Sabtu, 21 Desember 2019

Menolak Hukuman Mati Dalam RKUHP


Oleh: Asep Mufti[1]


Menjelang akhir masa jabatan keanggotaan DPR RI periode 2014-2019, elemen masyarakat, terutama mahasiswa bergejolak melakukan unjuk rasa di banyak daerah, bahkan sampai merenggut dua nyawa mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara. Peristiwa dan keadaan yang sangat memprihatinkan.

Peristiwa tersebut disebabkan adanya polemik terhadap beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU), baik yang telah disahkan oleh DPR, yaitu UU KPK, maupun RUU lain yang belum disahkan seperti RUU tentang Hukum Pidana (RKUHP), Penghapusan Kekerasan Seksual, Pertanahan dll. Tulisan ini hanya mencoba untuk melihat permasalahan yang menjadi polemik atas RKUHP, khususnya terkait dengan pengaturan hukuman mati.

Niatan bangsa ini memiliki Hukum Pidana Nasional lagi-lagi harus tertunda, mengingat terhadap rancangan yang ada, masih menuai banyak penolakan masyarakat. Meskipun polemik yang berkembang di media massa maupun di media sosial, bagi masyarakat atau setidaknya bagi penulis, tidak cukup memberikan informasi yang cukup untuk betul-betul memahami persoalan sebenarnya.

Tujuan dari penyusunan hukum pidana nasional, sebagaimana tertuang dalam ketentuan menimbang pada RKUHP tanggal 15 September 2019, adalah untuk menggantikan KUHP warisan pemerintah kolonial Hindia-Belanda[2] yang hingga saat ini digunakan, dengan hukum pidana nasional yang disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Sejak puluhan tahun silam, upaya penyusunan atau rekodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional sebenarnya sudah digagas. Tepatnya, saat digelarnya Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada 1963, salah satunya membahas Rancangan KUHP (RKUHP) selain Rancangan KUHAP KUHPerdata, KUHDagang. Seminar ini disebut-sebut menjadi titik awal sejarah pembaruan KUHP di Indonesia yang setahun kemudian mulai dirumuskan oleh tim pemerintah.[3] Upaya menyusun hukum pidana nasional tersebut mengalami pasang surut hingga kemudian kembali diusahakan untuk disahkan oleh DPR-Pemerintah menjelang akhir periode saat ini.
 
Setidaknya terdapat beberapa pengaturan yang masih dianggap kontroversial dalam RKUHP, meliputi pengaturan terkait hukuman mati, makar, penghinaan terhadap presiden, tindak pidana terhadap agama, persetubuhan laki-laki dan perempuan di luar perkawinan, mempertunjukkan alat pencegah kehamilan, aborsi, korupsi, pelangaran HAM berat, dan penyebaran ajaran komunisme atau Marxisme-Leninisme.[4]

Masih diaturnya pidana hukuman mati dalam RKUHP dikritik oleh banyak aktivis, karena dianggap bertentangan dengan sejumlah ketentuan Hak Asasi Manusia, seperti ketentuan Pasal 28A UUD atau UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, sedangkan di tingkat internasional, penerapan hukuman mati bertentangan dengan DUHAM dan Kovenan Hak Sipil-Politik.


Pengaturan Hukuman Mati dalam RKUHP

Terkait dengan jenis-jenis pidana, RKUHP[5] yang terdiri dari dua buku, mengatur sebagai berikut:

Pidana terdiri atas:
a.        pidana pokok;
b.        pidana tambahan; dan
c.         pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. (Pasal 64 RKUHP)
Pasal 1 
Pidana pokok terdiri atas:
a.        pidana penjara;
b.        pidana tutupan;
c.         pidana pengawasan;
d.        pidana denda; dan   
e.        pidana kerja sosial.
Urutan pidana tersebut menen­tukan berat atau ringannya pidana. (Pasal 65 RKUHP)

Sedangkan Pidana tambahan terdiri atas:
a.        pencabutan hak tertentu;
b.        perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan;
c.         pengumuman putusan hakim;
d.        pembayaran ganti rugi;
e.        pencabutan izin tertentu; dan
f.          pemenuhan kewajiban adat setempat. (Pasal 66 RKUHP)

Dari ketentuan RKUHP di atas, pidana hukuman mati bukan termasuk dari pidana pokok. Berbeda dengan KUHP saat ini, dimana hukuman mati termasuk dari pidana pokok, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 huruf a KUHP.

Dalam RKUHP, hukuman mati termasuk pidana yang bersifat khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 menyebutkan:
Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif”.

Kekhususan mengenai hukuman mati ini diterangkan dalam penjelasan Pasal 67 yang menyebutkan:
“Pidana yang dapat diancam dengan pidana yang bersifat khusus adalah pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, antara lain tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia. Untuk itu, pidana mati dicantumkan dalam bagian tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu, harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (tahun)”.

Pertimbangan utama digesernya kedudukan pidana mati itu didasarkan pada pemikiran, bahwa dilihat dari tujuan pemidanaan dan tujuan diadakan/ digunakannya hukum pidana (sebagai salah satu sarana “kebijakan kriminal dan “kebijakan social”), pidana mati pada hakikatnya memang bukanlah sarana utama (sarana pokok) untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki masyarakat. Dalam hal ini, pidana mati hanya merupakan perkecualian. Pemikiran demikian dapat diidentikkan dengan sarana amputasi atau operasi di bidang kedokteran yang pada hakikatnya juga bukan sarana/obat yang utama, tetapi hanya merupakan upaya perkecualian sebagai sarana/obat terakhir.[6]

Dikarenakan hukuman mati bersifat khusus, oleh karena itu penerapannya selalu diancamkan secara alternatif. Mengenai ini dalam Pasal 98 menyebutkan:
Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.

Penjelasan dari Pasal 98 tersebut menyebutkan demikian:
Pidana mati tidak terdapat dalam stelsel pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.  Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup.”

Pada penjelasan Pasal 98 di atas, disebutkan bahwa hukuman mati dapat diterapkan secara bersyarat dengan memberikan masa percobaan. Masa percobaan tersebut dapat dijatuhkan oleh hakim dengan memperhatikan 3 syarat, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 ayat (1), meliputi:
1.         terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
2.        peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau        
3.        ada alasan yang meringankan.

Tenggang waktu masa percobaan yang diatur adalah 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Pasal 100 ayat [3]).

Apabila seorang terpidana selama masa percobaannya menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 100 ayat [4]). Sebaliknya, apabila terpidana selama masa percobaannya tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang  terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung (Pasal 100 ayat [5]).

Terkait dengan masa perocobaan tersebut, Ahli Hukum JE Sahetapy juga pernah mengemukakan pandangan yang sama. JE Sahetapy pernah berpendapat bahwa berdasarkan pengalaman di Amerika, sebetulnya pidana mati tidak akan mempengaruhi angka-angka statistik kejahatan di beberapa negara bagian yang mempertahankan atau menolak pidana mati. Lalu Ia memperkenalkan abolisi de facto. Dengan abolisi de facto ini, menurut Sahetapy, terpidana mati tidak segera dieksekusi. Ia masih diberi kesempatan hidup dan bertobat sampai 10 tahun untuk membersihkan hati nuraninya. Dalam rentang waktu itu, jika Ia benar-benar bertobat, ancaman mati diubah menjadi seumur hidup.[7]

Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden. Pelaksanaannya tidak dilaksanakan di muka umum dan dilakukan dengan cara menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang-Undang. Apabila Terpidana merupakan wanita yang sedang hamil, wanita yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan, wanita tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh (Pasal 99).

Pada pengaturan di Buku Kedua RKUHP, terdapat beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana mati, meliputi:
1.         Makar (Pasal 191 dan Pasal 192);
2.        Memberi bantuan kepada musuh di waktu perang (Pasal 212);
3.        Pembunuhan berencana (Pasal 466);
4.        Pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan terhadap orang, yang mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 486);
5.        Perbuatan yang membahayakan keselamatan penerbangan (Pasal 595);
6.        Genosida (Pasal 599 dan Pasal 600);
7.        Terorisme (Pasal 601);
8.       Narkotika (Pasal 613, Pasal 614, dan Pasal 615);


Hukuman Mati Versus Hak Untuk Hidup

Hak untuk hidup dan hak untuk tidak diperlakukan secara kejam, tidak manusiawi dan penghukuman yang merendahkan harkat dan martabat manusia merupakan hak yang secara fundamental diakui dalam berbagai instrumen hak asasi manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) merupakan dua instrumen hak asasi manusia yang secara eksplisit menolak dilaksanakannya praktik hukuman mati ini. Pasal 3 DUHAM menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”. Ketentuan ini dipertegas lagi dalam Pasal 6 ayat 1 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang menyatakan "every human being has the right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life"[8], atau dengan terjemahan “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu.”

Ketentuan lain yang berkaitan dengan upaya penghapusan hukuman mati ini adalah Optional Protocol II dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (The Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989. Optional Protocol II tersebut bertujuan untuk menghapuskan secara total hukuman mati di negara-negara di dunia. Adanya Optional Protocol II tersebut mengindikasikan bahwa penerapan hukuman mati sebagai salah satu sanksi dalam hukum pidana tidak lagi memiliki legitimasi di dalam sistem hukum pidana yang berlaku di negara-negara yang telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.[9] Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Di Indonesia, hak untuk hidup diatur dalam UUD 1945. Pasal 28A menyebutkan “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Selain itu, Pasal 28I ayat (1) menybutkan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Selain diatur dalam konstitusi, perlindungan terhadap hak untuk hidup juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dimana dalam Pasal 9 ayat (1) menyebutkan “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.”

Menurut Hendardi, aktivis HAM dan merupakan pendiri Setara Institute (sebuah lembaga yang fokus melakukan penelitian tentang kehidupan demokrasi dan HAM), terdapat empat alasan kenapa hukuman mati harus ditolak[10]. Empat alasan itu terdiri dari:

Pertama, negara bukan saja harus menghormati dan melindungi hak untuk hidup (the right to life), tapi juga menjamin pelaksanaan penegakan hukum yang tak merengut hak tersebut. Negara harus menjamin hak setiap orang untuk hidup tanpa merenggutnya dalam penegakan hukum pidana.

Kedua, dalam prinsip hak-hak asasi manusia, hak untuk hidup adalah hak yang tak terenggutkan (non-derogable right), tak boleh dicabut dalam keadaan apa pun. Pencabutan hak ini tidak diperkenankan bukan saja dalam keadaan perang, apalagi dalam keadaan damai.

Ketiga, hak untuk hidup adalah hak yang melekat di dalam diri (right in itself) setiap orang. Hidup menyatu dengan tubuh manusia atau setiap orang. Merenggutnya berarti mengakhiri hidup seseorang. Pada titik yang mengerikan inilah hidup seseorang sebagai manusia berakhir.

Keempat, hak untuk hidup paling ditekankan untuk dihormati dan dilindungi oleh semua Negara sebagaimana terkandung dalam Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi RI. Hak ini juga dilindungi dalam Pasal 28A UUD 1945 serta Pasal 4 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Penghormatan dan perlindungan bukan saja bersumber dari prinsip dan norma hak-hak asasi manusia internasional, tapi juga telah menjadi bagian dari ketentuan hukum nasional. Negara berkewajiban melindungi dan menjamin setiap orang agar dapat menikmati hak untuk hidup.

Penulis sependapat dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Hendardi di atas. Hukuman mati harus dihapuskan dari sistem pemidanaan di Indonesia.



[1] Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Nasional. Tulisan ini disusun sebagai tugas mata kuliah “HAM dan Proses Peradilan Pidana” dengan Dosen Pengampu Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H.

[2] Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Wetboek van strafrecht voor Indoensie (WvSI) yang di Hindia Belanda mulai berlaku pada 1 Januari 1918. Pasca Indonesia merdeka WvSI tetap berlaku dengan beberapa perubahan dengan terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1946 (Lihat Monograf Focus Group Discussion “Hukuman Mati Dalam R KUHP 2015”, terbitan Aliansi Nasional Reformasi KUHP-ICJR, Oktober 2015)

[3] Lihat www.hukumonline.com, judul berita “Sekilas Sejarah dan Problematika Pembahasan RKUHP”, Selasa, 26 Desember 2017. Link: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a42131b82c60/sekilas-sejarah-dan-problematika-pembahasan-rkuhp/

[4] Lihat berita online tempo.co dengan judul “Disahkan Pekan Depan, Ini 10 Pasal Kontroversial RKUHP”, Senin, 16 September 2019. Link: https://nasional.tempo.co/read/1248284/disahkan-pekan-depan-ini-10-pasal-kontroversial-rkuhp 

[5] RKUHP tanggal 15 September 2019, teridiri dari Buku Kesatu tentang Aturan Umum terdiri dari Pasal 1 s.d. Pasal 187 dan Buku Kedua tentang Tindak Pidana terdiri dari Pasal 188 s.d. 628

[6] Naskah Akademik RKUHP, hal.36.

[7] JE Sahetapy dalam “Abolisi De Facto Bagi Terpidana Mati”. Tulisan ini dimuat dalam laman tempo.co edisi 3 Januari 2005

[8] Monograf Focus Group Discussion, “Hukuman Mati Dalam R KUHP 2015”, terbitan Aliansi Nasional Reformasi KUHP-ICJR, Oktober 2015, hlm. 18

[9] Ibid


[10] Lihat Artikel yang ditulis oleh Hendardi, dengan judul “Hak Hidup dan Hukuman Mati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar