Jumat, 08 November 2019

Pengaturan Hukum dan Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia[1]


Oleh: Asep Mufti[2]


Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah semakin meluas dan merambah pada berbagai elemen tak terkecuali pada lembaga-lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.

Pada lembaga eksekutif, kasus teranyar adalah kasus yang menjerat Menteri Pemuda dan Olah Raga, Imam Nahrawi. Nahrawi terjerat kasus penyaluran dana hibah pada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Di lembaga legislatif, ada kasus besar seperti kasus KTP elektronik yang menjerat Ketua DPR saat itu, Setya Novanto. Sedangkan pada lembaga yudikatif, terdapat kasus Ketua MK, Akil Mochtar dan Hakim MK lainnya, Patrialis Akbar yang terjerat kasus suap. Belakangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga gencar melakukan operasi tangkap tangan yang menjerat Hakim-Hakim pada pengadilan negeri. Fakta-fakta ini tentu sangat memprihatinkan.

Pada perkembangannya, Korupsi tidak semata-mata merugikan keuangan Negara, namun juga telah melanggar hak hak sosial dan ekonomi masyarakat, bahkan dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime).

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha untuk memberantas tindak pidana korupsi dan menyelamatkan keuangan Negara. Berbagai produk perundang-undangan, lembaga dan tim khusus telah dibentuk oleh pemerintah guna memerangi tindak pidana korupsi sampai ke akar-akarnya demi menyelamatkan perekonomian dan keuangan Negara.

Korupsi merupakan ancaman serius yang tidak saja menyerang sendi-sendi perekonomian nasional suatu Negara, namun dampaknya juga sangat mempengaruhi sistem perekonomian internasional serta melemahkan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai keadilan di semua Negara. Berdasarkan kenyataan tersebut, pemberantasan tindak pidana korupsi bukan merupakan tanggung jawab satu negara saja, namun merupakan tanggung jawab bersama Negara-negara di dunia yang dalam penegakan hukumnya membutuhkan kerjasama internasional[3].

Negara-negara di dunia harus bekerja sama dalam memberantas tindak pidana korupsi, karena kejahatan ini selain bersifat extraordinary crime juga bersifat borderless (tidak memandang batas-batas Negara) dan transnational (lintas Negara). Oleh Karena itu penanganannya juga harus secara global dan transnasional. Namun kerjasama ini tidak semata-mata hanya menghukum para koruptor sehingga menciptakan efek jera (deterrent effect) namun juga diusahakan semaksimal mungkin agar kerugian Negara dapat diselamatkan (asset recovery). Untuk menyelamatkan aset (asset recovery) dalam penanganan tindak pidana korupsi, setiap Negara harus membuka hubungan kerja sama yang lebih luas, tidak hanya dalam penegakan hukum pelakupelakunya tetapi juga dalam mengembalikan asset hasil korupsi yang dilarikan/disembunyikan di wilayah Negara lain[4].


PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN YANG MENGATUR TINDAK PIDANA KORUPSI

Dalam sejarahnya, pengaturan tindak pidana korupsi telah diatur sejak era kepeminpinan orde lama sampai dengan hingga saat ini. Berikut ini adalah daftar peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi:

1.        Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Wetboek van strafrecht voor Indoensie (WvSI) yang di Hindia Belanda mulai berlaku pada 1 Januari 1918. Pasca Indonesia merdeka WvSI tetap berlaku dengan beberapa perubahan dengan terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1946[5].

Dalam KUHP tidak diatur mengenai definisi korupsi, namun ada beberapa pengaturan pasal yang mengatur tindakan atau perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi, antara lain:

a.      Pasal 209 dan Pasal 419, yang mengatur perbuatan suap kepada seorang Pejabat;
b.      Pasal 210 dan Pasal 420, yang mengatur perbuatan suap kepada Hakim dan Penasihat Hukum;
c.       Pasal 415, yang mengatur perbuatan penggelapan uang yang dilakukan oleh Pejabat;
d.      Pasal 418, yang mengatur gratifikasi yang diterima oleh Pejabat;
e.      Pasal 423 dan Pasal 424, yang mengatur perbuatan pejabat yang menguntungkan diri sendiri dan orang lain dengan cara menyalahgunakan kekuasannya;
f.        Pasal 425, yang mengatur perbuatan pemerasaan yang dilakukan oleh seorang pejabat.

2.       Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/ZI/1/7 tanggal 17 April 1958

Menurut dua peraturan tersebut, terdapat 2 macam perbuatan korupsi, yaitu:
a.      Perbuatan korupsi pidana, dimana terjalin unsur kejahatan atau pelanggaran, sehingga berdasarkan itu dapat dipidana dengan hukuman badan dan/atau denda yang cukup berat di- samping perampasan harta-benda hasil korupsinya (pasal 2).
b.      Perbuatan korupsi lainnya, dimana terdapat unsur "perbuatan melawan hukum" (pasal 3). Perbuatan korupsi ini tidak diancam dengan hukuman pidana, melainkan Pengadilan Tinggi yang mengadilinya atas gugatan Badan Koordinasi Penilik Harta Benda, dapat merampas harta-benda hasil perbuatan korupsi itu. Yang dimaksud dengan unsur "perbuatan melawan hukum" tersebut diatas ialah "onrechtmatige daad" tercantum dalam pasal 1365 K.U.H. Perdata, perkataan mana menurut yurispuridentie mempunyai ma'na sangat luas yakni : Perbuatatan atau kelalalaian seseorang, yang oleh karenanya melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajibannya sendiri menurut hukum, atau dengan norma-norma adat kesopanan yang lazim ataupun bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak prihatin terhadap orang lain atau barang c.q. haknya. Dapatlah kita singkatkan ma'na dari perkataan "perbuatan melawan hukum" tersebut dengan istilah "perbuatan tercela". Harta-benda hasil perbuatan tercela inilah yang dapat dirampas oleh Pengadilan Tinggi tadi; pun juga lain-lain harta-benda yang oleh pasal 12 ayaat (2) dari peraturan Peperpu tersebut disamakan dengan harta-benda hasil perbuatan tercela dapat pula dirampas yaitu :
1)      harta-benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak diterangkan olehnya atau oleh pengurusnya;
2)     harta-benda yang tidak terang siapa pemiliknya;
3)     harta-benda seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki dianggap tidak seimbang dengan penghasilan mata pencahariannya[6].

Maksud diadakannya peraturan-peraturan Peperpu tersebut ialah supaya dalam tempo singkat dapat dibongkar perbuatanperbuatan korupsi yang dewasa itu sangat meraja-lela sebagai akibat dari suasana seakan-akan Pemerintah dewasa itu sudah tidak mempunyai kewibawaan lagi. Oleh karena itu peraturan peraturan itu dimaksudkan untuk berlaku buat sementara waktu saja (temporair)[7]

3.       Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

Dengan berlakunya UU ini, dua Peraturan Penguasa Perang Pusat Tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku. Namun demikian, perumusan delik yang ada dalam Peraturan Pengusaha Perang Pusat tersebut diambil alih sepenuhnya oleh UU ini dengan sedikit perubahan.

Pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan b hanya kata “perbuatan” diganti dengan “tindakan” karena undang-undang ini memakai istilah “tindak pidana korupsi” bukan “perbuatan pidana korupsi”. Pada sub c hanya ditambah Pasal 415, 416, 417, 423, 425, 435 KUHP.memang ini menjadi kekurangan Peraturan Penguasa Perang Pusat karena penggelapan oleh pegawai negeri benar merupakan bentuk inti korupsi di samping masalah suap menyuap (Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 KUHP)[8].

Berdasarkan Pasal 1, yang disebut tindak pidana korupsi ialah:
a.        tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara atau Daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau Daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat;
b.        perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalah-gunakan jabatan dan kedudukan;
c.         kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 17 sampai pasal 21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

4.       Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pengertian Korupsi berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1971, lebih luas, yang jika disimpulkan terdiri dari perbuatan seseorang yang merugikan keuangan Negara dan yang membuat aparat pemerintah tidak efektif, efisien, bersih dan berwibawa. Jika hal ini dipahami maka dapat diketahui bahwa tujuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah : 1) Mencegah kerugian keuangan Negara 2) Mencapai aparat pemerintah yang efisien, efektif, bersih dan berwibawa[9].

5.       Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

UU ini merupakan pelaksanaan dari amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang merupakan salah satu tuntutan Reformasi 1998.

Keberadaan UU ini sebagai bentuk reaksi atas persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi pada era Orde Baru, sekaligus membuktikan keseriusan pemerintah dalam memeberantas korupsi. Untuk pengertian korupsi, UU ini tetap merujuk pada perundang-undangan yang ada, Namun dalam UU ini diatur mengenai perbuatan Kolusi dan Nepotisme.

Kolusi berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU ini adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Sementara Nepotisme berdasarkan Pasal 1 angka 5 adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Melalui UU ini juga diatur mengenai kewajiban untuk mengumumkan dan melaporkan harta kekayaan bagi seseorang yang akan menjadi pejabat negara.

6.       Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Menyebutkan, Dihukum Karena Tindak Pidana Korupsi, Yaitu :
a.        barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b.        barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada atau yang karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
c.         barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan pasal 435 kitab undang-undang hukum pidana.
d.        barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
e.        barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam pasal 418, 419 dan pasal 420 kitab undang-undang hukum pidana, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

Tindak pidana korupsi berdasarkan undang-undang ini lebih luas lagi yaitu dengan dicantumkan korporasi sebagai subjek hukum. Namun UU ini di beberapa pasal masih merujuk pada perbuatan atau tindakan yang diatur dalam KUHP. Melalui perubahan dalam UU No. 20 Tahun 2001, rumusan tindakan yang sebelumnya mengacu pada KUHP diubah dan dirumuskan secara langusng dengan menyebut unsur-unsur tindakan yang ada dalam KUHP, selain itu diatur juga mengenai Gratifikasi.

Berdasarkan pengaturan UU ini, tindakan-tindakan korupsi dapat dikelompokkan sebagai berikut[10]:
a.        Kerugian Uang Negara (Pasal  2);
b.        Penggelapan dalam Jabatan (Pasal 3);
c.         Suap-Menyuap (Pasal 5);
d.        Pemborong perbuatan curang (Pasal 7);
e.        Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12);
f.          Gratifikasi (Pasal 12B dan 12C).

Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas, masih ada tindak pidana lain yang yang berkaitan. dengan tindak pidana korupsi itu adalah:
a.        Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
b.        Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
c.         Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
d.        Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberiketerangan palsu
e.        Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu
f.          Saksi yang membuka identitas pelapor.


LEMBAGA-LEMBAGA PEMBERANTASAN KORUPSI

Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan sejak era kepemimpinan Orde Lama sampai dengan saat ini, juga tidak terlepas dari pembentukan lembaga-lembaga sebagai pelaksana dari peraturan perundangan-undangan.

Dalam sejarahnya, sebagai upaya memberantas tindak pidana korupsi Pemerintah pernah membentuk lembaga-lembaga sebagai berikut:

a.        Operasi Budhi (Keppres No. 275/1963). Operasi ini untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI yang dinilai tidak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya dibebaskan dari dakwaan.

b.        Tim Pemberantas Korupsi (Keppres No. 228/1967). Para anggota tim ini merangkap jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini kemudian berhasil menyeret 9 orang yang diindikasikan “koruptor”.

c.         Komisi Empat (Keppres No. 12/1970). Mantan Wakil Presiden, Mohammad Hatta diangkat sebagai penasihat komisi yang dibentuk oleh Presiden Soeharto tersebut. Menurut Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal usia rezim ini masih begitu muda[11].

d.        Komite Anti Korupsi/KAK. Selain Komisi Empat, dimasa pemerintahan orde baru juga pernah berdiri Komisi Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa eksponen 66 seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk. Namun belum terlihat hasil yang telah dicapai, Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua bulan sejak terbentuk.

e.        Operasi Penertiban (OPSTIB). Pada tahun 1977 dengan berdasarkan Inpres 9 Tahun 1977, Pemerintah melancarkan Operasi Penertiban (OPSTIB). Dalam empat tahun (1977-81) Opstib telah menyelamatkan uang negara Rp.200 milyar dan menindak 6.000 pegawai. Opstib merupakan gabungan dari unsur polisi, kejaksaan, militer, dan dari menteri pedayaguanaan aparatur negara dan setiap tiga bulan melaporkan kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan jawatan pemerintah.

f.          Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim yang dibentuk di era Presiden Abdurrahman Wahid ini berada di bawah Jaksa Agung Marzuki Darusman. TGPTPK dibentuk sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan amanat UU No.31 tahun 1999. TGPTPK yang beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari masyarakat tidak mendapat dukungan, bahkan oleh Jaksa Agung sendiri. Permintaan TGPTPK untuk mengusut kasus BLBI yang banyak macet prosesnya ditolak oleh Jaksa Agung. Akhirnya, TGPTPK dibubarkan tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga orang Hakim Agung pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung.

g.        Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaran Negara (KPKPN). Dibentuk berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, Komisi yang dipimpin oleh Yusuf Syakir ini bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK akhirnya KPKPN dilebur menjadi bagian KPK.

h.       Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi ini dibentuk pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi ini masih bertahan hingga sekarang. UU No. 30 Tahun 2001 kemudian diubah dengan UU No. 19 Tahun 2019. Saat masih menjadi Rancangan publik menduga pengaturan-pengaturan yang baru merupakan upaya pelemahan terhadap KPK dan memicu demontrasi besar-besaran di Jakarta dan di daerah-daerah lainnya.

i.          Tim Pemburu Koruptor. Tim yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang merupakan program 100 hari pemerintahannya. Tim ini dipimpin oleh Wakil Jaksa Agung, Basrief Arief dibawah koordinasi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tim yang terdiri dari Kejaksaan dan Kepolisian bertugas memburu terpidana dan tersangka kasus korupsi yang melarikan diri keluar negeri.

j.          Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei 2005. Ada dua tugas utama yang diemban tim yang diketuai oleh Hendarman Supandji. Pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi. Kedua, mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal.

k.        Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Dibentuk berdasarkan UU No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pada awalnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK. Pembentukan Pengadilan Tipikor melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tersebut telah diuji materiil dan hasil pengujian materiil tersebut dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 yang intinya menyatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dimuat dalam Pasal 53-62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah inskonstitusional. Atas dasar Putusan MK tersebut telah diterbitkan produk hukum baru yaitu Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.


KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa pengaturan mengenai tindak pidana korupsi telah diatur sejak era Kepemimpinan Presiden Soekarno dengan pemberlakukan KUHP dengan terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1946 sampai dengan UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Namun demikian tidak terdapat definisi hukum mengenai apa itu  korupsi. Peraturan Perundang-Undangan yang ada hanya merumuskan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Secara kelembagaan, telah ada lembaga-lembaga yang bertugas memberantas tindak pidana korupsi, namun sebelum hadirnya KPK, pembentukan lembaga-lembaga tersebut tidak bertahan lama.


[1] Tulisan ini disusun sebagai tugas mata kuliah Tindak Pidana Korupsi dengan Dosen Pengampu Prof. Dr. Mohammad Askin, S.H.
[2] Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Nasional
[3] Lihat Laporan Akhir Kompendium Hukum Tentang Lembaga Pemberantasan Korupsi, yang diterbitkan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, Tahun 2011, hlm 3.
[4] Ibid, hlm. 3-4
[5] (Lihat Monograf Focus Group Discussion “Hukuman Mati Dalam R KUHP 2015”, terbitan Aliansi Nasional Reformasi KUHP-ICJR, Oktober 2015)
[6] Lihat Penjelasan Umum UU No. 24 Prp. Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
[7] Ibid
[8] Opcit, Laporan Akhir Kompendium Hukum Tentang Lembaga Pemberantasan Korupsi, hlm. 15
[9] Ibid, hlm. 16
[10] Ibid, hlm. 18-24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar