Kamis, 06 September 2012

Terbentuknya Kehidupan Bermasyarakat : Dijelaskan Dari Sudut Pandang Kaum Rasionalitas dan Saintis


Oleh : Soetandyo Wignjosoebroto
 
Sebuah pertanyaan acapkali diajukan dalam banyak perbincangan intelektual tentang  ihwal asal terjadi atau terbentuknya masyarakat manusia. Jawaban yang pernah diberikan atas pertanyaan ini ada berbagai macam, semua tergantung dari paradigma si pemberi jawaban.  Mereka yang berangkat dari basis pemikiran Aristotelian tentu saja berkeyakinan bahwa masyarakat manusia sudah terbentuk pada saat Yang Maha-Kuasa mensabdakan terbentuknya alam semesta berikut seluruh kehidupan di dalamnya.    Berpikir atas dasar basis asumptif Aristotelian ini, tak ayal lagi terbentuknya kehidupan bermasyarakat manusia tak bisa lain daripada bagian dari takdir Tuhan, yang sudah terjadi dan terbentuk sejak hari kejadian.
Mereka yang berangkat dari basis pemikiran non-Aristotelian akan mencoba memberikan jawaban dengan memasukkan faktor kesejarahan ke dalam persoalan ini.  Kaum rasionalis akan memberikan penjelasan bahwa terbentuknya kehidupan bermasyarakat manusia itu bermula pada suatu ketika tatkala manusia mulai tersadar akan potensi rasionalitasnya.  Kaum rasionalis menjelaskan terbentuknya kehidupan bermasyarakat dengan merujuk ke kehendak rasional manusia yang dalam kehidupan di bumi ini mendambakan kesejahteraan dan kebebasan sebagai unsur kondisional dari kesejahteraan hidup duniawinya itu.

Tatkala paham rasionalisme berpadu dengan paham empirisme dan melahirkan apa yang disebut saintisme,  lahirlah penjelasan yang datang dari paham berperspektif lain tentang asal mula terjadinya kehidupan bermasyarakat dan bermasyarakat negara.  Kaum saintis memberangkatkan pemikiran mereka pada suatu asumsi dasar bahwa kehidupan bermasyarakat manusia itu – tak beda dengan kehidupan bermasyarakat hewan pada umumnya -- adalah suatu macam modus survival, ialah strategi spesi-spesi makhluk untuk memungkinkan kelestarian jenisnya di tengah alam.  Menerima kehidupan bermasyarakat manusia sebagai suatu modus survival biologik, sains sosial sejak awal acap mengandalkan hasil kajian biologik sebagai pangkalan berpikirnya.  Dari sinilah sains , dalam hal ini sains sosial, mencari asal mula terjadinya kehidupan bermasyarakat pada produk proses evolusi biologik (yang berhakikat sebagai proses di dunia organisme) yang berlanjut ke proses proses evolusi sosial (yang berhakikat sebagi proses di dunia supraorganisme).

Penjelasan Kaum Rasionalis Tentang Asal Kehidupan Bermasyarakat Negara

Dalam kurun sejarah, abad 16-17 ditengarai sebagai abad lahirnya kembali pemikiran yang hendak mencoba menjelaskan bahwa segala wujud kebenaran itu berada atau berawal dari rasio alias akal dan penalaran manusia.  Demikian juga halnya dengan ihwal kebenaran jawab atas pertanyaan asal mula kehadiran masyarakat manusia berikut organisasi penertibnya yang disebut negara.  Lewat suatu penalaran, diimajinasikan bahwa terjadinya kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu tak berawal dari manapun kecuali dari rasionalitas manusia-manusia individu yang, demi kebebasan dan diperolehnya kesejahteraan hidup, membuat perjanjian-perjanjian yang rasional guna membentuk kehidupan bersama.  Inilah yang dalam kepustakaan ilmu politik dan ilmu negara disebut ‘teori kontrak sosial’, yang secara khusus diambil dari karya Jean-Jacques Rousseau, Du Contrat Social.[1]
JJ Rousseau
Adapun yang dinamakan ‘kontrak sosial’ ini ialah perjanjian antar-individu yang berdasarkan penalaran dan putusan akalnya berkeputusan  untuk hidup bersama dalam suatu kehidupan bermasyarakat yang tertib dan diorganisasi bentuk negara.  Diteorikan lewat suatu rasionalisasi yang spekulatif, bahwa d alam kehidupan sebelum terbentuknya kehidupan bernegara (yang disebut kehidupan alami atau état naturel oleh Rousseau), individu-individu manusia amat berkebebasan dalam upaya mereka mengejar dan mendapatkan kesejahteraan.  Akan tetapi, apabila setiap individu bebas sebebas-bebasnya tatkala mengupayakan kesejahteraannya, maka yang akan terjadi hanyalah perebutan sumber daya dan “perang antara manusia lawan manusia” saja, dan tak seorangpun akan memperoleh kesejahteraan seperti yang diinginkan.  Maka dari sinilah datangnya putusan akal manusia untuk melakukan kontrak sosial untuk membentuk état politique yang akan menggantikan l' état naturel.
Bertolak dari paham rasionalisme, tak ayal lagi, ‘kontrak sosial’ adalah suatu konstruksi dalam alam pemikiran intelektual, dengan fungsinya sebagai dasar pembenar yang berperangai moral (rationale, reason of existence) tentang hadirnya kehidupan bernegara.  Berstatus suatu rasionale atau alasan pembenar yang masuk akal, apa yang disebut “teori kontrak sosial” ini tentu saja bukan sebuah diskripsi tentang suatu kejadian dalam sejarah.  Pada asasnya, ‘kontrak sosial’ adalah suatu fiksi, hasil teoretisasi di alam pemikiran, bahwa terbentuknya organisasi kehidupan bernegara, berikut lembaga-lembaga pemerintahannya, berasal dari kesediaan rakyat yang rasional untuk melepaskan sebagian dari hak-hak kebebasan kodratinya yang asasi, demi terselenggaranya kehidupan bersama yang tertib. 
Teori kontrak sosial menyiratkan adanya dasar moral pembenar bahwa kekuasaan para pejabat negara itu berasal tak dari sumber manapun kecuali dari persetujuan rakyat.  Keterikatan rakyat pada segala bentuk aturan yang ditegakkan para pejabat kekuasaan negara, dengan demikian, akan termaknakan sebagai keterikatan atas dasar kedaulatan dan persetujuan mereka sendiri.  Di sini terbangunlah konsep tentang hadirnya suatu kehidupan bernegara yang demokratik, berikut terbatasinya kebebasan kodrati rakyat oleh suatu kekuatan yang tak lain daripada kebebasan rakyat itu sendiri, ialah kebebasan mereka untuk berkontrak sosial, yang termaknakan sebagai kebebasan untuk mengurangi kebebasan (sampai batas tertentu.  Dalam kehidupan alam, manusia adalah individu-individu yang terlahir bebas menurut kodratnya , namun akan menemukan dirinya berada dalam ikatan-ikatan di manapun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.   
Dengan penjelasan sebagaimana yang terpapar di muka ini, kaum rasionalis hendak mengemukakan tesisnya bahwa kerangka bangunan setiap kehidupan bernegara – yang dalam istilah teknisnya disebut ‘konstitusi negara’’ – itu tentulah berasal dari rasionalitas manusia.  Karena diasumsikan bahwa setiap manusia yang rasional itu selalu mendambakan kebebasan dan kesejahteraan, maka, berdasarkan penalaran yang masuk akal, kebebasan dan kesejahteraan pribadi haruslah dinyatakan sebagai hak manusia yang kodrati dan asasi.  Maka pula, setiap kontrak sosial yang menyepakatkan terbangunnya konstitusi negara selalu menyebutkan – secara tersurat ataupun secara tersirat -- adanya jaminan agar hak yang kodrati dan asasi itu dihormati dan dilindungi.  Jaminan itu memerlukan penguatan dalam wujud dinyatakan adanya ancaman sanksi hukuman pidana terhadap sesiapapun yang melanggar kesepakatan dengan melakukan pelanggaran terhadap hak-hak sesama manusia. 
Di sini pula nyata bahwa pemidanaan itu tidak dimaknakan sebagai suatu pembalasan yang hendak mengekspresikan dendam dan kemurkaan yang sifatnya emosional .  Alih-alih, pemidanaan adalah suatu tindakan yang rasional untuk mengasingkan seorang dua orang pengganggu dari lingkar kehidupan manusia sesama yang mayoritas demi keselamatan “yang berjumlah banyak” itu dari gangguan sang penggangu “yang berjumlah lebih kecil”.  Rasionalitas pemidanaan seperti ini pulalah yang mendasari ajaran utilitarianisme sebagai dasar pembenar bagi setiap kebijakan dan tindakan hukum, baik di ranah yang privat maupun yang di ranah yang publik.

Penjelasan Kaum Saintis Tentang Asal Kehidupan Bermasyarakat Negara
           
Berbeda dengan penjelasan kaum rasionalis yang mencari kebenaran dari dalam rasio melalui penalaran yang masuk akal, kaum saintis merasa berkewajiban untuk membuktikan setiap kebenaran jawabannya dengan data yang diperoleh dari hasil amatannya di alam indrawi, entah secara langsung entah lewat kesaksian.  Betapapun juga kuatnya penalaran yang dikerjakan olehnya berdasarkan keniscayaan hukum logika, data pembukti yang dicari dan diperoleh dari alam empirik tetap saja merupakan syarat yang apabila tak dipenuhi akan membatalkan simpulan-simpulan penalaran yang dikemukakan.  Demikian pula halnya manakala saintis sosial hendak mencoba memberikan penjelasan tentang asal mula kehidupan bemasyarakat dan bernegara.  Di sini penalaran memang diperlukan, akan tetapi data pembukti tetap saja sine qua non untuk membenarkan bahwa apa yang dijelaskan itu memang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia.
Sains sosial dengan terus terang mengaku tak mempunyai data sejarah – apalagi yang pra-sejarah -- yang dapat dipakai untuk menjelaskan dengan gamblang proses    terbentuknya kehidupan bermasyarakat manusia.  Sehubungan dengan kenyataan itu, para saintis sosial tak hendak berpretensi dapat menjelaskan persoalan itu berdasarkan bukti-bukti sosiologik atau antropologik.  Alih-alih, penjelasan tentang ihwal terjadi dan perkembangan kehidupan bermasyarakat makhluk hidup pada umumnya diserahkan saja pada kajian biologik, atau pada kajian biologik yang lebih khusus tentang ‘manusia sebagai zoon politicon.
Sebagaimana makhluk zoon politicon lain, manusia adalah spesi makhluk yang menurut definisnya dan menurut kodrat biologiknya memang tidak pernah hidup dalam model kehidupan soliter.  Sebagaimana makhluk yang terbilang zoon politicon, manusia juga hidup dalam satuan-satuan agregatif, berspesialisasi fungsi dan berkomunikasi di yang memungkinkan kehidupan yang kolektif.  Ragam komunikasi dalam masyarakat manusia, yang berlangsung intensif dan ekstensif,  tidak hanya memungkinkan manusia melakukan kooperasi-kooperasi yang produktif tetapi juga memungkinkan konflik-konlik yang terjadi dapat terkontrol dalam batas-batas toleransi yang tak mengganggu kelestarian eksistensinya.
Sekalipun manusia itu bukan satu-satunya makhluk hayati yang terbilang zoon politicon,  namun demikian – berbeda dengan makhluk zoon politicon lain yang hewani – manusia menata kehidupannya atas dasar upayanya sendiri yang kultural.  Kian tinggi kemampuan manusia mengembangkan kultur materiilnya yang teknologik, akan kian besar pula kemampuannya memanfaatkan sumber daya, khususnya energi, dari lingkungannya, dan sehubungan dengan itu akan kian besar pula kemampuannya mengelola masyarakatnya dalam format dan skala yang lebih besar.  Ketika manusia baru dapat mendayagunakan sumber pangan dalam bentuk karbohidrat untuk menghimpun tenaga gerak yang relatif rendah, maka masyarakat rendah energi ini hanya berskala kecil yang disebut komunitas suku 
Lama sebelum datangnya kehidupan bernegara bangsa yang modern dan berteknologi maju, yang pada gilirannya memerlukan –  akan tetapi juga mampu menghasilkan – energi anorganik dalam jumlah yang tinggi – komunitas-komunitas lokal yang berbasis suku itupun mengalami proses perubahan evolusioner ke tataran integrasi yang lebih tinggi.  Inilah proses yang terjadi kian bersicepat di banyak negeri di berbagai benua pada abad 20 yang oleh Clifford Geertz di sebut proses from old societies to a new state.  Dewasa ini perkembangan kian nyata, seperti tak hendak berhenti pada stadium terbentuknya new nation states saja akan tetapi juga terus berlanjut ke skala global, suatu dunia kehidupan yang baru tanpa mengenal perbatasan.    
Tak pelak lagi, negara bangsa yang kita kenali sekarang ini sesungguhnyalah merupakan produk evolusi dalam sejarah kehidupan manusia yang telah berumur teramat panjang.  Perkembangan bermula dari bentuknya yang embrional dalam masa prasejarah, berupa kerabat sedarah yang sekalipun lokal namun diikat oleh suatu solidaritas yang lebih berbasis pada perasaan berketunggalan darah daripada berketunggalan teritori permukiman.  Perkembangan evolusioner dari satuan-satuanlokal genealogis dan territorial yang berlanjut ke struktur-struktur kehidupan bernegara bangsa yang disatukan oleh perasaan ketunggalan budaya dan bahasa, atau oleh perasaan berkesamaan nasib dalam sejarah, amatlah panjangnya dan sudah bermula pada masa prasejarah; ialah tatkala manusia harus hidup dengan cara berburu, yang tak mungkin dilakukan oleh manusia secara individual kecuali dengan cara kerja kooperatif berkelompok.
Kodrat fisikal manusia tidak memastikan kemampuan manusia untuk memburu  hewan buruan secara bersendiri.  Koperasi dengan membagi peran antar-warga, yang pada gilirannya harus diefektifkan agar produktif berdasarkan kemampuan manusia untuk berkomunikasi secara spesifiek bersaranakan suara yang bermaknakan bahasa, telah membentuk masyarakat manusia sebagai suatu satuan yang unik, yang tak hanya berkarakter biologik-organik melainkan juga sosial-kultural yang supra-organik.  Dalam bukunya yang berjudul ‘De La Division Du Travaille”, seorang sosiolog Perancis bernama Emil Durkheim mengemukakan hasil kajiannya bahwa lahir dan perkembangan masyarakat manusia itu ditentukan oleh lanjut tak lanjutnya pembagian kerja antar-manusia di dalam masyarakatnya itu.    
Emile Durkheim
Menurut Durkheim, perkembangan organisasi masyarakat manusia -- dari yang simpleks ke yang kompleks – itu bersejalan dan berseiring dengan kian terdiferensiasinya pembagian kerja di dalam masyarakat.  Apabila pada awal mulanya diferensiasi yang ada dalam masyarakat itu bersifat segmental, pada perkembangan berikutnya diferensiasi itu bersifat fungsional.  Diteorikan oleh Durkheim bahwa ketika masyarakat masih berada pada tahap diferensiasinya yang segmental, masyarakat itu tampak semisal himpunan sekian banyak satuan pilahan-pilahan atau segmen-segmen yang masing-masing berskala kecil dan antara yang satu dengan yang lain amat berkesamaan.  Independensi dan homogenitas seperti itu menjadi tidak demikian lagi tatkala masyarakat berubah ke bentuk kehidupan yang terdifferensiasi secara fungsional sehubungan dengan kian berlanjutnya pembagian kerja dalam masyarakat, yang pada ujung-ujungnya menjadikan apa yang semula berjumlah banyak dalam pilahan-pilahan yang homogen dan masing-masing independen menjadi menyatu namun dengan anasirnya yang heterogen dan interdependen.
Durkheim menggunakan istilah solidarité untuk menggambarkan keeratan hubungan antara satuan-satuan dalam sistem masyarakat, nota bene yang berubah dari ‘yang independen secara segmental’ ke yang ‘interdependen secara fungsional’ itu.  Keeratan hubungan yang terbilang longgar dalam system kehidupan yang segmental ia sebut la solidarité mécanique, sedangkan derajat keeratan hubungan yang terbilang kuat dalam sistem kehidupan yang fungsional ia sebut la solidarité organique.  Masyarakat  dibilangkan sebagai masyarakat dengan solidaritas mekanik bila satuan-satuan pilahan di dalamnya dapat dilepas untuk tak lagi berhubungan dengan satuan lain  tanpa  mengganggu fungsi keseluruhan sistem.  Sementara itu, satuan-satuan pembangun struktur di dalam masyarakat dengan solidaritas organik tak akan dapat dilepaskan dari ikatan fungsionalnya, karena apabila hal itu dilakukan maka kelestarian seluruh sistem kehidupan niscaya akan terganggu.

Manusia Sebagai Subjek dan Masyarakat Manusia Sebagai Objek

Rene Descartes
Rasionalisme mengasumsikan dan mendefiniskan manusia sebagai individu yang bebas dan mampu berfikir secara bebas pula mengenai apa yang hendak diperbuat dan menegakkan eksistensinya.  “Aku berpikir, maka aku ini ada secara nyata”, kata Descartes.  Manusia dalam kapasitasnya sebagai individu yang rasional adalah subjek yang bebas dan yang selalu mampu membebaskan diri dari segala bentuk keterikatan yang tidak -- atau tidak lagi -- ia sepakati.  Kalaupun ia menemukan dirinya hidup dalam ikatan, itu karena kebebasannya untuk membuat kontrak, sekalipun dengan konsekuensi yang akan menjadikan ia sebagai pihak yang terikat.  Walhasil, manusia adalah subjek yang hadir dan perbuatannya tak ditentukan oleh faktor atau peristiwa apapun kecuali oleh putusan akalnya sendiri.  Inilah tesis yang dalam perkembangannya melahirkan paham indeterminisme dalam pewacanaan tentang perilaku manusia.
Kajian sains, yang pada awalnya lebih meminati ihwal masyarakat dan perkembangan masyarakat manusia sebagai objek kajiannya, terkesan lebih memposisikan manusia individu sebagai oknum yang kehadirannya amat lebih ditentukan oleh kondisi masyarakatnya daripada yang sebaliknya.  Inilah konsep tentang manusia yang digambarkan sebagai “unsur kecil yang tak seberapa berarti” dalam suatu sistem kehidupan yang mempunyai hukum perubahan dan perkembangannya sendiri. 
Syahdan, kalaupun sains yang mengkaji perubahan sosial pada akhirnya juga membicarakan kebebasan manusia, namun demikian kebebasan manusia itu tidak dipahami sebagai hasil kerja rasio yang  independen.  Alih-alih, kerja dan arah kerja rasionya itu bersebab dari kondisi dan/atau perubahan kondisi yang terjadi dalam konteks, yang memaksa manusia dengan segenap akalnya membuat putusan yang akan bisa menyelamatkan dirinya.  Inilah paham yang disebut determinisme dalam pewacanaan tentang tindakan-tindakan manusia dalam masyarakatnya.
Henry Maine ((1822-1888), misalnya, memparadigmakan hubungan kontraktual antar-individu manusia bukan sebagai ekspresi kebebasan manusia yang rasional untuk mengikatkan diri atau tak mengikatkan diri, melainkan lebih memberikan kesan bahwa hubungan itu adalah akibat “keterpaksaan”  manusia untuk menyesuaikan diri ke perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidupnya.  Menurut Maine, dalam masyarakat-masyarakat patrimonial atau feodal yang amat dikuasai oleh sistem kekerabatan, peran para individu di dalam masyarakat akan ditentukan secara sepihak oleh tradisi yang berlaku, dan bukan oleh putusan akal yang bebas dari manusia-manusia  yang bersangkutan.  Peran-peran yang ditentukan “dari sono” inilah yang disebut peran-peran bertipe askriptif atau attributif.
Henry Maine
Tatkala masyarakat berubah dan berkembang ke tipe barunya yang urban-industrial, hubungan antar-manusia warga masyarakat pun berubah dari tipe lamanya yang askriptif ke tipe barunya yang kontraktual.  Perubahan inipun bukan bersebab begitu saja sebagai hasil cetusan nalar yang menyimpulkan secara independen atau otonom .  Berpaham determinisme, orang boleh menyimpulkan bahwa hubungan kontraktual yang marak dalam kehidupan urban-industrial adalah peristiwa yang tak hanya terjadi dalam kehidupan industrial tetapi juga sebagai akibat dari kehidupan yang berubah.
Seiring jalan dengan apa yang dikemukakan oleh Henri Maine itu adalah juga sesungguhnya apa yang telah dikemukakan Emil Durkheim dalam bukunya de La Division du Travaille yang telah disebutkan di muka.  Tipe-tipe solidaritas yang mengintegrasikan organisasi masyarakat itupun bukan pertama-tama produk rasionalitas manusia per se, melainkan produk perubahan struktural yang dialami masyarakat.  Tatkala temuan-temuan dalam ilmu pengetahuan alam telah berhasil diaplikasikan dalam wujud teknologi industri, organisasi kerja manusia dalam rupa pembagian kerja yang lebih fungsional daripada segmental telah berdampak pula pada ihwal solidaritas, yang menggserkan dan melengserkannya dari tipenya yang mekanik ke tipenya yang organik.
Karl Marx
Karya sains sosial lain yang tak dapat diabaikan adalah Das Kapital (1848) oleh Karl Marx, yang juga memasukkan paradigma kausalitas dalam análisis-analisisnya tentang perubahan masyarakat.  Perubahan masyarakat dalam suatu konstruksi dialektik “tesis versus antitesis yang menghasilkan síntesis”, yang menurut Hegel berlangung di alam ide manusia yang rasional, bagi Marx tidaklah demikian.  Dengan mengatakan bahwa Hegel harus belajar berjalan di tanah dengan kedua kakinya, dan tidak berjalan dengan kepalanya. Marx mengatakan bahwa perubahan-perubahan struktur kehidupan masyarakat so pasti ditentukan dalam sejarah oleh materi dan alat produksi yang dikuasai dan didayagunakan oleh elit penguasa guna mengeksploitasi massa manusia pekerja.
Demikianlah sepanjang satu abad sejak Marx dan Maine menggunakan metode sains – dan tidak cuma berasionalisasi – untuk menganalisis perubahan masyarakat dan menarik simpulan-simpulannya, kajian sains sosial kian mantap bekerja atas dasar upaya untuk mendiskripsikan fakta sosial dan untuk menjelas-jelaskan hubungan sebab-akibat antar-fakta peristiwa yang terjadi di alam empirik yang objektif.  Rasionalitas dan kerja penalaran manusia untuk membuat berbagai rasionalisasi perbuatan dan tindakan yang terjadi dalam masyarakat seolah kehilangan peran pentingnya, sampai di suatu saat tatkala para pengkaji sains sosial mulai mengenal dan menerima paradigma baru tentang apa yang disebut the rational choice dalam setiap tindakan individu yang bebas. [***]          

[1] Teori terjadinya negara dan hukum atas dasar kontrak dan persetujuan rakyat ini dikemukakan antara lain oleh Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778),  dan dengan simpulan yang berbeda-beda.   Locke, dan kemudian juga Rousseau, disebut-sebut sebagai peletak dasar konsep demokrasi.  Berbeda dari Locke dan Rousseau, Hobbes justru tiba pada simpulan yang mem-berikan dasar pembenar pada model pemerintahan yang otokratik.  

Keterangan : Tulisan ini disampaikan pada acara Karya Latihan Bantuan Hukum LBH Semarang tahun 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar