Jumat, 01 Agustus 2025

Sawadikap, Bangkok!


Pergi ke Bangkok kali ini merupakan pengalaman kedua buatku dan istriku, Afidah. Sebelumnya aku mengunjungi Ibukota negara Thailand itu pada awal tahun 2024 untuk keperluan kerja di bidang kepemiluan. Sementara Afidah pernah ke Bangkok pada tahun 2010 mewakili organisasi yang bergerak di isu perempuan. Bagi kedua anak kami, Madiba (11 tahun) dan Kayo (9 tahun), Bangkok adalah pengalaman pertama mereka.

"Ayah, kapan-kapan aku pengen ke Bangkok" kata Kayo memberi tahu keinginannya suatu waktu di bulan Mei 2025.

"Bangkok sama aja kayak Jakarta, Yo" jawabku.

"Lah! Tapi kan beda negara" kilahnya.

Berawal dari percakapan sederhana itu, aku mulai merencanakan wisata saat masa liburan sekolah anak-anak. Seperti lagu Sal Priadi “kan kukenalkan penampilan hujan di tempat lain, pemandangan bagus di tempat yang jauh” bertepatan dengan hari ulang tahun Kayo.

 

Pemesanan Tiket Pesawat, Hotel, dan Persiapan Lainnya

Karena kami berempat sudah memiliki paspor yang masih berlaku, langkah pertama mencari dan memesan tiket pesawat dan penginapan. Lewat aplikasi Traveloka, aku justeru mendapat tiket kepulangan dulu dengan rute Bandara Don Mueang (Bangkok) ke Bandara Soekarno-Hatta/Soeta (Jakarta), sebab saat itu harga tiket pesawat Air Asia untuk penerbangan tanggal 30 Juli 2025 lebih murah, satu kursi seharga 990 ribu. Dikalikan empat orang ditambah biaya layanan, jadi aku membayar dengan total 4.015.800 rupiah.

Berikutnya aku pesan tiket keberangkatan. Aku mendapat penerbangan Scoot dengan rute Bandara Soeta (Jakarta) ke Bandara Changi (Singapura) untuk transit, lalu lanjut Changi ke Bandara Svarnabhumi (Bangkok), untuk tanggal keberangkatan 26 Juli 2025. Harga satu kursi 1.219.226 rupiah. Dikali empat ditambah biaya layanan Traveloka, jadi aku harus membayar sebesar 4.931.904 rupiah.

Ada dua alasan kenapa aku pilih dua bandara berbeda di Bangkok untuk keberangkatan (Svarnabhumi) dan kepulangan (Don Mueang). Pertama, agar bisa merasakan suasana bandara dan perjalanan yang berbeda. Kedua, selain karena lebih murah (untuk penerbangan Scoot), juga bisa sekalian menikmati air terjun Jewel di Bandara Changi saat transit di siang hari. Sebelumnya pada bulan Januari 2025, kami pernah menikmatinya di malam hari.

Oh iya, harga untuk kedua penerbangan tersebut tidak termasuk pilih kursi dan tambahan bagasi. Maskapai AirAsia dan Scoot, keduanya memang termasuk maskapai penerbangan bertarif rendah (low cost carrier) yang tidak menyediakan pilihan kursi dan bagasi gratis. Jadi untuk barang bawaan aku hanya mengandalkan penyimpanan kabin. AirAsia menyediakan kapasitas kabin 7 kilogram/orang, sementara Scoot sebanyak 10 kilogram/orang.

Tiket sudah beres, berikutnya penginapan. Aku pilih daerah Pratunam sebagai tempat menginap selama di Bangkok karena termasuk daerah yang ramai dan berada di pusat kota. Banyak tempat kuliner dan pusat perbelanjaan. Kebetulan saat pertama kali ke Bangkok, aku bermalam di Pratunam. Jadi sudah sedikit tahu wilayahnya.

Aku memesan satu kamar untuk empat hari empat malam di Visiting Card Hotel dengan total harga 1.781.312 rupiah. Per harinya sekitar 400 ribuan. Tidak termasuk sarapan. Salah satu pertimbanganku memilih di hotel itu karena berdasarkan informasi di traveloka untuk tipe kamar deluxe cukup luas.

Beberapa hari sebelum keberangkatan, aku menyiapkan setidaknya lima hal: menukar rupiah ke mata uang bhat, membuat daftar tempat yang akan dikunjungi, membeli paket internet roaming, mengisi kartu kedatangan di Singapura dan Thailand secara daring, dan berkemas.

Aku menukar rupiah ke bhat di Chandraprima Money Changer, tempat penukaran uang yang ada di dekat pasar tanah abang. Saat itu mereka menghargai 1 bhat setara dengan 507 rupiah.

Ada beberapa tempat yang kumasukkan dalam daftar tempat yang akan dikunjungi yaitu Cathuchak Weekend Market, Wat Saket Ratchawora, Wat Pho, Wat Arun, Madame Tussaud, Jim Thompson House, Khaosan Road, Bangkok Art and Culture Center, serta beberapa tempat makan seperti Tong Heng Li Restaurant, Thipsamai Padthai Pratu Phi, dan Lung Pratunam Boat Noodles. Meski dalam realisasinya ada beberapa tempat yang batal dikunjungi dan ada tempat baru yang tidak masuk dalam daftar. Buat kami yang berwisata dengan cara hemat, ternyata sangat penting untuk mencari tahu tempat-tempat menarik di Bangkok yang gratis dikunjungi.

Untuk paket intenet roaming, aku membelinya lewat aplikasi MyTelkomsel. Aku dan Afidah membeli paket RoaMAX Thailand dengan kuota sebanyak 50 GB (49 GB Thailand dan 1 GB untuk negara transit) dengan harga 150.000 rupiah dan masa aktif selama 7 hari. Belakangan kuketahui paket ini ternyata tidak bisa digunakan tathering.

Kemudian aku juga mengisi data keimigrasian Singapore Arrival Card (SGAC) lewat laman www.ica.gov.sg dan Thailand Digital Arrival Card (TDAC) lewat laman www.tdac.immigration.go.th. Kartu kedatangan ini kurang lebih berisi informasi: nama, tanggal lahir, nomor paspor, kewarganegaraan, negara asal keberangkatan, transportasi yang digunakan, waktu tiba, dan lain-lain. Kartu kedatangan itu kubuat sebagai antisipasi adanya pemeriksaan pihak imigrasi negara setempat. Meskipun saat terakhir kali ke Singapura tidak ada pemeriksaan SGAC.

Dan yang paling penting adalah berkemas. Aku dan Afidah menyiapkan pakaian untuk estimasi enam hari per orang. Dikemas ke dalam dua koper ukuran 20 inch (koper kabin). Selebihnya barang-barang berikut: topi, payung, charger HP, powerbank kapasitas 10.000 mAh, adaptor, buku jurnal, pulpen, serta persediaan makanan dan minuman untuk bekal perjalanan. Semuanya dikemas dan dibagi ke dalam tas punggung yang kami bawa masing-masing.

 

Berangkat ke Bandara

Sabtu, 26 Juli 2025. Kami berangkat ke Bangkok dengan maskapai Scoot dua kali penerbangan (Jakarta-Singapura dan Singapura-Bangkok). Penerbangan Jakarta-Singapura dijadwalkan jam 9.30 pagi. Jam 5.30 pagi kami sudah meluncur ke Bandara Soeta dari Bekasi, kemudian memarkirkan mobil di Soewarna, lalu diantar dengan mobil shuttle (yang merupakan fasilitas gratis dari parkiran Soewarna) menuju Terminal 2F.

Kami kemudian melakukan check-in di konter. "Bapak kopernya mau dimasukkan ke bagasi? tanpa biaya, bisa saya bantu" tanya perempuan petugas konter. "Ini beneran gratis, mbak?" tanyaku memastikan. "Iya" jawabnya. Dengan senang hati aku meletakkan dua koper ke konveyor sebelah konter. Kenapa bisa gratis karena menurut petugas penerbangan saat itu penuh penumpang, jadi mengantisipasi agar kabin pesawat tidak penuh, maskapai Scoot membuat kebijakan bagasi gratis itu, dan kami termasuk penumpang yang beruntung. Sebab, seandainya beli bagasi di konter, tarif per 20 kilogram seharga 1.400.000 rupiah.

Check-in selesai, koper sudah masuk bagasi. Kami masing-masing menerima dua boardingpass, untuk penerbangan Jakarta-Singapura dan Singapura-Bangkok. Jadi di Singapura tidak perlu check-in lagi dan koper akan diambil saat tiba di Bandara Svarnabhumi Bangkok.

Setelah itu melewati keimigrasian untuk memindai paspor lewat mesin. Ini dilakukan agar Imigrasi bisa mendata orang-orang yang keluar dari Indonesia. Sekitar Jam 9 kami naik ke pesawat lewat pintu F4. Pesawat Scoot TR275 lepas landas menuju Bandara Internasional Changi Singapura.

 

Transit di Singapura

Sekitar jam 12 siang, pesawat mendarat di terminal 1 Bandara Changi. Persis di pintu keluar Terminal 1 terletak gedung Jewel, pusat perbelanjaan yang ada di bandara. Di tengah-tengahnya ada air terjun dan hutan buatan.

Jadi sambil menunggu penerbangan lanjutan, kami keluar dari terminal 1 melewati keimigrasian Singapura dengan memindai paspor lewat mesin. Kemudian mengunjungi Jewel dan beristirahat sekitar satu jam di sekitaran air terjun. Dua kali berkunjung suasananya selalu ramai.

Usai menikmati pemandangan air terjun, kami kembali ke terminal 1 dan memindai paspor kembali di keimigrasian. Lalu kami menemukan kedai makanan malaysia di lantai 2 dekat snooze lounge, tempat peristirahatan yang disediakan bagi penumpang transit. Pesan satu porsi nasi dengan lauk ayam dan satu porsi mie seharga 13 dolar singapura,  relatif murah dibanding menu lainnya.

Jam 4 sore kami menuju ruang tunggu C26 menanti jadwal penerbangan lanjutan yang direncanakan jam 18.55. Kemudian menerima kabar penerbangan ditunda selama 30 menit menjadi 19.25.

 

Tiba di Bangkok

Entah karena cuaca atau antre untuk mendarat di Bandara Svarnabhumi, pesawat Scoot TR636 agak lama berputar-putar di atas Bangkok. Setelah hampir 3 jam di udara, sekitar jam 21.30 waktu bangkok, yang waktunya sama dengan Jakarta, pesawat yang kutumpangi mendarat dalam kondisi cuaca hujan.

Keluar pesawat lalu menyusuri bandara menuju keimigrasian untuk diperiksa kedatangan secara manual, berbeda dengan Soeta dan Changi yang sudah menggunakan mesin otomatis. Kartu kedatangan (TDAC) yang sudah kubuat sama sekali tidak diperiksa. Usai melewati keimigrasian, kami menuju konveyor nomor 17 untuk mengambil dua koper yang dimasukkan dalam bagasi saat check-in di Bandara Soeta.

Setelah semua beres, dengan bertanya arah ke petugas bandara langsung mencari titik penjemputan Grab yang ada di lantai 1. Turun satu lantai dari pintu keluar, menggunakan eskalator yang berundak. Aku memesan taksi Grab menuju Visiting Card Hotel, tempat kami bermalam di daerah Pratunam selama berada di Bangkok. Taksi yang kami naiki berupa mobil sedan berwarna hijau dipadu dengan warna kuning. Jarak Bandara Svarnabhumi ke hotel sekitar 29 kilometer dengan jarak tempuh selama sekitar 45 menit melewati jalan tol. Biaya taksi sebesar 304 bhat ditambah tarif tol 25 bhat, jadi totalnya 329 bhat. Aku bayar dengan cara tunai. Oiya, Pembayaran di aplikasi Grab secara otomatis akan mengubah pengaturan menyesuaikan negara atau kota yang dikunjungi. Semula dengan rupiah, berubah menjadi bhat.

Ketika check-in di Visiting Card Hotel, kami diterima oleh petugas laki-laki yang aku duga berasal dari India.  Dengan sikap ramah dia meminta paspor kami dan dalam bahasa inggris dia mengonfirmasi apakah kami yakin akan menggunakan satu ranjang kasur untuk berempat? "Ya, it's okay" jawabku dengan kemampuan bahasa inggris seadanya. Di hotel itu ada kebijakan untuk anak di atas usia 13 tahun. Jadi kalau sudah ada dua orang dewasa dalam satu kamar, maka untuk anak di atas usia 13 harus menambah biaya untuk ekstra bad sebesar 400 bhat atau sekitar 200 ribu rupiah per hari. Tapi karena Madiba dan Kayo masih di bawah 13 tahun, kami terbebas dari kebijakan itu. Visiting Card Hotel terdiri dari 6 lantai. Kami mendapat kamar 101 yang ada di lantai 1 dengan jendela kaca yang menghadap jalan. Dari jendela kami dapat melihat tempat pijat yang persis berada di seberang hotel. Beberapa terapisnya priawan atau ladyboy sedang duduk-duduk berbaris di depan. Gedung hotel tidak sebagus hotel berbintang, tapi masih layak menjadi tempat penginapan.

 

Minimarket Seven Eleven

Keberadaan minimarket Seven Eleven (sevel) yang menjamur di Bangkok sangat membantu kami. Apalagi ada satu yang lokasinya persis di sebelah kanan hotel. Jadi untuk menghemat pengeluaran, kami selalu bolak-balik membeli makan kemasan untuk sarapan dan makan malam. Banyak menu yang disediakan di Sevel, baik yang mengandung babi atau tidak. Mereka juga menyediakan microwave untuk menghangatkan makanan.

Jika harga menu makan di luar bisa sekitar 100 bhat atau 50 ribu rupiah per porsi, makanan kemasan di sevel hanya sekitar 40 bhat atau 20 ribu rupiah. Agar tak bosan, kami selalu coba ganti menunya tiap membeli. Cara pembayaran selain tunai, bisa juga menggunakan kartu kredit dengan syarat pembelian minimal 200 bhat.

 

Cathuchack Weekend Market, BTS Skytrain, dan Platinum Mall

Minggu, 27 Juli 2025 atau hari kedua di Bangkok dimulai dengan mengunjungi Chatuchak Weekend Market. Pasar tradisional yang buka hanya di setiap akhir pekan (sabtu dan minggu). Meski pasar tradisional tapi tertata rapi. Segala macam barang di jual di sini. Mulai dari pakaian, tas, mainan, sepatu asli bekas, sepatu bajakan baru, barang seni, makanan, minuman, dan cemilan untuk oleh-oleh.

Jarak dari hotel menuju Cathuchack sekitar 7 kilometer. Kami memesan taksi Grab dengan tarif 171 bhat. Di pasar kami mampir di dua kedai untuk menikmati manggo sticky rice, potongan buang semangka, dan kelapa muda. Niat awal tak ingin berbelanja, tapi pada akhirnya Madiba pulang memboyong tas rajut, sementara Kayo senang karena menenteng boneka Labubu.

Dari Pasar Cathuchack kami melanjutkan perjalanan menuju Platinum Mall (pusat perbelanjaan yang mirip dengan Tanah Abang Jakarta) yang lokasinya dekat dengan tempat penginapan. Kami mau mencoba transportasi publik atau kereta untuk menuju ke sana. Pilihannya ada MRT dan BTS Skytrain (LRT) yang dekat dengan lokasi pasar. Bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 200 meter. Di sekitar stasiun ada Taman Chatuchack. Kami mampir dulu dan duduk di rumput pinggir danaunya untuk istirahat sebentar sambil menentukan pilihan transportasi. Aku memilih naik BTS Skytrain.

Setelah menaiki tangga menuju Stasiun BTS (nama stasiunnya Mo Chit), aku antre membeli tiket sekali jalan lewat loket. Sebetulnya ada dua cara pembelian tiket, lewat mesin atau loket. Sebelum antre, aku tidak menemukan informasi berapa harga tiketnya. "I wanna go to Ratchathewi for 4 person" kuberitahu petugas loket sambil menunjukkan peta stasiun yang kutuju. "172 bhat" jawab petugas. Aku terkejut karena merasa tiketnya mahal atau setidaknya sama dengan tarif taksi Grab saat itu. Petugas sepertinya paham keterkejutanku. Lalu mengetik angka di kalkulatornya. Tertulis angka 43 yang maksudnya adalah tarif kereta per orang.

"Kok sama kayak tarif taksi grab ya" batinku. Mau batal sudah terlanjur naik stasiun  Afidah dan anak-anak juga nampak sudah lelah. Ya sudah, karena niatnya mau mencoba transportasi publik, akhirnya tiket tetap kubeli. Petugas memberikan 4 kartu tiket sekali jalan.

Kereta penuh dengan penumpang. Setelah melewati tujuh stasiun, kami sampai di stasiun Ratchathewi. Karena lapar sementara perjalanan harus dilanjutkan dengan jalan kaki, kami mampir di sebuah restoran terdekat di bawah stasiun. Memesan menu tomyam dengan dua porsi nasi dan nasi ayam katsu. Habis 290 bhat atau sekitar 150 ribu rupiah.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri jalan Phetchaburi sepanjang sekitar 1 kilometer menuju Platinum Mall. Di tengah  perjalanan kami mempir ke toko Tofu. Toko yang menjual peralatan perawatan kulit yang sudah banyak diketahui oleh pelancong dari Indonesia. Afidah dan Madiba masuk ke dalam, sementara aku dan Kayo menunggu di depan toko. Karena terlalu banyak pengunjung dan antrean di kasir seperti ular, Afidah dan Madiba hanya bertahan sebentar lalu keluar tanpa membeli apa-apa.

Kami melanjutkan perjalanan dengan melewati kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Thailand. Tujuan ke Platinum Mall sebetulnya hanya pengin lihat-lihat saja, tapi Madiba tertarik dengan sebuah kaus dan membelinya satu. Lalu kami pulang menuju hotel berjalan kaki sekitar 1 kilometer melewati Pasar Pratunam yang padat dan pusat perbelanjaan Indrasquare.

 

Wat Saket dan Wat Arun

Senin, 28 Juli 2025 atau hari ketiga kami rencanakan untuk mengunjungi dua kuil. Ada banyak kuil di Bangkok, baik yang gratis maupun berbayar. Tapi kuil populer seperti Wat Pho (kuil yang di dalamnya ada patung Budha emas raksasa sedang berbaring miring) dan Wat Arun (kuil yang ada di seberang sungai Chao Phraya jika dari Wat Pho) termasuk kuil yang berbayar dan tarif masuknya menurutku relatif mahal. Rasanya aneh jika ke Bangkok tidak mengunjungi kuil.

Kuil yang kami kunjungi pertama adalah Wat Saket Ratchawora Mahawihan atau Wat Saket. Setidaknya ada tiga alasan kenapa kuil ini yang kami kunjungi. Pertama, karena belum pernah kami  kunjungi. Kedua, lokasinya berada di ketinggian, jadi bisa sambil melihat pemandangan kota Bangkok dari atas. Ketiga, biaya masuknya lebih murah dibandingkan Wat Pho atau Wat Arun.

Dari hotel Afidah memesan taksi Grab menuju Wat Saket dengan tarif 85 bhat atau sekitar 45 ribu rupiah. Tiba di Wat Saket aku menuju loket masuk. "For 2 adult and 2 kids" kataku kepada petugas loket. "200 bhat" kata petugas menjelaskan berapa yang harus kubayar. Ternyata anak-anak tidak dikenakan biaya masuk, sebab berdasarkan informasi di sekitar loket tercantum harga tiket masuk 100 bhat per orang. Lalu kami naik menuju kuil di mana terdapat pagoda emas di puncaknya. Saat melewati anak tangga, terdapat banyak pepohonan dan kolam ikan dengan air terjun buatan, membuat suasana sejuk. Suasana kuil ini menurutku lebih menarik dibandingkan Wat Pho dan Wat Arun. 

Selepas menikmati suasana kuil, kami berjalan kaki menuju sebuah restoran yang sudah kumasukkan dalam daftar kunjungan. Namanya Thipsamai Padthai, restoran yang menjual menu makanan khas Thailand. Berdasarkan informasi dari google, restoran itu termasuk legend karena sudah lama berdiri dan banyak dikunjungi pelancong.

Dari Wat Saket kami berjalan kaki sepajang 500 meter melewati sungai yang airnya berwarna cokelat seperti Thai Tea.  Mendekati lokasi tujuan, kami melihat ada warung terbuka di pinggir jalan yang menjajakan masakan Thailand dengan harga murah. Saat tiba di depan restoran Thipsamai, kami melihat daftar menu dan terlihat harga satu porsi makanan dengan harga ratarata 150 bhat. "Tadi warung yang kita lewatin harganya lebih murah dan tempatnya lumayan bersih" kata Afidah. Kami pun balik arah dan kembali ke warung yang tadi kami lewati. Memesan 3 porsi makan: Padthai (bihun dengan toping udah segar), nasi goreng seafood, dan nasi telur dadar, serta es teh lemon. Total yang kubayar 255 bhat atau sekitar 130 ribu rupiah.

Perjalanan dilanjutkan menuju ke Grand Palace, istana agung raja. Bukan untuk berkunjung, tapi hanya sekadar lewat berjalan kaki menuju dermaga kapal untuk menyeberang menuju ke Wat Arun. Secara lokasi Grand Palace berdampingan dengan Wat Pho dan dekat Sungai Chao Phraya. Di seberang sungainya akan tampak Wat Arun.

Jika dilihat dari peta, jarak dari warung menuju Grand Palace sebetulnya hanya sekitar 1,5 kilometer ditempuh dengan jalan kaki. Karena khawatir membuat anak-anak lelah jika berjalan kaki, maka kami memilih naik Tuktuk (kendaraan tradisional seperti Bajaj) karena akan jadi pengalaman baru buat anak-anak. Kebetulan di seberang jalan dari warung, ada Tuktuk yang sedang mangkal, lalu kami hampiri.

Mulanya si sopir Tuktuk memberi tarif 200 bhat, lalu kutawar 100 bhat. Katanya tidak bisa. Lalu kunaikkan jadi 150 bhat, dia menurunkan tawaran jadi 180 bhat. Aku kukuh dengan tawaranku terakhir. Akhirnya sepakat dengan tarif 150 bhat atau sekitar 75 ribu rupiah. Tuktuk pun ngebut dan berkelok-kelok di jalan, membuat anak-anak tertawa menikmati perjalanan.

Kami diturunkan oleh sopir di antara gedung Kementerian Pertahanan (gedung bernuansa warna kuning cerah) dan Saranrom Palace (istana kerajaan). Karena Kayo mengeluh kelelahan, kami istirahat di depan Saranrom Palace, duduk di atas rumput. Di depan Saranrom Palace terdapat patung Raja Rama IV, raja keempat Kerajaan Siam. Raja Thailand yang berkuasa saat ini, Vajiralongkorn, merupakan Raja Rama X.

Setelah cukup istirahat, kami kembali berjalan kaki sekitar 700 meter menuju dermaga melewati Grand Palace dan Wat Pho. Setiba di dermaga, kami mencari informasi mengenai tiket wisata kapal yang menyusuri sungai Chao Phraya. Niatnya jika tiketnya murah, kami mau menikmati suasana kota dengan menyusuri aliran sungai. Namun baik yang tertulis atau petugasnya sama-sama kurang informatif. Akhirnya sesuai tujuan awal yaitu menyeberang ke Wat Arun yang tiketnya hanya 5 bhat per orang. Kondisi air sungai sangat cokelat terang, berbeda saat terakhir aku ke Bangkok awal tahun 2024 yang saat itu cokelat kehijauan. Lebar sungai Chao Phraya mungkin sekitar 200 meter, jadi hanya butuh waktu sebentar untuk menyeberang.

Sesampainya di seberang, langsung menuju pintu masuk ke area Wat Arun. Harga tiket masuk 200 bhat per orang. Sama seperti di Wat Saket, kepada petugas kuinfokan bahwa ada dua orang desawa dan dua anak. "How old your kid?" tanya petugas. "Eleven and eight years" jawabku. Aku lupa kalau Kayo sudah berusia 9 tahun sehari sebelumnya. "600 bhat" katanya. Jadi, aku hanya membayar untuk tiga tiket. Mungkin Kayo yang paling bontot digratiskan.

Usai menikmati suasana Wat Arun dan berfoto-foto. Kembali menyeberang dengan harga yang sama, 5 bhat. Melewati lagi Wat Pho dan Grand Palace, lalu menunggu taksi grab di halte bus di sebelah Saranrom Park, taman yang letaknya ada di sebelah Saranrom Palace. Aku memesan Grab untuk kembali ke hotel dengan tarif sebesar 180 bhat. Taksi yang kami naiki berupa mobil sedan berwarna oranye.

 

Pathum Wananurak Park, Bangkok Art and Culture Center, dan OneSiam Skywalk

Selasa, 29 Juli 2025 atau hari keempat. Jam setengah tujuh pagi aku dan Afidah berjalan kaki di sekitar hotel, sementara Madiba dan Kayo tinggal di kamar hoter. Di ujung jalan bertemu penjual buah. Setelah membeli satu sisir pisang, anggur, dan jeruk, Afidah kembali ke hotel sementara aku melanjutkan  jalan kaki ke Pathum Wananurak Park, taman kecil yang lokasinya diapit oleh CentraWorld Mall dan Platinum Mall.

Jarak menuju Taman Pathum sekitar 1,5 kilometer menyusuri jalan raya Ratchaprapop dan Ratchadamri. Setelah melewati perempatan Platinum ada jembatan di mana aku melihat sungai, kapal, dan banyak orang di bawahnya. Ternyata itu Pratunam Pier atau dermaga tempat naik-turun kapal sebagai transportasi publik.

Lanjut berjalan kaki lagi ketemu dengan Big C, supermarket yang banyak tersebar di Bangkok. Di depan Big C ada jembatan penyeberangan orang yang kugunakan untuk menuju Taman Pathum yang lokasinya ada di sebarang jalan. Setelah berkeliling di taman, aku kembali ke hotel dan membeli 1 kilogram buah kelengkeng seharga 50 bhat dari penjual yang kutemukan di jalan.

Jam 1 siang meluncur ke Bangkok Art and Culture Center (BACC) yang lokasinya di pojokan perempatan berseberangan dengan pusat perbelanjaan Siam dan MBK Center. Di atas perempatannya ada OneSiam Skywalk, area jembatan penyeberangan yang menghubungkan antar gedung, serta tehubung dengan akses BTS Skytrain. Di atas One Siam Skywalk ada jalur kereta.

Dari hotel memesan taksi Grab dengan tarif 157 bhat atau sekitar 80 ribu rupiah. Kali ini taksi berupa sedan Toyota Altis berwarna pink. Meski siang, tetap ada kemacetan di beberapa titik.

Masuk ke BACC tidak dikenakan biaya alias gratis. Suhu di dalam sangat dingin. Kami tak membawa jaket, karena cuaca di luar sangat terik. Kalau mau mengeksplor tempat ini memang sebaiknya menggunakan jaket atau sweater.

Aku tidak menghitung jumlahnya, tapi gedung ini terdiri dari banyak lantai dan disediakan eskalator. Di masing-masing lantai sedang ada pameran foto, lukisan, dan barang-barang lainnya. Di setiap lantai juga ada kedai makanan atau kafe, serta ada beberapa galeri yang menjual barang seni. Di bagian atas gedung yang naiknya melingkar ada pameran instalasi seni.

Setelah keluar BACC kami melewati skywalk dan berteduh di Siam Square karena hujan deras. Begitu hujan reda kami kembali di skywalk untuk bersantai-santai menunggu gelap dan menikmati lampu kota.

Di satu titik dekat sisi MBK Center tersedia banyak tempat duduk disertai pertunjukan pengamen dari seorang bapak yang memainkan gitar akustik diiringi dengan musik yang dia putar dari pengeras suara. Dia memainkan musik rock dan blues. Highway Star milik Deep Purple salah satu lagu yang dia mainkan. Menjelang sore, pertunjukan berganti dengan seorang bocah laki-laki yang memainkan drum. Dia membawakan tembang dari Linkin Park, Imagine Dragon, Bon Jovi, Ed Sheeran, dan lain-lain.

Ketika butuh makan dan toilet kami masuk ke MBK Center. Di pintu masuk ada informasi mengenai pertunjukan Muaythai yang diadakan setiap bulan di tanggal-tanggal tertentu mulai jam 6 sore berlokasi di MBK. Sekitar jam 7 malam karena kondisi jalanan di area Siam macet parah, kami pulang ke hotel menggunakan tuktuk dengan tarif 250 bhat.

 

Pulang

Rabu, 30 Juli 2025. Penerbangan pulang menggunakan maskapai AirAsia dari Bandara Don Mueang yang awalnya dijadwalkan pukul 18.20 waktu Bangkok, namun satu hari sebelumnya aku menerima pemberitahuan penerbangan ditunda lebih dari tiga jam menjadi pukul 22.15.

Jam 12 siang kami melakukan check-out dari hotel, lalu berjalan kaki menuju Coffee Color, kafe yang lokasinya di pinggir jalan raya, sekitar 300 meter dari hotel. Menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam dengan memesan teh panas dan es matcha.

Aku pesan taksi Grab tujuan Bandara Don Mueang dengan tarif 379 bhat, sudah termasuk tarif tol. Jarak ke bandara sekitar 21 kilometer ditempuh dengan waktu sekitar satu jam.

Sekitar 15.30 kami tiba di Bandara Don Mueang. Jika Svarnabhumi terletak di timur dari pusat kota Bangkok, Don Mueang terletak di utaranya. Meski bandaranya lebih kecil dari Svarnabhumi, tapi dari yang kulihat Don Mueang bersih dan rapi. Terdiri dari dua terminal. Terminal 1 untuk penerbangan internasional, sementara Terminal 2 untuk domestik, tapi gedungnya satu. Banyak toko atau restoran di ruang check-in dan di ruang tunggu. Tersedia juga pengisian ulang air minum.

Jam 5 sore melakukan check-in, jam 7 malam masuk ke keimigrasian yang pemeriksaannya dilakukan secara manual, lalu menuju ke gate 21, dan jam 10 malam masuk ke pesawat AirAsia QZ257 dan lepas landas. Kami rindu Indonesia, rindu rumah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar