Senin, 02 Desember 2013

Hukum Progresif Tidak Anti Kepastian Hukum

(Tanggapan untuk Ariehta Eleison dalam "Mengapa Mencibir Pada Kepastian Hukum")


Semalam aku menyelesaikan membaca tulisan kawanku Ariehta Eleison, tulisan yang dibuat berdasarkan penelitiannya terhadap 2 Putusan Kasasi Mahkamah Agung. Karya tulis yang terdiri dari 10 lembar itu diberi judul “Mengapa Mencibir Pada Kepastian Hukum?”. Arie sengaja membuat tulisan itu untuk didiskusikan dalam acara Konsorsium Hukum Progresif yang baru-baru ini diadakan di Semarang. Namun karena keterbatasan acara Konsorsium, tulisan tersebut tidak  dapat didiskusikan secara layak. Padahal munurutku, Arie membuat tulisan itu dengan baik, dalam artian secara teknis mudah dibaca dan secara substansi kaya akan referensi.

Jika kita terbiasa mendengar bahwa Hukum Progresif yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo, berupaya mengkritik keberadaan Hukum Liberal atau Hukum Modern yang berwujud pada persoalan kepastian hukum, Arie justeru hadir dengan karyanya untuk berupaya membela kepastian hukum, sebaliknya mengkritik Hukum progresif.

Seperti kukatakan di atas, Kajian Arie beranjak dari 2 Putusan Kasasi Mahkamah Agung terhadap perkara korupsi di 2 tempat, yaitu di Maluku dan Kalimantan. Pada intinya, terdapat perbedaan pada 2 kasus tersebut, dimana dalam perkara yang terjadi di Maluku, terdakwa dibebaskan oleh MA, sementara yang terjadi di Kalimantan, MA memvonis terdakwa dengan 1 tahun penjara. Arie dalam tulisannya menyebut kedua kasus tersebut dengan Kasus Perbuatan Melawan Hukum.

Masalahnya terletak pada Putusan MA terhadap Kasus Korupsi yang terjadi di Kalimantan, dimana Majelis Kasasi menggunakan penafsiran terhadap Perbuatan Melawan Hukum yang notabenenya diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 atau UU Tipikor. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) oleh Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006. Namum Majelis Hakim MA tetap menggunakan penjelasan tersebut dengan alasan terjadi ketidakjelasan rumusan Pasal 2 ayat (1) pasca Putusan MK, utnuk itu MA perlu melakukan penemuan hukum. Terhadap kasus tersebut, Arie menyebut telah terjadi ketidakpastian hukum. Terdapat pelanggaran prinsip yang disebut Marjane Termorshuizen-Arts sebagai ciri khas Rule of Law, dimana aturan dan proses hukum yang konsisten diaplikasikan kepada setiap orang, secara sama, bahkan untuk elit pemerintah sekalipun. Arie juga mengutip Gustav Radbruch yang mengatakan bahwa keadilan dapat terwujud melalui kepastian hukum.

Namun di tengah kegelisahan Arie terhadap ketidakpastian hukum yang kemudian mendambakan kepastian hukum dalam kasus korupsi tersebut, Satjipto Rahardjo beserta pengikutnya justeru muncul dengan mengembangkan paham yang mempertanyakan Kepastian Hukum atau Rule Of Law. Tentu saja terdapat pertentangan antara Arie dan paham dari Satjipto Rahardjo.

Dari tulisannya tersebut, aku menduga Arie sedang menuduh Hukum Progresif sebagai anti kepastian hukum dan mengindentikan gagasan hukum progresif dengan tindakan Majelis Hakim MA yang membuat terobosan hukum (breaking of law) dalam kasus Korupsi di Kalimantan. Dikatakan terobosan karena Hakim tetap menggunakan argumentasi-argumentasi yang sebenarnya sama dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang notabenenya sudah dianulir oleh MK.

PEMAHAMANKU TENTANG HUKUM PROGRESIF

Memang benar bahwa hukum progresif yang dikembangkan oleh Satjipto bertitik tolak dari kritik terhadap hukum liberal atau hukum modern yang mendambakan kepastian hukum. Tapi ini bukan berarti Hukum Progresif anti terhadap Kepastian Hukum atau anti terhadap Hukum Liberal. Hukum Progresif hanya ingin terbebas dari dominasi suatu tipe hukum, dalam konteks saat ini yaitu hukum liberal.

Satjipto mengatakan, “Hukum progresif tidak a priori terhadap hukum liberal, karena ada hal-hal yang bisa diambil dari hukum liberal, tapi banyak juga yang tidak kita inginkan.” (Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Hal.43)

Memang benar, Hukum Progresif mendorong adanya terobosan-terobosan hukum melalui sebuah penafsiran. Namun demikian, menurutku bukan berarti putusan MA yang memberikan vonis pada Kasus korupsi di Kalimantan dapat dikatakan sebagai tindakan progresif sebagaimana dimaksud Hukum Progresif. Lalu, dalam hal apa tindakan hukum dapat dikatakan sebagai tindakan progresif?

Satjipto selalu mengatakan bahwa penegakan hukum tidak terlepas dari tujuan sosialnya yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. Dalam prakteknya, agar penafisran progresif tidak menjadi liar, ditegaskan prinsipnya, yaitu pro kepada rakyat. Sepanjang pencermatanku terhadap tulisan-tulisan Satjipto, maka konteks yang dimaksud rakyat adalah masyarakat miskin dan kaum-kaum marjinal. Dengan demikian jelas sekali keberpihakan Satjipto dalam berhukum.

Pertanyaannya, apakah putusan Mahkamah Agung terhadap kasus Korupsi di Kalimantan diletakkan pada tujuan sosialnya atau berpihak kepada rakyat kecil?

Sampai disini aku justeru tidak bisa menjawab pertanyaan itu dan berharap ada kawan-kawan yang ikut menanggapi tulisan dari Arie yang menurutku sangat menarik.


--Disela-sela kerja rutin, Semarang, 2 Desember 2013--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar