Rabu, 23 November 2016

Mereka Pekerja, Bukan Pembantu



Menjelang dan setelah kelahiran anak kami (Aku dan Afidah) yang pertama, Madiba Vandana Afias, di awal tahun 2014, pekerjaan-pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci piring dan pakaian, menyetrika dan lain-lain tidak mungkin lagi kami kerjakan sendiri, terutama Afidah yang lebih banyak melakukan pekerjaan itu. Merawat anak menjadi prioritas dan akan sangat sulit dilakukan jika tetap melakukan semua pekerjaan rumah.

Sebagai perantauan, kami tentu tak mudah meminta pertolongan orang tua atau keluarga, karena kendala jarak. Apalagi mengandalkan bantuan tetangga di sebuah pemukiman perumahan di perkotaan. Akhirnya kami memutuskan meminta pertolongan orang lain untuk menggantikan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah.

Banyak orang menggunakan istilah “pembantu” bagi orang-orang yang kami butuhkan ini, belakangan istilah itu oleh kalangan pekerja sosial dianggap kurang tepat, lantaran mereka melakukan pekerjaan itu bukan atas kehendaknya sendiri atau melakukannya tanpa pamrih, tetapi kerena diberikan perintah dan menerima upah atas pekerjaannya, sehingga istilah yang tepat untuk digunakan adalah pekerja rumah tangga atau disingkat PRT.

Ada juga yang mengganti panggilan “pembantu” dengan panggilan asisten rumah tangga atau disingkat ART. Aku menduga orang-orang yang menggunakan panggilan asisten karena mengganggap istilah “pembantu” sangat kasar. Orang seperti ini cenderung melihat persoalan itu dari sisi moralitas, bukan dari perbedaan hak-haknya (atau mungkin juga karena ketidaktahuan). Tapi sesungguhnya itu tidak menjadikannya berbeda, karena asisten merupakan kata serapan dari bahasa inggris yang juga berarti pembantu.

Kedudukan PRT dalam sebuah rumah tangga, setidaknya di keluarga kami, tidak bisa lagi dipandang sebelah mata, apalagi sejak kehadiran anak kedua kami, Kayana Ontosoroh Afias di pertengahan tahun ini.

Mereka meninggalkan keluarganya untuk merawat orang lain, tentu saja itu bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Kalau saja keadaan memungkinkan bagi mereka untuk memilih pekerjaan, mereka mungkin lebih memilih berdagang atau menjadi pegawai negeri sipil, dari pada menjadi PRT.

“punya bayi gak, bu?” itu menjadi pertanyaan wajib yang selalu kami tanyakan kepada mereka (jika mereka nampak seperti ibu-ibu) yang akan bekerja di rumah. Kami tak mau ada orang yang bersedia merawat keluarga kami tapi menelantarkan anaknya sendiri.

Sudah sebelas orang yang merelakan waktunya untuk bekerja di keluarga kami. Sepuluh diantaranya sudah purna dan satu lainnya masih ikut menjadi bagian dari keluarga kami.

Terima kasih untuk mbak Nur, mbak Ani, Syafa, mbah Dul, mbak Yem, mbak Sulis, mbak Ratmi, mbak Teti, mbak Pris dan mbah Yatmi yang pernah menjadi bagian dari keluarga kami, maafkan bila kami pernah melakukan kesalahan. Dan untuk bu Marni, semoga mencintai kami, khususnya Madiba dan Kayo, juga semoga kerasan di rumah ya.

Semarang, Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar