Selasa, 25 Juni 2019

Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Masalah Penghitungan Suara di TPS Dalam Pemilu Serentak[1]



Oleh: Asep Mufti, S.H.[2]


Pemilihan Umum Tahun 2019 merupakan pengalaman pertama di Indonesia, yang mana Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (Pileg) dilakukan secara bersamaan dengan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Secara hukum pelaksanaan pemilu tersebut diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Secara hukum, keserantakan pemilu diawali dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 14/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada tanggal 23 Januari 2014. Putusan atas pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ini diajukan oleh Effendi Gazali. Perkara ini diajukan saat momentum Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD, serta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada Tahun 2014.

Setidaknya terdapat 4 pertimbangan Majelis Hakim MK saat itu, yang akhirnya menjadi dasar diselenggarakannya pemilu secara serentak. Pertimbangan-pertimbangan itu meliputi[3]:

1.  Penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan rancang bangun sistem pemerintahan menurut UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. Arah penyelenggaan pilpres adalah untuk memperkuat sistem itu. Sementara menurut Mahkamah, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah. Model koalisi yang dibangun antara partai politik dan/atau dengan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden justru tidak memperkuat sistem pemerintahan presidensial;

2.      Dari sisi original intent, makna asli yang dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan Pilpres adalah dilakukan serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan. Hal itu secara tegas dikemukakan oleh Slamet Effendy Yusuf sebagai salah satu anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI yang mempersiapkan draft perubahan UUD 1945 yang mengemukakan bahwa para anggota MPR yang bertugas membahas perubahan UUD 1945 ketika membicarakan mengenai permasalahan ini telah mencapai satu kesepakatan bahwa “...yang dimaksud pemilu itu adalah pemilu untuk DPR, pemilu untuk DPD, pemilu untuk presiden dan wakil presiden, dan DPRD. Jadi, diletakkan dalam satu rezim pemilu.” Diterangkan lebih lanjut secara teknis bahwa gambaran pelaksanaan Pemilu nantinya akan terdapat 5 (lima) kotak, yaitu “... Kotak 1 adalah kotak DPR, kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3 adalah presiden dan wakil presiden, dan kotak 4 adalah DPRD provinsi, kotak 5 adalah DPRD kabupaten/kota.” (vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku V Pemilihan Umum (2010), halaman 602 yang mengutip Risalah Komisi A ke-2 Sidang Majelis pada Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 5 November 2001);

3.    Penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara;

4.     Dalam pemilu serentak, warga negara dapat memilih secara cerdas dan memetakan checks and balances, dengan cara mempertimbangkan sendiri mengenai penggunaan pilihan untuk memilih anggota DPR dan DPRD yang berasal dari partai yang sama dengan calon presiden dan wakil presiden.

Mahkamah Konstitusi tidak memberlakukan putusan tersebut pada Pemilu Tahun 2014, mengingat proses dan tahapan sedang berjalan dan mendekati waktu pelaksanaan, sehingga apabila diberlakukan pada Pemilu Tahun 2014 akan mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945[4].

Karena merupakan yang pertama kali dalam sejarah pemilu di Indonesia, keserentakan pemilu berpotensi menimbulkan kompleksitas dalam pelaksanaannya. Seperti yang dikatakan oleh Ketua Bawaslu, Abhan, yang mengatakan bahwa pemilu 2019 dapat dipastikan akan diwarnai dengan berbagai kompleksitas baik pada aspek penyelenggaraan, pengawasan, maupun pada aspek partisipasi pada masyarakat pemilih[5].

Sudah kita ketahui bersama, Pilpres Tahun 2019 diikuti oleh 2 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Pasangan Calon Nomor Urut 01, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, dan Pasangan Calon Nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Sementara Pileg diikuti oleh 16 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal di Aceh.

Pada saat pemungutan suara, yaitu tanggal 17 April 2019, Pemilih mencoblos 5 surat suara yang terdiri dari Pilpres (berwarna abu-abu), DPD (warna merah), DPR (warna kuning), DPRD Provinsi (warna biru), dan DPRD Kab/Kota (warna hijau).  

Berdasarkan ketentuan Pasal 383 UU Pemilu, penghitungan suara dimulai setelah pemungutan suara berakhir dan berakhir pada hari pemungutan suara. Secara teknis, sebagiamana diatur Peraturan KPU[6], pemungutan suara di dalam negeri dimulai pukul 07.00 sampai dengan pukul 13.00 waktu setempat. Berdasarkan norma tersebut, jika pemungutan suara dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 17 April 2019, maka penghitungan suara baru bisa dimulai sejak pukul 13.00 waktu setempat dan harus sudah selesai pada jam 24.00 waktu setempat. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dalam Peraturan KPU yang sama, jumlah pemilih dalam satu TPS ditetapkan paling banyak 300 orang.

Sebagai bentuk persiapan, KPU sebagai penyelenggara pernah menggelar simulasi pada tanggal 12 Maret 2019 lalu, untuk memprediksi lamanya waktu penghitungan suara. Berdasarkan simulasi yang dilakukan, menurut Anggota KPU Viryan Aziz, hasil simulasi menunjukkan penghitungan suara selesai di atas pukul 24.00. Hal ini dikarenakan kertas suara dan pilihan yang banyak, sehingga penghitungan saat simulasi tidak dapat selesai pukul 24.00.[7]

Dari uraian di atas terlihat permasalahan antara norma perundang-undangan dan realitas yang terjadi. Pasal 383 UU Pemilu mengharuskan penghitungan harus selesai pada hari yang sama dengan pemungutan suara, sementara realitasnya berdasarkan simulasi yang dilakukan, penghitungan bisa melebihi waktu yang ditentukan norma hukum tersebut.

Terhadap persoalan tersebut, beberapa elemen masyarakat yang terdiri dari 1 1embaga dan 6 orang lainnya mengajukan permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 20/PUU-XVII/2019. Salah satu pasal yang diuji adalah Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu.

Menurut alasan para pemohon frasa “hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara” dalam pasal 383 ayat (2) yang membatasi penghitungan suara, berpotensi tidak terpenuhi akibat kompleksitas penghitungan. Sehingga dapat memengaruhi kondusifitas dan keabsahan Pemilu 2019. Oleh karena itu pasal tersebut dapat menyebabkan kerugian hak konstitusional Para Pemohon yang dijamin dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.[8]

Setelah melalui proses pemeriksaan, MK membacakan putusan atas permohonan tersebut pada tanggal 28 Maret 2019. Di salah satu amar putusannya, MK menyatakan Pasal 383 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang norma itu tidak dimaknai dapat diperpanjang tanpa jeda paling lama 12 (dua belas) jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara. Sederhanya, melalui putusan itu, MK memperpanjang waktu penghitungan suara, semula diatur harus selesai pada hari yang sama atau sampai pukul 23.59, dipenjanjang paling lama 12 jam dengan catatan tanpa jeda, ini berarti pengitungan suara bisa dilakukan sampai dengan pukul 12.00 pada keesokan harinya sejak hari pemungutan suara.

Berdasarkan uraian tersebut, melalui tulisan ini, penulis hendak melihat putusan MK tersebut melalui pendekatan sosiologi hukum.

Menurut Soerjono Soekanto, sosiologi hukum merupakan ilmu pengetahuan tentang realitas hukum. Di satu pihak terdapat anggapan bahwa hukum merupakan hasil atau timbul dari proses-proses sosial lainnya (the genetic sociology of law). Di lain pihak, terdapat anggapan bahwa hukum merupakan pengarah terhadap kehidupan sosial (the operational sociology of law). Kedua pendekatan itu mempunyai hubungan timbal balik, sehingga dapat dikatakan, sosiologi hukum menyoroti hubungan timbal balik antara hukum denga  proses-proses sosial lainnya dalam masyarakat.[9]

Sementara menurut Satjipto Rahardjo, terdapat 3 karakteristik studi hukum yang merupakam kunci untuk melakukan penyelidikan dalam bidang sosiologi hukum. 3 karekteristik itu meliputi: Pertama, sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum, mengapa praktek yang demikian itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang berpengaruh, latarbelakang dan sebagainya. Kedua, sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (emperical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Ketiga, sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Perhatiannya yang utama hanyalah memberikan penjelasan terhadap obyek yang dipelajarinya atau penjelasan terhadap fenomen hukum yang nyata.[10]

Melalui tulisan ini, penulis hendak melihat aspek sosiologis dari Putusan MK Nomor: 20/PUU-XVII/2019. Realitas sosial apa yang ditangkap oleh Majelis Hakim MK yang menjadi dasar dalam memberikan putusan, yang pada hakikatnya adalah menciptakan norma baru, hal mana merupakan hubungan timbal balik dari hukum dan realitas sosial sebagaimana dimaksud Serjono Soekanto.
Selain itu, untuk melihat cara pandang Majelis Hakim MK dalam menguji kesahihan empiris terhadap norma Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu, sebagaimana menjadi satu pendekatan sosiologi hukum seperti dikatakan oleh Satjipto Rahardjo.

Bahwa bunyi Pasal 383 UU Pemilu lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:
(1) Penghitungan suara di TPS/TPSLN dilaksanakan setelah waktu pemungutan suara berakhir.
(2) Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara.

Dari ketentuan Pasal 383 tersebut, norma yang dipermasalahkan oleh Pemohon pengujian undang-undang di MK adalah frasa “hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara” yang ada pada ayat (2). Dalam permohonannya, pemohon meminta kepada MK untuk menegaskan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur batas waktu penghitungan yang harus selesai pada hari pemungutan suara, dimaknai dapat melebihi pukul 23.59 di hari pemungutan suara asalkan penghitungan tetap dilakukan secara tidak terputus hingga paling lama di hari berikutnya. Hal ini penting agar tidak menimbulkan persoalan dan komplikasi hukum yang dapat menyebabkan dipersoalkannya keabsahan Pemilu 2019. Apalagi hasil simulasi penghitungan menunjukkan kemungkinan terlewatinya batas waktu tersebut.[11]

Pemohon mengkhawatirkan keabsahan pemilu 2019, apabila dalam penghitungan suara melibihi batas waktu yang ditentukan oleh pasal 383 ayat (2) UU Pemilu.

KPU sebagai penyelenggara pemilu, dalam persidangan yang dilakukan oleh MK memberikan keterangan bahwa berdasarkan simulasi-simulasi yang dilakukan oleh KPU, jika penghitungan suara dinilai selesai pada saat selesainya pencatatan hasil suara pada form C1 Plano, maka batas waktu yang diatur dapat dikatakan cukup. Sementara proses menyalin hasil suara dalam Berita Acara dan Sertifikat tidak termasuk di dalamnya. Namun KPU meminta adanya kelonggaran waktu untuk mengantisipasi kejadian-kejadian khusus yang terjadi pada saat proses penghitungan suara dilaksanakan.[12]

Bawaslu sebagai lembaga pengawas, yang juga memberi keterangan dalam persidangan, mengatakan bahwa berkaca pada Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota Tahun 2014 yang menggunakan 4 jenis surat suara, banyak TPS yang melakukan penghitungan surat suara dan pengadministrasian dokumen dan berkas pungut-hitung yang melewati pukul 24.00 waktu setempat. Apalagi, pemilihan dengan lima jenis surat suara seperti pemilu serentak 2019, penghitungan dan pengadministrasian bakal molor dari waktu yang ditentukan.[13]

Dari keterangan yang disampaikan Pemohon, KPU, dan Bawaslu, setidaknya dapat disimpulkan bahwa terdapat realitas dimana pengitungan suara selama ini membutuhkan waktu yang cukup lama, dan terdapat potensi melebihi batas waktu yang ditentukan pada pemilu 2019, mengingat terdapat tambahan kertas suara yang akan dihitung. Dari realitas itu, maka keberlakukan atau kesahihan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu akan diuji.

Bahwa terhadap permasalahn itu, MK dalam putusannya memberikan pertimbangan sebagai berikut:

“Bahwa Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak pertama karena untuk pertama kalinya, pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilu anggota legislatif (yaitu pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota). Salah satu konsekuensi keserentakan pemilu dimaksud adalah bertambahnya jenis surat dan kotak suara. Jika pada Pemilu 2014, in casu pemilu anggota legislatif, terdapat empat kotak suara maka pada Pemilu 2019, yang menggabungkan penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilu anggota legislatif, terdapat lima kotak suara. Penyelenggaraan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, akan menimbulkan beban tambahan dalam penyelenggaraan termasuk memerlukan waktu lebih lama. Apalagi, jumlah partai politik peserta Pemilu 2019 lebih banyak dari Pemilu 2014. Terkait dengan hal itu, Pasal 350 ayat (1) UU Pemilu mengantisipasi dengan cara membatasi bahwa pemilih untuk setiap TPS paling banyak 500 orang. Bahkan, setelah melalui simulasi, sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, KPU mengatur bahwa jumlah pemilih untuk setiap TPS paling banyak 300 orang.

Bahwa sekalipun jumlah pemilih untuk setiap TPS telah ditetapkan paling banyak 300 orang, namun dengan banyaknya jumlah peserta pemilu, yang terdiri dari dua pasangan calon presiden, 16 (enam belas) partai politik nasional dan khusus Aceh ditambah dengan 4 (empat) partai politik lokal peserta pemilu dengan tiga tingkat pemilihan, dan perorangan calon anggota DPD, serta kompleksnya formulir-formulir yang harus diisi dalam penyelesaian proses penghitungan suara, potensi tidak selesainya proses penghitungan suara pada hari pemungutan suara sangat terbuka. Belum lagi jika faktor kapasitas dan kapabilitas aparat penyelenggara pemilu, khususnya di tingkat TPS, turut dipertimbangkan.

Oleh karena itu, dalam hal potensi yang tak dikehendaki tersebut benar-benar terjadi, sementara UU Pemilu menentukan pembatasan waktu yang sangat singkat dalam menghitung suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara, maka keabsahan hasil pemilu akan menjadi terbuka untuk dipersoalkan.

Bahwa untuk mengatasi potensi masalah tersebut maka ketentuan pembatasan waktu penghitungan suara sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu harus dibuka namun dengan tetap memerhatikan potensi kecurangan yang mungkin terjadi. Potensi kecurangan mana akan terbuka jika proses penghitungan suara yang tidak selesai pada hari pemungutan suara lalu dilanjutkan pada hari berikutnya dengan disertai jeda waktu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, perpanjangan jangka waktu penghitungan suara hanya dapat dilakukan sepanjang proses penghitungan dilakukan secara tidak terputus hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN. Perpanjangan hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN, yaitu pukul 24.00 waktu setempat, merupakan waktu yang masuk akal, jika waktu tersebut diperpanjang lebih lama lagi justru akan dapat menimbulkan masalah lain di tingkat KPPS.

Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat, sebagian dalil para Pemohon sepanjang menyangkut pembatasan waktu penghitungan suara di TPS/TPSLN sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu cukup beralasan. Hanya saja, untuk mengurangi segala kemungkinan risiko, terutama risiko kecurangan, lama perpanjangan waktu penghitungan suara cukup diberikan paling lama 12 (dua belas) jam. Dengan waktu tersebut, dalam batas penalaran yang wajar, sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan potensi tidak selesainya proses penghitungan suara di TPS/TPSLN pada hari pemungutan suara. Sehubungan dengan itu, maka Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara dan dalam hal penghitungan suara belum selesai dapat diperpanjang paling lama 12 (dua belas) jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara.”

Dengan dimaknainya Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu sebagaimana dinyatakan di atas maka semua norma yang memuat batas waktu yang terkait atau terdampak dengan penambahan waktu 12 (dua belas) jam tersebut harus pula disesuaikan dengan penambahan waktu dimaksud.[14]

Jika dilihat dari pertimbangan MK tersebut, nampak bahwa MK mencoba memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik hukum, khususnya mengenai pengitungan suara pada pemilu 2014, dan hal tersebut menjadi salah satu dasar bagi MK dalam memberikan putusan. Dengan demikian, merujuk pada pendapat Satjipto Rahardjo, dengan melihat praktik-praktik hukum tersebut, maka MK telah melakukan sebuah penyelidikan dalam bidang sosiologi hukum.

Pertimbangan MK yang menyatakan “untuk mengurangi segala kemungkinan risiko, terutama risiko kecurangan, lama perpanjangan waktu penghitungan suara cukup diberikan paling lama 12 (dua belas) jam. Dengan waktu tersebut, dalam batas penalaran yang wajar, sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan potensi tidak selesainya proses penghitungan suara di TPS/TPSLN pada hari pemungutan suara,” menurut penulis telah menjadikan putusan MK sebagai pengendali sosial atau pengarah terhadap praktik penghitungan suara (the operational sociology of the law).

Putusan MK tersebut pada praktiknya, sangat tepat dan efektif. Ini dikarenakan, menurut informasi yang diterima oleh penulis dari beberapa daerah, dalam kapasitas penulis sebagai pekerja di Bawaslu, pada umumnya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara  (KPPS) yang melakukan penghitungan suara di TPS, dengan daftar pemilih lebih dari 200 orang, dapat menyelesaikan pengitungan suara pada sekitar pukul 3-5 pagi. Dengan demikian, apabila MK tidak membuat penasiran terhadap Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu dengan memperpanjang waktu selama 12 jam, maka dapat dipastikan banyak pengitungan suara yang dilakukan melebihi batas waktu.

Meski secara hukum Putusan MK sangat tepat dan tidak menimbulkan persoalan hukum dalam aspek teknis pengitungan suara, namun di sisi lain kita mendapatkan kenyataan banyak petugas KPPS yang meninggal dan diduga akibat kelelahan saat bertugas pada pemilu tahun 2019 ini. Berdasarkan catatan KPU per tanggal 4 Mei 2019, terdapat 440 orang Anggota KPPS meninggal[15]. Fakta ini tentu menjadi keprihatinan bagi kita semua.

***


[1] Disusun sebagai tugas mata kuliah Sosiologi Hukum, dengan dosen pengampu, Dr. Rizal Ramadhani, S.H.,LL.M., pada Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Nasional.
[2] Mahasiswa Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Nasional.
[3] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 14/PUU-XI/2013, halaman 78-84. Dokumen putusan dapat diunduh melalui laman www.mahkmahkonstitusi.go.id
[4] Ibid, halaman 85
[5] Lihat berita “Bawaslu: Pemilu 2019 Akan Diwarnai Berbagai Kompleksitas”, dimuat tanggal 25 September 2018 pada laman www.nasional.sindonews.com
[6] Pasal 4 ayat (4) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2019
[7] Lihat berita berjudul “KPU Prediksi Penghitungan Suara di Pemilu 2019 Lebih Lama dari Regulasi” dimuat tanggal 27 Maret 2019, di laman www.suara.com
[8] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XVII/2019
[9] Soerjono Soekanto, “Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum”, cetakan keenam, tahun 1991, PT.Citra Aditya Bakti – Bandung, halaman 4.
[10] Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, cetakan keempat, tahun 1996, PT.Citra Aditya Bakti – Bandung, halaman 327-328
[11] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XVII/2019, halaman 15
[12] Idem, halaman 37-38
[13] Idem, halaman 61-62
[14] Idem, halaman 96-98
[15] Lihat berita berjudul “Total 554 Orang KPPS, Panwas dan Polisi Tewas di Pemilu 2019” dimuat tanggal 7 Mei 2019, pada laman www.cnnindonesia.com



1 komentar: