Jumat, 08 November 2019

Potret Lembaga Pengawas dan Penegakan Hukum Pemilu[1]


Oleh: Asep Mufti, Tim Asistensi Divisi Penindakan Bawaslu


Kehadiran lembaga pengawas pemilu dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, telah ada sejak pemilu yang diadakan pada tahun 1982 atau pemilu keempat (sebelumnya telah dilaksanakan Pemilu tahun 1955, 1971, dan 1977) yang dilaksanakan sejak Negara Indonesia berdiri. Sejak kehadirannya, lembaga pengawas selalu menuai kontroversi, banyak pihak yang menilai kinerja lembaga pengawas pemilu tidak maksimal.

Terhadap keberadaan lembaga pengawas tersebut, ada pihak yang mengusulkan agar lembaga pengawas ditiadakan dalam pelaksanaan pemilu atau dibubarkan. Di lain pihak, ada yang berpendapat agar lembaga pengawas diperkuat dan diberi tambahan kewenangan agar kinerjanya menjadi lebih baik. Kedua pendapat tersebut selalu muncul ketika pembahasan rancangan undang-undang pemilu. Pada kenyataannya, lembaga pengawas pemilu masih ada hingga saat ini.

Dalam pelaksanaan Pemilu Tahun 2019, secara kelembagaan, pengawas pemilu semakin diperkuat dengan dipermanenkannya lembaga pengawas tingkat kabupaten/kota. Semula hanya berupa panitia yang sifatnya hanya sementara, diperkuat menjadi Badan. Selain itu ada penambahan jumlah anggota di tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Secara fungsi, pengawas pemilu diberi kewenangan baru yaitu menyelesaikan pelanggaran administrasi pemilu melalui pemeriksaan secara terbuka dengan produk berupa putusan, yang mana terdapat kewajiban bagi KPU untuk melaksanakan putusan tersebut.

Mengingat perkembangan pelaksanaan pemilu semakin kompleks, apakah keadaan lembaga pengawas pemilu dirasa cukup efektif sebagai penegak hukum pemilu yang dapat mendorong pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil? Atau justeru masih banyak kelemahan yang perlu dibenahi?

Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita melihat kembali sejarah dan perkembangan pengawas pemilu dari awal kemunculannya hingga saat ini.


Awal Kemunculan Lembaga Pengawas Pada Pemilu Tahun 1982

Kemunculan lembaga pengawas pada pemilu tahun 1982 merupakan respon atas kritik terhadap penyelenggaraan pemilu sebelumnya di era pemerintahan Orde Baru, yaitu Pemilu Tahun 1971 dan 1977. Pemerintah berkuasa mendesain pemilu sedemikian rupa, mulai dari kepanitiaan penyelenggara yang diisi oleh pejabat-pejabat pemerintah, sampai keterlibatan PNS pada Golongan Karya sebagai peserta pemilu yang mewakili kepentingan penguasa, namun di sisi lain melarang PNS menjadi anggota partai politik (PPP dan PDI). Selain itu juga ada upaya rekayasa hasil pemilu. Keadaan tersebut menuai protes dari partai politik dan masyarakat.

Protes-protes partai politik semakin keras pada saat terjadi pelanggaran dan kecurangan besar-besaran dalam Pemilu 1977. Ditopang oleh gerakan mahasiswa yang mulai muncul kembali di kampus-kampus, protes-protes partai politik tersebut mendapat respon dari pemerintah Orde Baru. Atas persetujuan DPR yang didominasi oleh Golkar dan ABRI, pemerintah memperbaiki undang-undang pemilu demi meningkatkan ‘kualitas’ pemilu berikutnya, yakni Pemilu 1982[2].

Menjelang Pemilu Tahun 1982, terbitlah UU No. 2 Tahun 1980 yang merupakan perubahan kedua atas UU No. 15 Tahun 1969 Tentang Pemilu Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Melaui UU inilah lembaga pengawas pemilu mulai diatur. Berdasarkan Pasal 8 ayat (4b), pengawas pemilu terdiri dari:
1.     Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Pusat
2.     Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat I
3.     Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat II
4.     Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Kecamatan

Keanggotan dari Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) terdiri dari unsur Pemerintah, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Golongan Karya (Golkar), dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Panwaslak Pemilu ini merupakan satu-satunya yang berwenang melakukan pengawasan Pemilu dalam Pemilu-Pemilu Orde Baru. Pihak lain, baik organisasi maupun masyarakat luas tidak memiliki hak melakukan pengawasan[3].

Panwaslak Pemilu dibentuk dan bertanggung jawab kepada Ketua Panitia Pemilihan/Panitia Pemungutan Suara. Panitia Pemilihan/Panitia Pemungutan Suara sendiri notabenenya merupakan lembaga pelaksana teknis yang diawasi oleh Panwaslak Pemilu. Ini menimbulkan persoalan, mengingat lembaga yang akan mengawasi justru dibentuk oleh lembaga yang akan diawasi. Bagaimana mungkin pengawasan akan berjalan efektif jika yang mengawasi merupakan subordinat dari yang diawasi?

Ketentuan-ketentuan tentang Panwaslak Pemilu dalam UU No. 2 Tahun 1980  tidak menjelaskan ruang lingkup fungsi pengawasan pemilu, tidak merinci tugas dan wewenang pengawas pemilu, tidak menjelaskan mekanisme dan prosedur penanganan pelanggaran, serta tidak mengatur pengisian anggota dan penentuan pimpinan Panwaslak Pemilu. Soal-soal seperti itu diserahkan sepenuhnya pengaturannya kepada Peraturan Pemerintah. Namun Peraturan Pemerintah pun tidak mengatur secara rinci, kecuali dalam soal pengisian anggota Panwaslak Pemilu dan penentuan pimpinannya[4].

Dalam Peraturan Pemerintah itu disebutkan bahwa Ketua Panwaslak Pemilu Pusat adalah Jaksa Agung dengan lima wakil ketua merangkap anggota, masing-masing adalah pejabat dari Departemen Dalam Negeri, ABRI, Golkar, PPP, dan PDI. Begitu seterusnya pada tingkat bawah: Panwaslak Pemilu Daerah I diketuai oleh Kepala Kejaksaan Tinggi yang didampingi lima wakil ketua masing-masing dari Pemda Tingkat I, Kodam/Korem, DPD I Golkar, DPD PPP dan DPD PDI; Panwaslak Pemilu Daerah II diketuai oleh Kepala Kejaksaan Negeri yang didampingi lima wakil ketua masing-masing dari Pemda Tingkat II, Kodim, DPD II Golkar, DPC PPP, dan DPC PDI; sedang Panwaslak Pemilu Kecamatan diketuai oleh pejabat kecamatan yang didampingi staf Koramil dan wakil-wakil dari Golkar, PPP, dan PDI[5].

Pada faktanya, Panwaslak Pemilu Pusat diragukan independensinya. Seperti diketahui bahwa Jaksa Agung adalah anggota kabinet di era Presiden Soeharto yang harus melaksanakan kebijakan serta keinginan Soeharto. Apalagi komposisi keanggotaan Pawaslak Pemilu Pusat juga menguntungkan Golkar, sebagai pihak yang berkuasa. Dari 16 anggota Panwaslak Pemilu Pusat, unsur pemerintah ada 4 orang (termasuk ketua dan wakil ketua), unsur golongan ABRI 3 orang, unsur Golkar, PPP, dan PDI masing-masing 3 orang. Dengan komposisi demikian, yang sarat dengan dominasi unsur birokrasi pemerintah yang pro Golkar, kepentingan Golkar jelas lebih terjaga. Secara keseluruhan fungsi Panwaslak Pusat pun kurang efektif[6].

Fungsi pengawasan oleh Panwaslak Pemilu diselewengkan untuk kepentingan pemenangan Golkar, dengan dua langkah sekaligus: pertama, Panwaslak Pemilu melegalkan kasus-kasus pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh Golkar; kedua, Panwaslak Pemilu melakukan diskriminasi dalam menjalankan fungsi penegakan hukum pemilu, karena hanya mengusut kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh peserta pemilu non-Golkar[7]. Keberadaan Panwaslak Pemilu pada akhirnya selalu dipertahankan dalam pemilu-pemilu Orde Baru karena dirasa cukup efektif untuk mengatur dan mengendalikan kemenangan Golkar[8].


Pengawas Pemilu Pada Pemilu Tahun 1999

Setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998, presiden penggantinya, B.J. Habibie, bergegas merancang undang-undang parpol dan pemilu yang lebih demokratis, terbuka, dan adil. Habibie, melalui Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, mendelegasikan tugas merancang UU tersebut kepada Tim Tujuh, beranggotan tujuh orang dan diketuai Rektor Insititut Ilmu Pemerintahan (IIP) Ryaas Rasyid. Mereka berhasil merancang tiga UU lalu mengajukannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat[9]. Salah satu UU yang dirancang kemudian disahkan adalah UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum.

Dengan dasar UU No. 3 Tahun 1999, Pemilu Tahun 1999 diselenggarakan, Pemilu pertama pasca lengsernya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

Jika sebelumnya pengawas pemilu dinamakan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum, maka dalam UU No. 3 Tahun 1999 terdapat perubahan menjadi Panitia Pengawas saja. Sama dengan lembaga pengawas sebelumnya, kedudukan pengawas dalam Pemilu Tahun 1999 juga berada pada tingkat Pusat, Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Kecamatan.

Tugas dan kewajiban Panitia Pengawas dirinci oleh UU ini. Berdasarkan Pasal 26, Panitia Pengawas memilki tugas dan kewajiban sebagai berikut:
a.     mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum;
b.     menyelesaikan sengketa atas perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum;
c.     menindaklanjuti temuan, sengketa, dan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan untuk dilaporkan kepada instansi penegak hukum.

Keanggotaan Panitia Pengawas (Panwas) bukan lagi terdiri dari pejabat-pejebat pemerintahan dan partai politik sebagaimana di era Orde Baru, tapi terdiri dari unsur hakim, perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat. Namun untuk Panwas tingkat kecamatan hanya terdiri dari unsur perguruan tinggi dan tokoh masyarakat.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 1999 yang merupakan peraturan pelaksana UU No. 3 Tahun 1999, kedudukan Panwas dalam Pemilu semakin menguat dibanding sebelumnya. Dalam PP ini, diatur bahwa Panwas berwenang menghentikan atau membubarkan kampanye yang tidak sesuai ketentuan perundang-undangan[10]. Panwas juga diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan apakah akan dilaksanakan pemungutan suara susulan jika terdapat kecurangan dalam pemungutan suara[11]. Selain itu, Panwas juga berwenang dan wajib memeriksa keabsahan alasan Panitia Pemilihan yang menolak membubuhkan tanda tangan pada berita acara hasil penghitungan suara[12].

Namun demikian, pada pelaksanaannya Panwas Pusat dalam laporannya mengakui bahwa Panwas Kecamatan yang berdiri pada garis depan itu umumnnya kurang memiliki pengetahuan dan informasi yang memadai sehingga Panwas Pusat menyusun pedoman pengawasan pemilu khusus untuk Panwas Kecamatan yang antara lain dibuat dalam bentuk tanya jawab. Laporan Panwas bahkan menyimpulkan bahwa setengah dari anggota Panwas pada semua tingkatan kurang memiliki penguasaan mendalam mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilihan umum. khusunya mengenai proses pelaksanaan pemilihan umum (electoral proces). Panwas juga mengakui bahwa para relawan Lembaga Pemantau Pemilu lebih menguasai secara teknis proses pelaksanaan pemilihan umum berdasarkan asas-asas pemilu yang demokratik daripada para anggota Panwas pada umumnya[13].

Memang dalam Pemilu Tahun 1999, selain terdapat Panwas dalam melakukan pengawasan, Lembaga Pemantau baik dari dalam maupun luar negeri dapat melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan pemilu dengan mendaftarkan diri ke KPU[14]. Hal ini menjadikan pemilu lebih transparan, dan merupakan sebuah perkembangan yang lebih baik dibandingkan pemilu di era Orde Baru yang hanya memberikan hak mengawasi kepada Panwaslak.

Terkait dengan kewenangan menyelesaikan sengketa dan penanganan pelanggaran, Panwas Pusat dalam laporannya menyatakan bahwa tidak begitu jelas dalam peraturan perundang-undangan mengenai persengketaan macam apa serta mengenai sifat keputusan Panwas apakah bersifat mengikat dan final (arbritasi) ataukah tidak mengikat (mediasi). Karena undang-undang tidak mengatur hal ini secara jelas, maka Panwas mengambil posisi: berupaya menawarkan solusi bila terjadi persengketaan baik diminta maupun tidak diminta, tanpa mempersoalkan apakah dipenuhi ataukah tidak[15].

Dari keterangan tersebut, terdapat hambatan lain yang dialami oleh Panwas selain persoalan SDM, yaitu terkait regulasi, dimana tidak ada pengaturan secara jelas atau teknis mengenai kewenangan yang diberikan kepada Panwas.

Dalam laporan pertanggungjawabannya, Panwas Pusat menyimpulkan bahwa lembaga tersebut tidak efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum peraturan pemilu. Panwas Pemilu 1999 hanyalah sekadar menyampaikan peringatan tertulis, rekomendasi, meneruskan temuan kepada instansi penegak hukum, atau bertindak sebagai mediator kalau diminta. Bahkan banyak pihak memberikan julukan beragam tentang Panwas Pemilu, seperti tukang pembuat rekomendasi, tukang memberi peringatan, tidak bergigi, pemulung data, dan was-was melulu[16].


Pengawas Pemilu Pada Pemilu Tahun 2004

Pemilu Tahun 2004 merupakan babak baru dalam sejarah kepemiluan di Indonesia. Jika sebelumnya pemilu hanya memilih anggota legislatif, maka di tahun 2014, Presiden dan Wakil Presiden juga dipilih langsung oleh rakyat. Perkembangan ini akibat adanya perubahan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), di mana Pasal 6A ayat (1), hasil perubahan ketiga, menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Keberadaan pengawas pemilu diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta diatur dalam UU No.23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Untuk melakukan pengawasan pemilu dibentuk Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan[17].

Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tingkat pusat dibentuk oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), sementara Panwaslu Provinsi dibentuk oleh Panwaslu, Panwaslu Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kecamatan dibentuk oleh Panwaslu Kabupaten/Kota. Oleh karenanya, Panwaslu tingkat Pusat bertangung jawab kepada KPU, sementara untuk jajaran di bawahnya bertanggung jawab kepada Panwaslu yang membentuk. Dengan model pembentukan dan pertanggungjawaban yang demikian, maka pengawas pemilu lebih mandiri pada tingkat provinsi sampai dengan kecamatan karena memiliki wewenang membentuk dan pengawas pemilu di bawahnya, namun itu tidak dimiliki oleh Panwaslu tingkat pusat.

Tugas dan wewenang pengawas pemilu berdasarkan Pasal 122 UU No. 12 Tahun 2003 adalah:
a.     mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilu;
b.     menerima laporan pelanggaran peraturan perundangundangan Pemilu;
c.     menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu; dan
d.     meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang.

Jika disandingkan dengan penyelenggara pemilu pada era Orde Baru, desain kelembagaan penyelenggara pemilu tahun 2004 hampir serupa, di mana pengawas pemilu selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Panitia Pemilihan (PPI). Namun dari sisi keanggotaan terdapat perbedaan. Jika pengawas pemilu di era Orde Baru terdiri dari unsur pemerintah, Partai Politik, Golkar, dan ABRI, keanggotaan pengawas pemilu pada Tahun 2014 terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, Perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan pers. Untuk jumlah keanggotaannya Panwaslu Pusat paling banyak 9 orang, Panwaslu Provinsi paling banyak 7 orang, Panwaslu Kabupaten/Kota paling banyak 7 orang, dan Panwaslu Kecamatan paling banyak 5 orang.

Masuknya unsur kejaksaan dan kepolisian dalam susunan keanggotaan Panwaslu, sebagai upaya penguatan kelembagaan Panwaslu. Berdasarkan refleksi terhadap banyaknya kasus pelanggaran pemilu 1999 yang tidak bisa ditindak dan diteruskan ke pengadilan dikarenakan adanya perbedaan pemahaman, persepsi, dan standar pelaporan yang berkaitan dengan syarat terpenuhinya bukti-bukti yang memadai antara Panwaslu, kepolisian, dan kejaksaan. Dengan memasukan unsur kepolisian dan kejaksaan diharapkan agar ketiga lembaga penegak peraturan hukum Pemilu tersebut memiliki frekuensi yang sama, dengan kata lain memiliki pemahaman, persepsi, dan standar yang sama dalam menangani kasus pelanggaran Pemilu[18].

Pengaturan pengawas pemilu Tahun 2004 lebih maju dibandingkan dengan Pemilu Tahun 1999. Pertama, pengaturan tugas dan wewenang pengawas pemilu lebih tegas dan lebih memadai untuk menjalankan fungsi pengawasan pemilu. Kedua, selain mensyaratkan orang-orang nonpartisan untuk bisa menjadi anggota pengawas, panitia pengawas pemilu juga menempatkan unsur kepolisian dan kejaksaan. Ketiga, untuk mengatasi kesulitan pengawas pemilu dalam melakukan klarifikasi dan verifikasi atas laporan dan indikasi-indikasi terjadinya pelanggaran, UU No. 12/2003 memberi ruang khusus kepada pengawas pemilu untuk mengakses informasi di lingkungan penyelenggara pemilu dan pihak-pihak yang terkait. Keempat, pengawas pemilu lebih independen dalam menjalankan fungsi pengawasan[19].

Dalam konteks penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa, pada Pemilu Tahun 2004, warga negara yang memiliki hak pilih, pemantau, dan peserta pemilu mempunyai kedudukan hukum untuk menyampaikan laporan kepada pengawas pemilu[20]. Untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, hak menyampaikan laporan tersebut diberikan juga kepada Tim Kampanye[21]. Penyampaian laporan dibatasi waktu yaitu 7 hari sejak terjadinya pelanggaran. Sementara pengawas pemilu mempunyai waktu untuk melakukan kajian dan memutuskan menindaklanjuti atau tidak menindaklajuti laporan paling lama 14 hari sejak diterimanya laporan. Pengaturan waktu penyampaian laporan dan melakukan kajian ini tidak diatur dalam pemilu-pemilu sebelumnya.

Kewenangan Panwaslu terkait penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran pemilu, juga diperkuat. Panwaslu menjadi satu-satunya lembaga yang berhak menerima laporan, menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan kajian terhadap laporan atau temuan dugaan pelanggaran pemilu untuk memastikan apakah hal tersebut benar-benar mengandung pelanggaran. Bila terjadi pelanggaran administrasi maka Pengawas Pemilu merekomendasikan kepada KPU/KPUD untuk dikenakan sanksi administratif kepada pelanggar, sedangkan bila laporan tersebut mengandung unsur pelanggaran pidana maka Pengawas Pemilu meneruskannya kepada penyidik kepolisian[22].

Hadirnya pengawas pemilu dalam penyelenggara Pemilu Tahun 2004 bertindak sebagai alat “penegak hukum” meskipun bisa dikatakan hanya sebagai jembatan ke instansi penegak hukum yang berwenang. Hal ini dikarenakan, selain Panwaslu mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu juga menerima laporan pelanggaran pemilu dan memverifikasi kemudian meneruskan kepada instansi yang berwenang[23].

Pengawas pemilu memiliki batasan waktu dalam melakukan penyelesaian sengketa, yaitu paling lama 14 hari sejak pihak-pihak ditemukan. Cara penyelesaian yang diatur adalah 3 metode, meliputi: Pertama, mempertemukan para pihak yang bersengketa untuk dilakukan musyawarah. Kedua, apabila tidak tercapai mufakat, pengawas menawarkan alternatif penyelesaian  kepada para pihak. Ketiga, jika tawaran alternatif penyelesaian tidak diterima oleh para pihak, pengawas pemilu membuat keputusan.

Berdasarkan data Panwaslu 2004[24], dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2004, Panwaslu menerima laporan dugaan pelanggaran administrasi sebanyak 8.946, tindak pidana sebanyak 3.153, dan sengketa sebanyak 644. Sementara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004, Panwaslu menerima dugaan pelanggaran administrasi sebanyak 1.296, tindak pidana sebanyak 274, dan sengketa sebanyak 43. Jumlah laporan keseluruhan yang diterima oleh Panwaslu adalah sebanyak 14.656.

Data dalam tabel berikut menggambarkan hasil dari penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Panwaslu 2004:
JENIS LAPORAN
PEMILU LEGISLATIF
2004
PEMILU PRESIDEN DAN
WAKIL PRESIDEN 2004
JUMLAH
ADMIN
PIDANA
SENGKETA
ADMIN
PIDANA
SENGKETA
Diterima Panwas
8.946
3.153
644
1.296
274
43
14.656
Diteruskan ke KPU
8.013
-
-
1.158
-
-
9.171
Diteruskan ke Penyidik
-
2.413
-
-
187
-
2.600
Diteruskan Penuntut
-
1.253
-
-
94
-
1.347
Diteruskan ke Peradilan
-
1.065
-
-
82
-
1.147
Ditangani KPU
2.822
-
-
259
-
-
3.081
Diputus Pengadilan
-
1.022
-
-
79
-
1.101
Musyawarah
-
-
380
-
-
33
413
Alternatif
-
-
33
-
-
6
39
Diputus Panwas
-
-
61
-
-
2
63


Pengawas Pemilu pada Pemilihan Kepala Daerah sebelum Pemilihan Serentak

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, juga tidak terlepas dari peran pengawas pemilu. Sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (3)  UU No. 32 Tahun 2004 yang menyebutkan Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat.

Anggota Panitia Pengawas (Panwas) untuk tingkat provinsi berjumlah 5 orang, tingkat kabupaten/kota 5 orang, dan kecamatan 3 orang. Panwas dibentuk dan bertanggungjawab kepada DPRD. Pengaturan teknis mengenai pelaksanaan pemilihan kepala daerah diatur dalam PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengangkatan Pengesahan, dan Pemberhantian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Panwas dalam pemilihan kepada daerah memiliki tugas dan wewenang sebagi berikut:
a.     Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan;
b.     Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan;
c.     Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan;
d.     Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat dilaksanakan kepada instansi yang berwenang; dan
e.     Mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawas pada semua tingkatan.

Pengaturan Panwas dalam Pemilihan Kepala Daerah ini tidak berbeda jauh dengan pengaturan dalam UU No. 12 Tahun 2003, mulai dari unsur keanggotan, tugas dan wewenangnya, serta tata cara penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa. Namun yang membedakan, Panwas dalam Pemilihan Kepala Daerah dibentuk dan bertanggungjawab kepada DPRD. Hal ini dikarenakan belum ada Panwas di tingkat pusat. Berikutnya, ketika Bawaslu sudah terbentuk pada tahun 2008, maka Panwas Pemilihan ini tidak lagi dibentuk dan bertanggungjawab kepada DPRD, tetapi kepada Bawaslu.


Pengawas Pemilu pada Pemilu Tahun 2009

Sama seperti pelaksaan Pemilu Tahun 2004, Pemilu Tahun 2009 selain akan memilih anggota legislatif, juga akan memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung untuk kedua kalinya. Penyelenggaraan pemilu berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Menjelang Pemilu Tahun 2009, DPR menyusun Rancangan Undang-Undang mengenai penyelenggara pemilu. dalam pembahasannya muncul kembali perdebatan mengenai perlu tidaknya keberadaan lembaga pengawas. Di satu pihak, terdapat fraksi yang minta agar fungsi pengawasan pemilu diserahkan kepada peserta pemilu, pemilih dan pemantau, sehingga tidak perlu lagi lembaga pengawas pemilu. Jika pun dipertahankan, hanya berlaku sampai Pemilu 2009. Sebab jika lembaga pengawas dipertahankan, mereka akan tetap ‘tidak bergigi’ karena fitrahnya memang hanya membantu penyelenggara pemilu dalam mengawasi pelaksanaan pemilu[25].

Di lain pihak, terdapat fraksi yang menganggap bahwa pengawas pemilu ‘tidak bergigi’ tersebut lebih disebabkan lemahnya posisi lembaga pengawas pemilu dan kurang me­madainya organisasinya. Apalagi UU No. 12/2003, UU No. 23/2003, dan UU No. 32/2004 tidak memberikan tugas dan wewenang lembaga pengawas untuk mengontrol perilaku ja­jaran KPU/KPUD dan petugas-petugas pemilu dibawahnya, kecuali mereka terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran pera­turan pemilu. Padahal pada wilayah inilah fungsi pengawasan itu akan efektif karena bersentuhan langsung dengan kinerja anggota KPU/KPUD dan panitia pemilihan di bawahnya[26].

Setelah perdebatan yang panjang, DPR lebih memilih untuk tetap mempertahankan Panwaslu, karena Panwaslu dinilai memiliki posisi dan peran strategis dalam upaya pengawasan pelaksanaan pemilu sesuai aturan perundangundangan yang berlaku terutama menegakkan asas pemilu yang luber dan jurdil, serta dalam upaya menciptakan Pemilu yang demokratis. Keyakinan para pembuat Undang-Undang tersebut dapat kita temukan dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa: “Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, diperlukan adanya suatu pengawasan untuk menjamin agar pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan”. Tidak hanya dipertahankan, Panwaslu pun diperkuat kelembagaannya. Sekali lagi upaya untuk menguatkan kelembagaan Panwaslu dilakukan[27].

Dengan adanya UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, ada semangat untuk memisahkan lembaga pengawas pemilu dari kelembagaan KPU. Selain itu lembaga pengawas pemilu tingkat pusat yang sebelumnya hanya bersifat sementara, dikembangkan menjadi lembaga yang bersifat tetap, di mana keanggotanya dipilih secara periodik 5 tahun sekali. Panwaslu menjadi Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum).

Lembaga pengawas pemilu berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 terdiri dari Bawaslu beranggotakan 5 orang, Panwaslu Provinsi beranggotan 3 orang, Panwaslu Kabupaten/Kota beranggotakan 3 orang, Panwaslu Kecamatan beranggotakan 3 orang, Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) beranggotakan 1 orang, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.

Jika dalam pemilu-pemilu sebelumnya, keanggotaan pengawas pemilu berasal dari unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, tokoh masyarakat dan pers, dengan UU No. 22 Tahun 2007 diatur keanggotaan pengawas pemilu berasal dari berasal dari kalangan profesional dan tidak menjadi anggota partai politik.

Namun demikian, terdapat catatan mengenai pola rekrutmen keanggotaan pengawas pemilu. Pada tingkat pusat, anggota Bawaslu diseleksi oleh Tim Seleksi yang dibentuk oleh KPU. Di mana Tim Seleksi akan menyerahkan 15 nama kepada KPU untuk kemudian diserahkan kepada DPR untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan untuk ditetapkan sebanyak 5 orang yang akan disahkan oleh Presiden[28].

Di tingkat provinsi dan kabupaten/Kota, Anggota Panwaslu Provinsi/Kabupaten/Kota diusulkan oleh KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota kepada Bawaslu untuk kemudian di uji kelayakan dan kepatutan serta ditetapkan oleh Bawaslu[29]. Di tingkat kecamatan, Anggota Panwaslu Kecamatan diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Kabupaten/Kota untuk ditetapkan oleh Panwaslu Kabupaten/Kota[30].

Pengaturan rekrutmen tersebut kemudian diajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi. Melalui Putusan Nomor 11/PUU-VIII/2010, Menurut MK, mekanisme rekrutmen dalam ketentuan tersebut di samping akan mengakibatkan anggota-anggota pengawas pemilu menjadi tergantung pada KPU, sehingga kemandiriannya terganggu, juga sangat potensial mengakibatkan saling menghambat dalam penentuan anggota pengawas pemilu antara Bawaslu atau Panwaslu dengan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. Hal ini mengakibatkan terjadinya calon yang disusulkan oleh KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota tidak ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas, atau sebaliknya jika KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota tidak mengajukan calon Panwas sehingga tidak ada anggota Panwas yang ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas[31].

Terlepas dari persoalan rekrutmen di atas, pengawas pemilu juga diperkuat dengan adanya Sekretariat tersendiri. Pertanggungjawaban Bawaslu dilaporkan kepada Presiden, dan pengawas di bawahnya bertangungjawab kepada pengawas di atasnya secara berjenjang. 

Mengenai tugas dan wewenang pengawas pemilu, meskipun dalam UU No. 22 Tahun 2007 dirinci lebih banyak daripada pengaturan sebelumnya, namun sesungguhnya tidak ada perluasan tugas dan wewenang berarti. Perluasan tugas wewenang hanya menyangkut tiga hal: (1) mengawasi pelaksanaan rekomendasi pengenaan sanksi buat anggota KPU/KPUD dan petugas pemilu, (2) mengawasi pelaksanaan sosialisasi, dan (3) melaksanakan tugas lain yang diperintahkan undang-undang[32].

Bisa dikatakan UU No. 22 Tahun 2007 merupakan langkah besar yang dilakukan para pembuat UU untuk memperkuat kelembagaan Panwaslu. Penguatan kelembagaan Panwaslu meliputi beberapa aspek yakni; pertama, secara organisasi, Pengawas Pemilu tingkat nasional bersifat tetap dan kini memiliki jaringan sampai ke desa/kelurahan. Konsekuensi sifatnya yang tetap tersebut Panwaslu berganti nama menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal ini bisa dianggap sebagai sebuah lompatan besar karena sejak era Orba sampai pemilu 2004 Panwaslu bersifat tidak permanen atau adhoc. Berubahnya Panwaslu menjadi Bawaslu membuat kedudukan organisasi Bawaslu menjadi setara dengan KPU, bawaslu tidak menjadi subordinat dari KPU lagi seperti pada Panwaslu Pemilu 2004[33].

Kedua, berangkat dari problem integritas, netralitas, profesionalitas penyelenggara Pemilu, kewenangan baru didesain untuk Bawaslu yakni mengawasi jajaran KPU/KPUD dan petugas-petugas pemilu di bawahnya agar ketika menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan Pemilu. Bawaslu berwenang memberikan rekomendasi untuk memberhentikan anggota KPU dan KPU daerah yang dinilai melanggar peraturan perundang-undangan pemilu, dengan begitu Bawaslu mampu melakukan kontrol yang efektif terhadap penyelenggara Pemilu[34].

Ketiga, fungsi Bawaslu yang mengantarkan kasus ke KPU/KPUD dan ke kepolisian layaknya “kantor pos”, seperti pada pemilu 2004 tersebut, ditingkatkan dengan memberikan konsekuensi hukum bagi KPU/KPUD jika tidak mereka tidak menindaklanjuti rekomendasi dari Bawaslu. Konsekuensi hukum tersebut berupa kemampuan Bawaslu untuk menuntut secara pidana bagi anggota KPU maupun KPUD yang tidak menindaklanjuti laporan atau rekomendasi Pengawas Pemilu[35].

Dalam konteks penanganan pelanggaran, ditariknya unsur kepolisian dan kejaksaan dari lembaga pengawas, menurut Didik Supriyanto dkk, hal itu merupakan langkah mundur, sebab keterlibatan polisi dan jaksa ternya­ta cukup efektif dalam menangani kasus-kasus pelanggaran pemilu, khususnya pelanggaran pidana pemilu. Masuknya unsur kepolisian dan kejaksaan dalam pengawas pemilu pada Pemilu 2004, sebetulnya merupakan buah evaluasi atas mandulnya pengawasan pemilu pada Pemilu 1999[36]. Penarikan unsur polisi dan jaksa ini juga, menurut Topo Santoso dan Ida Budhiati, berakibat lemahnya hasil kajian atas laporan pelanggaran karena kemampuan hukum yang kurang dari anggota Panwaslu yang kebanyakan tidak berlatar belakang hukum, serta  kurang mulus dan lancarnya koordinasi dan hubungan antar Bawaslu/Panwaslu dengan polisi/jaksa dalam penyelesaian tindak pidana pemilu[37].

Selian itu, dipersingkatnya batas waktu penyampaian laporan kepada pengawas pemilu. Sebelumnya diatur paling lama 7 hari setelah terjadinya pelanggaran, diubah menjadi hanya 3 hari sejak terjadinya pelanggaran[38], menurut Topo Santoso dan Ida Budhiati, juga merupakan kemunduran dalam penegakan hukum pemilu, karena tidak memperhitungkan kondisi di berbagai daerah di Indonesia, sehingga berakibat banyak tindak pidana pemilu tidak bisa diproses lebih lanjut karena sudah dianggap daluwarsa[39]. Pembatasan ini hanya bermakna ‘kepastian’, yaitu dengan ‘menghanguskan’ semua laporan yang dilakukan lebih dari 3 hari dan hanya akan memproses semua laporan yang masuk selama 3 hari sesudah kejadian. Hal ini mungkin akan memudahkan penegak hukum karena mudah dalam menolak menangani perkara, tetapi akibatnya banyak tindak pidana ‘menguap’ dan pelakunya tidak tersentuh hukum[40].

Tidak hanya batas penyampaian laporan yang dipersingkat, batas waktu pengkajian yang dilakukan oleh pengawas pun dipersingkat. Pada Pemilu Tahun 2004, pengawas memliki batas waktu paling lama 14 hari untuk memutuskan laporan ditindaklanjuti atau tidak, pada pemilu 2009, pengawas hanya memiliki batas waktu hanya 5 hari saja.

Terkait dengan kewenangan penyelesaian sengketa, tidak diatur dengan jelas dalam UU. Baik dalam UU No. 22 Tahun 2007, UU No. 10 Tahun 2008, maupun UU No. 42 Tahun 2008.

Laporan Pengawas Pemilu 2009 yang disusun Bawaslu menunjukkan, dalam pemilu legislatif Bawaslu menerima 21.350 laporan pelanggaran, yang terdiri dari 15.341 laporan pelanggaran administrasi dan 6.019 laporan pelanggaran pidana. Setelah melakukan pengkajian terhadap laporan pelanggaran administrasi, Bawaslu mencatat 10.094 kasus mengandung pelanggaran administrasi. Laporan jenis ini diteruskan ke KPU, dan KPU menindaklanjuti 7.583 laporan, sisanya diabaikan. Selanjutnya Bawaslu mencatat 1.646 kasus yang benar-benar mengandung pelanggaran pidana yang kemudian diteruskan ke kepolisian. Ternyata polisi hanya meneruskan 405 kasus ke kejaksaan, dan hanya 260 kasus yang dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan. Akhirnya PN menjatuhkan 248 vonis dan PT menjatuhkan 62 vonis[41].

Berdasarkan data penanganan pelanggaran pada Pemilu Legislatif 2009 di atas, jika dihitung secara kuantitas dan dibandingkan dengan hasil penanganan pelanggaran Pemilu Legislatif Tahun 2004, maka pelanggaran administrasi yang diteruskan kepada KPU pada pemilu 2009 yaitu sebanyak 10.094, lebih banyak daripada yang diteruskan Panwas kepada KPU pada pemilu 2004 yaitu sebesar 8.013. Sementara untuk tindak pidana yang diputus oleh pengadilan, pada pemilu 2004 angkanya lebih tinggi yaitu sebesar 1.022, dibanding pemilu 2009 yang hanya sebesar 248.


Pengawas Pemilu dalam Pemilu Tahun 2014

Pemilu Tahun 2014 merupakan pelaksanaan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD berdasarkan UU No. 8 Tahun 2012, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan UU No. 42 Tahun 2008. UU tentang Pemilu Legislatif mengalami perubahan, sedangkan UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak ada perubahan.

Pada Pemilu Tahun 2014, kedudukan pengawas pemilu yang semula diatur UU No. 22 Tahun 2007, kini UU tersebut diganti dengan UU No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Melalui UU No. 15 Tahun 2011, kelembagaan pengawas pemilu semakin diperkuat, hal ini dikarenakan pengawas pemilu sama sekali sudah terlepas dari KPU. Tidak ada lagi mekanisme rekrutmen pengawas yang melibatkan KPU, sebagaimana terjadi pada Pemilu Tahun 2009. Bawaslu tingkat pusat, diseleksi oleh Tim Seleksi yang dibentuk langsung oleh Presiden. Pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, pengawas diseleksi oleh Tim Seleksi yang dibentuk oleh Bawaslu dan Bawaslu Provinsi.

Selain itu, kelembagaan pengawas tingkat Provinsi, yang semula hanya bersifat sementara, melalui UU No. 15 Tahun 2011 dipermanenkan menjadi Badan. Jadi secara kelembagaan, pengawas pemilu terdiri dari Bawaslu sebanyak 5 orang, Bawaslu Provinsi sebanyak 3 orang, Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 orang, Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 orang, Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) sebanyak 1-5 orang, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.

Pada masa ini, keanggotaan pengawas pemilu juga diisi oleh kalangan profesional. Namun demikian ada Upaya untuk memasukkan unsur partai politik sebagai penyelenggara pemilu ketika pengesahan UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Di dalam undang-undang itu disebutkan bahwa bagi anggota partai politik yang ingin mendaftar menjadi anggota KPU atau Bawaslu harus mundur ketika mendaftar. Hal inilah yang kemudian mendorong diajukannya gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan pasal tersebut. Dari gugatan tersebut akhirnya MK memutuskan bagi anggota partai politik yang ingin mendaftar sebagai anggota KPU atau Bawaslu harus mundur setidaknya 5 (lima) tahun sebelum mendaftar sebagai penyelenggara pemilu[42].

Ada pengaturan keanggotaan yang juga merupakan sebuah kemajuan, di mana terdapat upaya affirmative action untuk memberikan kesempatan kepada perempuan. Komposisi keanggotaan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Namun demikian, ketentuan itu bukan suatu keharusan. Tapi setidaknya, adanya pengaturan yang demikian, merupakan langkah maju.

Meski secara kelembagaan pengawas pemilu lebih mandiri dan independen, namun ada permasalahan lain seperti dialami juga oleh KPU, di mana UU No. 15 Tahun 2011 mewajibkan Bawaslu untuk melakukan konsultasi kepada DPR dan Pemerintah saat menyusun Peraturan Bawaslu[43]. Kewajiban semacam ini memungkinkan adanya tekanan politik yang dikhawatirkan turut mempengaruhi pula kemandirian lembaga[44].

Jika dalam Pemilu Tahun 2009 pengawas pemilu berwenang mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, maka dalam Pemilu Tahun 2014 pengawas pemilu diberi tambahan wewenang untuk mengawasi tahapan persiapan pelaksanaan pemilu. Jadi pengawasan dilakukan lebih awal. Selebihnya, tugas dan wewenang pengawas pemilu pada Pemilu Tahun 2014 hampir sama dengan pengawas pemilu pada Pemilu Tahun 2009.

Dalam konteks penanganan pelanggaran, khususnya penanganan tindak pidana pemilu, dalam Pemilu Tahun 2014 mulai diatur sebuah forum antara Pengawas Pemilu, Polisi, dan Jaksa yang dikenal sebagai Sentra Penegakan Hukum Terpadu.  Berdasarkan Pasal 267 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012, disebutkan untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu, Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia membentuk sentra penegakan hukum terpadu.

Menelisik maksud dan bahasa yang di dalam pasal tersebut, maka Sentra Gakumdu dimaksudkan untuk menyamakan persepsi antarlembaga penegakan hukum pemilu ketika ada kasus pelanggaran pemilu. Penyamaan persepsi ini menjadi penting untuk menghindari perbedaan tafsir terhadap ketentuan pidana pemilu yang ada di dalam UU No. 8/2012, ataupun langkah yang akan diambil oleh Bawaslu sebagai penerima pelanggaran untuk menaikkan status pelanggaran menjadi penyidikan.[45]

Ketentuan lebih teknis mengenai Gakkumdu kemudian diatur dalam kesepakatan bersama antara Bawaslu, Polri dan Kejaksaan Agung, sebagaimana dimaksud Pasal 267 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2012.

Pada tanggal 16 Januari 2013, Bawaslu, Polri dan Kejaksaan Agung membuat Nota Kesepakatan Bersama Nomor 01/NKB/BAWASLU/I/2013, Nomor B/02/I/2013, dan Nomor KEP-005/A/JA/01/2013 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Kesepakatan ini ditanda tangani oleh Muhammad (Ketua Bawaslu), Timur Pradopo (Kepala Polri) dan Basrief Arief (Jaksa Agung).

Gakkumdu berdasarkan kesepakatan tersebut, tidak hanya diperuntukkan dalam penanganan tindak pidana pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, tetapi keberadaannya juga diperuntukkan untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan. Sementara kedudukannya berada di pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

Struktur kelembagaan Gakkumdu, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Nota Kesepakatan Bersama, terdiri dari: Pembina, Ketua dan Anggota. Masing-masing jabatan terdiri dari 3 perwakilan lembaga.

Fungsi Gakkumdu berdasarkan Pasal 7 Nota Kesepakatan Bersama adalah:
1.     Sebagai forum koordinasi antara Bawaslu, Polri dan Kejaksaan Agung dalam proses penanganan tindak pidana pemilu;
2.     Pelaksanaan pola penanganan tindak pidana pemilu;
3.     Sebagai pusat data dan informasi tindak pidana pemilu;
4.     Pertukaran data dan/atau informasi;
5.     Peningkatan kompetensi dalam penanganan tindak pidana pemilu;
6.     Pelaksanaan monitoring dan evaluasi tindak lanjut penanganan tindak pidana pemilu.

Terkait dengan pola penanganan pelanggaran, Nota Kesepakatan Bersama tersebut tidak secara rinci mengatur, namun menyebutkan akan diatur dalam Standar Operasional Prosedur (SOP).

Dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014, batasan waktu penyampaian laporan yang mejadi permasalahan pada Pemilu Tahun 2009, dimana penyampaian laporan dipersingkat menjadi hanya 3 hari sejak terjadinya pelanggaran, diubah menjadi 7 hari sejak diketahuinya pelanggaran. setidaknya terdapat 2 perbedaan. Pertama, mengenai batas waktu yang lebih panjang. Kedua, norma “sejak diketahui” memberikan peluang kepada pengawas atau penegak hukum untuk bisa menindak pelanggaran yang sudah lama terjadi namun baru diketahui oleh pelapor.

Namun demikian perubahan pembatasan waktu penyampaian laporan pada Pemilu Legislatif tidak diikuti dengan perubahan pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, sehingga terdapat perbedaan penanganan antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014.

Dalam menyelesaikan sengketa proses, jika pada Pemilu Tahun 2004, pengawas pemilu diberikan batasan waktu paling lama 14 hari sejak para pihak dipertemukan, dalam Pemilu Tahun 2014, pengawas pemilu memiliki waktu paling lama 12 hari sejak diterimanya laporan atau temuan. Waktu penyelesaian lebih pendek. Namun di sisi lain, Keputusan pengawas diperkuat dengan sifat keputusannya yang bersifat terakhir dan mengikat, kecuali mengenai verifikasi partai politik peserta pemilu dan calon anggota legislatif.  

Berdasarkan data pelanggaran seluruh provinsi di Indonesia yang telah dihimpun oleh Bawaslu RI[46], adapun jumlah pelanggaran Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 sebanyak 1.238 Dugaan Pelanggaran, yang terdiri dari 1136 dugaan Pelanggaran Administrasi dan kemudian diteruskan kepada KPU untuk ditindaklanjuti sesuai dengan perundang-undangan. Sebanyak 81 rekomendasi dugaan Tindak Pidana Pemilu dan 21 rekomendasi dugaan pelanggaran Kode Etik.

Sementara untuk Pemilu Legislatif Tahun 2014, terdapat sebanyak 3.507 dugaan pelanggaran terdiri dari 3.238 dugaan pelangggaran administrasi, 209 pelanggaran pidana, 42 pelanggaran etik, dan 18 pelangaran lain diluar kategori pelanggaran pemilu[47].


Pengawas Pemilu dalam Pemilihan Serentak Tahun 2015, 2017, dan 2018

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota (Pemilihan) secara serentak merupakan pengalaman baru di Indonesia. Di awali dengan kegaduhan tentang cara pemilihan (dipilih langsung oleh rakyat atau melalui DPRD), regulasi pemilihan serentak mulai disusun.

DPR melalui sidang paripurna yang diadakan pada tanggal 26 September 2014 akhirnya mengesahkan rancangan undang-undang tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota melalui DPRD atau populer disebut pilkada tidak langsung.

Keputusan DPR tersebut banyak menuai protes publik. Aksi-aksi demonstrasi banyak bermunculan di berbagai daerah. Di berbagai media sosial juga banyak ungkapan-ungkapan yang memprotes keputusan DPR tersebut. Akibat dari banyaknya protes, Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 yang menganulir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014. Melalui Perppu ini cara pemilihan kembali ke pemilihan langsung[48]. Perppu tersebut kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 1 Tahun 2015.

Namun karena peristiwa politik yang begitu cepat, sehingga terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 (UU No. 1 Tahun 2015) menyisakan permasalahan-permasalahan sendiri. Banyak pasal yang bermasalah serta banyak hal yang belum diatur dalam Perppu tersebut. Seperti pengaturan tentang uji publik bakal calon yang merupakan hal baru. Uji publik dianggap tidak begitu signifikan, namun akan semakin memperlama tahapan. Ketiadaan norma sanksi pidana bagi tindakan politik uang juga menjadikan Perppu itu bermasalah[49].

Sepanjang pelaksanaan 3 kali pemilihan (Tahun 2015, Tahun 2017, dan Tahun 2018), UU No. 1 Tahun 2015 telah diubah sebanyak dua kali, melalui UU No. 8 Tahun 2015 dan UU No. 10 Tahun 2016 (UU Pemilihan).

Dalam pelaksanaan Pemilihan Serentak ini, kelembagaan pengawas pemilu kembali diperkuat dengan hadirnya Pengawas Tempat Pemungutan Suara (Pengawas TPS). Pada Pemilu atau Pemilihan sebelumnya, lembaga pengawas hanya sampai dengan tingkat kecamatan.

Pada pelaksanaan pemilihan serentak ini, Bawaslu Pusat memiliki peran mengkoordinasikan dan memantau, sementara pengawasan secara langsung dilakukan oleh Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota. Namun demikian, pengawas pemilihan pada semua tingkatan dapat menerima temuan dan laporan serta menindaklanjutinya.

Dalam penanganan pelanggaran, terdapat norma dimana pengawas pemilihan dapat menerbitkan rekomendasi pembatalan calon petahana, apabila calon tersebut terbukti melakukan penggantian jabatan dalam rentang waktu 6 bulan sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon hingga akhir masa jabatan. Norma ini sangat baik untuk menghindari kesewenang-wenangan petahana, mengingat calon petahana  kerap melakukan penggantian pejabat untuk mengkondisikan pemenangan bagi dirinya atau bentuk ketidaksukaan pada pejabat tertentu karena yang bersangkutan tidak mendukungnya. Norma ini juga memperkuat fungsi dari pengawas pemilihan.

Selain itu, Bawaslu Provinsi juga diperkuat dengan diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap tindakan politik uang yang terjadi secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif. Bawaslu Provinsi melakukan pemeriksaan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja. Jika terbukti, Pasangan Calon dapat diberikan sanksi pembatalan sebagai pasangan calon. KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib melaksanakan putusan dari Bawaslu Provinsi. Secara teknis, kewenangan ini kemudian di atur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 13 Tahun 2016 dan diubah dengan Peraturan Bawaslu Nomor 13 Tahun 2017.

Kedudukan Sentra Gakkumdu dalam penanganan tindak pidana pemilihan juga diatur dalam UU Pemilihan. Secara teknis, Sentra Gakkumdu kemudian diatur dalam Peraturan Bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu.


Pengawas Pemilu pada Pemilu Serentak Tahun 2019

Pemilu Tahun 2019 menjadi sejarah baru dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia, dikarenakan untuk pertama kalinya Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD diselenggarakan secara serentak dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Jika pengaturan pemilu sebelumnya terpisah-pisah, maka dalam Pemilu Tahun 2019 ini Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Penyelenggara Pemilu diatur dalam satu UU, yaitu UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

Secara kelembagaan, pengawas pemilu kembali diperkuat dengan dipermanenkannya pengawas pemilu di tingkat kabupaten/kota, semula hanya Panitia, kini menjadi Badan. Jumlah keanggotaannya pun ditambah. Sehingga lembaga pengawas pemilu terdiri dari:
a.     Bawaslu, 5 orang Anggota;
b.     Bawaslu Provinsi, 5-7 orang Anggota;
c.     Bawaslu Kabupaten/Kota, 3-5 orang Anggota;
d.     Panwaslu Kecamatan, 3 orang Anggota;
e.     Panwaslu Keluharan/Desa, 1 orang; dan
f.      Pengawas TPS, 1 orang.

Dalam konteks penanganan pelanggaran, pengawas pemilu juga diperkuat. Penanganan pelanggaran administrasi yang semula hanya ditangani dengan produk rekomendasi, dalam pemilu Tahun 2019, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota dapat menerbitkan sebuah putusan yang wajib dilaksanakan oleh KPU. Putusan itu diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan secara terbuka paling lama 14 hari kerja.

Pengalaman pertama Bawaslu dalam menjalankan kewenangan ini adalah saat melakukan pemeriksaan atas persoalan Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) yang diwajibkan oleh KPU saat proses pendaftaran partai politik calon peserta pemilu. Akibat penyusunan dan pengesahan UU yang terlalu dekat dengan tahapan pemilu, dan Bawaslu yang saat itu belum selesai menyusun peraturan teknis terkait penyelesaian pelanggaran administrasi ini, akhirnya Bawaslu menerbitkan Surat Edaran sebagai pedoman dalam penyelesaian laporan mengenai SIPOL tersebut.

Saat itu, kewenangan memutus penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu secara terbuka ini, banyak dipersoalkan oleh kalangan pemerhati pemilu. Mengingat dalam kasus SIPOL, Bawaslu sebagai lembaga yang juga bertugas mengawasi telah mempunyai sikap menolak diterapkannya SIPOL oleh KPU, sehingga menjadi persoalan jika kemudian Bawaslu juga menjadi menjadi ‘pengadil’ dalam persoalan yang sama. Di kemudian hari, banyak juga kasus-kasus yang menjadi perdebatan terkait dengan kewenangan ini, seperti kasus pencalonan anggota legislatif yang merupakan mantan narapidana, kasus Oesman Sapta Odang (OSO), dan kasus rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara.

Selain itu, Bawaslu juga dapat mendiskualifikasi Calon apabila terbukti melakukan pelanggaran administrasi dan politik uang yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif.

Dalam melakukan penanganan pelanggaran, jika dalam pemilu sebelumnya pengawas pemilu dibatasi waktu paling lama 5 hari untuk melakukan kajian, pada Pemilu Tahun 2019, batasan waktu tersebut diperpanjang dengan paling lama 14 hari kerja.

Secara normatif, kedudukan Sentra Gakkumdu dalam penanganan tindak pidana pemilu juga diperkuat. Di mana polisi dan jaksa yang tergabung dalam Gakkumdu dibebas tugaskan dari pekerjaannya di instansi asal. Hal ini tentu saja akan memperkuat pengawas pemilu dalam penanganan tindak pidana pemilu. Namun pada prakteknya, polisi dan jaksa tetap dibebani pekerjaan di instansi asalnya, sehingga keduanya tidak fokus dalam penegakan hukum pemilu.

Pengaturan mengenai Gakkumdu ini diatur oleh Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018. Dalam Perbawaslu ini, pengawas pemilu, polisi dan jaksa membahas bersama terhadap temuan atau laporan yang diterima oleh pengawas pemilu. pembahasan tersebut dilakukan mulai dari penerimaan temuan/laporan sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan.

Pada perkembangannya, keberadaan Gakkumdu dalam penanganan tindak pidana pemilu dipersoalkan dan dikeluhkan oleh banyak pihak, termasuk oleh pengawas pemilu sendiri. Alih-alih dapat mempermudah proses penanganan, Gakkumdu justeru menjadi hambatan tersendiri. Seperti penanganan kasus kampanye di luar jadwal yang diduga dilakukan oleh Partai Perindo dan Partai Solidaritas Indonesia yang ditangani oleh Bawaslu, keduanya dihentikan karena terdapat persoalan dalam Gakkumdu.

Untuk kewenangan pengawas pemilu dalam penyelesaian sengeketa yang semula dibatasi paling lama 12 hari kalender oleh UU No. 7 Tahun 2017, dengan adanya Putusan MK No. 31/PUU-XVI/2018 diubah menjadi 12 hari kerja. Dengan ketentuan ini, pengawas pemilu memilki batasan waktu yang lebih panjang.






[1] Disusun untuk Divisi Penindakan Bawaslu sebagai bahan Diskusi Kelompok Terpumpun (Focus Group Discussion) yang diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober 2019 s.d. 2 November 2019
[2] Didik Supriyanto, Veri Junaidi, dan Devi Darmawan, “Penguatan Bawaslu: Optimalisasi Posisi, Organisasi, dan Fungsi Dalam Pemilu 2014”, Jakarta, Perludem, 2012, hlm. 11
[3] Topo Santoso dan Ida Budhiati, “Pemilu Di Indonesia Kelembagaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan”, Jakarta, Sinar Grafika, 2019, hlm. 83
[4] Ibid, hlm. 12
[5] Ibid, hlm. 13
[6] Dhurorudin Mashad, “Korupsi Politik, Pemilu, dan Legitimasi Pasca Orde Baru”, Jakarta, CIDES, 1999. hlm. 24-25
[7] Alexander Irwan dan Edriana, “Pemilu: Pelanggaran Asas Luber”, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1995.
[8] Didik Supriyanto, Veri Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit, hlm. 15
[10] Lihat Pasal 17 dan Pasal 23 PP No. 33 Tahun 1999
[11] Lihat Pasal 30 PP No. 33 Tahun 1999
[12] Lihat Pasal 33 PP No. 33 Tahun 1999
[13] Topo Santoso dan Ida Budhiati, Opcit, hlm. 141-142
[14] Lihat Pasal 27 UU No. 3 Tahun 1999
[15] Topo Santoso dan Ida Budhiati, hlm. 143
[16] Didik Supriyanto, Veri Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit, hlm. 18
[17] Lihat Pasal 120 UU No. 12 Tahun 2003
[18] Ramlan Surbakti dan Hari Fitrianto, “Transformasi Bawaslu Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengawasan Pemilu”, Jakarta, Kemitraan Partnership, 2015, hlm. 23
[19] Didik Supriyanto, Veri Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit, hlm. 20
[20] Lihat Pasal 127 UU No. 12 Tahun 2003
[21] Lihat Pasal 79 UU. No. 23 Tahun 2003
[22] Ramlan Surbakti dan Hari Fitrianto, Opcit, hlm. 24
[23] Topo Santoso dan Ida Budhiati, Opcit, hlm. 170
[24] Data ini dilihat dalam Didik Supriyanto, Veri Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit, hlm. 20
[25] Ibid, hlm. 26
[26] Ibid
[27] Ramlan Surbakti dan Hari Fitrianto, Opcit, hlm. 25
[28] Lihat Pasal 87 s.d. Pasal 91 UU No. 22 Tahun 2007
[29] Lihat Pasal 93 dan Pasal 94 UU No. 22 Tahun 2007
[30] Lihat Pasal 95 UU No. 22 Tahun 2007
[31] Topo Santoso dan Ida Budhiati, Opcit, hlm. 195-196. MK kemudian memutuskan pasal-pasal terkait rekrutmen tersebut inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. Namun rekrutmen pengawas pada penyelenggaraan pemilu 2009 tetap berlangsung sesuai dengan pengaturan yang ada, mengingat Putusan MK terbit setelah pelaksanaan pemilu 2009 selesai. Putusan MK ini kemudian mempengaruhi pengaturan penyelenggara pemilu di kemudian hari.
[32] Didik Supriyanto, Veri Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit, hlm. 28
[33] Ramlan Surbakti dan Hari Fitrianto, hlm. 25
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] Didik Supriyanto, Veri Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit, hlm. 27
[37] Topo Santoso dan Ida Budhiati, Opcit, hlm. 216
[38] Lihat Pasal 247 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 dan Pasal 190 ayat (4) UU No. 42 Tahun 2008
[39] Topo Santoso dan Ida Budhiati, hlm. 213-214
[40] Ibid, hlm. 215
[41] Didik Supriyanto, Veri Junaidi, dan Devi Darmawan, Opcit, hlm. 31. Data yang ditemukan hanya hasil penanganan pelanggaran Pemilu Legislatif 2009.
[42] Tim Perludem, “Catatan 20 Tahun Reformasi Pemilu, Ingatan Reformasi Yang Tak Mendalam, Reformasi Yang Belum Selesai”
[43] Lihat Pasal 120 UU No. 15 Tahun 2011
[44] Topo Santoso dan Ida Budhiati, Opcit, hlm. 228
[45] Veri Junaidi dkk, “Evaluasi Penegakan Hukum Pemilu 2014”, Jakarta, Yayasan Perludem, hlm. 49
[46] Laporan Hasil Pengawasan Pemilu Presden dan Wakil Presiden Tahun 2014
[48] Abhan, Asep Mufti, Achwan, “Pasangan Calon Melawan Kolom Kosong, Potret Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pati Tahun 2017”, Semarang, Rafi Sarana Perkasa, 2017, hlm. 4
[49] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar