Senin, 01 April 2019

Kuliah (Lagi), Jogja Terkenang Kembali


"Mohon maaf saya terlambat, Pak" ucapku ketika masuk ke dalam ruang kelas dan mengetahui perkuliahan sudah di mulai. Jam menunjukkan pukul 17.40 di Hari Jumat, 29 Maret 2019. Si Dosen mengangguk, mempersilakanku masuk. Setelah hampir 12 tahun aku meninggalkan suasana perkuliahan dan menyandang gelar sarjana hukum dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), kini aku kembali.

Aku mendaftarkan diri sebagai mahasiswa pasca sarjana (Strata 2) untuk kelas karyawan (Jumat-Sabtu), di Magister Hukum Universitas Nasional (Unas), yang perkuliahannya dilaksanakan di Menara Unas, Ragunan. Konon, Unas merupakan kampus swasta tertua di Jakarta. Sebelumnya aku juga mencari informasi kuliah ke UI, UGM cabang Jakarta, dan Universitas Jayabaya, tapi setidaknya ada 3 alasan kenapa akhirnya aku memilih kuliah di Magister Hukum Unas. Pertama, alasan akademis,  yaitu predikat akreditasinya B. Kedua, alasan teknis, fleksibilitas kehadiran dalam ruang kuliah, ini penting lantaran aku harus membagi waktu dengan aktifitas kerjaku di Bawaslu dan waktu bersama keluarga. Ketiga, alasan ekonomis, biaya kuliah yang terjangkau, per semester 8 juta, bisa dicicil 4 kali pembayaran, murah bukan? 

Entah kenapa, aku begitu antusias dengan kuliah kali ini. Saat kuliah di tingkat Strata 1, jangankan untuk jurusan hukum yang kuambil, kuliahpun merupakan ketidaksengajaan sejarah, apalagi bisa kuliah di Jogja, ini semua bisa terjadi berkat andil kawanku, Ezhar (Ami), yang kini tinggal di Natar, Lampung Selatan. Sehat selalu ya, Mi.

Saat awal kuliah di Fakultas Hukum UMY, tujuan dan semangatku tidak begitu jelas, mengalir begitu saja. Bahkan sempat berpikir pindah ke jurusan komunikasi. Sampai akhirnya aku bertemu dengan dosen yang sangat menginspirasiku, kalau tidak salah di semester 3, saat mengikuti mata kuliah Hukum Acara Pidana. Dosen itu bernama Muchtar Zuhdy, yang juga seorang advokat. Pertemuan itulah yang kemudian memberiku semangat belajar hukum dan mengawali cita-citaku menjadi seorang Advokat. Terima kasih, Pak Muchtar, semoga senantiasa sehat ya, Pak.

Suasana Jogja yang tentram, beragam suku dan memberi banyak ruang kebebasan, membuatku nyaman tinggal di kota pelajar itu. Saat kuliah, aku sok-sokan’ belajar mandiri, dengan pernah membuat kerajinan tangan dalam bentuk celengan berbahan slongsongan sisa gulungan kain dan pigura foto dari sterofoam, lalu menjualnya dari pintu ke pintu kos kawan, khusunya kos perempuan, hehe. Jualan sambil silaturahmi. Selain dari pintu ke pintu, pernah juga buka lapak di Sunday Morning UGM. Pernah juga menjual kaos yang kubeli di Perkampungan Industri Kecil (PIK) Jakarta, kujual dengan sistem pembayaran cicil, karena aku tahu, ini sangat memberi keringanan bagi anak kos sebagai pasar penjulanku. Yang penting, barang terjual, pembayaran lancar, haha. Hasil penjualan cukup buat menambah uang jajan, kalau biaya kuliah, tetap bersumber dari subsidi, dari mereka yang menciptakanku, Bapak dan Ibu, hehe. Intinya, dulu aku kuliah sambil belajar kerja,  sekarang terbalik, aku kerja sambil belajar.

"Ada saat dimana hukum tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang ada, itu alasan adanya displin ilmu Sejarah Hukum" ujar dosen yang tadi mempersilakanku masuk ruangan, Prof. Dr. Arrisman, S.H.,M.H. Aku mendengarkan setiap kata-katanya dan mencatat beberapa poin yang disampaikan. Semoga dengan menjadi mahasiswa yang baik, Prof. Arrisman memberiku nilai A, haha. Perkuliahan yang semua mahasiswanya berkelamin laki-laki berjumlah 9 orang ini, diawali dengan mata kuliah Sejarah Hukum. Ayo kuliah!

Jakarta, 1 April 2019



Tidak ada komentar:

Posting Komentar