Selasa, 25 Juni 2019

Sejarah dan Perkembangan Sentra Penegakan Hukum Terpadu[1]

 Oleh: Asep Mufti, S.H.[2]


Sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 2019 ini, Indonesia telah melewati tiga babak pemilihan umum, yaitu 1) pemilihan umum tahun 1955 yang merupakan pemilihan umum pertama dan dikenal sebagai pemilihan umum paling demokratis; 2) pemilihan umum di era Orde Baru yang berlangsung secara kontinyu sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, tetapi dicurigai mengandung banyak kecurangan; dan 3) pemilihan umum tahun 1999 hingga 2014 yang dikenal sebagai pemilihan umum demokratis,[3] ditambah pemilu tahun 2019 yang sekarang sedang berlangsung. Pembagian babak itu mengacu pada 3 era, yaitu era Orde Lama, Orde Baru dan pasca reformasi. Itu belum termasuk pemilihan kepala daerah yang sejak tahun 2005 dipilih secara langsung, yang oleh Mahkamah Konstutisi diputuskan bukan sebagai rezim pemilihan umum.[4]
                                                   
Berdasarkan standar-standar internasional pemilihan umum yang disusun oleh International Institute for Democracy and Electoral Asistence (IDEA) terdapat aspek-aspek untuk menyatakan pemilu berlangsung demokratis atau tidak[5], salah satu aspek diantaranya yaitu penegakan peraturan pemilu. Penegakan hukum pemilu turut menentukan apakah pemilu berlangsung secara demokratis, jujur dan adil. Kepercayaan publik terhadap proses pelaksanaan pemilihan umum akan menurun manakala pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tidak dapat ditindak atau diselesaikan, selain itu juga dapat mencederai proses itu sendiri.

Salah satu lembaga yang saat ini memiliki kewenangan dalam menegakan hukum pemilu adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Berdasarkan kerangka hukum yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu (UU Pemilu), semua pelanggaran yang terjadi pada proses pemilihan umum ditangani atau diselesaikan melalui Bawaslu sebagai pintu masuknya. Ada beberapa kategori pelanggaran yang dikenal dalam UU Pemilu, meliputi pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, tindak pidana pemilu, serta pelanggaran lain di luar perundang-undangan pemilu namun peristiwanya terkait dengan pemilu.

Dalam penegakan terhadap tindak pidana pemilu, Bawaslu melakukannya bersama dengan unsur kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (selanjutnya disingkat Gakkumdu).

Berangkat dari uraian di atas, dalam tulisan ini penulis hendak mencari tahu:
1.   Bagaimana sejarah terbentuknya Gakkumdu dalam penanganan tindak pidana pemilu?
2.      Bagaimana pola penanganan tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh Gakkumdu?

Melalui tulisan ini, penulis berharap pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab dan diperoleh kesimpulan, serta memberikan saran bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai penanganan tindak pidana pemilu.


SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TERBENTUKNYA GAKKUMDU


Jika ditilik dari perundang-undangan terkait pemilu yang pernah dan sedang berlaku, keberadaan Gakkumdu mulai diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam ketentuan Pasal 267 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012, disebutkan Untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu, Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia membentuk sentra penegakan hukum terpadu. Pembentukan Gakkumdu, dengan demikian terkait dengan penanganan tindak pidana pemilu.

Menelisik maksud dan bahasa yang di dalam pasal tersebut, maka Sentra Gakumdu dimaksudkan untuk menyamakan persepsi antarlembaga penegakan hukum pemilu ketika ada kasus pelanggaran pemilu. Penyamaan persepsi ini menjadi penting untuk menghindari perbedaan tafsir terhadap ketentuan pidana pemilu yang ada di dalam UU No. 8/2012, ataupun langkah yang akan diambil oleh Bawaslu sebagai penerima pelanggaran untuk menaikkan status pelanggaran menjadi penyidikan.[6]

Ketentuan lebih teknis mengenai Gakkumdu kemudian diatur dalam kesepakatan bersama antara Bawaslu, Polri dan Kejaksaan Agung, sebagaimana dimaksud Pasal 267 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2012.

Pada tanggal 16 Januari 2013, Bawaslu, Polri dan Kejaksaan Agung membuat Nota Kesepakatan Bersama Nomor 01/NKB/BAWASLU/I/2013, Nomor B/02/I/2013, dan Nomor KEP-005/A/JA/01/2013 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Kesepakatan ini ditanda tangani oleh Muhammad (Ketua Bawaslu), Timur Pradopo (Kepala Polri) dan Basrief Arief (Jaksa Agung).

Gakkumdu berdasarkan kesepakatan tersebut, tidak hanya diperuntukkan dalam penanganan tindak pidana pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, tetapi keberadaannya juga diperuntukkan untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan. Sementara kedudukannya berada di pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Struktur kelembagaan Gakkumdu, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Nota Kesepakatan Bersama, terdiri dari: Pembina, Ketua dan Anggota. Masing-masing jabatan terdiri dari 3 perwakilan lembaga.

Fungsi Gakkumdu berdasarkan Pasal 7 Nota Kesepakatan Bersama adalah:
1.    Sebagai forum koordinasi antara Bawaslu, Polri dan Kejaksaan Agung dalam proses penanganan tindak pidana pemilu;
2.      Pelaksanaan pola penanganan tindak pidana pemilu;
3.      Sebagai pusat data dan informasi tindak pidana pemilu;
4.      Pertukaran data dan/atau informasi;
5.      Peningkatan kompetensi dalam penanganan tindak pidana pemilu;
6.      Pelaksanaan monitoring dan evaluasi tindak lanjut penanganan tindak pidana pemilu.

Terkait dengan pola penanganan pelanggaran, Nota Kesepakatan Bersama tersebut tidak secara rinci mengatur, namun menyebutkan akan diatur dalam Standar Operasional Prosedur (SOP).

Pengaturan Gakkumdu kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wakil Walikota. Perppu yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015.

Dalam Pasal 152 UU Nomor 1 Tahun 2015 disebutkan untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk sentra penegakan hukum terpadu. Kententuan lebih lanjut mengenai Gakkumdu diatur dalam Kesepakatan Bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu.

Menindaklanjuti ketentuan Pasal 152 UU Nomor 1 Tahun 2015 tersebut, terbitlah Nota Kesepahaman antara Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor: 15/NKB/BAWASLU/IX/2015, Nomor: B/38/X/2015, dan Nomor: KEP-153/A/JA/10/2015 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu.

Pada perkembangannya, terdapat perubahan sebanyak 2 kali terhadap UU Nomor 1 Tahun 2015, terakhir diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2016. Di UU Nomor 10 Tahun 2016, Pasal 152 mengalami perubahan, salah satunya mengenai pengaturan teknis tentang Gakkumdu, yang sebelumnya diatur melalui kesepakatan bersama, namun diubah diatur dalam Peraturan Bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu.

Lalu pada tanggal 21 November 2016 terbitlah Peraturan Bersama Ketua Bawaslu, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016, Nomor 01 Tahun 2016 dan Nomor 013/JA/11/2016 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Berbeda dengan pengaturan Gakkumdu dengan Nota Kesepakatan bersama yang dibuat pada tahun 2013 yang mengatur kedudukan Gakkumdu pada Pilpres, Pileg dan Pemilihan. Peraturan Bersama hanya mengatur khusus Gakkumdu untuk Pemilihan. Pengaturan mengenai kelembagaan Gakkumdu oleh Peraturan Bersama juga lebih banyak/rinci dibanding Note Kesepakatan Bersama sebelumnya yang lebih sederhana. Begitu juga pengaturan tentang pola hubungan dan tata kerjanya. Misalnya seperti: 1) Struktur Gakkumdu yang sebelumnya hanya 3 jabatan, yaitu Pembina, Ketua dan Anggota, di dalam Peraturan Bersama menjadi 4 jabatan, yaitu Penasihat, Pembina, Koordinator dan Anggota; 2) Peraturan Bersama mengatur tentang jumlah penyidik kepolisian sebanyak 2-6 orang dan jaksa sebanyak 2-3 orang. Sebelumnya tidak diatur; 3) Peraturan Bersama mengatur mengenai teknis penanganan di sebuah daerah yang terhambat keadaan geografis; 4) Peraturan Bersama mengatur tentang pola hubungan dan tata kerja mulai dari penerimaan laporan, pembahasan pertama, pembuatan kajian, pembahasan kedua, penyidikan, pembahasan ketiga dan penuntutan.
 
Kemudian sering dengan terbitnya UU Nomor 7 Tahun 2017, Gakkumdu juga kembali diatur, khususnya dalam Pasal 486. Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Bawaslu. Pada tahun 2018, Bawaslu kemudian menerbitkan Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2018 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu.

Jika Peraturan Bersama mengatur Gakkumdu untuk penyelenggaraan Pemilihan, maka Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2018 mengatur tentang Gakkumdu dalam penyelenggaraan pemilu. Secara substansi sebetulnya tidak banyak perbedaan diantara keduanya. Namun ada beberapa tambahan yang ada di Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2018, yaitu mengenai pembahasan keempat, pembahasan yang dilaksanakan untuk menentukan sikap Gakkumdu dalam melakukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan; atau melaksanakan putusan pengadilan. Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2008 kemudian diganti dengan Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018.

Dari uraian dapat kita lihat kronologis terbentuknya Gakkumdu yang dilihat dari ketentuan perundang-undangan. Dalam prakteknya, Topo Santoso dkk dalam buku “Penegakan Hukum Pemilu”, mengatakan bahwa pada pemilu tahun 2004, Panwas Pemilu bersama kepolisian dan kejaksaan membangun sistem Penegakan Hukum Pidana Pemilu Terpadu atau disingkat GAKKUMDU. Hal ini dimaksudkan untuk memperlancar proses penanganan pidana pemilu mengingat undang-undang pemilu (baik legislatif maupun presiden) membatasi waktu penanganan perkara pidana pemilu.[7] Saat itu Gakkumdu dibentuk bukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan namun dibentuk sesuai kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas penyelesaian tindak pidana pemilu, butuh keterpaduan dalam sistem peradilan pidana.


PENANGANAN TINDAK PIDANA PEMILU

Sampai dengan pemilu tahun 1999, undang-undang terkait pemilu sekalipun memuat ketentuan pidana, sama sekali tidak bicara mengenai mekanisme penyelesaian tindak pidana yang terjadi. Tampaknya pembuat undang-undang menyerahkan hal itu kepada ketentuan yang berlaku mengenai penyelesaian perkara pidana yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mekanisme penyelesaian tindak pidana tidak berbeda dengan mekanisme penyelesaian tindak pidana lainnya, yang harus melalui sistem peradilan pidana, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga peradilan. Ketika kasus itu memasuki peradilan pun akan melalui tahap-tahap seperti perkara pada umumnya, yaitu melalui Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), dan Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi.[8]

Baru pada pemilu tahun 2004 terdapat perubahan pengaturan, dimana setiap pelanggaran, termasuk tindak pidana, dilaporkan kepada pengawas pemilu sebelum diteruskan kepada kepolisian untuk dilakukan penyidikan. Laporan disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu. Sedangkan pihak yang dapat mengajukan laporan terdiri dari Warga Negara Indonesia (WNI) yang punya hak pilih, Pemantau Pemilu, dan Peserta Pemilu.[9] Selain itu, terdapat pengaturan mengenai batasan waktu penanganan. Pengawas pemilu memiliki waktu selama 7 (tujuh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari untuk memutuskan apakah laporan tindak pidana dapat diteruskan kepada penyidik.[10]
 
Kemudian penyidik melakukan penyidikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima penerusan dari pengawas pemilu, dan paling lama 7 (tujuh) hari setelah selesai penyidikan, penyidik menyerahkan berkas kepada penuntut umum. Penuntut kemudian menyerahkan kepada pengadilan paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterima berkas dari penyidik.[11]

Di tingkat pengadilan, terdapat perbedaan penanganan atas tindak pidana yang tergantung besaran ancamannya. Terhadap tindak pidana yang ancamannya kurang dari 18 (delapan belas) bulan, pengadilan negeri merupakan tingkat pertama dan terakhir, yang diselesaikan paling lama 21 (dua puluh satu) hari. Sementara bagi tindak pidana yang ancamannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, pengadilan tinggi merupakan tingkat banding dan terakhir, yang diselesaikan paling lama 14 (empat belas) hari.[12]

Pada pemilu tahun 2009, ada perkembangan penting dalam penyelesaian tindak pidana pemilu dibandingkan dengan pemilu tahun 2004, paling tidak menyangkut lima hal, yaitu 1) waktu penyelidikan/penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di pengadilan lebih cepat; 2) waktu dan mekanisme alur pergerakan berkas perkara diatur lebih detail; 3) pemeriksaan perkara dilakukan oleh hakim khusus; 4) putusan pengadilan negeri boleh dibanding ke pengadilan tinggi tanpa membedakan besar ancaman hukumannya; dan 5) adanya keharusan pengadilan untuk memutus perkara pidana pemilu yang dapat memengaruhi perolehan suara peserta pemilu, paling lambat lima hari sebelum hasil pemilu ditetapkan secara nasional.[13]

Ketentuan mengenai batas waktu penyampaian laporan yang sebelumnya diatur paling lama 7 (tujuh) hari, dipersingkat menjadi 3 (tiga) hari. Menurut Topo Santoso dan Ida Budhiati, hal ini merupakan kemunduran dalam penegakan hukum pemilu, karena tidak memperhitungkan kondisi di berbagai daerah di Indonesia, sehingga berakibat banyak tindak pidana pemilu tidak bisa diproses lebih lanjut karena sudah dianggap daluwarsa.[14] Ketentuan ini hanya akan bermakna “kepastian hukum”, yaitu dengan “menghanguskan” semua laporan yang disampaikan lebih dari 3 hari sesudah kejadian. Hal ini akan memudahkan penegak hukum karena mudah dalam menolak menangani perkara, tetapi akibatnya banyak tindak pidana “menguap” dan pelakunya tidak tersentuh hukum. Rakyat tidak mendapat keadilan. Proses pemilu diwarnai pelanggaran yang tidak diproses secara layak. Para pelaku tidak mendapat sanksi dan tidak akan jera untuk mengulangi lagi di masa depan. Singkatnya, pengaturan batasan pelaporan yang singkat justeru merusak asas pemilu, yaitu jujur dan adil.[15] 

Masalah batasan penyampaian laporan ini, mengalami perubahan lagi pada pemilu tahun 2014, khususnya untuk Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Ada dua perubahan pengaturan, yaitu waktu yang semula hanya 3 hari menjadi 7 hari. Selain itu, jika dulu dihitung sejak terjadinya pelanggaran, pada pemilu 2014 dihitung sejak diketahuinya pelanggaran pemilu.[16] Norma “sejak diketahui” itu dibandingkan norma “sejak terjadinya”, menurut penulis, sedikit membuka ruang penanganan bagi pelanggaran yang sudah terjadi lama, namun tidak memberikan kepastian hukum, karena norma itu bisa saja dimanipulasi oleh pelapor dengan mengaku baru mengetahui kejadian. Sebagai contoh, Caleg A mengetahui bahwa Caleg B menggunakan ijazah palsu saat mendaftarkan diri dalam pencalonan, namun hal itu tidak dilaporkan oleh Caleg A kepada pengawas pemilu. Setelah dilaksanakan pemungutan suara beberapa bulan setelahnya, ternyata perolehan suara Caleg A kalah dengan suara Caleg B. Karena kalah, Caleg A melaporkan kepada pengawas pemilu dengan mengaku baru mengetahui jika ijazah Caleg B adalah palsu.

Selain batasan penyampaian laporan dalam pemilu tahun 2009, penanganan oleh pengawas pemilu yang semula paling lama 14 (empat belas) hari, dipersingkat menjadi 5 (lima) hari. Penyidikan yang semula 30 (tiga puluh) hari menjadi 14 (empat belas) hari. Penuntutan yang semula 14 (empat belas) hari menjadi hanya 5 (lima) hari. Sementara PN dan PT memutus paling lama 7 (tujuh) hari, lebih singkat dari pada sebelumnya, yaitu 21 (dua puluh satu) hari di tingkat PN dan 14 (empat belas) hari di tingkat PT.

Dari sejarah penanganan tindak pidana pada tiap pemilu tersebut, meskipun sudah terdapat peranan dari pengawas pemilu, polisi sebagai penyidik, dan jaksa sebagai penuntut umum, namun dalam pola penanganannya dilakukan secara terpisah, artinya semua bekerja sesuai dengan pola dan mekanisme instansinya masing-masing.

Baru pada pemilu tahun 2014, terbentuk Sentra Penegakan Hukum Terpadu yang merupakan wadah bagi pengawas pemilu, polisi dan jaksa dalam melakukan penanganan tindak pidana pemilu, sebagaimana diatur Pasal 267 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, yang isinya  menyebutkan bahwa sentra penegakan hukum terpadu dibentuk untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu, Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Dengan adanya Gakkumdu, pola penanganan tindak pidana tidak lagi sesuai dengan instansi masing-masing, tetapi ditetapkan secara bersama-sama antara pengawas pemilu, polisi, dan jaksa.

Jika dilihat dari Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu, proses penanganan tindak pidana pemilu meliputi:
1.       Penerimaan temuan dan laporan dugaan pelanggaran pemilu;
2.      Pembahasan pertama;
3.      Kajian pelanggaran pemilu oleh pengawas pemilu;
4.      Pembahasan kedua;
5.      Penyidikan;
6.      Penuntutan;
7.      Pembahasan ketiga.   

Dalam proses penerimaan temuan dan laporan, pengawas pemilu didampingi oleh polisi dan jaksa yang tergabung dalam Gakkumdu. Pendampingan oleh polisi dan jaksa ini dilakukan untuk membantu mengidentifikasi adanya dugaan tindak pidana dalam temuan atau laporan, serta menjadi ruang konsultasi bagi pengawas pemilu.[17] Dalam ketentuan itu terdapat norma “temuan”, yang berarti dugaan pelanggaran yang ditemukan oleh pengawas pemilu setelah melakukan pengawasan pemilu. Jika laporan merupakan peristiwa dugaan pelanggaran yang disampaikan oleh pihak lain (WNI yang punya hak pilih, Pemantau Pemilu dan Perserta Pemilu), maka temuan adalah dugaan pelanggaran yang ditemukan sendiri oleh pengawas pemilu.

Pembahasan pertama merupakan pertemuan yang dilakukan oleh pengawas pemilu, polisi, dan jaksa. Pertemuan ini dilakukan paling lama 1x24 jam setelah temuan atau laporan diterima dan diregister oleh pengawas pemilu dan bertujuan untuk menentukan pasal pidana yang akan disangkakan terhadap pertistiwa yang ditemukan atau dilaporkan.[18] Pembahasan pertama ini dipimpin oleh Koordinator Gakkumdu dari unsur Pengawas Pemilu.[19]

Setelah dilakukan pembahasan pertama, pengawas pemilu kemudian membuat kajian. Dalam proses kajian ini, pengawas pemilu dapat melakukan klarifikasi para pihak seperti, pelapor, saksi, dan terlapor. Selain itu dapat juga meminta keterangan ahli. Ketika meminta klarifikasi atau keterangan, pengawas pemilu dapat didampingi oleh polisi dan jaksa.[20]

Hasil dari kajian pengawas pemilu tersebut kemudian menjadi bahan dalam pembahasan kedua, yaitu pertemuan pengawas pemilu, polisi, dan jaksa untuk menyimpulkan apakah temuan atau laporan merupakan tindak pidana pemilu atau bukan. Jika merupakan tindak pidana, maka diteruskan ke tingkat penyidikan. Sebaliknya jika bukan merupakan tindak pidana, maka temuan atau laporan dihentikan. Pembahasan kedua ini, dipimpin oleh Koordinator Gakkumdu dari unsur Pengawas Pemilu.[21]

Jika temuan atau laporan merupakan tindak pidana pemilu, maka polisi penyidik yang tergabung dalam gakkumdu melakukan penyidikan paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima penerusan dari pengawas pemilu.[22] hasil dari penyidikan ini, kemudian dijadikan bahan untuk melakukan pembahasan ketiga, yaitu pembahasan yang dilakukan 3 unsur untuk menentukan apakah hasil penyidikan dapat dilimpahkan kepada jaksa  penuntut umum atau tidak. Pembahasan ketiga ini, dipimpin oleh Koordinator Gakkumdu dari unsur kepolisian.[23]

Apabila berdasarkan keputusan Gakkumdu hasil penyelidikan dilimpahkan kepada jaksa, maka kemudian jaksa penuntut umum melimpahkan berkas kepada pengadilan negeri, paling lama 5 (lima) hari sejak berkas diterima dari penyidik. Penuntut umum kemudian menyusun surat dakwaan.[24]

Perkara kemudian berlanjut ke pengadilan sampai dengan dibacakannnya putusan. Berikutnya dilakukan pembahasan keempat yang dipimpin oleh koordinator gakkumdu dari unsur kejaksaan. Dilakukan paling lama 1x24 jam setelah putusan dibacakan oleh pengadilan. Pembahasan ini bertujuan untuk menentukan sikap apakah akan melakukan upaya hukum atas putusan pengadilan atau melaksanakannya.[25]

Begitulah pola penanganan tindak pidana pemilu yang diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018, yang ruang lingkupnya hanya untuk pemilu presiden dan wakil presiden, serta pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sementara untuk pola penanganan tindak pidana pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (disebut Pemilihan) diatur tersendiri dengan Peraturan Bersama Ketua Bawaslu, Kepala Polri dan, Jaksa Agung.[26] Meskipun diatur dengan peraturan yang berbeda, pola penanganannya kurang lebih sama, perbedaannya terletak pada batas waktu penangannya, dimana untuk pemilihan merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah sebanyak 2 kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Sebagaimana tujuan awalnya dibentuk, Gakumdu dimaksudkan untuk menyamakan persepsi antar lembaga penegakan hukum pemilu ketika ada kasus pelanggaran pemilu. Penyamaan persepsi ini menjadi penting untuk menghindari perbedaan tafsir terhadap ketentuan pidana pemilu yang ada di dalam UU, ataupun langkah yang akan diambil oleh Bawaslu sebagai penerima pelanggaran untuk menaikkan status pelanggaran menjadi penyidikan. Namun, fakta yang terjadi justru Gakumdu yang mempersulit jalannya proses terhadap pelanggaran pidana pemilu. Acap kali setiap dugaan pelanggaran pidana pemilu menjadi mentok dan tidak ditindaklanjuti menjadi penyidikan karena perdebatan yang tak henti, serta Kepolisian dan Kejaksaan yang tidak sepakat dengan Bawaslu untuk menaikkan status laporan pelanggaran menjadi penyidikan di Kepolisian.[27]

Menurut Yusti Erlina, Kepala Bagian Temuan dan Laporan Bawaslu, memang sering kali ketika laporan pelanggaran pidana masuk ke Bawaslu, dan internal Bawaslu sudah menyimpulkan bahwa itu pelanggaran, namun ketika dibawa ke ruang diskusi Sentra Gakumdu yang di sana terdapat Kepolisian dan Kejaksaan, maka pelanggaran ini akan dimentahkan.[28]

Apa yang diutarakan oleh Yusti, berkesesuaian dengan apa yang dikatakan Topo Santoso dan Ida Budhiati dalam bukunya, bahwa para anggota Bawaslu/Panwaslu cenderung menyalahkan polisi (dan jaksa) yang dianggap kurang menguasai dan netral dalam menangani kasus-kasus pemilu, sementara pihak polisi dan jaksa cenderung beranggapan anggota Bawaslu/Panwaslu kurang memahami persoalan hukum (khususnya hukum pidana).[29] Namun yang disampaikan oleh Topo dan Ida tersebut, persoalan penanganan tindak pidana yang muncul dalam konteks ketika pengawas pemilu kebanyakan tidak berlatar belakang hukum.

Dari uraian tersebut setidaknya dapat disimpulkan, bahwa alih-alih dibentuk untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu, yang terjadi justeru sebaliknya, terjadi perbedaan antar ketiga unsur yang ada dalam gakkumdu.

Selain itu, keharusan adanya sentra gakkumdu dalam penanganan tindak pidana pemilu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, juga pernah menghambat penanganan tindak pidana pemilu. Seperti kasus Partai Perindo pada bulan Februari-Maret 2018 lalu, dimana Partai Perindo melakukan kampanye di media elektronik (televisi). Menurut Bawaslu, apa yang dilakukan oleh Partai Perindo merupakan kampanye di luar jadwal, mengingat kampanye itu dilakukan sebelum masa kampanye di mulai[30]. Namun demikian, penanganan tidak bisa dilanjutkan, karena saat itu gakkumdu belum terbentuk.[31] Jika sebelumnya masalah yang muncul terkait perbedaan pendapat, untuk kasus ini justeru hambatan muncul hanya karena masalah teknis.


KESIMPULAN

Berdasarkan ulasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.   Bahwa Sentra Penegakan Hukum Terpadu dalam sejarah pemilu di Indonesia, khususnya dalam penanganan tindak pidana pemilu, secara hukum mulai muncul sejak adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa Gakkumdu dibentuk oleh Bawaslu, Polri dan Jaksa Agung yang tujuannya untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu. Gakkumdu dalam perkembanganya kemudian diatur juga dalam Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah sebanyak 2 kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016;
2.  Kelembagaan Gakkumdu diatur mulai dari Nota Kesepakatan Bersama, Peraturan Bersama, sampai dengan Peraturan Bawaslu;
3.      Kedudukan Gakkumdu hanya berada di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota;
4.     Dengan adanya Gakkumdu, penanganan tindak pidana dilakukan secara bersama-sama oleh pengawas pemilu, polisi, dan jaksa, mulai dari penerimaan temuan dan laporan dugaan pelanggaran di tingkat pengawas pemilu, sampai dengan penyikapan terhadap putusan pengadilan;
5.   Pada praktinya, alih-alih bertujuan menyamakan pemahaman dan pola penanganan, yang terjadi justeru sering terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antara pengawas pemilu, polisi, jaksa yang tergabung dalam Gakkumdu;
6.   Penanganan tindak pidana pemilu juga mendapat hambatan dari adanya pengaturan batasan waktu penanganan yang relatif singkat.

Dari kesimpulan-kesimpulan berdasarkan hasil penelitian tersebut, untuk sementara penulis berpendapat, Gakkumdu yang pada awal terbentuknya diharapkan dapat memberi kemudahan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana, yang tidak terlepas dari upaya menciptakan pemilu demokratis, justeru tidak menampakkan keberhasilannya.

Karena terbatasnya penelitian dalam penulisan ini, sekiranya masih perlu dilakukan penelitian secara empiris, untuk melihat efektifitas dari Gakkumdu, dimana hasil dari penelitian itu bisa digunakan sebagai argumentasi untuk menentukan apakah keberadaan Gakkumdu masih bisa dilakukan perbaikan atau justru ditiadakan.

***
 

BAHAN BACAAN

Buku:
1.   Internasional IDEA, Standar-standar Internasional Pemilihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu”, Jakarta: International IDEA, 2004
2.     Topo Santoso dkk (Tim Peneliti Perludem), “Penegakan Hukum Pemilu: Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014
3.     Topo Santoso dan Ida Budhiati, “Pemilu Di Indonesia: Kelembagaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan”, terbitan Sinar Grafika, cetakan pertama, 2019
4.   Veri Junaidi dkk, “Evaluasi Penegakan Hukum Pemilu 2014”, terbitan Yayasan Perludem

Perundang-Undangan:
1.       Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
2.        Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
3.        UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
4.        UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
5.        UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
6.        Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah sebanyak 2 kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
7.        UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
8.       Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Sentra Gakkumdu

Putusan Peradilan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004

Berita:
“Terbukti Langgar UU, Perindo Tak Bisa Dikenakan Sanksi” dimuat pada laman www.liputan6.com, pada tanggal 23 Maret 2018


[1] Disusun sebagai tugas mata kuliah Sejarah Hukum, dengan dosen pengampu, Dr. Arrisman.,S.H.,M.H, pada Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Nasional
[2] Mahasiswa Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Nasional
[3] Topo Santoso dan Ida Budhiati, “Pemilu Di Indonesia: Kelembagaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan”, terbitan Sinar Grafika, cetakan pertama, 2019, halaman 1
[4] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004
[5] Internasional IDEA, Standar-standar Internasional Pemilihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu”, Jakarta: International IDEA, 2004.
[6] Lihat dalam buku elektronik karangan Veri Junaidi dkk, “Evaluasi Penegakan Hukum Pemilu 2014”, terbitan Yayasan Perludem, halaman 49
[7] Lihat dalam buku elektronik karangan Topo Santoso dkk (Tim Peneliti Perludem), “Penegakan Hukum Pemilu: Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014”, tercantum pada catatan kaki halaman 109
[8] Op.cit, Topo Santoso dan Ida Budhiati, halaman 156-157
[9] Lihat Pasal 127 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 12/2013), serta Pasal 79 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU 23/2003).
[10] Lihat Pasal 128 UU 12/2003 dan Pasal 80 UU 23/2003
[11] Lihat Pasal 131 UU12/2003 dan Pasal 83 UU 23/ 2003
[12] Lihat Pasal 133 UU 12/2003 dan Pasal 84 UU 23/ 2003
[13] Op.cit, Topo Santoso dan Ida Budhiati, halaman 213. Bisa dilihat juga dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
[14] Ibid, Topo Santoso dan Ida Budhiati, halaman 213-214
[15] Ibid, halaman 215
[16] Lihat Pasal 249 ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
[17] Lihat Pasal 19 Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu
[18] Ibid, Pasal 20
[19] Dalam Struktur Gakkumdu terdapat 3 koordinator yang mewakili masing-masing instansi (pengawas pemilu, kepolisian dan kejaksaan)
[20] Op.cit, Pasal 21 Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018
[21] Ibid, Pasal 23
[22] Ibid, Pasal 25
[23] Ibid, Pasal 26
[24] Ibid, Pasal 29
[25] Ibid, Pasal 31
[26] Peraturan Bersama Ketua Bawaslu, Kepala Polri, dan Jaksa Agung Nomor 14 Tahun 2016, Nomor 01 Tahun 2016, dan Nomor 013/JA/11/2016 Tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu dalam Pemilihab Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
[27] Op.cit, Veri Junaidi dkk, “Evaluasi Penegakan Hukum Pemilu 2014”, halaman 49-50
[28] Ibid
[29] Op.cit, Topo Santoso dan Ida Budhiati, halaman 216.
[30] Ketentuan Pasal 492 UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
[31] Lihat berita berjudul “Terbukti Langgar UU, Perindo Tak Bisa Dikenakan Sanksi” dimuat pada laman www.liputan6.com, pada tanggal 23 Maret 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar