Selasa, 25 Juni 2019

Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Masalah Penghitungan Suara di TPS Dalam Pemilu Serentak[1]



Oleh: Asep Mufti, S.H.[2]


Pemilihan Umum Tahun 2019 merupakan pengalaman pertama di Indonesia, yang mana Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (Pileg) dilakukan secara bersamaan dengan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Secara hukum pelaksanaan pemilu tersebut diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Secara hukum, keserantakan pemilu diawali dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 14/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada tanggal 23 Januari 2014. Putusan atas pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ini diajukan oleh Effendi Gazali. Perkara ini diajukan saat momentum Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD, serta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada Tahun 2014.

Sejarah dan Perkembangan Sentra Penegakan Hukum Terpadu[1]

 Oleh: Asep Mufti, S.H.[2]


Sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 2019 ini, Indonesia telah melewati tiga babak pemilihan umum, yaitu 1) pemilihan umum tahun 1955 yang merupakan pemilihan umum pertama dan dikenal sebagai pemilihan umum paling demokratis; 2) pemilihan umum di era Orde Baru yang berlangsung secara kontinyu sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, tetapi dicurigai mengandung banyak kecurangan; dan 3) pemilihan umum tahun 1999 hingga 2014 yang dikenal sebagai pemilihan umum demokratis,[3] ditambah pemilu tahun 2019 yang sekarang sedang berlangsung. Pembagian babak itu mengacu pada 3 era, yaitu era Orde Lama, Orde Baru dan pasca reformasi. Itu belum termasuk pemilihan kepala daerah yang sejak tahun 2005 dipilih secara langsung, yang oleh Mahkamah Konstutisi diputuskan bukan sebagai rezim pemilihan umum.[4]
                                                   
Berdasarkan standar-standar internasional pemilihan umum yang disusun oleh International Institute for Democracy and Electoral Asistence (IDEA) terdapat aspek-aspek untuk menyatakan pemilu berlangsung demokratis atau tidak[5], salah satu aspek diantaranya yaitu penegakan peraturan pemilu. Penegakan hukum pemilu turut menentukan apakah pemilu berlangsung secara demokratis, jujur dan adil. Kepercayaan publik terhadap proses pelaksanaan pemilihan umum akan menurun manakala pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tidak dapat ditindak atau diselesaikan, selain itu juga dapat mencederai proses itu sendiri.

Salah satu lembaga yang saat ini memiliki kewenangan dalam menegakan hukum pemilu adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Berdasarkan kerangka hukum yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu (UU Pemilu), semua pelanggaran yang terjadi pada proses pemilihan umum ditangani atau diselesaikan melalui Bawaslu sebagai pintu masuknya. Ada beberapa kategori pelanggaran yang dikenal dalam UU Pemilu, meliputi pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, tindak pidana pemilu, serta pelanggaran lain di luar perundang-undangan pemilu namun peristiwanya terkait dengan pemilu.

Dalam penegakan terhadap tindak pidana pemilu, Bawaslu melakukannya bersama dengan unsur kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (selanjutnya disingkat Gakkumdu).