Jumat, 08 November 2019

Penegakan Hukum Progresif


Oleh: Asep Mufti[1]


Baru-baru ini banyak orang terusik dengan apa yang dialami oleh Baiq Nuril, seorang perempuan, mantan guru honorer di sekolah di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Baiq Nuril divonis bersalah oleh lembaga peradilan karena dianggap menyebarkan informasi elektonik yang muatannya melanggar kesusilaan, sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kasus bermula pada tahun 2012[2], saat Baiq merekam perbincangan antara dirinya dengan kepala sekolah tempat dia bekerja. Dalam perbincangan itu, Baiq sebagai perempuan merasa dilecehkan oleh kepada sekolah tersebut. Baiq kemudian memberikan rekaman perbincangan itu kepada teman kerjanya, dan tersebarlah rekaman tersebut. Tidak terima lantaran perbincangannya tersebar, kepala sekolah itu kemudian melaporkan Baiq ke pihak kepolisian. Laporan tersebut diproses.

Pengadilan Negeri Mataram sebenarnya sudah menyatakan Baiq tidak bersalah dan membebaskan dirinya dari segala tuduhan, namun terhadap putusan tersebut, Penuntut Umum melakukan upaya hukum. Pengadilan tingkat banding dan kasasi, justeru memberikan vonis bersalah kepada Baiq Nuril. Baiq mengajukan permohonan Peninjauan Kembali dan ditolak, lalu mengajukan amnesti kepada Presiden Joko Widodo.

Di tengah gencarnya upaya gerakan sosial perempuan yang mendorong adanya pengaturan tentang penghapusan kekeresan seksual, kasus Baiq Nuril semakin menegaskan bahwa perempuan masih menjadi pihak yang rentan mengalami kekerasan seksual. Dalam sudut pandang gerakan perempuan, Baiq merupakan korban, namun pada kenyataannya, dalam penegakan hukum Baiq justeru menjadi pesakitan.

Kasus Baiq, hanya satu dari sekian rentetan kasus yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia, dimana “rakyat kecil” rentan menjadi korban ketika berhadapan dengan proses penegakan hukum. Kita tentu masih ingat, sebelumnya ada kasus yang dialami oleh Prita Mulyani yang juga menjadi pesakitan lantaran melakukan kritik terhadap pelayanan sebuah rumah sakit. Ada juga kasus Manisih, di Batang, Jateng, yang menjadi pesakitan lantaran mengambil kapuk sisa-sisa panen di sebuah perkebunan. Mbok Minah di Banyumas, menjadi pesakitan lantaran mengambil 3 buah kakao.

Terhadap kasus-kasus tersebut, tentu saja menjadi keprihatinan dalam masyarakat dan selalu timbul pertanyaan, adakah yang salah dengan penegakan hukum di Indonesia? Bermula dari keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia, Satjipto Rahardjo (1930-2010), menciptakan sebuah gagasan hukum yang kemudian dikenal dengan isitilah Hukum Progresif. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak ­status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.[3] Sekiranya Satjipto masih hidup, tentu kasus Baiq dan kasus-kasus lain yang disebut di atas, tidak luput dari kritikan begawan hukum tersebut.

Konsep hukum progresif berangkat dari asumsi bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Maka, setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditunjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.[4]

UU ITE yang menjerat Baiq Nuril, pada mulanya merupakan UU yang pada awalnya untuk melindungi kepentingan Negara, publik, dan swasta dari kejahatan siber (cyber crime). Saat itu ada 3 pasal mengenai defamation (pencemaran nama baik), penodaan agama, dan ancaman online. Semula, ketiga pasal itu dimaksudkan untuk menangkap para penjahat siber. Namun, kini malah lebih sering dipakai untuk mengkriminalisasikan warga yang memanfaatkan internet dan media sosial untuk menyampaikan keluhan, opini, isi pikirannya, berpolemik, hingga menyampaikan kritik kepada pimpinan daerah.[5]

Cara berhukum yang demikian, menurut Satjipto, merupakan tradisi atau aliran analytical jurisprudence, yang hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Dunia di luar, seperti manusia, masyarakat dan kesejahteraan ditepiskannya.[6] Sederhananya, apa yang tertera dalam peraturan perundang-undangan, lebih prioritas dalam penegakan hukumnya daripada melihat fakta sosialnya. Tradisi seperti inilah yang ditentang oleh Satjipto Rahardjo dengan hukum progresifnya.

Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran tersebut, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus-menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaannya dapat diverifikasikan ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakekat “hukum yang selalu dalam proses menjadi” (law as a process, law in the making). Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia.[7]

Pendapat Satjipto tentang Hukum Progresif, sama halnya dengan penganut realisme hukum dan sociological jurisprudence. Seperti yang dikatakan Jerome Frank, tujuan utama penganut realisme hukum (legal realism) adalah untuk membuat hukum “menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial”. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum, agar pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat hukum.[8] seperti halnya realisme hukum, sociological jurisprudence juga ditujukan untuk memberi kemampuan bagi institusi hukum untuk secara lebih menyeluruh dan cerdas mempertimbangkan fakta-fakta sosial di mana hukum itu berproses dan diaplikasikan.[9]

Dengan pendapat yang demikian, maka, hukum progresif lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan dalam sebuah penegakan hukum. Faktor dan kontribusi manusia dianggal lebih menentukan daripada peraturan yang ada. Faktor manusia adalah simbol daripada unsur-unsur greget. [10] Satjipto mencontohkan sikap Mantan Hakim Agung Bismar Siregar yang-menurut Satjipto-selalu memutus berdasar hati nurani terlebih dahulu dan baru kemudian dicarikan peraturannya, oleh karena hakim memutus berdasarkan hukum.  

Dalam konteks yang lebih luas, hukum progresif sebenarnya ingin membebaskan diri dari dominasi hukum liberal, yaitu hukum modern yang tumbuh dan berkembang di Eropa. Hukum modern lahir seiring dengan dinamika perkembangan ekonomi di negara modern. Sistem produksi kapitaslis membutuhkan dukungan suatu tatanan sosial yang mampu melancarkannya, maka diperlukan hukum yang positif, tertulis dan dirinci dengan jelas sehingga dapat menjamin prediktabilitas.[11] Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa hukum modern lebih bersifat positivistik, karena lebih dapat memberikan kepastian.

Namun demikian, hukum progresif tidka bersikap a priori terhadap hukum liberal, karena ada hal yang bisa diambil dari hukum liberal, tetapi banyak juga yang tidak dinginkan.[12]

Kesimpulan

Pada intinya, hadirnya gagasan hukum progresif merupakan kritik dari praktek hukum yang sangat positivistik, yang tidak lain merupakan tradisi dari hukum modern yang liberal. Hukum modern lebih mengedepankan peraturan perundang-undangan yang tertulis dalam menegakkan hukum, tapi mengesampingkan fakta sosial. Konsep hukum progresif, memiliki kesamaan dengan realisme hukum atau sociological jurisprudence, selain itu juga dengan konsep hukum responsif nya Philippe Nonet dan Philip Selznick. Dalam aksinya, hukum progresif lebih mempercayakan kepada perilaku manusia untuk mewujudkan keadilan, daripada peraturan-peraturan yang tertulis.


[1] Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Nasional. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Sosiologi Hukum, dengan dosen pengampu, Dr. Rizal Ramadhani, S.H.,LL.M., pada Magister Ilmu Hukum, Universitas Nasional.
[2] Lihat berita www.cnnindonesia.com, berjudul “Kronologi Kasus Baiq Nuril, Bermula Dari Percakapan Telepon,” Rabu, 14 November 2018.
[3] Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,” Genta Publishing, Juli 2019, hlm. 2.
[4] Ibid, hlm. 3
[5] Lihat berita www.hukumonline.com, berjudul UU ITE dan Risiko Hukum Bagi Pengguna Media Sosial,” Kamis, 29 Desember 2016.
[6] Opcit, Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia”, hlm. 6
[7] Ibid
[8] Philippe Nonet & Phipil Selznick, “Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi”, HuMa, Desember 2003, hlm. 59
[9] Ibid
[10] Opcit, Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia”, hlm. 10
[11] Ibid, hlm. 14
[12] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar