Putih segara Kami tinggalkan untuk menuju Bumi Perkemahan Ranca Upas.


Menghemat Biaya, Bermalam di Ranca Upas

Sejak di Semarang, Aku dan Afidah memang memikirkan soal biaya pengeluaran, karena anggaran wisata Kami memang terbatas. Penginapan adalah salahsatu kebutuhan yang memerlukan biaya cukup besar. Sehingga sebelum berangkat, melalui internet Kami mencari informasi penginapan murah yang terdekat dari lokasi kawah putih.

Bumi Perkemahan Ranca Upas akhirnya menjadi pilihan Kami untuk menginap dengan beberapa pertimbangan ; Pertama, kebetulan Aku dan Afidah baru saja membeli sebuah tenda dan satu kantung tidur [sleeping bag], jadi dengan berkemah di Ranca Upas, Kami hanya mengeluarkan biaya untuk tiket masuk saja, dan dengan demikian tujuan penghematan bisa berhasil. Kedua, Ranca Upas Kami anggap sebagai tempat wisata yang perlu dikunjungi.

Seperti telah kusampaikan sebelumnya, letak Bumi Perkemahan Ranca Upas tidak terlalu jauh dari pintu masuk Kawah Putih. Cepi mengantar Aku dan Afidah sampai di depan gerbang bumi perkemahan, sementara Cepi dan 3 orang kenalan baru Kami meneruskan perjalanannya ke Terminal Ciwidey.

Kesejukkan udara di Ranca Upas begitu terasa dibandingkan Kawah Putih, bahkan terasa amat dingin. Ketika berada di loket pembayaran tiket masuk, petugas menanyakan tujuan kedatangan Kami,

ingin camping semalam” jawabku pada petugas.

“sekalian mau menyewa tenda?” petugas menawarkan.

“enggak a’, kita sudah bawa tenda sendiri”

“Tiga puluh ribu” petugas memberitahu biaya yang harus Kami bayar. Rincian biayanya sebagai berikut : Tiket masuk 5 ribu/orang dan Camping 10 ribu/orang.

Seperti juga Lokasi Wisata Kawah Putih, pengelola Bumi Perkemahan Ranca Upas adalah Perum Perhutani, sebuah perusahaan milik negara yang diberi mandat mengelola kawasan hutan, juga perusahaan yang kerap bermasalah dengan masyarakat sekitar hutan khususnya petani.

Dari loket pembayaran tiket masuk menuju ke dalam, Kami berjalan kaki dan melihat areal camping berada di sebelah kanan, namun Kami belum berencana mendirikan tenda karena berniat untuk melihat-lihat lokasi terlebih dahulu. Kami terus berjalan kaki sekitar 100 meter sampai pada sisi kanan jalan Kami melihat terdapat mushola dan toilet, setelah itu ada sebuah kantor pengelola yang sekaligus dipakai sebagai pemondokan yang dapat disewakan. Sementara di sisi kiri terdapat area outbond, selanjutnya terdapat pemandian air hangat dan waterboom, sebelahnya lagi terdapat tempat penangkaran rusa.

Kami singgah di kantor pengelola untuk menitipkan barang-barang yang Kami bawa [2 tas ransel, 1 tenda dan 1 kantung tidur] agar lebih leluasa melihat lokasi-lokasi yang ada.

Persis di sebelah belakang kantor, terdapat deretan warung yang berjumlah 15 bangunan. Warung-warung itu menjual segala jenis makanan dan minuman, kayu bakar serta menyewakan juga peralatan camping seperti kantung tidur atau selimut.

Menurut Ibu Dasimah – salah satu pemilik warung yang Kami ajak bicara ketika minum kopi di warungnya – warung-warung tersebut dibuat dan dimanfaatkan oleh karyawan-karyawan perhutani yang konon dianggap memiliki pengabdian terhadap perusahaan, itu-pun dengan tetap membayar uang sewa kepada perhutani. Pengabdian yang dimaksud Bu Dasimah salahsatunya seperti memberikan tenaga dengan cuma-cuma untuk menanamkan pohon-pohon milik perhutani.

Di belakang deretan warung-warung terdapat kebun buah strawberry yang tanamannya dimiliki dan dikelola oleh masyarakat. Tetapi hasil panennya harus diserahkan beberapa bagian kepada pihak Perhutani, alasannya adalah karena tanah yang dipakai milik Perhutani. “Tuan tanah gaya baru yang kini berbentuk perusahaan bernama Perhutani,” pikirku.

Kebun Strawberry
Ketika Kami sudah memperkirakan tempat yang akan di pakai untuk mendirikan tenda yaitu di areal camping yang dekat mushola dan toilet, tiba-tiba hujan turun deras membuat rumput menjadi basah sekaligus membuat Kami tambah menggigil. Menunggu hujan reda, Kami berteduh di kantor pengelola.

Sore menjelang waktu magrib hujan baru mereda, Aku mulai ragu untuk mendirikan tenda di atas rumput, sehingga aku mencari tempat lain yang lebih baik. Ketika Aku dan Afidah sedang menikmati jagung bakar di dekat kantor pengelola, aku meminta ijin kepada petugas yang sedang lewat untuk diperbolehkan mendirikan tenda di atas panggung tempat penangkaran rusa.

“Pak, bolehkah saya mendirikan tenda di atas tempat penangkaran rusa? soalnya rumput basah pak” permintaanku pada petugas. “boleh..boleh, silahkan” jawabnya.

Menurut informasi yang ada di lokasi, usaha penangkaran rusa merupakan salahsatu upaya konservasi jenis fauna melalui perbanyakan anakan sekaligus untuk pemanfaatan secara langsung [daging, kulit maupun bagian lainnya] maupun tidak langsung [sebagai obyek atraksi wisata].

Melihat-lihat Penangkaran Rusa
Penangkaran rusa Ranca Upas dibangun pada tahun 1980, rusa yang ditangkar pertama kali sejumlah 7 ekor dari kebun raya ragunan Jakarta. Jumlah rusa kemudian berkembang dan dikirim ke Ciamis pada tahun 1987 dan Cariu Bogor pada tahun 1993. Saat ini tersisa 12 ekor rusa.

Hari mulai gelap ketika Kami mulai mendirikan tenda di atas tempat penangkaran rusa yang berbentuk panggung. Tempat yang tepat untuk mengurangi dinginnya suhu Ranca Upas yang Kami rasakan. Meski demikian, Aku tetap merasa khawatir, “jangan-jangan rusa naik ke atas dan mengobrak-abrik tenda. Uuh mengerikan!” khayalanku.

Di atas tempat Penangkaran Rusa
Malam yang sangat dingin Kami lewati berdua di dalam tenda. Kami mencoba saling berpelukan menciptakan hangat untuk melawan rasa dingin itu. “Gila, dingin bangeeeet,” saat itu Aku berharap agar fajar segera datang. Kami-pun mencoba untuk tidur. Afidah memasukkan tubuhnya dalam kantung tidur, sementara aku mencoba menutup semua bagian tubuhku dengan menggunakan jaket, sarung [badan dan tangan] serta kaus kaki. Malam itu akhirnya dapat kulewati tanpa tidur nyenyak.

Setelah berkemas-kemas, paginya Kami menikmati hangatnya sinar matahari sambil berfoto-foto ria di areal outbond. Rumah pohon yang ada disitu adalah tempat yang paling Kami sukai.

Usai mengambil gambar dengan kamera poket, Kami-pun bergegas pulang menuju Kota Bandung kembali.


Kehabisan Tiket Kereta di Stasiun Bandung

Dari Ranca Upas Kami naik angkutan carry dengan ongkos 6 ribu/orang. Kami turun di terminal Ciwidey dan melanjutkan perjalanan menggunakan mobil L-300 menuju Terminal Leuwipanjang. Dari Leuwipanjang Kami naik bus Damri [jurusan dago] menuju Stasiun Kereta Bandung untuk memesan tiket dengan keberangkatan besok malam atau tanggal 14 Juli 2012.

“Untuk tanggal 14, tiket sudah habis pak” kata petugas yang ada di stasiun.

Petugas memintaku untuk datang besok [sabtu] pagi-pagi untuk kembali mengecek apakah ada tiket penumpang yang dibatalkan, bila ada maka Kami punya kesempatan untuk mendapat tiket. Di saat-saat rasa lelah masih Kami rasakan, kabar habisnya tiket membuatku kecewa, karena perjalanan pulang akan tidak sesuai dengan yang direncanakan. Sebelumnya, rencana Kami ketika pulang ke Semarang dari Bandung adalah menggunakan Kereta Bisnis dengan alasan Kami akan cukup beristirahat di dalam kereta. Akhirnya Kami memilih mencari makan sebelum memikirkan lebih lanjut.


Mendapat Penginapan Murah

Usai makan di warung masakan sunda di depan stasiun yang harganya menurutku mahal dan tidak begitu enak, Kami kembali ke stasiun. Kali ini bukan untuk memesan tiket, tapi menuju ke pusat informasi yang ada di situ untuk menanyakan tempat penginapan murah dan pemesanan tiket travel jurusan Semarang. Informasi yang Kami dapat dan akhirnya terpakai adalah info Travel Nusantara yang terletak di Jalan RE Martadinata atau Jalan Riau.

Dari stasiun sebetulnya Aku berniat ingin ke Jalan Riau untuk memesan tiket tetapi mampir sebentar di Jalan Braga. Kami jalan sebentar untuk mencari angkutan di sekitar Stasiun yang akan melewati Jalan Braga.

Ternyata Kami hanya memerlukan waktu sebentar, ketika angkutan berwarna hijau berhenti persis di Jalan Braga. Dengan membawa rasa lelah, kami menyusuri jalan yang bangunan-bangunan di sisi kiri-kanannya sangat klasik. Konon model bangunannya mirip dengan bangunan yang ada di eropa. Kami berhenti di sebuah perempatan antara Jalan Braga dan Jalan Naripan [dekat gedung Yayasan Kebudayaan].

Di perempatan itu, Aku bertanya rute angkutan menuju Jalan Riau kepada seorang polisi dan kepada Tukang Becak. Kami meminta Tukang Becak yang akhirnya Kami ketahui bernama Iwan [asal Cilacap] untuk mengantar Kami ke Jalan Karapitan -- jalan dimana Kami dapat menemukan angkutan menuju Jalan Riau.

Di perjalanan ketika naik becak menuju Jalan Karapitan, ternyata Pak Iwan memberikan informasi soal penginapan murah yang letaknya tidak jauh dari situ. Tanpa pikir panjang, Kami pun meminta Pak Iwan untuk berputar arah mencari penginapan dan membatalkan tujuan ke Jalan Karapitan.

Pak Iwan membawa Kami ke Jalan Dalem Kaum [dekat alun-alun], Kami sempat berhenti di sebuah hotel untuk menanyakan harga menginap semalam. Karena mahal, akhirnya Pak Iwan membawa Kami ke hotel lain yang terletak di Jalan Pangarang.

Aku masuk ke sebuah Hotel yang bernama “Nandya”, hotel kecil yang mempunyai tiga lantai. Penjaga hotel bilang banyak kamar yang kosong dan Aku mengecek salahsatu kamar dan memesan satu dengan biaya 95 ribu semalam. Aku mendapat kamar nomor 27 yang berada di lantai 3.

Setelah memesan, Aku keluar hotel menemui Afidah dan Pak Iwan yang masih menunggu di luar. Aku mengajak Afidah untuk masuk dan berterimakasih kepada pak Iwan serta memberikan uang 25 ribu sebagai pengganti jasanya. Akhirnya Aku dan Afidah dapat merebahkan tubuh Kami masing-masing dan membersihkannya sebelum pergi kembali untuk mencari Travel Nusantara di Jalan Riau.


Dari Jalan Riau sampai Jalan Asia-Afrika

Menjelang sore setelah Kami menyempatkan diri untuk mandi dan istirahat sejenak di kamar hotel, Kami-pun meluncur menuju Jalan Riau dengan menggunakan angkutan umum.

Di Jalan Riau. Kami turun persis di perempatan depan Kantor Pos. Sebelum mencari alamat travel, beberapa factory outlet [FO] Kami hampiri. Sepanjang Jalan Riau memang dipenuhi dengan FO.

Afidah mulai mencari barang-barang bagus dan unik yang diproduksi secara terbatas. “Mba ada gak baju yang diproduksinya terbatas?” pertanyaanku pada setiap penjaga FO yang kami hampiri. Namun setelah manghampiri satu FO ke FO lainnya yang dicari-cari tidak ditemukan. Semua barang dagangan nampak biasa, semuanya diproduksi secara massal. Akhirnya tak satupun barang Kami beli.

Setelah menyusuri Jalan Riau sampai sejauh 1 km ke arah timur, Kami menemukan tempat travel yang Kami cari. 2 tiket langsung Kami beli untuk perjalanan ke Semarang pada malam minggu tanggal 14 Juli 2012 menggunakan Mobil Mitsubhisi L-300.

Dari tempat pemesanan travel, Kami mencoba menghabiskan waktu untuk berputar-putar Kota Bandung. Dari Jalan Riau Kami berjalan kaki menuju area gedung Pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat. Ada salah satu ujung atap gedungnya yang berbentuk sate, barangkali itu kenapa disebut Gedung Sate. Di depan Gedung Sate, terdapat lapangan Gasibu yang sedang dibangun tenda-tenda, nampak seperti persiapan sebuah event.

Gedung Sate Kami tinggal untuk menuju ke alun-alun Kota Bandung. Kami naik angkutan umum dan berhenti di persimpangan antara Jalan Diponegoro dan Jalan Ir. H Juanda [Jalan Dago]. Dari perempetan ini, sebetulnya Kami harus melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkutan umum lainnya ke arah selatan menyusuri Jalan Dago , tetapi Kami memilih untuk berjalan kaki menyusuri jalan karena itu lebih cepat dari pada naik angkutan. Kok Bisa? Sepanjang jalan mobil merayap seperti semut, hanya bedanya semut tidak mengeluarkan asap yang menyebabkan polusi. Jalan Dago maceeeet!!.

Kaki terus melangkah ke selatan melewati Bandung Indah Plaza [BIP]. “ah, yang namanya mall pasti begitu-begitu aja” pikirku saat melewati BIP. Afidah sempat berhenti untuk mencoba sebuah topi yang dijual pedagang kaki lima di depan BIP, karena harga yang ditawarkan terlalu mahal, Kami hanya mengucapkan terimakasih pada si pedagang.

Setelah melewati BIP, jalan terlihat longgar. Kami terus berjalan sampai timbul pertanyaan dalam pikiran “alun-alunnya di mana ya? Kok kayaknya masih jauh”. Daripada tersesat, maka bertanya adalah tindakan yang sangat tepat. Di dekat sebuah perempatan Kami bertanya pada seorang bapak pedagang,

“Pak, alun-alun dari sini masih jauh ya?”

‘Jauh, naik angkot aja yang warna ijo”

Kami-pun mengikuti anjuran si bapak, menyetop sebuah angkutan umum [kijang] yang berwarna hijau. Setelah angkutan berputar-putar, Kami-pun berhenti di depan sebuah Mall [aku lupa namanya] dekat dari alun-alun. Jalan kaki lagi menusuri keramaian. Disini ternyata banyak ditemukan Distribution Outlet [Distro], tapi Distro yang Kami lihat banyak menjual kaos atau pernak-pernik musik metal.

Alun-alun yang Kami temukan ternyata sebuah halaman Masjid Raya yang dipenuhi bermacam–macam pedagang, nampak semerawut dan banyak sekali sampah tercecer.

Di alun-alun Kami tidak singgah dan memutuskan untuk langsung pulang ke penginapan yang letaknya tidak jauh dari alun-alun. Perjalanan Kami tempuh dengan berjalan kaki melewati Jalan Asia-Afrika. Kami sempat berhenti sejenak di Gedung Merdeka atau Museum Konferensi Asia-Afrika sebelum akhirnya Kami sampai di depan gang Jalan Pangarang, jalan dimana tempat penginapan Kami berada.


Kehidupan Malam di sekitar penginapan

Sampai di depan gang Jalan Pangarang, aku baru menyadari banyak tempat karaoke atau diskotik di situ. Lampu kedap-kedip berwarna-warni menghiasi tempat karaoke ditambah plang-plang karaoke-massage dan iklan bir.

“eh, kok banyak tempat karaoke ya bun?” tanyaku heran pada Afidah. “Jangan-jangan di sini sama kayak Sunan Kuning[3] aku mencoba menduga.

Sebelum masuk ke Jalan Pangarang, Kami berbelok ke arah kiri mencari warung makan. Kami berhenti di sebuah warung yang berdekatan dengan tempat karaoke. Kamipun memesan 2 porsi nasi dengan lauk ikan bawal goreng plus cah kangkung, Hmmm, menu makan malam yang mantap!!

Sambil menunggu makanan siap disajikan, aku membuka internet dari telepon genggamku. Kali ini bukan untuk membuka facebook seperti yang biasa kulakukan, tetapi membuka mbah google untuk mencari info terkait kehidupan malam di Jalan Pangarang, ini kulakukan untuk mencari konfirmasi atas dugaanku.

Mbah Google mulai melacak, hasilnya ternyata tidak banyak. Sebagian besar informasi berupa hal-hal umum, tetapi ada satu link yang setelah kubuka ternyata berisi catatan pengalaman seseorang yang pernah menginap di daerah Jalan Pangarang. Di dalam catatanya si penulis bercerita bahwa dirinya melihat banyak cewek-cewek berbaju seksi ketika dirinya menginap di daerah Pangarang, si penulis mengira daerah tersebut sama seperti daerah Saritem. Ternyata pengalaman si penulis sama dengan pengalamanku saat itu.

“Jangan-jangan hotel tempatku menginap sering dipakai untuk ‘begituan’ ya” begitulah pikiranku malam itu.

Diselimuti pikiran semacam itu, membuat Aku dan Afidah mulai menduga-duga ketika melihat bercak-bercak di tembok kamar tidur Kami. Afidah menduga itu darah, sementara aku menduga itu hanya kotoran biasa. Malam itu berhasil Kami lewati dengan tidur nyenyak.

Kami bangun keesokannya ketika hari sudah terang-benderang. Kami lalu bergegas untuk menikmati hari kedua [14 Juli 2012] di Kota Bandung.

Usai berkemas dan melumat sarapan yang disediakan pihak hotel [roti bakar dan teh hangat], Kami turun ke bagian resepsionis untuk menyerahkan kunci kamar [cek-out].

Pikiranku masih di selimuti tentang kehidupan malam di daerah Jalan Pangarang, sehingga sambil menyerahkan kunci pada petugas hotel, aku bertanya-tanya pada si petugas.

“a’ daerah sini banyak cewek-cewek ya?” tanyaku pada si petugas hotel.

“cewek yang bisa ‘dipake’ maksudnya?” si petugas tahu yang kumaksud.

Dari obrolan tersebut aku mendapat informasi sebagai berikut : Di sekitar Jalan Pangarang memang merupakan tempat prostitusi ‘terselubung’, dalam artian tidak terbuka seperti Saritem. Germo atau mucikari biasanya berada di tempat karaoke atau diskotik. “Perempuan-perempuan malam” yang ada merupakan pendatang yang indekos di daerah Pangarang. Orang-orang kampung atau induk indekos mengetahui profesi mereka dan tidak ambil pusing, namun mereka tidak memperbolehkan persenggamaan dilakukan di kos.


Berkunjung ke Ultimus 

Kunci kamar sudah Kami serahkan, petugas hotel memberi petunjuk kepada Kami agar naik angkutan umum sebanyak 2 kali : pertama, dari Jalan Dalem Kaum menuju Jalan Karapitan. Kedua, dari jalan Karapitan menuju Jalan Jakarta. Aku dan Afidah mencari keberadaan Ultimus, tempat penerbit sekaligus penjualan buku-buku yang memiliki nilai perlawanan, yang banyak orang menyebutnya dengan “buku-buku kiri”.

Ultimus terletak di Jalan Rangkasbitung No.2A yang bersebelahan dengan sebuah perguruan tinggi [STMIK/AMIK]. Seingatku Ultimus merupakan rumah pertama di sisi kanan Jalan Rangkasbitung. Spanduk bertuliskan ‘Ultimus’ yang terpasang di belakang pintu gerbang membantu Kami menemukan rumah itu. Tidak nampak seperti seperti toko buku, malah seperti rumah yang lama tidak terawat.

Kami ditemui sosok laki-laki berkacamata, berkaos hitam dan berambut gondrong yang memperkenalkan dirinya bernama Denai. Kami melakukan perbincangan dengan Denai sambil melihat-lihat buku yang terpajang di ruang paling depan. Ultimus ternyata akan segera pindah tempat ke Gedung Indonesia Menggugat. Itu kenapa saat itu banyak terlihat dus-dus yang berisi buku.

Dengan keramahannya Denai menawarkan Kami minum. Meskipun rumah nampak kotor, namun keramahan Denai membuat Kami menjadi nyaman, hehe. Teh hangat adalah pilihan Aku dan Afidah.

Di ruang tengah Kami menikmati teh yang disediakan. Denai memperkenalkan Kami kepada seseorang yang bernama Bilven. Kata Denai, Bilven merupakan salah satu pendiri Ultimus. Ia-pun sosok yang ramah.

Usai berbincang, melihat-lihat perspustakaan dan membayar beberapa buku yang Kami beli, Aku dan Afidah berpamitan.


Beli oleh-oleh di Cihampelas

Ultimus Kami tinggalkan untuk menuju tempat travel. Hari masih siang, sementara jadwal keberangkatan travel jam 7 malam. Kami masih punya waktu meski Kami tak lagi punya banyak uang. Barang bawaan Kami titipkan di tempat travel, kemudian Kami bergerak mencari dan membeli oleh-oleh untuk kawan-kawan di Semarang,

Kami menyusuri Jalan Riau tetapi tak menemukan oleh-oleh. Akhirnya Kami meluncur munuju Cihampelas berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh seseorang yang Kami tanya.

Di Jalan Cihampelas yang sempit dan dipadati ribuan orang, Kami menemukan pedagang tape peyem dan sebuah toko yang menjual beraneka ragam oleh-oleh. Kami membeli tape peyem, pisang selai, dan keripik tahu untuk Kami boyong ke Semarang sebagai oleh-oleh.


Pulang Ke Semarang

Dari Cihampelas Kami naik angkutan yang benar tapi keliru arah. Seharusnya Kami naik angkutan yang arahnya ke Selatan [ke arah Jalan Riau], tapi Kami justeru naik yang ke arah utara [ke arah lembang]. Weleh..weleh.. maklumlah, namanya juga wisatawan, hehe. Beruntung aku tidak malu bertanya. Si bapak sopir akhirnya menurunkan Kami di pinggir jalan sekitar Jalan Setiabudi, kemudian menyebrang dan naik angkutan yang ke arah selatan. Akhirnya sampailah Kami di tempat travel, bersiap-siap untuk pulang.

Selamat tinggal Bandung. Semarang, aku pulang…


Semarang-Lampung, Agustus 2012


[1] Nama salahsatu Kecamatan di Kabupaten Bandung dimana pusat pemerintahan berada.
[2] Kecamatan tempat dimana Lokasi Kawah Putih berada.
[3] Salahsatu Lokalisasi yang berada di Kota Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar