Sabtu, 21 Desember 2019

Menyoal Permenag Tentang Majelis Taklim


Oleh: Asep Mufti[1]


Baru-baru ini Menteri Agama Republik Indonesia, Fachrul Razi, menuai banyak kritik dari publik akibat menerbitkan sebuah kebijakan yang mengatur majelis taklim. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 Tentang Majelis Taklim (Permenag). Ketentuan yang banyak dikritik oleh publik adalah ketentuan Pasal 6 ayat (1) Permenag tersebut yang mengharuskan majelis taklim terdaftar pada Kantor Kementerian Agama.

Majelis taklim sesungguhnya sudah ada dan berkembang secara organik dalam masyarakat muslim di Indonesia. Di lingkungan masyarakat, kita banyak menemukan komunitas yang melakukan pengkajian tentang islam dengan cara membaca Al-quran, ceramah, dan lain-lain.

Sekretaris Jenderal PBNU, Helmy Faishal Zaini, menilai Permenag tersebut mengganggu peran majelis taklim di masyarakat. Helmy mengatakan UU Keormasan sudah mengatur pendirian organisasi bagi majelis taklim yang hendak mendaftarkan sebagai ormas. Jadi menurut Helmy, pemerintah janganlah mempersulit dan merepotkan masyarakat.[2]

Terbitnya Permenag tersebut juga disesalkan oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily. Menurut Ace, keluarnya Permenag itu terlalu berlebihan, karena hal itu tidak perlu diatur oleh pemerintah. Selama ini majelis taklim itu sangat tumbuh subur di masyarakat tanpa harus diatur-diatur oleh pemerintah.[3]

Dalam konteks Hak Asasi Manusia, sesungguhnya setiap orang bebas untuk berkumpul dan berserikat, tidak terkecuali di Indonesia, karena hak atas kebebasan tersebut telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28E ayat (3) menyebutkan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Karena hak itu telah dijamin dan diakui oleh negara, maka menjadi kewajiban negara terutama pemerintah untuk melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhinya.[4]

Apakah Permenag yang mengatur majelis taklim tersebut membatasi dan menghambat pemenuhan hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat? Pertanyaan tersebut menjadi permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini. Namun untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui lebih dulu dengan jelas mengenai apa yang menjadi latar belakang pemerintah, khususnya Menteri Agama menerbitkan Permenag tentang majelis taklim dan bagaimananya pengaturannya.  Selain itu, perlu juga diketahui, bagaimana seharusnya peran negara dalam memenuhi hak kebebasan berkumpul dan berserikat.


Isi Permenag Nomor 29 Tahun 2019

Permenag yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 13 Nopember 2019 tersebut, isinya terdiri dari 6 bab dan 22 pasal. Ruang lingkup pengaturan dari Permenag tersebut meliputi pendaftaran, penyelenggaraan, pembinaan, dan pendanaan majelis taklim.

Majelis Taklim, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Permenag tersebut, didefinisikan sebagai lembaga atau kelompok masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan Islam nonformal sebagai sarana dakwah Islam.

Majelis Taklim dalam menjalankan tugasnya untuk meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam[5], menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
1.         pendidikan agama Islam bagi masyarakat;
2.        pengkaderan Ustadz dan/atau Ustadzah, pengurus, dan jemaah;
3.        penguatan silaturahmi;
4.        pemberian konsultasi agama dan keagamaan;
5.        pengembangan seni dan budaya Islam;
6.        pendidikan berbasis pemberdayaan masyarakat;
7.        pemberdayaan ekonomi umat; dan/atau
8.       pencerahan umat dan kontrol sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[6]

Pihak-pihak yang dapat membentuk majelis taklim menurut Permenag ini  adalah Perseorangan, kelompok orang, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, masjid, dan mushala.[7]

Majelis Taklim, menurut Permenag ini, harus terdaftar pada Kantor Kementerian Agama.[8] Secara teknis, permohonan pendaftaran diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Kementerian Agama atau Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.[9] Selebihnya, Permenag ini mengatur syarat-syarat pendaftaran, teknis penyelenggaraan, pembinaan dan pendanaan oleh pemerintah kepada majelis taklim yang terdaftar.   

Meskipun Permenag ini mengatur keharusan majelis taklim terdaftar pada Kantor Kementerian Agama, namun tidak ditemukan pada norma lain yang memberikan sanksi apabila majelis taklim tidak mendaftarkan diri.  Sehingga menurut penulis, meski terdapat norma yang menyebut “harus terdaftar”, namun norma tersebut tidak mempunyai daya paksa. Norma tersebut hanya berkaitan dengan masalah pendanaan yang sumbernya bisa berasal pemerintah atau pemerintah daerah.[10] Sederhananya, tidak ada permasalahan hukum apabila majelis taklim tidak mendaftarkan diri kepada pemerintah, hanya saja majelis taklim tersebut tidak mendapatkan akses pendanaan dari pemerintah.

Hal itu juga ditegaskan oleh Menteri Agama, Fachrul Razi, yang menyatakan bahwa Permenag bertujuan untuk membantu persoalan keuangan yang dialami oleh majelis takilm.[11]

Namun demikian, Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin, pada suatu kesempatan pernah menyatakan bahwa pengaturan tentang majelis taklim juga bertujuan untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme.[12] Meskipun hal itu kemudian dibantah sendiri oleh Fachrul Razi, yang menyatakan keberadaan Permenag semata-mata hanya terkait masalah pendanaan.

    
Pemenuhan Hak atas Kebebasan Berkumpul dan Berserikat

Sebagaimana telah disebut di atas, bahwa hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat telah diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Selain itu dalam hukum nasional, hak itu juga ditegaskan kembali dalam Pasal 24 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan “Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan Partai Politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntunan perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan perundangundangan”.

Pentingnya hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, yang berkaitan juga dengan hak untuk menyampaikan pendapat, pernah disampaikan oleh Mohammad Hatta dalam sidang BPUPKI sebelum kemerdekaan. Dalam sidang tersebut terjadi perdebatan antara Soekarno dan Hatta. Soekarno berpandangan bahwa jaminan perlindungan hak tersebut berasal dari faham liberalisme yang melahirkan imperialisme.[13]

Hatta setuju dengan penolakan terhadap liberalisme dan individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan untuk memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara yang ingin didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme. Lalu Hatta mengatakan:

“Tetapi satu hal yang saya kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya untuk mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas Undang-Undang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita setujui”.

“Sebab itu ada baiknya dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara itu jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak buat berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita dasarkan negara kita kepada kedaulatan rakyat”.[14]

Berdasarkan pendapat Hatta tersebut, maka arti penting hak atas kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat adalah untuk mencegah terciptanya negara kekuasaan.

Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, merujuk pada pembagian generasi oleh Karel Vasak, ahli hukum dari prancis, termasuk dalam generasi pertama hak asasi manusia.[15] Generasi yang mewakili hak-hak sipil dan politik. Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya -sebagaimana yang muncul dalam revolusi hak yang bergelora di Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.[16]

Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”. Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin suatu ruang kebebasan di mana individu sendirilah yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-hak generasi pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar (baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap kedaulatan individu. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam generasi pertama ini sangat tergantung pada absen atau minusnya tindakan negara terhadap hak-hak tersebut. Jadi negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut.[17]

Permenag meskipun tidak sampai membatasi majelis taklim sebagai wujud hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, namun telah memperlihatkan bahwa negara sangat aktif dalam mengatur atau mengontrol kebebasan individu, apalagi jika dikaitkan dengan pendapat Wakil Presiden, Ma’ruf Amin, yang mengatakan bahwa Permenag ini bertujuan untuk mencegah radikalisme. Padahal persoalan radikalisme itu sendiri masih diperdebatkan, karena beberapa pihak menganggap isu radikalisme digulirkan oleh pemerintah untuk mengidentifikasi tindakan terorisme, namun prakteknya isu tersebut tidak hanya menyasar pada tindakan terorisme, tapi lebih luas dari itu.

Peran negara yang sangat aktif, yang dicerminkan dalam Permenag, sangat bertolak belakang dengan konsep generasi pertama HAM yang menuntut ketiadaan campur tangan dalam rangka pemenuhannya.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan Permenag yang mengatur majelis taklim tidak dapat dikatakan sebagai bentuk upaya pemerintah menghambat pemenuhan hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat. Namun demikian, upaya tersebut (penerbitan Permenag) sangatlah berlebihan dan tidak seharusnya dilakukan oleh pemerintah jika serius menghormati hak asasi manusia.  






[1] Mahasiwa Magister Ilmu Hukum Universitas Nasional. Tulisan ini disusun sebagai tugas mata kuliah “HAM dan Proses Peradilan Pidana” dengan Dosen Pengampu Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H.
[4] Jimly Asshidiqie, “Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi”, Jakarta: 2005, hal 29
[5] Lihat Pasal 2
[6] Lihat Pasal 3
[7] Lihat Pasal 5
[8] Lihat Pasal 6 ayat (1)
[9] Lihat Pasal 6 ayat (2)
[10] Lihat Pasal 20
[13] Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting), “Hukum Hak Asasi Manusia”, Pusham UII, Yogyakarta, 2008, hal. 238
[14] Pidato Hatta tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun oleh RM A.B. Kusuma, yang dikutip Knut D. Asplund dkk, Ibid, hal. 239-240
[15] Terdapat 3 Generasi HAM, meliputi: Hak sipil Politik (Generasi pertama), hak ekonomi sosial budaya (Generasi Kedua), dan Hak solidaritas atau hak bersama (Generasi Ketiga).
[16] Knut D. Asplund dkk, hal. 15
[17] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar