Rabu, 01 April 2015

Negara Otoriter Birokratis



(Ringkasan Bab I halaman 1-18 bukunya Arief Budiman “Negara dan Pembangunan : Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan”)

Konon katanya, dalam pembangunan yang murni kapitalistis, peran negara mesti dikurangi sampai sekecil mungkin, sementara pelaku pembangunan yang didorong yaitu para pengusaha dan industriawan yang dibantu ama para petani dan buruh (busyeeet, petani ama buruh cuma jadi pembantu doang!). Negara katanya bakalan mengganggu pembangunan kalo ia kebanyakan campur tangan. Negara  yang semacam ini nih (yang sering lepas tangan), yang biasanya selalu dihubung-hubungin sama sistem politik yang demokratis, yang ngasih kemungkinkan masyarakat bisa ngambil keputusan-keputusan penting sendiri. Nah, karena itulah kapitalisme sama demokrasi kadang dianggap sebagai saudara kembar.

Kenyataannya nih, ada dua kelompok negara kapitalis. Pertama, kelompok negara-negara industri kaya yang sudah maju atau berkembang, yang biasanya punya sistem politik yang demokratis.  Kedua, kelompok negara-negara kapitalis miskin, yang biasanya sistem politiknya otoriter, bahkan totaliter.

Gimana ngejelasinnya tuh? Kenapa negara-negara miskin yang menganut jalan kapitalisme biasanya otoriter?


Pengalaman Rusia waktu proses industrialisasi, kata si Gerschenkron (1962), industrialisasi Rusia terjadi waktu negara-negara eropa barat sudah selesai duluan industrialisasinya. Jalan yang ditempuh ama negara-negara yang ngelakuin industrialisasi lebih dulu beda ama jalan yang ditempuh ama negara yang menyusul kemudian. Dimana peran negera lebih banyak pada negara-negera yang terlambat ngelakuin industrialisasi, selain itu juga modalnya semakin gede bagi industrialisasi yang lebih belakangan.

Di negara yang ngawal-mulain idustrialisasi atau bisa dibilang negera generasi pertama, contohnya kayak Inggris, modal industrialisasi yang dibutuhkan relatif kecil. Yang dibangun cuma pabrik-pabrik tekstil dengan teknologi sederhana, itu kenapa modalnya masih bisa disediain masyarakat sendiri, secara mandiri. Peran negara kurang dibutuhin. Negara perannya cuma nyiptain lingkungan atau keadaan yang memadai supaya pembangunan bisa berkembang.

Tapi beda nih, sama industrialisasi di negara indutri generasi kedua, modalnya yang dibutuhin semakin gede, teknologinya juga udah semakin canggih. Industri enggak cuma terbatas pada barang konsumsi tetapi juga industri yang menghasilkan barang setengah jadi dan barang modal kayak mesin-mesin pabrik. karena itulah, keterlibatan negara jadi lebih banyak. Negera ngumpulin modal, lewat bank atau perusahaan-perusahaan negara, untuk ngebangun industrinya. Pengusaha-pengusaha swasta dikasih kesempatan ngebangun industri lewat pinjaman bank, lantaran enggak sanggup biayaiin sendiri karena modal yang dibutuhin gede banget.

Seandainya bank dan perusahaan negara enggak cukup ngumpulin modal, nah, barulah modal asing dan modal perusahaan multinasional dilibatin. Tapi pasti mereka ada maunya dulu, biasanya mereka minta supaya negara –yang bakal dikasih modal- mesti bisa ngendaliin gejolak politik yang bakal timbul, kalau enggak, ya udah, modal luar negeri enggak bakalan dikasih.

Nah, demi ngedapetin modal asing itulah, atas nama stabilitas politik, negara nyingkirin pengusaha-pengusaha dalam negeri yang bersikap nasionalis dan rakyat jelata kayak buruh yang sering nuntut upah. Negara bakal memperkuat diri supaya bisa terus menolak tekanan-tekanan ekonomi dan politik masyarakat. Saat itulah, menurut O’Donnell, negara berubah jadi Negara Otoriter Birokratis. Otoriter karena negara maksaain kehendaknya ama masyarakat, birokratis karena proses pengambilan keputusan cuma dikuasai para birokrat negara, tanpa ngelibatin masyarakat.

Negara Otoriter Birokratis (OB) berbeda nih ama Negara Fasis atau Komunis. Di sebuah Negara Fasis, negara dianggep punya kesadaran tentang ujung perjalanan sejarah dalam menyempurnakan manusia. Sementara di sebuah Negara Komunis, berbicara tentang cita-cita masyarakat tanpa kelas, dimana semua orang kerja buat kebahagiaan semua orang, bukan buat keuntungan perorangan.

Baik di Negara Fasis atau Komunis, ideologi yang dipake lebih filosofis,  yang mana konsep kemanusiaan dan kebahagiaan dipersoalkan secara kompleks. Rakyat digerakkin supaya berideologi dan berpolitik, meskipun politik disini berarti ngedukung politik dan ideologi negara.

Berbeda ama Negara OB. Negara muncul layaknya sebuah mesin birokrasi yang gede, yang bertampang dingin dan cuma punya satu tujuan, yaitu, ningkatin produksi ekonomi. Negara enggak seneng kalo rakyat ngomongin politik. Tugas rakyat cuma kerja buat pembangunan (ekonomi), buat nyuksesin pembangunan, titik! Itu kenapa seringnya di negara OB, terjadi aliansi teknokrat ekonomi ama kaum militer.

Yang jadi pertanyaan, kenapa ada Negara OB yang relatif bersih, enggak korup, jadi pembangunannya berhasil, kayak Singapura atau Korea Selatan? tapi di Indonesia atau di Bangladesh malah gagal? Padahal semua pemerintahan di semua negara itu sama-sama Otoriter-birokratis, gimana cara ngejelasinnya?

Salah satu yang menarik dari Negera-Negara OB yang nongol di Dunia Ketiga ini, yaitu terlibatnya negara dalam akumulasi modal, beda ama studi-studi sebelumnya yang cuma ngeliat kaum burjuasi yang berperan dan menguasai perekonomian. Normalnya kapitalis atau burjuasi muncul dari luar negara, tapi di Negara OB, kapitalis muncul juga dari dalem negara itu sendiri atau lahir karena bantuan kuat dari elit birokrasi negara.

Negara OB amat berperan supaya dirinya atau milih orang lain di luar negara, supaya jadi pemilik modal yang ngumpulin atau akumulasi modal. Ada 2 tipe Negara OB, yaitu Negara OB Pembangunan, yang lainnya Negara OB Rente.

Di Negara OB Pembangunan, kapitalis yang kebentuk jadi kapitalis unggul, atau kalo pejabat negara yang ngelola perusahaan-perusahaan negara, berhasil ngasih keuntungan yang gede buat negara. Mula-mula mereka emang tergantung ama negara, karena mereka sedikit banyak dapet fasilitas-fasilitas yang dikasih negara. Tapi lama kelamaan, mereka jadi mandiri, ngelepasin diri dari ketergantungan ama negara. Pada akhirnya, mereka inilah yang bakal jadi kekuatan ekonomi di negara itu. Ini kayak yang terjadi di Korea Selatan.

Tapi di Negara OB Rente, prosesnya malah berlainan, elit negara ngasih fasilitas ke swasta atau pejabat negara yang ngelola perusahaan-perusahaan negara. Tapi untuk jasanya ini, elit negara itu minta imbalan atau minta ongkos sewa. Itu kenapa dibilang rente. Kadang orang yang dikasih fasilitas itu, enggak lain, keluarga-keluarganya sendiri. Jadi si elit negara itu udah macem rentenir. Jabatan birokrasi si elit udah jadi kayak “alat produksi“ untuk ngumpulin modal. Di Indonesia, praktek semacem itu pernah dibilang Kapitalis Birokrat atau Kapbir. Jadi di Negara OB Rente, kapitalis yang tumbuh bukan yang tangguh dan mandiri, tetapi kapitalis yang bergantung terus menerus ama fasilitas negara. Itu kenapa gak maju-maju.

AM - 31032015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar