Senin, 26 November 2012

Indonesia Sebagai Negeri Semi-Koloni AS

Reza Gunadha, Jurnalis, tinggal di Lampung

SEMBOYAN ‘Indonesia Belum Merdeka 100 Persen,’ pernah booming ketika Tan Malaka memobilisasi Persatuan Perjuangan. Saat ini, semboyan tersebut kembali terdengar lantang, baik sebagai retorika favorit para aktivis ketika berorasi maupun dekorasi perdebatan intelektual.

Secara tersirat, semboyan tersebut mengartikulasikan bahwa Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945), belum menjadi negara yang mutlak berdaulat dalam dua bidang krusial: ekonomi dan politik. Memakai pengandaian persentase, negara ini bisa dikatakan baru merdeka 50 persen, yakni dalam bidang politik pemerintahan. Namun, 50 persen kadar kemerdekaan sisanya, yakni dalam sektor perekonomian, belum mampu teraih.


Sekilas, slogan seperti itu tampak mampu menggambarkan kondisi objektif Indonesia kontemporer. SBY-Boediono, DPR, MPR, dan segala perangkat politik di tingkat nasional hingga daerah, kini tampil sebagai simbol dari kedaulatan politik dalam negeri. Tapi di bidang ekonomi, perusahaan asing yang bertumpu pada ekspor kapital tetap bercokol dan mendominasi. Bahkan, rejim reaksioner ini, dengan kedaulatan politik yang dimilikinya, terus memberikan peluang agar bidang tersebut tetap berada di tangan kekuasaan investor asing.

Dalam khasanah akademis, jargon tersebut seakan menjadi kata lain dari satu tesis tentang ‘transformasi besar’ yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga pada era imperialisme modern. Yakni perubahan dari negeri koloni menjadi semi-koloni atau setengah jajahan. Tapi, terdapat perbedaan prinsipil antara karakter ‘kemerdekaan yang baru 50  persen (politik)’ dengan transformasi besar dari negeri koloni menjadi semi-koloni. Lebih jauh, dalam tulisan ini, saya cenderung menilai Indonesia sebagai negara semi-koloni.

Tidak Ada Kemerdekaan Politik

Secara teoritis, negeri semi-koloni adalah negeri yang resminya merdeka secara politik, tetapi dalam kenyataannya terlibat dalam jejaring ketergantungan di bidang keuangan dan diplomasi (Lenin, 1958: 119). ‘Resmi merdeka secara politik,’ tidak bisa dipadankan dengan memiliki kedaulatan dalam bidang politik, melainkan hanya berarti negara yang bersangkutan secara prosedural diakui sebagai sebuah negara.

Keberadaan negeri berkarakter setengah jajahan ini, merupakan imbas dari politik kolonial yang dijalankan negara-negara imperialis, dalam persaingannya guna membagi dan memonopoli dunia secara ekonomi dan politik. Upaya suatu negara imperialis untuk memonopoli dunia tersebut, tentu tidak bisa berjalan parsial, sehingga bisa memisahkan antara monopoli di lapangan politik dan monopoli di lapangan ekonomi (Lenin, 1961:6).

Transformasi besar dari negeri koloni menjadi semi-koloni ini, terlihat jelas pada era pascaperang Dunia Kedua. Yakni ketika Amerika Serikat muncul sebagai negara imperialis dominan dan mampu mendesak imperialis Inggris, Prancis, dan lainnya mundur ke belakang dalam hal penguasaan negara-negara Dunia Ketiga. Dalam catatan Philip C. Jessup (2006), diplomat AS di PBB periode 1948-1953, kelahiran suatu negara bangsa pasca-PD II tidak lepas dari kepentingan negeri Paman Sam terhadap daerah yang bersangkutan. Bahkan, AS bisa mengontrol kebijakan PBB tentang diakui atau tidaknya kemerdekaan satu negara. Dengan memberikan kemerdekaan de jure pada satu negeri, AS melepaskan keterikatan negeri itu dari tuan kolonialnya yang lama dan menyambungkannya dalam mata rantai monopolinya sendiri.

Praktis, masa kolonialisme di banyak negeri Dunia Ketiga tidak terputus dari sebelum dan seusai PD II. Bedanya hanya berada di tataran metode kolonialisasi, yakni dari kolonialisme langsung/terbuka dengan kolonialisme tidak langsung/tertutup. Dalam bahasa Profesor Jose Maria Sison (1970:39), kemerdekaan banyak negara bangsa pada era tersebut hanya ‘kemerdekaan nominal,’  karena imperialis AS telah memastikan melanjutkan kontrol kolonialis lama terhadap ekonomi, politik, kebudayaan, militer, dan hubungan internasional banyak negara.

Menurut Sison, kunci keberhasilan kontrol imperialis AS terhadap negeri semi-koloni adalah, adanya kerjasama dengan kekuatan komprador di dalam negeri. Dalam konteks historis Indonesia, kekuatan komprador atau kaki-tangan imperialis AS tersebut timbul pada era pemerintahan Mohamad Hatta-Sutan Sjahrir. Hatta, misalnya, melalui Manifesto 1 Novembernya (1945) sudah secara gamblang menyatakan: ‘kita akan memerlukan pertolongan bangsa asing dalam pembangunan negeri kita, berupa kaum teknik, pun juga kapital asing.’

Sejak menjadi Perdana Menteri, 29 Januari 1948, Hatta rutin mengadakan pertemuan rahasia dengan Jenderal van Mook (Belanda) dan wakil-wakil Amerika Serikat. Setidaknya, pertemuan tersebut berlangsung intensif pada tahun 1948, yakni tanggal 12 dan 13 Maret, 10 April, dan 16 Juni. Selanjutnya, tanggal 21 Juli, Hatta bersama tiga orang Masyumi dan Kepala Kepolisian Negara Sukanto, mengadakan pertemuan dengan dua penasihat Presiden AS Truman, di Sarangan (timur Gunung Lawu). Hasilnya, AS mendukung penuh Hatta-Sjahrir untuk memerintah di Indonesia, dan menjamin ketersediaan bantuan modal setelah kolonial Belanda berhasil didesak mundur. Agar kesepakatan itu berlajalan lancar, AS meminta Hatta menjalankan politik ‘Red Drive Proposal’ untuk membasmi kekuatan laskar rakyat anti-imperialis, sehingga menyebabkan provokasi peristiwa Madiun pada tahun yang sama. Untuk menyukseskan provokasi tersebut, departemen luar negeri  AS bahkan memberikan dana sebesar USD 56 juta kepada Hatta via Biro Konsultasi AS di Bangkok  (Supeno, 1982:78, 82).

Puncak politik kolaborasi Hatta-Sjahrir adalah mentransformasikan Indonesia dari negeri koloni menjadi semi-koloni, yakni menjalankan politik imperialis AS dengan ditandatanganinya kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Melalui KMB, selain menempatkan RI sebagai negara persemakmuran Belanda, RI juga dinilai sebagai kelanjutan dari Hindia Belanda sehingga harus membayar utang negara yang disebut pertama tersebut. Seusai KMB, keterjajahan dalam lapangan politik maupun ekonomi terus berlanjut. Dalam bidang politik, berbagai kebijakan legislasi  dalam bentuk perundang-undangan (UU) disahkan untuk melindungi perusahaan-perusahaan modal asing. Misalnya, UU perburuhan atau lebih dikenal sebagai UU Tedjakusuma yang reaksioner. Dalam bidang ekonomi, investasi asing terus mengalir. White Engineering Corporation New York, pada tahun 1952, menyampaikan bahwa modal Belanda di Indonesia masih mencapai USD 1.470 miliar. Sementara AS berada di tempat kedua dengan nilai USD 350 juta. (Ibid: 111). Determinasi imperialis AS terhadap kehidupan ekonomi dan politik nasional ini, seperti yang kita tahu, semakin dominan dan terlihat jelas pada era Orde Baru.

Konsekuensi Politik: SBY-Boediono Sebagai Rejim Boneka

Selanjutnya, pertanyaan yang harus diajukan adalah: apakah Indonesia yang kini di bawah kekuasaan rejim SBY-Boediono masih berkarakter semi-koloni? Ataukah determinasi imperialis AS hanya berada di sektor perekonomian, sementara rejim berhasil mengonsolidasikan kedaulatan politik pasca-Soeharto?

Dalam bidang politik, DPR RI, MPR, Kepresidenan, beserta perangkatnya di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota tak ubahnya seperti volkstraad dalam skema pemerintahan jaman kolonial Belanda, yakni tidak memiliki kekuataan apapun untuk menentukan berbagai kebijakan. Mayoritas rancangan undang-undang yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) merupakan ‘pesanan’ dari pihak imperialis AS. Bahkan, kaum imperialis AS mengintervensi sekaligus membiayai proyek amandemen UUD 1945, sebagai langkah untuk menjustifikasi penguasaan seluruh kekayaan alam Indonesia.

The Global Review, pada 8 Desember 2011, memuat berita tentang keseluruhan proyek amandemen UUD 1945 yang dibiayai oleh NDI dan UNDP. Amandemen I UUD sebesar USD 95 juta; amandemen ke-II USD 45 juta; amandemen ke-III USD 35 juta, dan amandemen ke-IV senilai USD 25 juta. Sejak Orde Baru berkuasa hingga rejim SBY-Boediono, kaum imperialis mendominasi kebijakan politik legislasi dengan hasil fantastis, yakni mampu mengesahkan 115 UU yang berkaitan dengan penguasaan ekonomi dan sumber daya alam. Khusus dalam dua kali masa kepemimpinan SBY, imperialis AS melalui berbagai lembaga donor telah menggelontorkan dana utangan senilai USD 3,4 miliar untuk membuat berbagai perundang-undangan (Taliwang, 2011: 139).

Meski imperialis AS memiliki kedudukan determinan, rejim komprador saat ini ikut melakukan penindasan terhadap segenap rakyat Indonesia. Melalui kewenangannya untuk memberikan berbagai hak istimewa bagi pemodal asing, mereka menjadi selayaknya ‘tuan tanah tipe baru’ yang merampas dan memonopoli lahan untuk disewakan kepada imperialis. Secara faktual dari 191 juta hektar luas daratan Indonesia, 175 juta hektar di antaranya dikuasai modal besar dan sebagian besar adalah modal asing. Sisa 35,1 juta hektarnya (yakni berupa kawasan hutan) dikuasai oleh berbagai perusahaan pemegang hak penguasaan hutan, 15 juta hektar melalui hak guna usaha, dan 8,8 juta hektar melalui hak pengelolaan hutan tanaman industri (lihat Ibid: 75).

Belum lagi, menurut data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), 35 persen daratan Indonesia diizinkan untuk dibongkar guna industri pertambangan oleh 1.194 perusahaan pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 Kontrak Pertambangan Batu bara (PKP2B). Sedangkan Sawit Watch menyebutkan, sampai Juni 2010, pemerintah memberikan 9,4 juta hektar lahan kepada 30 grup perusahaan imperialis yang mengontrol 600 anak perusahaan komprador di Indonesia. Jumlah tersebut, akan bertambah menjadi 26,7 juta hektar pada 2020.

***

Membedakan karakter negara Indonesia dari ‘belum merdeka 100 persen’ dengan negeri semi-koloni, memiliki implikasi substansial dalam pola analisis dan gerakan kaum progresif terhadap kedudukan rejim SBY-Boediono. Pertama, dengan  menilai Indonesia sebagai negara semi-koloni, maka rejim saat ini hanyalah rejim komprador atau boneka imperialis AS. Karenanya, kedua, berbagai retorika populis legislator, maupun pihak oposan mainstream agar rejim mau menjalankan politik pro-rakyat merupakan kesia-sian. Paling banter, hal itu akan  menimbulkan delegitimasi rejim komprador yang bercokol, menciptakan destabilisasi kepentingan imperial sehingga memaksa mereka mencari kelompok lain (biasanya oposan rejim) untuk menjadi komprador barunya—seperti di Mesir dan Tunisia.

Bercermin pada pengalaman rakyat Indonesia sendiri, jalan dominan dan terpenting untuk mengubah karakter Indonesia dari semi-koloni menjadi merdeka adalah melalui revolusi rakyat yang membebaskan daerah demi daerah dari cengkeraman imperialis beserta klas kompradornya di dalam negeri. Dengan jalan tersebut, berbagai upaya perlawanan rakyat tidak hanya berujung pada pergantian rejim, tetapi memiliki perspektif memotong mata rantai paling lemah dari imperialis AS sebagai syarat pembentukan negara demokrasi rakyat.***

Referensi:

Guerrero, Armado, Philippine Society and Revolution, RSMTT, 1970

Jessup, Philip C, The Birth Of nations, Center for information Analysis, Yogyakarta, 2006.

Lenin, V. I, Imperialisme Tingkat Tertinggi Kapitalisme, Suatu Paparan Populer, Jajasan Pembaruan, Jakarta, 1958.

_______, Imperialisme dan Perpecahan Di dalam Sosialisme, Jajasan Pembaruan, Jakarta, 1961.

Supeno, Indonesia, Sejarah Singkat Gerakan Rakyat Untuk Kebebasan (Jilid II), Belanda, 1982.

Taliwang, M Hatta, dkk, Indonesiaku Tergadai, Institute Ekonomi Politik Soekarno Hatta, Jakarta, 2011

http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6603&type=2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar