Minggu, 05 Januari 2014

Jugun Ianfu, Kisah Perempuan-Perempuan Malang[1]


Oleh : Asep Mufti[2]


Dengan berat hati kutulis surat ini untuk kalian.
Belum sepatutnya pada kalian diajukan suatu berita
yang mengguncangkan, memilukan, menakutkan dan menyuramkan.[3]

Kata-kata Pramoedya Ananta Toer atau Pram di atas, seakan-akan seperti kata pembuka sebuah surat yang ditulis Pram untuk mengabarkan sebuah berita kepada para remaja saat ini. Berita tentang para remaja perempuan yang dipaksa menjadi budak yang melayani hasrat seksual militer maupun sipil Jepang pada masa Perang Dunia II.

Para perempuan malang itu tidak hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga berasal dari Cina, Korea, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Vietnam, Myanmar, Belanda dan negara-negera lain yang berada dalam pendudukan Jepang. Mereka, para korban, yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Jugun Ianfu, sebuah istilah dari bahasa Jepang dimana ju = ikut, gun = militer, ian = penghibur, sedang fu = perempuan, yang arti keseluruhannya adalah perempuan penghibur yang ikut militer[4]. Sebuah istilah yang oleh Jan Ruff O’ Herne, Perempuan korban asal Belanda, ditolak keras, karena menurutnya istilah tersebut sangat melecehkan. Dirinya sama sekali tidak bertindak untuk menghibur para prajurit Jepang, melainkan dipaksa menjadi budak seks untuk militer Jepang[5].

Buku karya Pram yang menceritakan Jugun Ianfu
Apa yang hendak dikabarkan oleh Pram melalui bukunya Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer adalah kisah mengenai Jugun Ianfu Indonesia, yang Ia susun pada tahun 1979 berdasarkan cerita dari teman-teman sepembuangannya di Pulau Buru. Sepanjang pengetahuan saya, hingga saat ini tidak banyak bahan bacaan yang mengulas tentang peristiwa kelam itu, maka dalam hal ini menurut saya Pram sungguh sangat berjasa.

Bagi mereka yang baru-baru ini menyaksikan film Soekarno karya Hanung Bramantyo, tentu melihat adegan dimana perempuan-perempuan diangkut dengan mobil, yang kemudian di tempatkan pada sebuah ruangan di mana para prajurit Jepang berantrian untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan tersebut. Dalam film tersebut digambarkan bahwa perempuan-perempuan tersebut adalah Pelacur. Adegan itu memang berupaya mengangkat peristiwa tentang perempuan-perempuan yang melayani hasrat seksual prajurit Jepang, namun tidak mengungkap betapa banyaknya perempuan baik-baik yang menderita karena dipaksa.

Berdasarkan pengaduan kasus yang diterima LBH Yogyakarta pada periode 26 April – 14 September 1996, tercatat sebanyak 1156 orang korban perbudakan seksual.[6] Sementara Forum Ex Heiho Indonesia mencatat sejumlah 22.454 perempuan korban perbudakan seksual militer dan sipil Jepang. Angka tersebut berasal dari pengaduan yang datang dari seluruh wilayah Indonesia sejak 15 Agustus 1995 sampai dengan Maret 1996[7]. Sesungguhnya ada banyak lagi korban yang tidak melaporkan kasusnya, baik karena malu dan masih menganggap aib perbudakan seksual yang menimpanya atau juga banyak korban yang sudah tutup usia.

Menurut Koichi Kimura terdapat 3 cara perekrutan yang dilakukan pemerintah militer Jepang terhadap perempuan yang akan dijadikan Jugun Ianfu, antara lain :
1.         Pemaksaan melalui kekerasan fisik;
2.        Pemaksaan dengan jalan menyebarkan perasaan takut dan ancaman disertai teror yang merupakan kekerasan psikologi;
3.        Pemaksaan dengan cara tipu daya dengan iming-iming akan diberikan pekerjaan dan janji untuk disekolahkan.[8]

Cara perekrutan ketiga, yaitu dengan iming-iming janji, sudah mulai terdengar oleh Pram pada tahun 1943 saat ia berumur 18 tahun ketika bekerja sebagai juruketik di Kantor Berita Domei, Jakarta.

“Seluruh lapisan masyarakat hidup dalam kekurangan, kelaparan dan kemiskinan.....dalam keadaan serba sulit dan sempit demikian, terdengarlah suara sayup dari kekuasaan tertinggi di Jawa pada waktu itu Pemerintah Balaitentara Pendudukan Dai Nippon: Janji memberi kesempatan belajar pada para pemuda dan pemudi Indonesia ke Tokyo dan Shonanto (Singapura). Aku katakan “sayup” karena tidak terdengar dengan jelas.[9]

Pram menyampaikan keterangan Soeryono Hadi, bekas anggota pimpinan LKBN Antara perwakilan Surabaya yang mengatakan :

“..dalam tahun 1943 kakak saya mengatakan bahwa Pemerintah Pendudukan Dai Nippon menyerukan kepada setiap orang tua yang mempunyai anak gadis agar segera mendaftarkan kepada pemerintah akan anak gadisnya tersebut. Ada pun maksud pendaftaran, menurut keterengan Pemerintah Dai Nippon pada waktu itu, mereka akan disekolahkan![10]

Kabar tersebut disampaikan tidak secara resmi oleh militer Jepang. Sendenbu (Barisan Propaganda Jepang) meneruskan janji kepada Pangeh Praja. Bupati meneruskan kepada jajaran di bawahnya sampai ke perangkat penduduk terbawah. Semua disampaikan dari mulut ke mulut.

Para Pangreh Praja yang telah membantu meneruskan janji tersebut, menyerahkan anaknya sendiri sebagai contoh dan demi keselamatan jabatan dan pangkat. Mereka tidak boleh hanya berpropaganda, juga harus menjadi suri teladan. Hal inilah yang menjelaskan mengapa banyak perempuan korban berasal dari kalangan priyayi.

Menurut Pram, Janji menyekolahkan ke Tokyo dan Shonanto oleh Pemerintah Pendudukan Balatentara Dai Nippon, yang tidak pernah diumumkan secara resmi, terutama tidak pernah tercantum dalam Osamu Serei (Lembaran Negara) adalah suatu kesengajaan untuk menghilangkan jejak perbuatan agar orang tak mudah menjejak kejahatannya.[11]

Apa yang dikabarkan oleh Pram tersebut, sama seperti yang disampaikan oleh Koichi Kimura, bahwa di Indonesia para perempuan dikumpulkan melalui perantara calo. Biasanya para calo berasal dari kelompok sipil. Militer Jepang menggunakan sistem Tonarigumi (Rukun Tetangga/Rukun Warga) sebagai media perekrutan perempuan-perempuan muda dari desa-desa.[12]


Kehidupan yang mengguncangkan

Perempuan-perempuan malang itu, setelah diambil dari keluarganya, kemudian diangkut menggunakan kapal laut.

Pram menyampaikan keterangan Sukarno Martodihardjo yang pernah menjadi jurumudi kapal :

“Kapal kami disiapkan di Kade 1 Tanjung Priok. Ini terjadi pada bulan tiga tahun 1945. Sebelum kami berangkat pada tengah malam, datang beberapa truk menurunkan para gadis remaja...ada dari gadis yang turun dari truk-truk itu naik ke kapal kami... yang lain masuk ke kapal lain.[13]

Sukarno menaksir umur mereka antara 15-19 tahun. Waktu telah naik mereka nampak gembira. Ada yang menyanyikan lagu-lagu Jepang, lagu-lagu sekolahan atau mars militer yang bersemangat. Dan di kapal terdengar mereka tertawa-tawa. Sukarno berkenalan dengan salahsatu dari mereka, Sumiyati, putri Asisten Wedana Kecamatan Pesantren, Kediri.

Sumiyati yang bertemu kembali dengan Sukarno pada tahun 1947 di Bangkok, bercerita bahwa setelah turun dari kapal, Sumiyati dan rombongan dibawa Jepang ke sebuah tempat yang dipagari bambu anyaman tinggi agar tidak kelihatan dari luar. Beberapa hari mereka dilayani seperti gadis-gadis asrama biasa, diberi petunjuk kesehatan sedikit. Seminggu kemudian diketahuinya mereka harus melayani kebutuhan seks para serdadu Jepang yang sedang beristirahat di garis belakang. Sukarno menceritakan kisah Sumiyati kepada Pram :

“Airmata Sumiyati mulai bercucuran waktu kisah hidupnya sampai pada suatu bagian kala asramanya, dengan 50 gadis dari Jawa, didatangi oleh sejumlah besar serdadu Jepang dan menggilir mereka gelombang demi gelombang. Setiap gadis mendapat satu bilik. Serdadu Nippon yang berhajad seks datang ke kamar yang ditentukan pada karcis berisikan nomor bilik. Mereka yang belum dapat giliran harus menunggu sampai yang di dalam keluar.[14]

Begitulah kebiadaban militer Jepang. Sementara tempat atau asrama seperti yang ceritakan oleh Sumiyati adalah salahsatu Ian-jo, yaitu tempat yang memang disediakan oleh militer Jepang di setiap daerah (Negara) dudukan untuk melayani aktivitas seksual para prajurtinya.

Kisah lain diceritakan oleh Makhudum Sati, yang pernah bertemu dengan 17 perempuan korban asal Semarang di Pulau Wednesday saat perjalanannya dari Australia ke Irian sebagai tahanan. Salah seorang di antara mereka (perempuan korban) menceritakan kepada Makhudum bahwa lepas 1,5 mil dari pelabuhan, para perwira Jepang serentak melakukan serbuan terhadap para perawan itu, memperkosa dan menghancurkan idealisme menjadi pemimpin di kemudian hari. Mereka berlarian di geladak kapal, mencoba menyelamatkan tubuh dan kehormatan masing-masing. Tak seoarang pun dapat lepas dari terkaman.[15]

Buku yang menceritakan kisah Ibu Mardiyem
Mantan Perdana Menteri Jepang tahun 1982-1987 Yasuhiro Nakasone mengisahkan dalam buku yang meriwayatkan hidupnya, bahwa Ia pada masa berusia 23 tahun dan telah menjadi perwira dengan pangkat Letnan pembangunan Korps Kaigun kedua, dengan sombong mengatakan kalau dirinya telah terlibat dalam pembangunan ian-jo di Balikpapan, Kalimantan Timur. Naksone menyatakan “Saya mengomandani 3000 laki-laki. Saat tiba disana beberapa dari anak buah saya menyerang perempuan-perempuan lokal atau memusakan diri dalam perjudian. Sehingga saya mengalami kesulitan dalam membangun ian-jo untuk para laki-laki ini.[16]

Dengan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, perempuan-perempuan malang yang dijadikannya budak seks itu dilepas begitu saja. Sehingga menimbulkan penderitaan baru bagi perempuan-perempuan malang yang masih bertahan hidup. Mereka tidak mendapat perlindungan dari Pemerintah Indonesia, tidak mendapat perhatian dari keluarganya, terdampar menjadi buangan yang dilupakan atau ada juga yang berhasil kembali kepada keluarga dengan merahasiakan kisah kelam itu sampai akhir hayat.

Kisah ini tenggelam bersama derita para korban...

Sampai akhirnya peristiwa itu mulai muncul kembali ke permukaan pada tahun 1993, ketika 5 orang yang tergabung dalam Neichibenren (Asosiasi Pengacara Jepang) datang ke Indonesia menemui Menteri Sosial Inten Suwono dan menyatakan akan membantu Jugun Ianfu Indonesia untuk menuntut kompensasi kepada Pemerintah Jepang. Inten Suwono menanggapi dan mengatakan bahwa Jugun Ianfu Indonesia harus dicari.

Advokasi pun dimulai, beberapa lembaga membuka posko pengaduan bagi perempuan korban. Satu-persatu, mereka yang selama ini diam memendam kisah kelam, mulai bermunculan. Saya sendiri pernah bertemu salah-satunya ketika di Yogyakarta, Ibu Mardiyem (Almarhum), yang oleh Jepang diberikan nama panggilan Momoye.

Ibu Mardiyem berkata :

“Tuntutan aku dan teman-teman kepada Jepang adalah : Pemerintah Jepang harus mengaku bersalah dan meminta maaf secara langsung kepada korban. Memasukkan Kami, korban Jepang, ke dalam pelajaran sekolah-sekolah di Jepang dan membayar uang..[17] 

Sampai dengan akhir hayatnya, Pemerintah Jepang belum memenuhi semua tuntutan itu kepada Ibu Mardiyem.

Untuk menutup tulisan ini, Saya kutip kata-kata Pram :

“Nah, kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian,
bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk
 yang bisa menimpa para gadis seumur kalian,
juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian
 yang mengalami kemalangan itu.[18]


-Semarang, 4 Januari 2014-


[1] Tulisan ini digunakan sebagai bahan diskusi di ruang "Pojok Pram", Kamis 6 Februari 2014, di Kantor Satjipto Rahardjo Institute, yang digagas kawan Rian Adhivira Prabowo dkk.
[2] Pengelola Perspustakaan Rumah Buku di Perumahan Pandana Merdeka Blok L-7 Ngaliyan, Semarang.
[3] Lihat Pramoedya Ananta Toer, Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, Kepustakaan Populer Gramedia, Tahun 2011, Hal.3
[4] Lihat Eka Hindra-Koichi Kimura, Momoye Mereka Memanggilku, Biografi Sejarah Jugun Ianfu Indonesia, Esensi, Tahun 2007, Hal. 228
[5] Idem
[6] Lihat Jaringan Advokasi Jugun Ianfu Indonesia, Menggugat Negera Indonesia Atas Pengabaian Hak-Hak Asasi Manusia (Pembiaran) Jugun Ianfu Sebagai Budak Seks Militer dan Sipil Jepang Tahun 1942-1945, Komnas HAM, Tahun 2010, Hal.2
[7] Idem
[8] Lihat Momoye Mereka Memanggilku, Biografi Sejarah Jugun Ianfu Indonesia, Hal. 240.
[9] Lihat Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, Hal.5
[10] Lihat Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, Hal.6-7
[11] Lihat Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, Hal.15
[12] Lihat Momoye Mereka Memanggilku, Biografi Sejarah Jugun Ianfu Indonesia, Hal. 230.
[13] Lihat Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, Hal.30
[14] Lihat Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, Hal.41
[15] Lihat Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, Hal.33
[16] Lihat Momoye Mereka Memanggilku, Biografi Sejarah Jugun Ianfu Indonesia, Hal. 231
[17] Lihat Momoye Mereka Memanggilku, Biografi Sejarah Jugun Ianfu Indonesia, Hal. 203
[18] Lihat Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, Hal.15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar